Jumat, 20 Juni 2008

Pendidikan 2


Terpuruk

Oleh Amzar


KETIKA Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian tuntutan agar anggaran untuk bidang Pendidikan di APBN 2006 ditambah hingga mencapai 20 persen dari yang sekarang hanya
''dijatah'' 9,1 persen, saya teringat sebagian materi diskusi dengan Mendiknas Bambang Soedibyo di Graha Pena Batam, penghujung tahun lalu.

  Ketika itu saya menyuarakan kerisauan melihat angka Human Development Index (HDI) Indonesia, yang terpuruk di angka lebih dari 100, terpaut jauh di bawah negara ASEAN lainnya.

Artinya, kendati ada capaian kemajuan pada sektor pendidikan, kesehatan dan pengurangan angka kemiskinan, tetap saja jarak HDI kita dengan jiran dekat, misalnya Singapura dan Malaysia kian jauh. Bisa diartikan, kualitas SDM kita secara rata-rata masih rendah.



Artinya lagi, pacuan gerak maju kita ternyata belum cukup mengejar berbagai indikator ketertinggalan di bidang pembangunan manusia dan pembangunan sosial pada umumnya.
Pertanyaan saya ketika itu, kenapa HDI kita begitu rendahnya dan adakah cara untuk mempercepat peningkatan HDI itu? Mendiknas menghela nafas sejenak, sebelum kemudian
membeberkan beberapa fakta yang ada. Satu di antaranya, ya itu tadi, belum memadainya anggaran yang disediakan untuk sektor pendidikan.

Jadi, klop dengan APBN sekarang. Sektor ini hanya dapat jatah 9,1 persen. Di Riau, angkanya sedikit tinggi, hampir 14 persen. Padahal, jelas-jelas UUD 1945 mengamanahkan jauh di atas itu.

Coba simak ketentuan pasal 31 ayat (4) UUD 1945, tegas memerintahkan Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Tentu beragam alasan dikemukakan untuk menjelaskan kenapa hanya 9,1 persen dari APBN, mengapa ''cuma'' 13,9 persen dari APBD. Jawaban umum dari pertanyaan ini mungkin telah seringkali kita dengar dan terkadang dengan formulasi yang sangat disederhanakan.

Padahal, teori ''lingkaran setan'' menyatakan, keterbelakangan suatu bangsa hanya bisa diputus oleh peningkatan pada kualitas manusia karena pada kualitas manusialah kehidupan bisa diperbaiki. Pada lingkup ini, sektor pendidikan lah tumpuan utamanya.

Rentetannya pun, secara teoritis akan menunjang ke indikator lainnya. Bahwa, peningkatan kualitas kehidupan adalah ekses langsung dari sejumlah indikator-indikator kualitas manusia yang dicerminkan oleh produktivitas kerja dan kinerja yang hasil akhirnya terlihat pada adanya peningkatan pendapatan.

Hanya dengan kecukupan pendapatanlah kebutuhan-kebutuhan dasar bisa dipenuhi dan pada tingkatan seperti itulah hidup menjadi lebih berkualitas dan sejahtera. Sayangnya, tingkat kehidupan seperti itu belum menjadi milik sebagian besar masyarakat kita.

Oleh karena itu, jawaban rinci yang mestinya kita kemukakan ialah bahwa HDI kita begitu rendahnya karena rakyat kita untuk sebagian besarnya masih miskin, tingkat kesehatan dan
pelayanannya yang masih belum bagus, dan oleh karenanya secara sosial dan ekonomi belum merasa aman.

Bagaimana bisa meningkatkan HDI secara cepat? Sulit mencari rumusnya, karena pembangunan manusia adalah suatu proses panjang dengan investasi mahal. Di sini kadang kita
dihadapkan pada dikotomi antara human investment dengan economic investment.

Padahal sesungguhnya, baik investasi manusia maupun investasi ekonomi adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Keduanya adalah keharusan dan diterjemahkan dalam wujud rencana kebijakan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Kendala finansial mestinya dilihat sebagai keterbatasan yang harus disiasati secara cerdas.

Kita belum maju karena banyak indikator yang dapat mendorong kemajuan kita sebagai bangsa memang rendah. Kalau HDI kita rendah, itu fakta. Tetapi, bukan tak ada jalan untuk lebih maju.

Sebaliknya, harus diyakini, kita sebenarnya cukup cerdas untuk membuat bangsa ini lebih maju melalui kesungguhan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sinyalnya ada, ketika terbuka peluang menambah anggaran pendidikan hingga 20 persen di APBN.

Merujuk APBN 2006, anggaran pendidikan 9,1 persen itu besarnya sekitar Rp 38,91 triliun. Kalau 20 persen, diperkirakan menjadi Rp 85,52 triliun. Artinya, terbuka laluan untuk juga mengatrol faktor-faktor yang bakal menopang peningkatan kualitas SDM.

Artinya, kalau lah benar pagu 20 persen itu dipenuhi, anggaran akan tersedia lebih dua kali lipat dari yang dipatok APBN. Peringkat HDI mungkin bisa membaik. Tapi, muncul kerisauan lain: peringkat jelek kita sebagai negara korup! Wah, bertemu dengan yang terakhir ini, yang terbayang adalah keterpurukan lagi!***

(Bahan Catatan Akhir Pekan di Riau Pos edisi Ahad, 26 Maret 2006)

Selengkapnya..

Pendidikan1

Tahun Ajaran Baru

Oleh
Amzar


SEORANG rekan mengeluh. Ia yang baru pindah tugas ke Pekanbaru, bingung mau mendaftarkan anaknya yang sudah menapak di usia TK. Karena terlambat, banyak sekolah yang sudah penuh. Yang tersisa pun pasang tarif tinggi, tentu saja menurut ukuran rekan ini. Biaya yang harus dipenuhi mulai dari uang bangku, uang baju, dan beragam lagi uang ini-itu.

  Keluhan senada, melaung dari rumah tetangga. Ia masih melenguh, padahal, anaknya diterima di salah satu SMK negeri. Pasalnya, ia tak punya persediaan cukup untuk melengkapi syarat uang ini-itu yang nilainya dalam hitungan juta. Waktu untuk memenuhinya mepet pula.


  Ada lagi berita di koran ini. Seorang anak yang punya reputasi bagus saat ikut olimpiade sains dan matematika tingkat nasional, terpukul hebat saat mengetahui namanya tidak masuk dalam senarai mereka yang diterima di salah satu SMP negeri idamannya. Orang tuanya pun kelimpungan.

  Ya, beragam hal seperti ini kerap terulang, setiap tahun sekitaran bulan Juli, saat hampir semua orang tua menghadapi kesibukan khusus menyangkut pendidikan anak-anaknya. Tak hanya sibuk, tapi juga pusing. Ya, pusing saat mendaftar, juga ketika diterima. Bertambah pening lagi, bila tidak diterima.

  Masalahnya, mendaftar untuk sekolah ternyata tidak segampang diperkirakan. Lebih tidak mudah lagi jika ada orang tua yang tak ingin mendaftarkan anaknya di sembarang sekolah. Terkadang, ada orang tua yang ngotot mendorong anaknya hanya ke sekolah yang dianggap favorit. Entah untuk alasan apa, tetap saja masalahnya semakin rumit.

  Mengapa harus lebih rumit? Karena sekolah yang dianggap unggulan akan menampung pendaftaran yang jauh lebih besar dari kapasitas tampung. Bayangkan saja, jika satu sekolah terpaksa mendaftar ribuan calon siswa sedangkan kapasitas yang harus diterima hanya dua ratus siswa misalnya.

  Dipastikan akan terjadi persaingan sangat tajam serta ketat dan proses seleksi akan semakin membuka peluang yang bisa mencederai pendidikan itu sendiri. Peluang untuk main belakang, lewat jendela, katabelece, telepon-telepon yang menggoda dan potensial menjadi KKN akan ikut memberi suasana kasak-kusuk di antara berbagai pihak.

  Itu akan terjadi hanya untuk suatu obsesi: pendidikan yang lebih baik. Antara kepala sekolah yang memiliki otoritas, pejabat-pejabat yang merasa punya kekuasaan dan para orang tua yang kaya bisa terlibat dalam permainan tahu sama tahu. Begitulah, suasana tahun ajaran baru, selalu seru.

  Dalam pekan-pekan ini, kita harus menerima kenyataan dunia pendidikan kita yang belum juga lebih baik dari tahun sebelumnya. Artinya, pendidikan yang menjadi kebutuhan dan tanggung jawab kita ternyata tetap menjadi masalah serius dari bangsa ini.

   Belum lagi kalau kita berbicara tentang praktik-praktik pendidikan yang tidak adil. Tidak adil karena kadang-kadang anak yang cerdas ternyata belum tertampung oleh sistem dan kebijakan pendidikan yang ada. Dia bahkan punya pilihan lain yang terkesan ironis, yakni tak menyekolahkan anaknya karena tak mampu menyiapkan biaya. Dalam konteks yang seperti ini pendidikan bukan saja menjadi tidak adil, tetapi sekaligus menjadi tragedi.***

(Bahan CATATAN AKHIR PEKAN di Riau Pos Ahad, 16 JULI 2006)

Selengkapnya..

Rabu, 18 Juni 2008

Buku1

Kebayang Gak Siapa yang Baca?

oleh AMZAR

PERANGAI yang satu ini jangan sekali-kali kamu tiru jika memang ingin jadi pewarta, kini atau masa depan. Selesai ngetik, lalu di saving, serahkan ke editor, lalu cabut. Tak diedit lagi. Malas ngebaca ulang. Masa bodoh dan enteng saja ngomong: ''Ah, itu kan tugas redaktur!''

Esoknya pun tak mau tahu macam mana tulisan kita tampil. Makin cantik setelah dipoles editor, atau malah jadi belepotan. Atau jangan-jangan tak naik. Syukur kalau lolos tanpa ada cacat.


Padahal, teori yang ada secara manis merumuskan bahwa membaca dan mengedit kembali tulisan/berita yang sudah dibuat adalah keharusan. Ini untuk memastikan apakah berita yang ditulis sudah sesuai penugasan, memenuhi syarat-syarat jurnalistik, tujuan jurnalistik, dan ini nih yang penting: laku dijual.

Memang ada perangai buruk yang --celakanya-- masih ada yang getol memeliharanya. Tak mau becermin diri. Enggan belajar untuk tampil lebih kemas. Tak ngaku bahwa kita belum ada apa-apanya dibanding mereka-mereka di luar sono.

Ya, di luar sana, itulah sebenarnya cermin besarnya. Tempat kita berkaca sekaligus mengukur diri.

Kalau di bilik redaksi, atau mungkin di kamar sendiri, saat mengetik berita, barangkali kamu tak merasa bagaimana kelak jika tulisan ini besok sudah tercetak dan terpublikasi. Bisa jadi yang terpikir hanya, bagaimana cepat selesai. Toh, kemarin-kemarin juga gitu. Aman-aman saja kok.
Celaka kalau pikiran begitu terus dipelihara. Atau kamu meniru perilaku itu dari seniormu? Jangan dong. Yang bagus aja yang diadopsi. Entah kalau kamu pengen nyesal di ending cerita! Kamu mesti ingat bahaya laten ini: Tidak mengedit ulang dan salah dalam penulisan adalah wartawan ceroboh, pemalas dan suka mencelakakan diri sendiri atau malah membuat banyak orang ikut celaka. Wuih, besarnya dosamu.

Bagusnya, saat ngetik berita atau tulisan untuk dipublikasikan, atau malah sebelum diketik, kita sudah berpikir untuk sehari kemudian. Besok, bagaimana ya reaksi pembaca. Eh, siapa saja ya yang membaca koran saya ini, khususnya berita atau tulisan saya ini?

Tahu nggak, sebenarnya filter yang paling utama ada pada kita sendiri. Coba tulisan yang udah selesai kamu bikin itu kamu baca lagi. Tertarik nggak kamu. Paham gak kamu jalan ceritanya. Trus, komplit gak informasinya. Kalau kisahnya sedih, apakah kamu ikut terharu ngebacanya. Kalau storinya horor, merinding gak kamu dibuatnya. Toh, untuk ngukur yang gitu tu, kita semua sama-sama diberi anugerah perangkat yang sama oleh Yang Maha Kuasa.

Kalau ini dibiasakan, pasti asyik lo. Kita akan merasa kurang sreg kalau lagi asyik membaca, eh ada yang salah ketik, apalagi kalau itu sampai mengubah makna. Itu juga yang dirasakan pembaca lain. Tak ada obat lain kecuali perbaiki segera. Atau ada kalimat yang gak nyambung antara satu alinea dengan alinea berikutnya, atau ada pengulangan kata yang akan lebih indah komposisinya jika dicarikan padanannya yang lain. Banyak lo keasyikan yang bakal kamu jumpai dalam proses menyempurnakan tulisan itu.

Tapi, ya tetap harus pegang kunci utamanya juga: patuhi deadline, batas waktu. Itu syarat yang wajib dipatuhi, tapi jangan pula itu jadi kambing hitam. Alasan kejar tayang untuk kemudian tak kemas dalam membuat berita atau tulisan, adalah kuno. Pembaca mana mau tau apa masalah kita. Yang jelas, mereka akan kecewa jika sajian kita tak mengena di hati. Ini akan parah jika sudah berkembang menjadi antipati. Apa gunanya bikin koran jika kita justru gagal membuat pembaca menjadi dekat?

Kamu kan pernah berada di ruang tunggu bandara, terminal bus, pelabuhan laut, atau di pangkalan ojek. Atau lihat bagaimana perilaku orang di lobi hotel? Pasti ada kamu jumpai mereka yang mengisi waktunya dengan membaca koran atau majalah. Gimana perasaan kamu jika yang dibaca mereka itu koran kamu, majalah kamu, atau bahkan berita atau tulisan hasil karya kamu?

Ya itu tu. Hasil karya kamu yang kini dipublikasikan, bakal dibaca oleh banyak orang dengan beragam tingkah laku, strata, tingkat pendidikan, kedudukan dan sebagainya. Koran kamu ada di ruang baca atau kantor gubernur, bupati, wali kota, kepala dinas, guru --mulai guru honor hingga guru besar--, ibu kos, paman tetangga sebelah, manajer hotel, direktur, pengusaha, pedagang, pokoknya seabreg lah.

Atau dipegang oleh Pak menteri yang berkunjung ke sini, artis kondang yang mentas di sini, etc, etc. Belum lagi jika publikasinya juga disebarkan melalui dunia maya, lewat internet. Karyamu bakal tak terbendung, tersebar ke mana-mana, ke tempat yang tak terhingga!

Banggalah kamu jika di antara rubrik yang dibaca itu, salah satu yang menjadi favorit adalah hasil karya kamu, ya berita, ya feature, atau bentuk lain yang bisa kamu hasilkan.

Jadi, sedari dini mestinya disadari bahwa mulai dari kelas kroco sampai ke CEO adalah konsumen koran atau majalah kamu. Mereka adalah raja dan penentu masa depan koranmu, dan kamu juga. Makanya, jangan pernah bikin mereka kecewa. Jangan lagi asal bikin berita atau berita asal bikin.

Walau pendapatan kita berbeda, kamu pasti sependapat bahwa wartawan adalah sebuah profesi. Kamunya boleh busung dada bakal disebut (kaum) profesional. Nah, ini ni, seorang profesional itu dihargai karena karyanya. Seorang wartawan bukan terkenal karena dia pemimpin di sebuah surat kabar, bukan karena pintar melobi, cari muka, atau pintar berpidato. Seorang wartawan akan dikenal, dihargai dan bermartabat di mata masyarakat karena tulisan-tulisannya, berita-beritanya, karya jurnalistiknya, bukan karena hal lain.***

(dimuat di buku Menjadi Wartawan Masa Depan, terbitan Riau Pos, 2007)

Selengkapnya..

Senin, 16 Juni 2008

Selengkapnya..

Jumat, 13 Juni 2008

Sporemed

Mengapa Berobat ke Singapura?

SINGAPURA, siapa yang tak kenal, termasuk fasilitas pelayanan kesehatannya. Sudah bukan rahasia jika pasien dari Indonesia, terutama mereka dari kalangan berduit dan orang ternama, kerap memilih negara pulau tersebut sebagai destinasi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Kendati sudah begitu dikenal, ternyata mereka tidak pernah berhenti melakukan sosialisasi, menjemput bola ke sana-sini, dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Indonesia adalah salah satu pasar potensial yang terus mereka lirik. Tak heran, ketika di Medan, 25-27 Mei 2007 lalu dilaksanakan International Medical Expo, rumah sakit-rumah sakit Singapura ikut ambil bagian.


Mereka datang dengan tim yang solid di bawah payung Singapore Medicine, sebuah agen pemerintah berganda di bawah dukungan Economic Development Board, Singapore Tourism Board dan International Enterprise Singapore.

''SingaporeMedicine ini secara khusus bertujuan membangun dan mempromosikan Singapura sebagai pusat medis di Asia, dan untuk membuat pelayanan kesehatan Singapura yang berkelas dunia dengan mudah dapat diakses oleh pasien internasional,'' kata Iesyen Wijaya, Executive Western Indonesia-International Operations, Singapore Tourism Board kepada wartawan di Medan, pekan lalu.

Sudah punya nama, dan masih juga gencar berpromosi, menjadikan Singapura semakin dikenal sebagai pusat pelayanan kesehatan terkemuka di Asia Pasifik. Makanya tak heran jika setiap tahunnya lebih dari 300 ribu orang pasien internasional datang ke negara pulau itu untuk memperoleh aneka pelayanan kesehatan.

Ada yang sekadar mengecek kesehatan, atau menjalani operasi mata, bedah jantung dan otak, juga ada yang ke sana untuk pengobatan kanker. Tahun 2005 saja, tercatat 374 ribu orang dari seantero dunia datang ke sana untuk mendapatkan perawatan kesehatan yang berkualitas.

Khusus expo di Medan yang sudah keempat kalinya mereka ikuti, Singapura menyertakan sejumlah grup rumah sakit kenamaan, seperti Parkway Group Healthcare (Gleneagles Hospital, Mount Elizabeth Hospital, dan East Shore Hospital), National Healthcare Group (Alexandra Hospital, National University Hospital, Tan Tock Seng Hospital), Raffles Hospital, Thomson Medical Centre, dan The West Clinic Execellence Cancer Centre.

Thomson, untuk Wanita dan Anak

Fenny Ng, Assistant Manager Marketing Thomson Medical Center, mengklaim mereka adalah yang terbaik untuk pelayanan kesehatan wanita dan anak-anak. Khusus pasien dari Indonesia, kata Fenny, umumnya menginginkan pelayanan terkait masalah fertilitas dan bayi tabung, sampai ke masalah terapi awet muda dan estetis.

Dijelaskan, dalam menangani pasangan dari luar Singapura, para ahli fertilitas di sana menjalin kerja sama dengan dokter yang biasa menangani mereka di negara asalnya.

Semacam kolaborasi. Awalnya, pasien dievaluasi menyeluruh atas rujukan dokternya, dan dapat kembali ke dokter yang akan menindaklanjuti program di negara asal. Pasien kemudian kembali ke Singapura untuk menjalani program tahap akhir, sebelum kembali ke negaranya.

Praktis, dalam dua bulan terapi fertilitas, pasien hanya perlu berada di Singapura paling lama dua pekan untuk tahap akhir, dengan satu-dua kunjungan di tahap awal.

Fenny juga bercerita bahwa 70 persen dari pasien internasional yang datang ke Thomson Medical Centre berasal dari Indonesia. ''Secara umum yang paling dominan terkait masalah
fertilitas dan terapi awet muda,'' kata Fenny, yang dengan tegas menyebutkan bahwa penyebab utama infertilitas di Indonesia --dari konsultasi pasien yang datang-- adalah rokok!

Raffles Hospital, One Stop Specialist

   Lain lagi penjelasan Puteri Suman, Assistant Manager Hospital Marketing-International Raffles Hospital. Selain menguraikan tentang spesialisasi Raffles di bidang Orthopedi, Puteri juga membanggakan penerapan konsep ''one stop specialist centre'' nya. ''Di sini, setiap klinik spesialis memiliki bagian pendaftaran, pengambilan obat dan pembayaran masing-masing. Ini untuk mempermudah pasien dan mempercepat proses pelayanan kesehatan,''bebernya.

   Di Raffles Hospital, kata Puteri, para spesialis bekerja sebagai sebuah tim dalam perawatan pasien dengan pendekatan holistic. ''Kami menyebutnya group practice agar pasien mendapatkan perawatan dan pelayanan prima dari tim medis dan non medis yang berkualitas tinggi,''jelasnya.

  Kerja sama tim ini di antaranya telah berhasil memisahkan sepasang kembar siam Korea yang bertaut di daerah pelvis dan vertebra bagian bawah. Pendekatan tim secara multidisipliner -- antaranya spesialis bedah syaraf, bedah anak, bedah plastik, obstetric dan ginekologik, urology, bedah ortopedik, spesialis anak dan anastesi, dan 50 staf bantuan medis lainnya-- berperan penting dalam keberhasilan itu, sehingga bayi kembar tersebut berhasil dipisahkan dan dapat pulang ke Korea bersama orangtuanya.

NHG, untuk Kasus-kasus Akut

  Simak pula penjelasan Steven Mok, manager National Healthcare Group (NHG), yang punya empat rumah sakit kenamaan. Dikatakannya, tahun lalu sedikitnya 50 ribu orang pasien internasional datang ke mereka untuk penanganan kesehatan, khususnya terkait keluhan penyakit kanker, jantung dan mata. Dua fasilitas utama grup ini, National University Hospital
(NUH) dan Tan Tock seng Hospital (TTSH), adalah rumah sakit kasus-kasus akut dengan total lebih 2.000 tempat tidur, 10 unit intensive care dengan beragam spesialisasi, serta 43 ruang operasi, plus ruangan high dependency dan isolasi dengan kamar-kamar bertekanan negatif.

   ''Kami mengerti mereka yang sakit dan meninggalkan kenyamanan rumah untuk mendapatkan pertolongan di luar negeri adalah pengalaman yang tidak menakutkan. Pengalaman kami menangani pasien internasional membuat kami paham bagaimana membuat mereka merasa diterima dan nyaman seperti di rumah,''kata Steven yang memberi penjelasan
dalam bahasa Inggris.

Parkway, Punya Semua Spesialisasi

  Arifin Ng, Senior Manager Corporate Marketing, Parkway Group Healthcare ini pun tak mau kalah dalam memaparkan keunggulan grupnya, yang mengoperasikan rumah sakit Mount Elizabeth, Gleneagles dan East Shore. ''Kami punya untuk semua spesialisasi, tidak hanya kanker,''ujarnya.

  Secara khusus ia menceritakan dengan bangga bagaimana kesuksesan melakukan transplantasi hati (liver) dari donor hidup yang diambil sebagian hatinya untuk dicangkokkan ke pasien, tahun 1995, sebagai yang pertama di Asia Tenggara. Artinya, keterbatasan donor tidak lagi menjadi penghalang untuk transplantasi liver, karena sejak itu teknologi sudah membuktikan, tidak lagi harus mengambil organ hati dari orang yang sudah meninggal dunia.

  Ini prestasi Gleneagles Hospital dan juga National University Hospital. Artinya, kini pasien dengan penyakit liver stadium akhir memiliki pilihan lebih banyak selain menunggu untuk ketidakpastian donor dari orang yang telah meninggal.

  Lazimnya, operasi donor memerlukan waktu 6-8 jam dan pendonor harus tinggal di rumah sakit selama sepekan. Transplantasi memerlukan waktu 8-10 jam dan penerima donor diharuskan tinggal di rumah sakit sekitar tiga sampai empat pekan.

''Sejauh ini kami menangani rata-rata 30 pasien per tahun untuk transplantasi hati. Ada dari Indonesia, India dan Pakistan,''jelas Arifin Ng.

The West Clinic, Spesialis Kanker

   Penjelasan menarik juga dikemukakan Alexander Mutak, Marketing Manager Lisa Medical Colsultancy. Lelaki energik ini memaparkan keunggulan The West Clinic Execellence Cancer Centre Singapura sebagai cabang pertama di luar AS sebagai rujukan dan penanganan Semua jenis penyakit kanker.

   ''Di sini dipakai standar Amerika Serikat untuk penerapan dan penanganan medis, khususnya kanker. Tim medis di sini dapat melakukan tele-medicine dengan kantor pusatnya di Amerika,'' kata Alex.

 Menurutnya, keistimewaan The West Clinic antara lain berkolaborasi dengan 150-an spesialis/peneliti kanker terkemuka kelas dunia dan menentukan penanganan/pengobatan terbaik untuk setiap jenis kanker, seperti payudara, prostat, kolon, esophagus, lambung, otak, kepala/leher, leukemia, hepar, ovarium, pancreas, Rectum, dan sebagainya.

Kata-kata menarik dikutipnya dari Dr Steven Tucker, Direktur Medik The West Clinic. ''Kini pasien dapat hidup lebih lama bersama kanker yang seakan merupakan penyakit kronis
seperti kencing manis atau penyakit tekanan darah tinggi. Penderita tidak lagi meninggal karena kanker, melainkan meninggal bersama kanker.''(amzar

Selengkapnya..

Kamis, 12 Juni 2008

Tips Haji 7



Arafah dan Mina

Puncak Haji, Fisik dan Disiplin Diuji

HAJI
adalah Arafah. Inilah puncak ritual ibadah haji, wukuf di Arafah. Karenanya, pada waktunya, setiap jamaah haji akan ke Arafah dengan cara apapun dan dalam kondisi  bagaimana pun, untuk dapat melaksanakan wukuf.

Bagi kita yang sudah diatur perjalanannya, akan berangkat ke Arafah sehari menjelang wukuf, dengan memakai pakaian Ihram. Sama seperti jutaan jamaah lainnya, semua ingin hadir di Arafah, tidak ingin terlambat. Tak peduli, bertengger di atas mobil, atau berjalan kaki pun, jadi!

Di sini memang fisik harus tetap prima dan disiplin serta sabar, tetap dijaga. Bagaimana kita harus disiplin sejak dari pemondokan, naik bus, di atas bus yang terkadang harus beringsut-ingsut jalannya karena ratusan ribu kendaraan bergerak dalam waktu bersamaan, menuju lokasi yang sama.


Di kemah Arafah, disiplin dan kesabaran serta sifat saling menolong lebih mengemuka. Karena kita akan berkumpul dalam jumlah yang banyak di bawah satu tenda besar per rombongan, harus ekstra sabar saat berurusan dengan kamar kecil dan tempat berwuduk. Apalagi kita sedang berpakaian Ihram, banyak pantang-larangnya.

Saat puncak haji tiba, ibadah wukuf memasuki masa-masa yang mengaduk-aduk perasaan setiap jamaah. Sejak azan berkumandang, ketika kutbah wukuf disampaikan, ketika usai salat berjamaah zuhur dan asar yang diqasar dan jamak taqdim, setiap jamaah akan menundukkan kepala, bercermin pada diri sendiri, tentang apa saja yang telah dilakukan selama ini, terhadap sesama umat, dan juga terhadap Allah. Inilah semacam perjalanan kilas balik, karena semua perbuatan dosa dan juga amal baik, kini terbayang di depan mata. Ritual selama wukuf akan khusyuk terjalani dan air mata akan bercucuran membasahi padang pasir Arafah yang mashur itu.

Ketika matahari agak condong di langit sebelah barat, saat panasnya tidak lagi menyengat, upayakanlah keluar dari tenda, atau di dalam tenda pun tak apa. Berdoalah dengan sungguh-sungguh, karena Arafah adalah salah satu tempat mustajab untuk berdoa, memohon dan berhajat, bahkan boleh dengan bahasa yang anda kuasai. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi mengabulkan setiap permintaan hambaNya, terlebih lagi saat Wukuf.

Selesai Wukuf, satu lagi ritual yang mensyaratkan ketahanan fisik dan disiplin yang tinggi menanti. Mabit di Muzdalifah. Disiplin sudah dituntut sejak menunggu angkutan dari Arafah,
berada di padang luas Muzdalifah dengan serangkaian ibadah plus memungut kerikil untuk melontar jumrah. Satu saja tidak disiplin, ribuan jamaah akan merasakan dampaknya, baik
saat antrian naik bus, di atas bus, saat perjalanan menuju Mina.

Ya, malam itu Mina didatangi jutaan jamaah, termasuk Anda. Bayangkan ruwetnya sekiranya ada yang ingin semaunya saja. Di sini kembali kita ingatkan diri, bahwa kehadiran di tanah suci ini adalah untuk beribadah. Lakukanlah semua rangkaiannya dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan dengan ilmu.

Ritual melontar Jumrah adalah salah satu yang kerap diberi perhatian lebih mengingat selalu ada insiden mengingat jutaan umat berbilang bangsa melaksanakannya dalam waktu yang nyaris bersamaan. Karenanya, setiap jamaah wajib mengindahkan apa yang sudah diatur oleh panitia di sana. Kapan waktu yang baik dan aman untuk melontar jumrah, patuhi itu dan tetaplah selalu dalam rombongan yang utuh.

Memang, saat ini lokasi melontar jumrah sudah diperluas dan dibangun bertingkat, terowongan menuju ke lokasi jamarat juga sudah tersedia dalam dua jalur, dan kesiagaan serta kesigapan aparat keamanan Saudi Arabia bakal menambah jaminan akan kelancaran semua proses ritual ini. Namun, kedisiplinan tiap individu jamaah, jauh lebih utama, agar ibadah lancar. Keluarga yang menanti di rumah pun, tidak lagi berdebar-debar.(amzar)



''Khamsa Riyal..Khamsa Riyal..!''

PEDAGANG
kaki lima bukan hanya ada di negeri kita. Di tanah suci, malah lebih banyak. Ada yang lokasinya permanen, sementara, bahkan yang diuber-uber petugas juga ada. Yang terakhir ini tentu mereka yang bandel, menggelar dagangan di tempat yang dilarang.

Terlebih di musim haji, seantero Makkah, terkhusus di sekitaran kompleks Masjidil Haram, nyaris sepenuhnya mereka kuasai. Bagai di kawasan Tanah Abang Jakarta, atau Pasar Pagi Arengka Pekanbaru, teriakan-teriakan khas pedagang akan akrab ditelinga, saat kita melintas areal ini ketika akan menuju Masjidil Haram. Paling ramai dekat Pasar Seng yang tersohor itu.

''Khamsa Riyal..Khamsa Riyal! Bagus tuan, murah tuan..!''ucap mereka, seakan ingin berakrab-akrab karena tahu yang ada di depannya adalah jamaah dari Indonesia. Ya, meski banyak bilangan lain dalam bahasa Arab, kata-kata Khamsa paling kerap diteriakkan. Khamsa Riyal maksudnya Lima Riyal.

Kadang itu sekadar pengucapannya saja. Tidak semua yang diacungkannya seharga lima Riyal. Bisa lebih, ada juga yang kurang, dengan harga terendah satu Riyal, tergantung jenis benda yang dijual. Kalau jam tangan ala kaki lima, memang ada yang lima riyal dan berserak yang menjualnya.

Ada beragam memang yang digelar di kaki lima ini, mulai dari makanan, kelengkapan mandi, alat rumah tangga, tepung inai pun ada. Terbanyak, memang yang menjual kelengkapan ibadah seperti kopiah, sajadah, baju ghamis, sorban, juga aneka jenis tasbih.

Saat puncak haji masih jauh, rata-rata mereka tidak akan melayani pembeli yang getol menawar. Biasalah, sedikit jual mahal. Lagi pula patroli petugas penertiban belum lagi gencar.
Lain halnya bila puncak musim haji sudah dekat, di mana jamaah sudah sangat ramai, yang jualan pun bertambah-tambah, mereka akan banting harga, sementara kesiagaan semakin ditingkatkan, melihat dengan mata awas kemungkinan ada tim penertiban.

Terlebih setelah puncak musim haji berlalu, di mana banyak jamaah akan meninggalkan Makkah, musim banting harga akan mengusik jamaah untuk tergiur memborong, tidak hanya di kaki lima, tapi juga di banyak toserba. Kalau biasanya mereka marah jika kita getol menawar, kali ini prosesnya tak akan alot lagi.

Aktifitas pedagang musiman ini juga jeli melihat situasi. Jika konsentrasi jamaah sudah di Arafah dan Mina, mereka akan ikut. Tapi memang lebih banyak di Mina karena di Arafah memang tidak dibolehkan dan memang tidak ada yang berjualan di area Wukuf.

Di Mina, begitu keluar dari tenda pemondokan, sepanjang sisi jalan menuju Jamarat --tempat melontar Jumrah-- sudah dipenuhi pedagang kaki lima. Sama seperti di Makkah, kebanyakan mereka adalah pendatang dari kawasan miskin Afrika. Ini bisa dilihat dari penampilan dan tongkrongannya.

Di Madinah juga begitu. Hanya saja di sini memang tidak terlalu banyak. Mereka lebih terkonsentrasi pada lokasi-lokasi yang jauh dari Masjid Nabawi, karena memang begitu aturannya. Itu pun lebih banyak yang mobil sifatnya, menggunakan gerobak dorong sehingga kerap berpindah-pindah.

Kalau pun ada yang berjualan tak jauh dari gerbang Masjid Nabawi, umumnya adalah anak-anak muda tempatan, yang menjual aneka suvenir, compact disc tilawah Quran, kopiah dan mainan sepasang magnet yang berbunyi khas saat dimainkan dengan cara dilempar berbarengan ke udara, lalu ditangkap. Harganya? ''Khamsya Riyal, tuan. Murah Tuan..!''(amzar)


Tanah Paling Suci,
Jaga Kebersihannya


''Saudara Jamaah Haji. Anda Saat ini berada di Tanah Allah yang paling suci, maka rawatlah kebersihannya!''

ITULAH sebaris kalimat bernada pengumuman. Ditulis dalam bahasa Indonesia, dicetak di atas besi plat berwarna kuning dengan tiang kokoh. Di sudutnya ada gambar tong sampah yang dibuka dan ada tangan yang memasukkan potongan sampah ke dalamnya. Plat pengumuman ini diletakkan di tempat strategis, di trotoar Jalan Masjidil Haram. Posisinya hanyasekitar 300 meter menjelang persimpangan menuju gerbang masuk areal Masjidil Haram, jika berjalan kaki dari arah Syieb Amir menuju Masjidil Haram.

Ya, pengumuman berbahasa Indonesia, terpampang di tempat strategis yang setiap saat dilintasi ribuan umat. Lho, kok berbahasa Indonesia? Memang ya, dan banggalah kita sebagai bangsa Indonesia karena dalam banyak pengumuman di tempat-tempat tertentu di tanah suci, selalu disertakan dalam bahasa Indonesia, selain Arab dan Inggris, Prancis serta Turki. Maklum, setiap tahun, dan bahkan sepanjang tahun, sangat banyak jamaah dari Indonesia dan dari rumpun melayu lainnya seperti sejumlah negara ASEAN yang berada di tanah suci. Karenanya, wajar kalau bahasa Indonesia, terkadang bercampur Melayu, dipakai untuk menjelaskan sesuatu yang mustahak untuk diketahui khalayak.

Khusus pengumuman tadi, simpatik memang imbauannya, mengajak bersama-sama menjaga kebersihan. Memang, soal yang satu ini sangat diperhatikan oleh pemerintahan setempat. Terutama sekali di Masjidil Haram (Makkah) dan Masjidil Nabawi (Madinah).

Di Masjidil Haram, misalnya, setiap selesai pelaksanaan salat berjamaah, ribuan tim kebersihan dengan seragam khusus dengan logo dan tulisan nama perusahaannya: Bin Ladin Group, turun dengan peralatan kebersihan lengkap.

Mereka menyebar di segenap penjuru Masjidil Haram, mulai dari lantai paling atas, lantai dua, lantai dasar, pelataran sekitar Kakbah, bahkan di plaza jalan sekeliling Masjidil Haram, sigap dan cepat mereka bersihkan. Dalam hitungan menit, lantai sudah kembali kinclong dan harum.

Kerjanya memang diatur rapi dan cepat karena setiap saat jamaah datang dan pergi ke Masjidil Haram. Tak akan ada sepinya. Mereka akan sigap membentang garis pembatas semacam police line, lalu berurutan upaya pembersihan dilakukan, mulai dari penyiraman dengan cairan khusus, lalu pasukan dengan kain pel beraksi, diakhiri dengan pengeringan dan finishing oleh tim dengan kendaraan khusus Raptor menyapu seluruh areal. Maka tak sampai seperempat jam, pekerjaan mereka rampung, areal sudah lebih bersih lagi. Mereka pindah lokasi, dan areal yang dibersihkan tadi, kembali penuh diisi jamaah. Begitu terus sepanjang waktu, setiap selesai pelaksanaan salat berjamaah.

Pasukan Bin Ladin Group ini, yang berasal dari berbilang bangsa, termasuk pekerja dari Indonesia, juga sigap membersihkan toilet dan tempat bersuci yang menyebar luas di sekitar
Masjidil Haram, juga di Masjid Nabawi. Kalau tidak begitu, bayangkan betapa aroma tak sedap akan tercium karena jutaan jamaah dari berbilang bangsa menggunakannya setiap saat.

Pokoknya, tanpa kompromi, mereka akan melokalisir areal yang akan dibersihkan, lantas pasukan diterjunkan dengan masing-masing kelompok punya tugas sendiri, menyiram, mengelap, merapikan dan sebagainya. Tak heran, di kedua masjid ini, area toilet dan tempat berwuduk yang emmang dibangun agak berjauhan dari masjid, selalu dalam keadaan bersih dan nyaman.

Begitu juga di Masjidil Nabawi. Hanya pekerjanya memang tidak seramai di Masjidil Haram, karena di Masjid Rasulullah ini, beda dengan lantai Masjidil Haram yang tidak dilapisi karpet, lantai dalamnya dialasi karpet, sehingga yang banyak terlihat kesigapannya adalah pekerja yang menggulung dan membersihkan karpet, memasang tirai khusus menjelang atau sesudah salat berjamaah, untuk memberi laluan jamaah wanita berziarah ke Raudah. Tirai juga kerap dipasang untuk membatasi area dekat Raudah dengan saf-saf di belakangnya, agar jamaah lebih mudah diatur untuk ziarah dan bermunajat di sekitar Raudah.

Untuk pelataran luar Masjid Nabawi, memang sudah ada tim kebersihan khusus, seperti di Masjidil Haram. Untuk membersihkan bagian-bagian sulit dari masjid ini, pekerjanya juga
dilengkapi peralatan canggih yang memungkinkan mereka menjangkau ceruk-ceruk yang sulit di ketinggian bangunan masjid yang luas ini.

Kesigapan dan kecekatan tim kebersihan ini bekerja, memungkinkan dua masjid paling agung ini selalu dalam kondisi bersih dan indah, kendati ratusan ribu bahkan jutaan umat
setiap saat meramaikannya, silih berganti, tanpa henti.(amzar)

Selengkapnya..

Selasa, 03 Juni 2008

Diary Haji 1427 H

Amzar
Diary Musim Haji 1427 H


1. Ahad, 10 Desember 2006

   Sejak dinihari sudah bersiap meninggalkan rumah. Segala persiapan sudah dimatangkan sampai malam sebelumnya. Selesai salat subuh, naik ke mobil yang baru diambil pada hari Sabru kemarin, Daihatsu Taruna. Bang Yan yang kemudikan. Suasana haru saat pamitan dengan Ibu, istri dan anak-anakku. Juga dengan keluarga lainnya di rumah Kak Ana. Di jalan jumpa dengan Pak Haji Abdullah Dun dan istrinya, yang malam tadi lama di rumah memberi masukan dan pengalaman2nya.
   
   Tiba di Purna MTQ, jamaah sudah berkumpul di tribun untuk menerima panggilan penerimaan paspor . Aku bergegas karena memang sudah agak terlambat.
Tak lama, paspor diberikan, langsung masuk ke bus. Sempat melihat beberapa rekan dan kerabat melambai di antara kerumunan pengantar. Anak dan istri juga begitu, sampai bus mulai meninggalkan arena Purna-MTQ, diiringi vorijders menuju bandara Sultan Syarif Kasim II.

Di bandara langsung naik ke pesawat Merpati. Semuanya lancar. Sempat telepon Pak Rida untuk pamitan dan pukul 06.45 WIB pesawat take-off meninggalkan Pekanbaru menuju Batam.

   Penerbangan ke Batam lancar, sampai proses di asrama haji Batam Center juga lancar. Setelah cek kesehatan, mendapat buku kesehatan haji, living cost dan sebagainya, segera masuk ke kamar untuk berkumpul dengan rekan satu regu antaranya Karom Drs Yusriyun, Karu Jaslan Al-Khair, Pak Hamdan, Piras Juli, Risman, Pak Yamsu, Pak Daulay dan saya sendiri. Waktu banyak dihabiskan dengan istirahat, baca-baca dan silaturahmi dengan sesama jamaah.

2. Senin, 11 Desember 2006

   Pagi hingga petang lebih banyak diisi dengan silaturahmi dan ibadah berjamaah di masjid asrama. Dapat kabar jadwal keberangkatan molor, mengikut jadwal kloter lain yang juga sama. Rencananya Senin sore ini berangkat, ternyata ditunda menjadi Selasa dinihari.
Senin malam, melalui prosesi yang cukup panjang karena ini adalah kloter awal untuk keberangkatan gelombang kedua. Secara resmi dilepas oleh H Azwar Aziz yang mewakili Kakanwil Depag. Dengan mengantongi paspor dan tiket, sekitar pukul 22.30 konvoi bus mulai meninggalkan asrama haji menuju bandara Hang Nadim.
  
   Pengurusan segala sesuatunya berlangsung lama karena memang harus njelimet. Apalagi untuk hampir 500 orang. Belum lagi keruwetan di dalam pesawat, kendati masing-masing sudah memegang nomor tempat duduk, namun masih saja kacau karena tukar-tukar tempat, mana yang suami-istri atau teman dekat. Bagasi juga kesulitan tempat di dalam pesawat. Dengan segala tetek bengek itu, hari pun bertukar dengan cepat.

3. Selasa, 12 Desember 2006

   Sekitar pukul 01.45 WIB pesawat Saudi Arabian Airlines akhirnya bertolak meninggalkan bandara Hang Nadim. Perasaan haru bercampur senang mengusir segala ketegangan sejak jadwal tertunda-tunda terus dari tadi.

   Posisi duduk saya berdekatan dengan Ketua Kloter Pak Drs H Muchtaruddin SH, Karom dan dokter kloter. Penerbangan berlangsung lancar, namun mata sulit terpejam karena banyak yang terkenang saat itu. Satu hal yang paling terasa, Ya Allah, sesuatu yang tak kusangka, saat ini hambaMu sedang dalam perjalanan menuju Tanah SuciMu, memenuhi panggilanmu menunaikan Ibadah Haji. Perkenankanlah ya Allah,selamatkanlah perjalanan ini, sempurnakanlah seluruh rangkaian ibadah hambaMu nanti…

   Mata tetap belum mau terpejam kendati malam sudah menjelang dinihari. Dokter kloter dan paramedis sibuk melayani keluhan jamaah yang berdatangan dengan beragam permasalahan kesehatan yang mereka hadapi.

   Menjelang subuh, tayamum sambil kemudian salat subuh berjamaah dengan imam ketua kloter, sambil tetap duduk di kursi pesawat. Tak lama setelahnya, tersajilah pemandangan yang menakjubkan di luar sana. Ya, posisi tempat duduk saya yang dekat dengan kaca jendela, melihat dengan jelas apa yang dinamakan Fajar Sidik yang merona merah di kaki langit tepi Laut Merah.

   Saat pesawat mulai merendah dan cuaca mulai terang, terlihatlah hamparan gurun tandus, setelah tadi hanya hitam kelam dan birunya samudera yang terlihat. Sekitar pukul 10.35WIB atau pukul 06.35 WAS, pesawat landing dengan mulus di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Alhamdulillah, Ya Allah, engkau berkati perjalanan kami hingga kami dapat dengan sempurna mendarat di jaziran Arab ini.

  Masya Allah, tiada terasa kelelahan kendati nyaris tidak tidur sejak kemarin sampai pagi ini. Malah, ketibaan di King Abdul Aziz International Airport ini menimbulkan kesibukan lain, di tengah suasana asing. Kami semua harus patuh dan sabar dengan pengaturan oleh pihak bandara, sampai proses cap paspor berakhir, alhamdulillah sejauh ini masih lancar-lancar saja.

   Namun ujian pertama datang ketika saya kelabakan mencari di mana koper saya, diantara ribuan bagasi yang bertumpuk dan berserakan. Cari sana-sini, ke utara-selatan, barat dan timur, tak ketemu. Sementara rekan-rekan lain sibuk dengan urusan yang sama dan rata-rata sudah menemukan kopernya.

   Coba bolak balik ke tempat yang sama, koper tak juga ketemu. Ada juga rasa cemas, jangan-jangan koper tak terangkut. Sampai suasana agak lengang, koper belum juga ketemu. Dalam hati terus berdoa kiranya dimudahkan segalanya, dan ingat pesan-pesan sedari tanah air untuk hal-hal aneh yang bakal ditemui di tanah suci. Saya segera ‘’mengadu’’ kepada Allah, sekiranya ada hal-hal yang salah dan janggal yang sudah dilakukan mohon diampuni dan dimaafkan.

   Alhamdulillah, setelah itu, dalam kepasrahan, mata tersirobok dengan koper yang sudah saya beri tanda pita merah dan tilisan nama sendiri. Masya Allah, rasanya tempat koper itu berdiri, sudah berkali-kali tadi diucek-ucek dan disigi, tapi tak ada hasil. Kini, koper itu seakan muncul tiba-tiba, dalam posisi berdiri pula. Allahu Akbar, ini fenomena pertama yang saya alami.

   Selesai urusan permit, langsung berbaur bersama rekan-rekan satu kloter di tengah hiruk-pikuk bandara yang sangat luas ini. Kami dikumpulkan di satu areal luas, untuk mandi dan mengenakan kain ihram. Ya, di sinilah sebagian besar kami mengambil niat ihram untuk Sunat Umrah, di Bandara King Abdul Aziz. Cukup lama karena memang ruwet mengatur ratusan ribu jamaah sekaligus, sampai kami mendapatkan bus masing-masing, untuk selanjutnya bertolak menuju kota suci Makkah Almukarammah. Di sinilah gema talbiyah terus berkumandang. Labbaik Allahuma Labbaik

   Di kiri-kanan terhampar suasana kering dan tandus. Namun jalan-jalan yang ada terbentang mulus. Penjagaan oleh askar bersenjata terlihat pada beberapa titik yang dilintasi. Semuanya aman sampai sekitar satu jam kemudian kami sudah melintasi satu simbol yang cukup dikenal yakni gapura khas berbentuk bentangan dua bilah pedang di atas ruas jalan tol. Dengan menyangga kitab suci di atasnya. Ya, kota Makkah sudah di depan mata.

   Bus langsung menuju pemondokan di Maktab No 4 rumah nomor 106. Belakangan diketahui namanya Al-Jenadria Towers Hotel di kawasan Syaib Amir di distrik As-Sulaymaniah. Alhamdulillah, jaraknya cuma sekitar 900 meter ari Masjidil Haram. Rehat sebentar setelah dapat kamar. Karena ini pertama kali ke Makkah, kami memilih untuk berombongan saja nanti ke Masjidil Haram, atau oleh penduduk tempatan lazim di sebut Haram saja.

   Baru menjelang petang, kami berjalan kaki menuju Masjidil Haram, dipandu oleh H Mosleh dan istrinya. Jalannya sedikit menurun, melewati pasar dan akhirnya sampai di Masjidil Haram, persis dari arah Bab As-salam. Bergetar hati kala pertama menyaksikan masjid paling agung ini, dengan tiang-tiang menara yang menjulang. Apa yang selama ini hanya ada di gambar, kini nyata di depan mata. Banyak yang sujud syukur. Kami kumpul di pelataran luar, menunggu Magrib dan Isya.. Setelah itu baru sama-sama masuk ke dalam untuk memulai rangkaian sunat umrah, melaksanakan tawaf dan sai. Alhamdulillah, semuanya berlangsung lancar di tengah kecamuk perasaan karena kini benar-benar berdepan-depan dengan Ka’batullah!. Kami pulang ke hotel sekitar pukul 22.00 WAS atau sudah pukul 02.00 WIB. Ambil bagasi dulu sebelum istirahat di kamar.



4. Rabu, 13 Desember 2006

   Hari kedua di Makkah. Masih dinihari. Jam menunjukkan pukul 03.00 WAS, sudah berangkat ke Masjidil Haram. Sebab kata jamaah terdahulu, kalau mau dapat tempat yang lebih bagus, duluan datangnya. Waktu subuh sendiri sekitar pukul 05.25. Lumayan dapat tempat di dalam. Jarak terasa semakin dekat, sehingga untuk ke Haram, tak sampai seperempat jam waktu tempuhnya dengan berjalan kaki. Usai subuh, melaksanakan tawaf lalu pulang bersama Piras Juli. Sesudah sarapan di cafĂ© hotel, balik ke kamar, istirahat sejenak.

   Tak mau tidur. Terbayang suasana pertama di Haram, di mana tidak ada penempatan khusus saf jamaah pria dan wanita. Umumnya itu diatur setelah waktu salat masuk. Siang, waktu zuhur masih lama, sudah berangkat ke Haram. Wow, jamaah sudah sangat padat. Maklum, dari seantero dunia. Namun masih dapat tempat di pelataran Kakbah. Matahari menyengat, panas. Tapi lantai dingin, malah sejuk.

   Usai salat, jalan-jalan ke lantai atas Masjidil Haram, ke luar terus ke pasar, menyusuri toko-toko dan sebagainya, sekaligus melihat situasi. Jumpa kantin Indonesia, dikelola orang Madura. Makan siang di sana.

   Mau pulang tanggung, balik lagi ke Masjidil Haram. Sudah semakin sulit mendapat tempat di dekat Kakbah, bahkan juga di dalam lingkup masjid, sudah sangat ramai. Harus melintasi bahu jamaah lain untuk dapatkan tempat. Bakda asar, balik ke hotel dulu, rehat sejenak.

   Jelang pukul 17.00 berangkat lagi ke Haram untuk siap-siap salat magrib. Kali ini tak dpat tempat leluasa, bahkan di pelataran luar masjid pun nyaris penuh. Dapat tempat di ruas jalan.
Usai magrib, baru mencari tempat ke dalam masjid, berbarengan dengan jamaah yang keluar. Itu pun masih sulit. Akhirnya dapat secuil tempat di belakang deretan kran air zam-zam, sejajar dengs sudut Aswadi, tempat Hajar Aswad. Padahal, masih satu jam lagi waktu untuk salat Isya.
Bakda Isya, sambil pulang, singgah di kedai-kedai yang bertebaran di sepanjang jalan ke hotel. Beli lip glos, untuk mencegah bibir pecah-pecah. Rata-rata yang jualan pandai berbahasa Indonesia. Temui Pak Piras dan rekan-rekan yang lagi ngopi di kaki-5 samping hotel, lalu balik dan rehat di kamar.

5. Kamis, 14 Desember 2006

   Pukul 03.00 dinihari sudah berangkat ke Haram.. Sudah penuh, tapi dapat juga tempat di pelataran Kakbah. Memang perlu kesabaran dan keinginan kuat mencari tempat-tempat yang lebih baik. Dalam pandangan saya, sudah luar biasa padatnya, namun menjadi longgar ketika salat berjamaah dimulai!

   Usai subuh, lihat angka digital di Babussalam, tercatat subuh ini suhu 21 derajat Calsius, angin bertiup , dinginnya menyusup ke tulang. Langsung aja pulang ke hotel jalan kaki, lalu di lobi hotel cerita-cerita dengan Piras Juli sampai pkl 07.30 WAS. Sudah itu ke kamar, rehat, lalu nyuci dan mandi.

   Pukul 10.00 berangkat lagi ke Haram. Masya Allah, sudah penuh sesak oleh jamaah. Dapat secuil tempat di bawah tangga. Padahal waktu untuk salat zuhur masih lama.

   Usai zuhur, pulang sambil lihat-lihat. Beli san-disk 356 KB seharga 65 Riyal. Lalu pulang dan makan siang bersama di ruangan kelompok ibu Yusriyun. Rehat sejenak, lalu berangkat lagi ke Masjidil Haram. Kali ini tak pulang, sampai magrib dan Isya.

6. Jumat, 15 Desember 2006

Makkah sudah makin padat. Harus datang paling cepat dua jam sebelum masuk waktu subuh jika ingin mendapatkan tempat di dalam lingkup Masjidil Haram. Pulang usai subuh, sarapan di warteg Al Barokah, jumpa Pak Muchtaruddin. Pulang, rehat. Lalu sekitar pkl 09.30 siap-siap untuk Jumatan.

   Wow, Masjidil Haram amat padat. Karena sendirian, saya dapat menyelinap dengan sudah payah sampai akhirnya dapat tempat salat di dalam. Sama dengan subuh tadi, Jumatan ini pun pisah lagi dengan Piras karena batal wuduknya. Inilah pengalaman pertama salat Jumat di Masjidil Haram. Betul-betul berkesan, kendati tidak paham dengan apa yang disampaikan khatib secara keseluruhan karena semuanya disampaikan dalam bahasa Arab, namun tetap saja hati terpaut dengan rangkaian ibadah Jumat.

   Usai jumatan, ke hotel istirahat. Sore ini tidak Asar di Haram karena perlu istirahat. Minta air panas untuk bikin indomie plus kopi ginseng. Pkl 17.00 berangkat ke Haram untuk Magrib. Jam segitu, tak terkejar lagi untuk ke dalam, hanya dapat tempat di pekarangan Masjidil Haram.

   Begitulah sampai usai salat Isya. Bakda Isya, seolah-olah ada bisikan untuk melaksanakan tawaf. Sendiri aja karena Piras tak mau diajak. Kepadatan makin menjadi-jadi, namun alhamdulillah, tawaf dapat diikuti dengan lancar. Memang nikmat melaksanakan secara mandiri, dengan bacaan-bacaan yang diajarkan.

   Seolah ada kemudahan, dapat pula menjenguk ke dalam Maqam Ibrahim, melihat jejak kaki nabi Ibrahim di dalam sungkup emas itu. Syukurnya lagi, dapat kemudahan memasuki areal Hijir Ismail dan ada yang memberi tempat untuk salat sunat di sana, persis di bawah Pincuran Emas. Berarti saya dapat salat di dalam Kakbah! Ini betul-betul anugerah yang tak terhingga, tak terkatakan nikmatnya. Airmata bercucuran saat berdoa di sana. Mudah saja masuk setelah menyelesaikan tujuh putaran tawaf.

   Seperti masuk, untuk keluar pun bukan main sulitnya. Ambil jalan menyisir sisi dinding Kakbah, sampai berdekatan dengan Hajar Aswad. Tapi, sepertinya teramat sulit untuk mendekat, dan karenanya putuskan tak perlu paksakan diri mencium Hajar Aswad. Alhamdulillah, gagal ke Aswad, saya mendapat keleluasaan berdiri di depan Multazam, antara Hajar Aswad dengan Pintu Kakbah. Di sini, air mata tak terbendung lagi saat berdoa di sana. Juga dapat salat sunat di sana, karena ada saja yang meluangkan tempat di antara desakan ratusan ribu jamaah. Usai itu, barulah berangsur keluar dengan cara beringsut setengah putaran. Lega!

   Jalan ke arah sumur zam-zam, lalu salat sunat setentang arah Multazam, tak jauh dari Maqam Ibrahim. Setelah itu baru mengambil air zam-zam dan minum sepuasnya! Pulang sendiri ke hotel, hati benar-benar plong. Sekitar pkl 21.15 sampai di hotel. Diajak makan di kamar 401, ibu2 yang masak. Kami bincang-bincang tentang kehilangan tas Ny Daulay. Lalu kembali ke kamar, rehat dan tidur.

7. Sabtu, 16 Desember 2006

  Pukul 02.30 mandi, kemudian ke Haram untuk salat subuh. Wah, udah rane. Dapat tempat di lingkup dalam, sejajar dengan sudut Aswad, di teras bawah jenjang. Pulang subuh, beli kaset ngaji dan buku sejarah Makkah. Saat rehat di kamar, datang Pak Muchtaruddin menanyakan tentang kehilangan tas Ny Daulay tadi malam. Juga tentang dua jamaah yang sakit. Lalu rehat sejenak, pukul 08.15.

   Pukul 10.00 ke Haram. Dapat tempat di pelataran Kakbah, disamping orang Iran. Cuaca sangat panas, namun lantai marmer sedikitpun tak panas, malah dingin. Usai Zuhur, pulang sendiri, jalan kaki melalui depan Hotel Sheraton. Beli kaset dan buku. Di lobi hotel, bincang-bincang dengan H Hamdan sampai siang, lalu rehat sejenak. Pukul 15 kurang, ke Haram untuk Asar. Sudah sangat padat. Dapat tempat di luar karena sudah azan.
   
   Pulang, singah di warteg Barokah. Usai makan, tak jadi ke hotel karena sudah lewat pukul 16.00, balik ke Haram. Di jalan ketemu Piras, sama-sama ke Haram, sambil lihat-lihat keramaian jual beli di sekitar Masjidil Haram.

   Jelang magrib, ambil tempat di pekarangan Haram, Jamaah mancanegara sudah sangat padat. Selesai Isya baru pulang ke hotel, silaturahmi dengan jamaah lain, makan dan tidur.

8. Ahad, 17 Desember 2006

   Pukul 03.15 ke Haram sendirian. Sengaja cari gerbang utama Haram yang bernama King Abdul Aziz Gate. Besar dan luas. Baru beberapa langkah masuk, sudah terlihat Kakbah. Perlu satu jam lebih untuk menunggu masuknya waktu subuh. Saya duduk dekat orang Afrika. Di sini tempat biasanya Imam Besar Masjidil Haram lewat, yang diberi garis/pita merah antar-pilar utama.

   Usai subuh, ambil foto gerbang utama. Saya selalu bawa kamera poket digital, sehingga dapat dibawa kemana saja. Subuh ini, suhu turun drastis, sampai 19 derajat Celsius, biasanya minimal 21-23 derajat Celsius. Bertambah dingin dengan angin yang bertiup kencang. Pulang dengan badan menggigil dibalut baju hangat dan syal. Sarapan di Barokah, dan beli sajadah seharga 15 SR.

   Siang, bersama Pak Yusriyun dan beberapa rekan lain, kami ziarah ke pemakaman Ma’ala, yang ternyata tak jauh dari Masjidil Haram, walau semula kami salah jalan. Kami melihat Makam Siti Khadijah yang dipagar kerangkeng berwarna hijau, di antara makam ribuan jamaah haji yang wafat di Makkah. Tak ada gundukan tanah pusara dan batu nisan, Hanya ditandai dengan tiga keping batu sekepalan.
   
   Usai ziarah, ke Haram untuk zuhur. Panas sangat terik. Dapat tempat di pelataran Kakbah. Lantai tetap sejuk, padahal jaket dan scarf sudah panas sekali, karena dipakai untuk berselindung. Usai zuhur, zikir di haram sampai waktu asar. Juga ketik berita via ponsel, di-SMS ke Askl. Selesai Asar kembali ke hotel dan rehat.

   Jelang magrib, listrik di hotel padam. Sibuk dan heboh, karena muncul isu ada jamaah yang terkurung di lift.

   Agak telat ke Haram, jadinya salat magrib dapat tempat di kaki lima toko di luar pekarangan Masjidil Haram. Usai magrib, pergi cari makan, lalu kembali ke Haram. Kali ini dapat tempat di dekat Kakbah. Usai isya lanjut dengan tawaf. Alhamdulillah, kali ini juga dapat kesempatan salat sunat di Hijir Ismail dan berdoa di Multazam. Lagi-lagi gagal menerobos ke Hajar Aswad karena jamaah luar biasa padat dan berdesak-desakan. Pukul 21.15 pulang ke maktab.

9. Senin, 18 Desember 2006

   Usai salat subuh, sarapan dan siap-siap untuk melaksanakan ziarah ke sejumlah tempat bersejarah di sekitar Makkah. Kami mengunakan bus yang disediakan oleh Pak Haji Mosleh, lelaki peranakan Madura yang lama menetap di Makkah dan kerap menjadi pemandu bagi jamaah haji dari Riau. Di antara tempat yang dikunjungi adalah.

   1. Tempat penyembelihan hewan kurban dan dam di Al Awali, Mina. Banyak jamaah yang berkunjung ke sana, baik perseorangan maupun kelompok. Melihat bagaimana di tempat ini secara khusus dikumpulkan hewan-hewan untuk kurban dan dam mulai dari kambing sampai unta.

   2. Jabal Tsur, tempat Rasulullah ‘’raib’’ saat dikejar kaum Quraisy. Menurut ak Muchtaruddin, di sana lah Rasulullah ditemani Abubakar Siddiq bersembunyi selama 3 hari tiga malam.

   3. Jabal Rahmah,di Padang Arafah, tempat pertemuan Adam dan hawa setelah sekitar 400 tahun terpisah sejak dikeluarkan dari surga. Saya tak naik sampai ke tugu di puncak. Hanya foto-foto di kaki bukit saja.

   Rencananya kami juga akan menuju Jabal Nur juga, melihat keberadaan gua Hira yang bersejarah itu. Namun waktu tak terburu lagi, kami hanya memandang dari kejauhan, dari dalam bus, melihat ribuan manusia berpakaian putih merayapi bukit itu, menuju Gua Hira.

  Siang sampai petang, manfaatkan waktu untuk rehat. Jelang magrib, berangkat ke Haram. Kali ini hanya dapat tempat di luar pagar. Usai magrib, cari tempat untuk makan malam, lalu balik ke Haram untuk Isya, dilanjutkan dengan melaksanakan tawaf, berdoa di Multazam, dan sekali lagi mendapat kesempatan salat sunat di Hijir Ismail. Pukul 21.30 kembali ke hotel, rehat. Tidur sekitar pukul 00.00 WAS.

10. Selasa, 19 Desember 2006

  Subuh ke Haram. Tadi dikontak Nazir yang mengajak sarapan di Soffitel, tempat dia menginap. M Nazir Fahmi sama-sama berangkat haji tahun ini, dan dia beruntung dapat menunaikan haji dengan ONH Plus. Hotel tempatnya menginap berada persis di sisi Masjidil Haram, dekat pintu nomor 45. Kami sarapan di lantai 10 dan dari sana dapat melihat suasana di Masjidil Haram dengan leluasa.

   Pulang ke hotel sekitar pkl 07.30, lalu nyuci. Selesai nyuci, ikut rapat evaluasi dengan Ketua Kloter dan Karom. Saya diikutkan karena terdaftar sebagai TPHD (Tim Pendamping Haji Daerah). Pukul 10.00 rehat.

   Zuhur di Haram, sulit mencari tempat. Akhirnya dapat lokasi di atas tangga Gate 45. Atas dan bawah sangat penuh. Usai salat bergerak ke lantai atas, menuju lintasan tawaf di lantai dua. Rehat sambil ketik berita via sms. Lalu pindah ke sisi lintasan Sai dan di sini berita dikirim.
Karena harus ke wc, terpaksa keluar Masjidil Haram, lalu makan soto di pasar Seng, balik lagi ke masjid. Padat luar biasa, dan hanya dapat tempat di luar. Cuaca sangat panas. Usai asar, pulang dan rehat. Kali ini salat magrib di hotel saja, baru keluar, makan soto ayam lantas pergi ke Haram. Kali ini dapat tempat di basement. Usai isya, pergi ke Kakbah, lalu pulang.
Pukul 21.00 keluar dengan Piras, ambil air zam-zam, lalu jalan-jalan, ngeteh, lalu pulang dan tidur.

11. Rabu, 20 Desember 2006

  Subuh ke Haram.Kali ini dapat tempat di depan pintu masuk Bab Ismail. Tanda di atasnya mengisyaratkan tak ada lagi tempat lowong di dalam. Usai subuh, pulang, sarapan di kafe hotel, lalu ambil jemuran, bikin catatan dan berbaring rehat.
Siang, zuhur dan asar di Haram, disela makan siang di Pasar Seng. Sorenya pulang ke Maktab dan rehat. Magribnya salat di kamar, lalu bikin mie. Usai magrib, berangkat ke Haram untuk salat Isya, tawaf dan salat sunat di belakang Maqam Ibrahim, lalu pulang. Rehat sambil baca-baca tafsir sebelum tidur.

12. Kamis, 21 Desember 2006

   Subuh ke Haram. Dapat tempat di luar. Saat akan pulang, singgah beli kopiah haji dua kotak 55 Riyal. Tukar baju dan sarapan di kafe, dilanjutkan bual-bual dengan Haji Hamdan, lalu ke kamar, tidur.

   Pukul 11 ke Haram. Dapat tempat di dalam. Rehat makan setelah zuhur, ambil wuduk dan ke Haram lagi untuk salat Asar. Lalu cari posisi untuk ketik dan kirim berita via sms. Bakda Asar, pulang, beli koran The Saudi Gazette 2 Riyal. Ada berita kepastian wukuf hari Jumat 28 Desember waktu Saudi. Ini adalah keputusan Supreme Yudicial Council. Allahu Akbar, berarti kami akan bertemu dengan Haji Akbar!

   Di kamar, bikin berita susulan tentang Haji Akbar, kirim ke Akmal dan Menrizal. Magrib di hotel, Isya baru ke Haram lagi. Sudah luar biasa membludaknya! Jamaah di kloter kami yang sakit juga bertambah.

13. Jumat, 22 Desember 2006

   Usai subuh di Haram, beli dua lusin kopiah untuk souvenir 55 Riyal. Pulang, sarapan di kafe, rehat. Mandi sekitar pukul 09.00 dan pukul 10 sudah berangkat ke Haram untuk jumatan.
Wow, masjid sudah penuh sesak. Syukur, kegigihan mengantar untuk mendapat secuil tempat di tangga depan pelataran Kakbah, satu garisan dari Maqam Ibrahim. Panas menyengat sudah tak dipedulikan. Jaket dan syal dipakai untuk menutupi muka dari sengatan langsung sinar matahari. Posisi saya diapit orang Afrika dan Turki yang besar-besar, sehingga terjaga dari efek desak-desakan jamaah.

   Petuah khatib sedikit-sedikit bisa dimengerti kendati dalam bahasa Arab. Intinya, berisi petuah tentang haji, tentang keutamaan qurban di Tanah Haram sebagai salah satu amalan yang terpuji.

   Asar kali ini dilaksanakan di hotel saja, karena ingin rehat dan cuci sedikit pakaian kotor. Mejelang Magrib kembali ke Haram, dapat tempat di dalam, lantai dua. Di sini jumpa dengan Norham Wahab. Setelah Isya, pulang ke hotel, dengan singgah sejenak untuk membeli cenderamata kaligrafi-plakat dan kalung. Di hotel, ikut rapat pematangan menjelang wukuf. Tidur sekitar pukul 23.00 WAS.

14. Sabtu, 23 Desember 2007

   Subuh di maktab aja, lalu sarapan bersama diajak Ibu Yusriyun bersama piras dan Risman. Lalu diskusi-diskusi dan rehat.

   Pukul 09.00 nyuci seragam, mandi dan siap-siap ke Masjidil Haram sekitar pukul 10.30. Dapat tempat di luar, cari yang agak berteduh. Ada janji SMS dari Nazir Fahmi untuk makan siang. Usai Zuhur, ke Soffitel via Marwa Gate. Tak ketemu Nazir tapi jumpa Syafriadi, anggota DPRD Kampar dan pengurus PWI Riau. Cari ke lobi juga tak jumpa Nazir, lantas keluar, ketemu warung bakso Mang Udin di pintu 6. Di sini makan nasi plus daging ayam dan bakwan, kena 6 Riyal. Udah tu cari oleh-oleh dan jalan-jalan sebentar, kemudian ambil wuduk dan cari tempat di lantai 2 untuk salat Asar dan Magrib serta Isya.

   Selama menunggu sempat bincang-bincang dengan rekan sebelah yang ternyata dari Kashmir dan Yaman serta seorang dari Bogor. Setelah Isya, lihat-lihat suasana Tawaf dari atas, lalu bergerak keluar masjid, ambil ke arah Pasar Seng, lihat-lihat suasana sebentar, lalu pulang. Singgah di warteg makan soto ayam plus teh manis dan pulang ke kamar sekitar pkl 21.00. Kata Pak Karom Yusriyun, sudah banyak yang ‘’tumbang’’ termasuk ibu-ibu dari rombongan I. Terpaksa rapat pra-wukuf ditunda. Bikin catatan lalu rehat-tidur.

15. Ahad, 24 Desember 2006

Entah kenapa, tak sempat bikin catatan. Lagi bete kali…

16. Senin, 25 Desember 2006

   Subuh di hotel, lalu rehat sejenak. Pagi ini sengaja ke kamar Ketua Kloter, sekaligus posko kesehatan karena dokter kloter juga di sini. Cukup banyak yang berobat ke dokter dan membayar uang Qurban ke ketua kloter pak Muchtaruddin. Saya minta info ke ketua kloter tentang hasil konferensi Haji Akbar yang diikuti 360 peserta sedunia, tentang kesiapan-kesiapan untuk Haji Akbar serta keutamaan2nya.

   Aku juga ikut qurban, bayar 350 riyal. Patungan tujuh orang untuk satu ekor unta.
Pukul 09 sarapan di café, minum kopi ginseng dan obat, balik ke kamar untuk bikin berita dan tidur sebentar. Tadi janji dengan ketua kloter untuk ke Aziziyah bersama H Mosleh. Siap zuhur, bikin dan kirim berita tentang jutaan jamaah yang akan mengikuti haji akbar. Rehat sebentar, mandi dan salat Asar, lalu sama-sama Pak Muchtar ke lobi ketemu Pak Mosleh.

   Di luar, suasana gaduh, bunyi sirine meraung-raung, juga deru pesawat helikopter. Ternyata ada kebakaran yang melanda penginapan jamaah haji Yaman, yang letaknya tak jauh dari maktab kami, tempat saya biasa lewat pulang dari masjid. Letaknya tak jauh dari masjidil Haram.

   Kami berangkat ke Aziziyah naik mobil sedan H Mosleh. Anaknya Eddy yang mengemudikan. Beruntung saya dapat melihat kemegahan sepanjang perjalanan dari Makkah ke Aziziyah. Kami singgah di Balai Pengobatan Haji Indonesia, ada media centernya, mencatat info jamaah Indonesia yang sakit dan wafat dll.

   Pulang menjelang magrib, kami salat di Ja’fariyah, lalu diajak H Mosleh makan sate madura, selanjutnya pulang ke Maktab. Setelah Isya, rapat tentang Armina, Arafah dan Mina serta Jamarat. Lalu rehat dan cerita-cerita. Tengah malam, sesuai dengan janji dengan H Mosleh tadi, kami berangkat untuk pangkas rambut. Naik mobilnya yang disupiri Eddy, kami keliling Makkah, sampai ke barber shop langganannnya di Jalan Al Mansyur. Pulang ke hotel sekitar pukul 23.30.

17. Selasa, 26 Desember 2006

   Ikut Survey ke Arafah dan Mina, bersama ketua kloter, para karom dan karu. Berangkat pukul 08.15 lihat tenda-tenda di Arafah, penentuan lokasi wukuf untuk rombongan I. terus ke Muzdalifah dan Mina. Fakta yang terlihat, tenda-tenda di Mina lebih rapi dan permanen dibanding di Arafah, juga merupakan tenda anti-api dan beralaskan karpet. Pulang ke hotel jelang Zuhur. Rehat sejenak usai salat.

   Jelang Asar, mandi dan dari makan ke luar. Magrib di hotel dan Isya di Masjidil Haram. Usai Isya, beli Quran dan antar ke Masjidil Haram untuk infak. Ini memang cara alternatif untuk berinfak di Masjidil Haram, karena memang tidak seperti di tanah air, di sana sama sekali tidak ada kotak infak. Kalau Quran, bermanfaat untuk dibaca jutaan jamaah sepanjang waktu!
Malam ini, tak ikut tawaf, karena badan agak kurang fit. Hanya lihat-lihat saja jamaah melaksanakan tawaf. Saat pulang, nongkrong dulu di simpang sambil minum teh susu hangat, ngobrol2 dengan Piras, lalu ke kamar dan tidur.

18. Rabu, 27 Desember 2006

   Usai subuh, rehat dan tidur-tiduran. Pukul 08.30 mengikuti pertemuan se-kloter tentang kesiapan2 menjelang wukuf bersama Ketua Kloter Drs H Muchtaruddin SH. Pertemuan berlangsung sampai pukul 11.00.

   Rehat sebentar, lalu mandi untuk salat zuhur. Bantu Pak Yusriyun dan Jaslan selesaikan soal uang titipan jamaah untuk diantar ke Maktab via Ketua Kloter. Lalu cari makan. Semua tempat penuh. Hanya makan kue bakwan plus tempe dan teh manis.

   Pulang, bikin berita, dan tidur pukul 15.00. Pukul 15.30 Asar dan tidur lagi. Pusing karena tak makan dan kurang tidur. Sorenya, keluar, makan bakso dan the. Salat magrib di musala hotel. Ke kamar, rehat dan tulis catatam, sampai menjelang Isya. Usai Isya, jalan-jalan ke luar, cari makanan. Angin kencang dan sangat dingin. Minum di bawah jalan tol, beli sate, makan di kafe, lalu balik ke kamar dan rehat. Udah ada tadi rombongan jamaah negara lain yang bertolak menuju Arafah.

19. Kamis, 28 Desember 2006

 Hari keberangkatan ke Arafah, untuk memulai rangkaian pelaksanaan wukuf. Pagi-pagi sekali, semua sudah standby. Subuh di kamar aja, lalu ke luar cari sarapan. Hampir semua tempat yang biasa untuk sarapan, penuh sesak.

   Cari ke luar hotel. Di depan ada warung, beli nasi plus telur mata sapi, makan di kafe hotel, plus kopi ginseng. Lalu telepon ke rumah di Pekanbaru. BAB dan ke kamar. Jelang pukul 10, mandi dan mulai mengenakan kain ihram. Umumnya rekan se kamar sudah mengenakan ihram dan siap-siap menjelang berangkat.

   Ternyata jadwal berangkat agak siang, padahal kami rata-rata sudah siap sejak pagi. Lobi hotel penuh sesak dengan jamaah yang menunggu giliran diberangkatkan ke Arafah dengan sistem Taradudi.

   Sekitar pukul 13, usai salat zuhur dan asar jamak-qasar taqdim, mulai naik bus ke Arafah. Perjalanan cukup lancar, hanya sekitar 50 menit. Di Arafah inilah ‘’Tragedi Nasional’’ terjadi. Sejak kedatangan sampai tengah malam, tak ada konsumsi yang tersedia. Maktab tak lagi ngurus ini karena untuk musim haji sekarang diambil-alih oleh Misi Haji Indonesia. Jamaah mulai resah. Tengah malam, pukul 0030 bangun dan salat tahajud. Dingin menggigit, karena suhu di Arafah saat itu mencapai 08 derajat Celsius, sementara perut kosong dan tubuh hanya dibalut dua potong kain ihram. (Cerita khusus tentang ini sudah dimuat di seri tulisan di Riau Pos).

20. Jumat, 29 Desember 2006.   

   Hari ini wukuf dimulai. Inilah Haji Akbar, karena puncak wukuf jatuh pada hari Jumat. Alhamdulillah, puji syukur karena Allah mempertemukan kami dengan momen istimewa ini. Ada pendapat yang mengatakan, haji Akbar setara dengan 7-10 kali, bahkan ada yang bilang 70 kali haji biasa. Wallahu'alam!

   Pagi sekali, keresahan malam tadi masih berlanjut. Konsumsi, terutama nasi, makin tak jelas juntrungannya. Keluarga jamaah di tanah air ternyata juga sudah tahu karena media televisi telah memberitakannya secara on the spot, bahwa Jamaah Indonesia Kelaparan!

   Semua sibuk mencari dengan segenap upaya untuk dapat mengganjal perut, karena hari ini adalah puncak segala ritual pelaksanaan ibadah haji. Kondisi yang sedemikian membuat sebagian jamaah bertindak di luar dugaan. Ada yang berlaku seperti pengemis yang kelaparan.
Ini terlihat di Maktab Haji Marokko, yang terletak persis di depan maktab kami. Mereka yang sudah tahu ‘’musibah’’ yang menimpa tetangganya, jamaah Indonesia, spontan membuka dapur umum, membagi-bagikan makanan, roti, buah-buahan dan sebagainya.

   Pagi itu, juga datang H Moslech, yang ternyata harus menempuh perjalanan sejauh tujuh kilometer untuk membawa bantuan makanan. Ia terpaksa menempuh cara seperti itu karena kendaraan di luar petugas haji tidak dibenarkan masuk ke kawasan Arafah. H Moslech menunjukkan alas kakinya yang tinggal satu karena pasangannya sudah rusak menempuh perjalanan tadi.

   Di sekitar tenda, ada yang menjual mie gelas, yang diseduh dengan air panas. Laris manis dengan harga 3 riyal segelas. Hanya itu. Kedai-kedai lain tidak boleh ada di sekitar tenda Arafah. Sungguh situasi saat itu, ekspresif sebagian jamaah dengan situasi tidak kondusif tersebut amat memilukan, sekaligus memalukan bagi jamaah haji Indonesia sebagai yang terbesar jumlahnya.
Namun di atas semua permasalahan tersebut, jamaah tetap tidak terpengaruh untuk tetap melaksanakan wukuf dengan khusuk. Di tenda kami, kutbah wukuf disampaikan Drs H Kawiyun Azis, sementara imam salat adalah Drs H Yusriyun. Suasana memang sangat syahdu, sehingga nyaris semua jamaah tak dapat membendung air matanya. Inilah suasana haji yang paling bikin hati menciut. Tak ada yang tak menumpahkan air mata. Apalagi di tanah air diperoleh kabar banyak terjadi musibah. Kami berdoa, juga utuk musibah yang kami terima.

   Sampai wukuf berakhir, lalu salat Magrib dan Isya jamak, perut hanya sempat terisi seadanya. Tapi, Alhamdulillah, kesegaran masih terjaga, sampai kami harus siap-siap dan berkemas untuk berangkat ke Muzdalifah.

   Antrian ke bus panjang sekali. Begitu pula suasana perjalanan, beriringan dalam konvoi yang sangat panjang. Sekitar pukul 19.50 kami sampai di lokasi mabit di Muzdalifah. Dingin udara langsung menusuk tulang, ditambah hembusan angin yang sangat kencang. Tubuh menggigil di tengah hamparan padang luas di pinggang bebukitan. Di alam terbuka dalam kondisi fisik yang kurang fit, ada yang menyebabkan jamaah yang muntah-muntah. Dinginnya, tak kalah dengan sejuknya udara Arafah. Apalagi ini tak ada tenda, beratapkan langit, dengan tubuh hanya dibalut kain ihram.

   Usai mencari sebanyak 70 butir batu untuk melontar jumrah, coba rebahan di tengah padang luas yang nyaris tidak ada yang lowong dari jamaah itu.

   Ternyata, proses pengangkutan ke Mina tidak semulus yang diharap. Kami baru dapat naik ke bus selewat pukul 00.00, padahal siap-siapnya hampir tiga jam lalu. Inilah yang kembali ‘’menyiksa.’’ Ada juga yang menghibur diri, bahwa ini mungkin imbalan betpa tidak gampangnya mendapatkan Haji Akbar. Tunggu punya tunggu, akhirnya kami berangkat meninggalkan Muzdalifah sekitar pukul 03.00. Tidak mulus juga, mutar-mutar lagi hingga baru turun dan sampai di tenda maktab sekitar pukul 05.30, saat azan subuh dan takbir Idul Adha bergema.

21. Sabtu, 30 Desember 2006

   Tiduran sejenak setelah salat subuh dan sarapan kilat, sekadar ganjal perut, dengan nasi yang didapat dari dapur umum. Banyak jamaah asal comot saja. Tak lama, dipanggil Ketua Kloter untuk rapat persiapan melontar jumrah. Diputuskan untuk melontar jumrah pada sore hari. Siangnya, selesai zuhur dan asar jamak-qashar taqdim,

   Pas menjelang berangkat, Ketua Rombongan I, Pak Yusriyun, tumbang. Fisiknya memang drop sekali, terutama saat di Muzdalifah sampai dinihari tadi, ia muntah-muntah. Fisik lemah, apalagi sebelumnay tenaga banyak terforsir, kurang rehat, tak makan dua hari. Tapi beliau berkeras untuk ikut pergi melontar jumrah, tak ingin diwakilkan.

   Setelah diurut dan diobati (ada ibu-ibu yang bantu, katanya Pak Karom keteguran, dan ia berhasil mengusir roh halus tersebut). Kami berombongan satu kloter bergerak jalan kaki menuju jamarat, yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari kemah. Jadi PP 10 kilometer. Kerap berpapasan dengan jamaah yang sudah selesai melontar jumrah. Kami tetap bersatu melintasi terowongan Al Muaissim, terowongan Mina yang terkenal itu. Kami melontar di lantai atas. Alhamdulillah, doa kami terkabul, semua lancar-lancar saja.

   Kami saling bersalaman, ada yang berpelukan sambil berurai air mata, setelah usai melontar Jumrah Aqabah dan tahalul. Karena kata Ketua Kloter Pak Muchtaruddin, kami telah resmi menjadi Haji dan Hajjah, serta berhak menanggalkan pakaian ihram, yang dikenakan sejak berangkat menuju Arafah, Kamis lalu.

   Kami pulang lewat terowongan satu lagi. Sampai di kemah, rehat sejenak, lalu mandi, mengenakan pakaian biasa dan salat magrib. Malam ini, belum juga ada jatah makan. Petang tadi, sepulang melontar, tersaji pemandangan yang memalukan dilakukan sebagian jamaah indonesia, bukan dari Riau, yang menjarah apa yang ada di dapur umum, mengambil dan memasaknya sendiri sekadarnya, daging yang ada di dapur!

   Ketua kloter bersama dokter datang menjenguk Pak Yusriyun. Beliau diinfus. Pak Muchtar sekaligus menyampaikan pengumuman tentang pengembalian uang makan dan permintaan maaf pemerintah melalui surat resmi Presiden SBY terhadap musibah yang dialami jamaah haji Indonesia.

   Saya keluar dan jalan-jalan melihat situasi di sekitaran kemah kami. Saya salat Isya di masjid sekitar maktab, yang emperannhya dipenuhi jamaah haji non-kloter. Pulangnya, ikut rapat membahas apa yang harus disepakati untuk pelaksanaan melontar besok, sekaligus mengambil jatah snak dan buah-buahan untuk rombongan. Malam ini, tidur di kemah dan pasang charger hp.

22. Ahad, 31 Desember 2006   

   Bangun sekitar pukul 04.00, siap-siap untuk subuh dan segala sesuatu untuk pelaksanaan melontar. Sarapan seadanya, plus minum kopi ginseng. Jadinya, kami berangkat sekitar pukul 07.00. Sepanjang jalan, jamaah padat sekali. Alhamdulillah, pelontaran berjalan lancar untuk ketiga jumrah, Ula, Wustha, dan Aqabah. Kami sempat foto-foto di lantai atas jamarat dan terus pulang berombongan.

   Sekitar dan sepanjang jalan, dipenuhi orang-orang berjualan aneka keperluan, baik makanan maupun beragam cendera mata. Jenis dan bentuknya nyaris sama seperti yang dijual di Makkah.

   Sepanjang hari, saya memilih rehat di tenda. Hari ini sudah ada konsumsi, nasi dan telur rebus. Makan pake kecap. Saat rehat, ada telepon dari Syafriadi via Pak Muchtar, tanya apa ada buka dompet peduli banjir di Riau Pos, karena ada jamaah kloter satu yang menyumbang secara spontan dan ingin disalurkan via dompet peduli Riau Pos. Saya coba sms ke Kazzaini apakah ada buka dompet peduli. Teruskan rehat. Tadi sudah kirim berita sekitar pukul 14.15 WAS.
Sore, sekitar pukul 16.00 mandi dan rehat, jelang nagrib dan isya. KKS sms, bahwa Riau Pos memang buka dompet peduli banjir dan nomor rekeningnya. Usai Isya, baca yasin bersama. Makan malam agak telat dan saya memang tak selera karena menunya pakai daging unta. Saya cepat rehat dan tidur.

23. Senin, 1 Januari 2007

   Tak terasa sudah tahun baru, karena memang tidak ada acara apa-apa seperti penyambutan tahun baru di tanah air. Pukul 01 sudah terbangun karena mau BAB ke wc, tidur lagi dan terbangun pukul 05.00, siap-siap subuh. Sarapan dengan roti snack dan kopi ginseng. Ada nasi paket dari ANA enterprise plus ayam, tapi tak habis disantap. Siap-siap untuk berangkat ke lokasi penyembelihan hewan kurban.

   Pukul 07.00 berangkat, dipimpin langsung Pak Muchtar, yang sudah duluan tadi dan terpaksa diikuti dengan sedikit berlari. Kami hanya berlima, berjalan sekitar 10 kilometer, yakni 5 kilo ke Jamarat dan sisanya menuju areal parkir di Aziziyah, tempat Pak Moslech menunggu. Kami melintasi kawasan jamarat yang padat oleh jamaah asing. Itu sebab, kami diatur untuk melontar di luar waktu jamaah asing ini melontar, karena memang sangat padat dan fisik mereka besar-besar.

   Di ujung Jamarat, memasuki kawasan pasar tumpah, Edy tersesat. Istri dokter gigi ini nyasar saat lepas dari rombongan. Tadi kami sudah bertemu Budy, anaknya Pak Moslech. Lama juga mencari Edy, sampai menanyakan nomor hpnye ke Maktab, sama istrinya. Setengah jam cari mencari, baru ketemu dan sama-sama kami meneruskan perjalanan. Ketemu H Moslech dan baru mencari lokasi paskir mobilnya. Pak Moslech memilih naik motor menuju Al Awali, tempat penyembelihan hewan kurban.

   Kami tiba di lokasi sekitar pukul 10.30. Cek nama di daftar peserta Qurban. Ternyata nama saya tak ada, padahal sudah membayar. Sampaikan hal ini ke Pak Muchtar dan kekeliruan diperbaiki. Tercatat ada 12 ekor unta untuk qurban jamaah haji dari kloter kami, yang diikuti 109 orang jamaah. Ambil beberapa momen foto, lalu kami pulang, sambung jalan kaki lagi dari Aziziyah, melewati Jamarat kembali. Cuaca luar biasa panas. Saya tersuguhkan pemandangan menakjubkan, di mana jamaah tetap melaksanakan salat secara berjamaah di lokasi yang luang di tengah keramaian pasar, karena waktu zuhur sudah masuk. Di beberapa tempat, ada kontainer berisi snack dan minuman yang dibagi-bagikan gratis kepada jamaah tanpa kecuali. Saya mencomot kertas karton pembungkus air mineral, untuk sekadar melindungi muka dari sengatan langsung matahari.

   Kami sampai di kemah di Mina sekitar pukul 13.30. total jalan kaki tadi sekitar 20 km. Kami jumpai, rekan-rekan jamaah sudah bersiap untuk melontar. Saya putuskan ikut melontar, sementara ada rekan yang tadi ikut ke Al Awali, tak sanggup lagi pergi melontar dan minta diwakilkan. Tadi, di jalan kami juga melihat ada sebagian jamaah yang sudah bertolak ke Makkah, yakni mereka yang mengambil Nafar Awal. Di Jamarat sendiri, sudah sangat sesak.
Di kemah, aku salat zuhur-Asar Jamak-Qashar Taqdim, lalu rehat sejenak sambil bikin berita. Alhamdulillah, aku dibuatkan Ny Piras Mie Cup. Selesai berita sekitar pkl 15.00. Siap2 berangkat lagi ke Jamarat untuk melaksanakan melontar Jumrah. Alhamdulillah, ternyata Allah masih memberiku kekuatan, dapat melontar dan kembali dengan aman. Sempat beli dua poster besar Masjidil Haram dan Nabawi 10 Riyal.

   Di tenda, rehat sebentar menjelang magrib. Kami salat magrib berjamaah di tenda bersama Pak Muchtar, yang sekaligus memberikan ceramah tentang Jamarat dan qurban. Makan malam sekitar pkl 20.30.

   Tadi (siang) Azi SMS, ia dapat rangking 9. Alhamdulillah. Ia minta oleh-oleh, juga untuk Atuknya. Riza minta doa dapat adik. Tadi malam, istriku juga SMS, sudah pulang dari Rumbai nganterin daging kurban. Katanya, Ayahanda minta oleh-oleh sajadah dan tasbih. Si Er juga minta oleh-oleh. Insya Allah lah. Pukul 21 ke atas, rehat. Tenda lain pada kosong, sehingga agak longgar.

24. Selasa, 02 Januari 2007

   Subuh, mandi, dan siap-siap untuk berangkat melontar hari terakhir. Saat berjalan menuju Jamarat, udara sangat dingin dan angin sejuk berhembus kencang. Cukup banyak jamaah yang melontar, tapi umumnya berasal dari Asia Tenggara. Askar Saudi yang berjaga-jaga tidak seramai kemarin yang sangat ketat. Kami dapat melaksanakan pelontaran Jumrah dengan sempurna.

   Pulang ke tenda, beli martabak, antrenya lama banget. Di tenda, kami semua sudah siap-siap, berkemas untuk berangkat ke Makkah. Sambil menunggu jemputan, bincang-bincang dengan ustad Kawiyun Aziz, yang ternyata adalah ayah dari Akbarul, anak grafis yang baru.
Kami baru berangkat sekitar pukul 12.30. Macet luar biasa, bahkan bus sempat salah jalan sehingga harus mutar-mutar lagi. Jadinya, perlu waktu sekitar empat jam untuk sampai ke hotel Al Jenadria di Makkah. Jumpa Norham, katanya ia tadi jalan kaki aja ke hotel, malah lebih cepat.
Selesai salat Asar dan zuhur jamak, rehat dan cari makanan. Siap magrib, ketemu Norham, ia bilang sebaiknya tawaf ifadah hari ini aja, sebelum tengah malam. Usai isya, Pak Muchtar mengumumkan tentang keputusan penggantian uang makan menjadi 300 riyal.

   Malam, usai makan, ke Masjidil Haram untuk tawaf ifadah. Sangat ramai dan sesak. Juga tempat Sai. Baru dapat tuntas sekitar pukul 00.15. Sekitar pukul 01.10 baru sampai di hotel, langsung tidur. Pulang-pergi sendirian, aman-aman saja.
O ya, tadi sore nelpon ke Pekanbaru, Istriku Ernawati minta dibelikan cerek Arab, oleh-oleh sajadah, tasbih, inai Arab, celak mata, rumput fatimah., karpet, siwak, dll..dll.

25. Rabu, 03 Januari 2007

Subuh di kamar aja. Agak kelelahan setelah tawaf ifadah tadi malam. Rekan-rekan lain, baru subuh ini tawaf dan sai. Rehat tidur sampai sekitar pkl 08.30. Pak Yusriyun pulang, kepalanya sudah plontos. Piras juga pulang.

Sesudah mandi dan nyuci, siap-siap berangkat ke Masjidil Haram. Dapat tempat di lantai 2, salat zuhur dan asar. Tadi Cuma sarapan kopi ginseng + roti.

Setelah buat berita, telepon ke Pku. Riza minta oleh-oleh jilbab. Mereka bilang terkurung di hypermart, karena hari hujan di Pekanbaru. Mobil kami dibawa Bang Yan.

Setelah Asar, ke pasar samping Sofitel. Makan nasi di warung bakso Mang Udin (7 Riyal), lalu lihat-lihat barang yang mungkin bisa dibeli. Usai itu, sekitar pkl 17.00 ambil wudhuk, cari tempat untuk salat magrib. Dapat di lantai paling atas. Sekalian salat Isya dan melihat-lihat suasana tawaf dari ketinggian.

Aku coba turun lewat pintu barat. Ada kedai martabak plus, antri dulu baru dapat. Lalu jalan-jalan ke banyak supermarket dan hotelhotel mewah di timur masjidil haram ini. Puas lah jalan-jalan sendiri, sambil mengenal sekitaran Masjidil Haram.

Singgah dan masuk ke toserba Bin Dawood. Ada sale 70% toh masih mahal-mahal juga. Beli sekadar oleh-oleh untuk Riza plus rinso dll. Sekitar pkl 22.30 pulang. Tiba di hotel sekitar pukul 23.10. Bikin catatan dan tidur.

26. Kamis, 04 Januari 2007

   Salat subuh di hotel. Agak telat bangun karena kecapean. Sarapan ala kadarnya aja, minum kopi ginseng plus roti. Rendam kain kotor dan nyuci. Rendamnya pakai rinso Arab, tak pakai ember tapi di dalam kantong asoy. Udah mandi, rendam jaket dan training, rehat sejenak, lalu siap-siap ke Masjidil Haram. Usai zuhur berjalan ke plaza di depan King Abdul Aziz Gate. Beli KFC 13 RS, lalu ‘’cuci mata’’ ke plaza yang berserak di sana, juga ada hotel di dalamnya, seperti Le Meridien, Hilton, dll. Barang-barangnya mewah dan mahal. Ada juga diskon besar-besaran untuk elektronik. HP Nokia Communicator 9300 seharga RS1.490 atau kira-kira Rp3,12 juta. Nokia seri 7610 sekitar Rp2 juta lebih. Jelang Asar, kembali ke Masjidil Haram, dengan ambil wuduk lebih dulu di tempat khusus yang memang disediakan di plaza-plaza tersebut. Terus di Masjidil Haram sampai selesai Isya.

   Sambil beranjak pulang, sempat beli kayu Siwak 2 ikat @ RS 5 dan Rumput Fatimah RS5. Pulang ke hotel sekitar pukul 20.00, singgah di pasar beli oleh-oleh, juga suvenir untuk Azi dan Riza. Sekitar pukul 21.30 sampai di hotel. Sebelum tidur, cuci dulu jaket dan training yang tadi direndam di kantong asoy.

27. Jumat, 5 Januari 2007

   Usai subuh di hotel, ngopi dan makan roti dengan Piras. Setiap istrinya antar kopi, selalu dilebihkan untuk aku secangkir. Alhamdulillah, aku mendapatkan saudara baru di sini. Selesai ngopi, jalan-jalan sorang ke luar. Beli CD tentang sejarah tempat-tempat penting di tanah suci, juga VCD ngaji seharga RS 10, lalu beli sajadah 3 @ RS 15 dan karpet oval RS 170, pulang ke hotel dan susun semua ke dalam tas koper. Pak Hamdan dan Yamsu siap-siap untuk pergi umrah.

   Aku rehat sebentar, lalu mandi dan sekitar pukul 10.00 bererak ke Masjidil Haram dengan Piras untuk jumatan. Eh, ternyata jamaah sudah sangat padat, terpaksa ambil tempat di luar saja. Padahal masih ada waktu dua jam lagi sebelum waktu salat masuk.

   Di angkasa, terlihat sebagian awan berwarna gelap, perlahan bergerak dihembus angin, menghalangi sinar matahari, sehingga salat di pelataran luar Masjidil Haram pun, tetap adem. Atau ini pertanda akan hujan?

   Jamaah memang luar biasa banyaknya. Boleh jadi karena sebagian besarnya karena ini merupakan Jumatan terakhir mereka di Makkah/Masjidil Haram. Ada yang akan ke Madinah, atau pulang ke tanah air. Dalam situasi begini, terlihat begitu agresifnya jamaah berusaha mendapatkan tempat untuk salat. Sedikit saja ada celah, sudah berebut mengambil tempat.

   Sangat terasa saat bubaran usai Jumatan. Kalau kemarin-kemarin aku gampang aja untuk ke KFC atau Bin Dawood, kali ini, masya Allah, perlu perjuangan berat untuk bergerak satu langkah saja pun, menembus lautan manusia yang berdesakan. Saya dan Piras yang kerap mengeluhkan situasi ini, perlu waktu lama untuk dapat sampai di batas pekarangan masjid.

   Tapi untuk ke plaza?Luar biasa! Arus manusia mengombang-ambingkan kami hingga terbawa arus ke arah jalan di samping plaza. Sia-sia untuk memaksa menerobos. Aneka alas kaki terlihat berserakan, seakan gambaran betapa sengitnya perjuangan untuk lolos dari kepungan umat ini. Berarti tadi terjadi perjuangan yang dahsyat di sini. Kami nyerah, tak jadi ke KFC. Lumayanlah tadi sempat ke plaza baru yang amat mentereng dan supermodern, persis di depan Gate I king Abdul Aziz. Namanya Abrjal Al-Bait. Lihat-lihat stand elektronik dan Hp. Sayang masih belum buka sejak tadi ditutup jelang jumatan. Sementara orang berjubel menunggu toko buka lagi. Aku sendiri kemarin sudah melihat-lihat isi toko ini.

   Pusaran jamaah masih padat. Perlu waktu dan tenaga untuk dapat kembali ke arah Pasar Seng, melewati celah di antara Masjidil Haram dan tembok tegar bukit Qubays yang di atasnya bertengger Istana Raja. Kami putuskan beli ayam oreng saja, di restoran yang terletak persis di mulut jembatan depan tangga arena wuduk, di Pasar Seng. Beli ayam goreng setengah porsi RS 5 plus air jeruk RS 3, terus pulang.

   Sampai di kamar sekitar pkl 14.30 WAS, sambil makan bikin berita. Pukul setengah empat baru selesai kirim. Lalu minum kopi bikinan Ny Piras. Usai asar, rehat-rehat saja di kamar sampai magrib. Usai magrib, baru bergerak ke Masjidil Haram. Ternyata tadi di luar hotel, hujan. Allahu Akbar, inilah pertama kali saya merasakan hujan di tanah Haram. Saya paksakan diri tetap berangkat karena hujan agak reda. Kantong asoy untuk sajadah dijadikan pelindung kepala.

   Jelang sampai ke Masjidil Haram, hujan deras turun lagi. Bergegas masuk ke areal wuduk yang terlindung. Tidak ada tempat yang luang. Akhirnya tetap ke Masjidil Haram saat hujan sedikit reda. Ada juga jamaah yang kuyup bertahan di lantai pekarangan Masjidil Haram.

   Saya terus masuk. Masjidil Haram penuh. Arus membawa saya naik ke lantai atas, atas dan atas lagi. Tak ada celah yang kosong di lantai ujung eskalator. Akhirnya saya naik ke puncak. Kembali hujan mereda, dan saya melihat nun di bawah sana, jamaah tetap melaksanakan tawaf. Area hijir Ismail nampak ditutup. Tak dapat orang berdoa di sana, apalagi di bawah pincuran emas yang konon selalu dinanti momen adanya curahan air hujan dari pincuran emas tersebut.

   Menjelang azan, ambil wudhuk. Eh, hujan lagi. Duduk-duduk sambil berteduh di anak tangga masjid, sampai azan tiba. Ada yang mengingatkan untuk tidak salat di situ karenanharus berdiri dengan posisi miring untuk tepat arah kiblat. Saat iqamat, saya ambil sajadah, terus naik ke altar biasa di lantai puncak.

   Belum satu rakaat, hujan kembali mengguyur. Inilah pengalaman pertama salat di tengah hujan, di tempat tertinggi di Masjidil Haram. Ya Allah, jadikanlah setiap tetes hujan ini sebagai rahmat bagiku. Jangan ia menjadi penyakit bagiku!

   Orang asing di sebelah, sajadahnya sudah kuyup. Entah tadi sedang diuji, yang jelas begitu selesai salat, hujan pun reda. Saya masih dapat melakukan salat sunat dan salat jenazah.
Saat bubaran, terus ikut arus pergerakan jamaah. Ternyata pintu keluarnya langsung bertemu dengan pasar tak jauh dari Sofitel. Tak perlu pakai eskalator. Sambil pulang, lihat-lihat apa yang dijual orang. Tahan diri dulu, karena besok akan ke Jeddah dan Laut Merah. Mungkin ada yang lebih bagus.

   Berjalan lagi, terus masuk ke mal yang ternyata tembus ke ground floor hotel Sheraton. Terus jalan menyusuri kaki lima pertokoan, ke arah Masjid Jin, ke pasar, lalu naik ke warung bakso maktab jamaah Malaysia, dan bergerak ke arah Syib Amir. Di tempat biasa, depan maktab jamaah Asia Selatan, makan sop ayam, bakwan dan teh hangat, baru pulang ke hotel.

   Di hotel, dapati Pak Yusriyun sedang dipijat istrinya. Beliau agak kurang sehat. Pak Jaslan, juga masih batuk-batuk. Pak Piras istrinya muntah-muntah, juga istri Pak Hamdan. Saya rehat sambil angsur mengetik berita. Saya baca Republika edisi 11 Desember, ternyata ada berita bahwa tanggal 10 Desember lalu juga turun hujan di Makkah. Saya baru tidur saat jam menunjukkan lewat pukul 23.00 WAS.

28. Sabtu, 6 Januari 2007

   Subuh di hotel. Piras antar kopi. Selalu ia beri saya kopi untuk sama-sama minum. Alhamdulillah, saya mendapat saudara tua di sini. Justru di Makkah kami dekat dan akrab. Padahal katanya di Pekanbaru ia kerap seiring dengan Risman.

   Saya lebih banyak gunakan waktu untuk rehat saja karena nanti akan ke Laut Merah di Jeddah. Sekitar pukul 9.30 mandi dan rendam kain, rehat lagi dan bikin catatan. Berita sudah siap tadi, tinggal kirim nanti. Berita tentang Makkah yang diguyur hujan semalam.

   Siang, usai Zuhur, siap-siap ke Jeddah. Baru berangkat sekitar pukul 14.30, terpisah dengan rekan-rekan rombongan I. Perlu waktu satu jam lebih untuk sampai di Jeddah, ke lokasi Masjid Terapung di Laut Merah. Foto-foto di sana sendiri, lalu naik bus lagi. Jeddah memang wah. Kota seribu monumen, dengan penataan yang apik, terutama kawasan wisata tepi pantainya.

   Rombongan kami singgah di Masjid Qishas, tempat pelaksanaan hukum pancung pada salah satu bagian rahasia di sebelah bawah masjid ini. Kami salat magrib berjamaah di sini.
Usai magrib, kami rombongan tiga mobil rundingan. Tak jadi melihat air mancur tempat nabi Musa membelah laut. Sepakat ke mal dan janjian hanya dua jam.

   Kami didrop di pusat perbelanjaan Maniche. Banyak rombongan jamaah lain juga pesiaran di sini, sebuah kawasan perbelanjaan serba ada, luas dan nyaman, serta perang diskon di mana-mana. Saya sempat salat Isya di mushala yang bersih di tengah-tengah pertokoan.
Di sini banyak barang-barang bagus, tapi bingung mau beli apa karena waktu terbatas. Akhirnya dapat baju sweeter. Di bandrol harganya RS 180, dipotong 50 persen, dikurangi lagi RS 10, sehingga jadi RS 80. Pas ambil, ada juga peminat lain tapi barannya tinggal satu yang sizenya itu. Rezeki akulah.

   Pukul 21.00 kami sudah berkumpul lagi. Memang sudah tak ada rencana ke air mancur seperti rencana awal. Kami pun tek pernah bertemu lagi ketua kloter atau rekan satu rombongan. Juga tidak jadi ke pekuburan Siti Hawa. Mobil kami langsung pulang ke Makkah.

   Pukul 23.00 sampai. Ternyata Piras, Pak Hamdan dan Risman sudah di hotel, pada ngomel karena jadwal tadi berantakan. Bahkan mereka tak jadi ke mal, langsung ke hotel. Kami bincang-bincang sambil rehat menjelang tidur.

29. Ahad, 7 Januari 2007

   Salat subuh di kamar hotel. Langsung siap-siap bersih dan bereskan koper karena bagasi akan dikirim ke Madinah. Piras ajak ngopi. Lanjutkan beres-beres dan ikat koper. Ternyata masih bisa tambah isi. Lalu mandi dan pergi ke pasar, beli tas tenteng seharga RS 15, juga beli sajadah, sorban dan jilbab untuk Riza, terus pulang dan beli cerek di kedai dekat hotel, plus pinsil celak. Pulang ke hotel, orang yang banyak sedang siap-siap pergi umrah. Di kamar, padatkan isi koper lalu diikat. Tuntas, nanti akan dijemput oleh petugas porter hotel.

   Ambil wuduhk, lalu siap-siap untuk zuhur ke Masjidil Haram. Hari baru pukul 10.30, masih memungkin cari tempat di dekat Kakbah. Memag, sepertinya jalan-jalan di Makkah yang dilintasi tadi, agak longgar dibanding biasa. Tapi di Masjidil Haram tetap padat. Nunggu waktu zuhur yang sekitar dua jam lagi, diisi dengan zikir.

   Usai zuhur, cari makan di warung bakso si Doel, dekat Pasar Seng. Beli bakso dan ayam bakar. Ayamnya dibawa pulang ke hotel bakso dan juice disantap di sana. Sebelum pulang, beli dua galon kecil, isi air zam-zam. Tambahan untuk dibawa ke tanah air.

   Di kamar, segera kemasi galon zam-zam tadi dengan lem isolasi agar aman saat masuk tas. Ayam goreng tadi disantap bersama-sama Piras, Pak Hamdan dan Yamsuhadi. Lalu buat berita dan dikirim ke Pku sekitar pukul 15.30. Rehat sebentar dan salat asar.

   Pukul 17 siap-siap ke Masjidil Haram, bawa botol aqua untuk zam-zam. Ambil saf di depan King Abdul Aziz Gate (Pintu Utama). Maksudnya agar bisa mengambil gambar/foto plaza baru. Usai magrib, ke mal beli teh susu minum di tempat, plus donat Rs 6. Udah itu naik ke atas cari toilet, buang air dan ambil wuduk, lalu kembali ke Masjidil Haram. Cari saf di luar aja karena bawa tentengan. Bersebelahan dengan orang-orang Afrika yang rata-rata kalem dan tidak banyak kesibukan seperti jamaah lain.

   Usai Isya, cari tempat untuk titipan tentengan, dekat penitipan alas kaki, di Gate 6, lalu ke dalam Masjidil Haram. Minum dan isi botol zam-zam, lalu ambil wuduk dan melaksanakan tawaf. Cukup ramai, alhamdulillah dapat berdoa di dekat Multazam kendati harus desak-desakan. Lihat Hijir ismail, sekarang dibuka lagi.

   Saya cari kesempatan untuk dapat masuk ke Hijir Ismail. Setelah zari Multazam, usai tujuh putaran tawaf, alhamdulillah dapat masuk ke Hijir Ismail dan salat sunat di sana, sekaligus berdoa. Seperti masuknya, kali ini untuk keluar dari Hijir Ismail pun harus berjuang keras. Perlu waktu lama karena mereka yang merangsek untuk masuk pun bejibun.

   Usai salat sunat di kawasan sejajar Maqam Ibrahim, keluar dari Masjidil Haram sekitar pukul 21.30. Isi zam-zam dan kembali ke hotel. Tak jadi beli termos karena tak mau kurang dari RS 10. Jelang masuk hotel, ketemu Pak Haji Moslech, beserta istri dan anaknya Dedy, plus Pak Muchtar. Gabung sambil minum the hangat di depan hotel, foto-foto. Istrinya kasi oleh-oleh parfum sebanyak tiga botol kecil. Tadi kata Pak Muchtar, khatam Quran ramai di Masjidil Haram. Sebentar aja, kami bubaran karena Pak Moslech mau ngurus piagam dan hati onta.
Naik ke kamar, beres-beres, cerita-cerita dan tidur sekitar pukul 12.00 malam. Yang lain sudah pada ngorok. Pagi, jam 9 katanya adarapat untuk kegiatan di Madinah. Jadi, ini adalah malam terakhir tidur di Makkah.

30. Senin, 8 Januari 2007

   Salat subuh di hotel aja. Lalu beres-beres dan rehat sebentar. Sekitar pukul 9 kumpul dengan ketua kloter. Hari ini kami yang akan berangkat ke Madinah, melaksanakan Tawaf Wada.’
Selesai musyawarah, koper dipak dan berangkat ke Masjidil Haram utuk salat zuhur. Selesai zuhur, jalan ke Pasar Seng dan makan nasi di warung Mang Oedin.

   Mau pulang, beli termos, isi zam-zam plus dua botol aqua, lalu pulang. Cuma antar zam-zam, lalu ambil wuduk dan ke Masjidil Haram lagi. Salat di luar karena keburu azan. Udah asar, ambil wuduk lagi dan memulai Tawaf Wada’ sebagai tawaf perpisahan dengan Kakbah. Luar biasa ramainya jamaah, sehingga pukul 17.00 lewat baru dapat merampungkan tujuh kali putaran tawaf. Alhamdulillah, masih dapat juga berdiri dan berdoa dekat Multazam. Air mata tak terbendung di sini, karena entah kapan, tapi Insya Allah, jika dipanjangkan usia dan diberi rezeki, perkenankanlah ya Allah, kami dapat kembali berada di sisi Kakbah Mu.

   Saat akan meninggalkan Kakbah, bertemu Pak Jaslan dan istrinya. Sama-sama kami menerobos lautan manusia untuk keluar dari arus yang sangat deras tersebut. Sulit untuk cari jalan keluar karena ini sudah menjelang magrib. Saya lihat, Ny Jaslan masih terpaku di anak tangga, menangis menatap ke arah Kakbah sambil mulutnya komat-kamit. Saya agak bergegas karena magrib hampir menjelang.

   Di hotel, ambil wuduk dan ikut salat berjamaah di lantai empat, magrib dan isya, lantas siap-siap bereskan barang dan langsung dibawa ke bawah. Koper besar tadi sudah duluan diangkt truk kargo. Buru-buru semua, tak sempat makan lagi.

   Tiba di bawah sudah disuruh milah-milah barang, langsung naik mobil. Sekitar pukul 21.00 kami bergerak, ‘’hijrah’’ ke Madinah pun dimulai. Jalannya bagus, mulus dan datar, nyaris tanpa tanjakan berarti. Jarak yang akan ditempuh sekitar 460 kilometer. Bus sempat berhenti di tempat khusus untuk memperoleh paket snak dan air zam-zam botol besar, gratis. Juga sempat singgah di sebuah tempat mirip ‘’Rangkiang’’ yang dingginnya minta ampun. Ada yang ngopi di sini, namun rata-rata hanya buang air dan merokok. Ada yang bilang tempat tersebut namanya Al-Ma’ie. Dinginnya kayak es!

   Di kota-kota kecil yang dilintasi, terasa amat maju dan gemerlap. Juga beberapa kali perhentian, ada pemberian snek dan air zam-zam gratis. Kata mereka, dan juga tulisan yang ada, itu adalah snek gratis untuk tamu-tamu Allah. Istimewanya kami.

   Sekitar pukul 04.00 kami tiba di terminal Al-Hijrah Madinah, berhenti sejenak dan diberi pengarahan oleh petugas tentang situasi Madinah yang dingin dan apa-apa yang harus diwaspadai, yang dilakukan oleh petugas haji khusus yang mangkal di sana. Sekitar pukul 05.00 kami tiba di pemondokan ‘’Badar Palace’’ semacam hotel kelas Melati, yang ternyata sangat dekat dengan masjid Nabawi, yang tadi sudah terlihat saat bus akan belok ke lokasi nginap. Selesai urusan kamar sekitar pukul 05.30. Satu kamar dengan H Hamdan, Yamsuhadi, dan Risman. Udah itu, langsung ke Masjid Nabawi untuk salat subuh. Dinginnya sangat menusuk, mengigil di perjalanan, karena angin sejuk juga berhembus kencang.

31. Selasa, 9 Januari 2007

   Subuh pertama di Madinah Al Munawarrah, di Masjid Nabawi, masjid yang dibangun oleh Rasulullah SAW. Ternyata lokasinya sangat dekat, lebih dekat dibanding jarak maktab di Makkah dengan Masjidil Haram. Karena telat, sampai di sana orang akan bubaran. Masuk terus dan salat subuh. Sulit menerobos masuk karena kita melawan arus manusia yang akan keluar masjid.

   Usai salat subuh, pelajari secara cepat situasi dan suasana Masjid Nabawi. Yang pasti, serasa bermimpi dan amat bersyukur karena hari ini sudah berada di Masjid Nabawi, masjid yang awalnya dibangun langsung oleh Rasulullah.

   Sambil berdiri, saya berjalan saja terus ke arah depan, melawan arus jamaah yang akan meningalkan masjid. Posisi saya persis segaris lurus dengan King Fahd Gate, pintu masuk tadi, terus ke depan sampai ke suatu tempat yang di ujungnya ada wilayah yang diberi pagar pembatas. Ada beberapa orang sedang salat.

   Dari referensi yang sebelumnya sempat dibaca, yakin saya itulah Raudah, yang di sisi kirinya Makam Rasulullah, di kanannya Mimbarnya. Ya Allah, lagi-lagi engkau memberi kemudahan bagiku. Walau posisi agak jauh, saya sempatkan untuk salat sunat dan berdoa di balik pagar pembatas tersebut. Sebentar kemudian, datang askar yang secara tegas meminta jamaah mengosongkan lokasi tersebut karena akan diberi pembatas. Ternyata, kini giliran bagi jamaah wanita berkesempatan untuk beribadah di sekitar Raudah, sampai pukul 10.00.

   Puas mengagumi masjid utama ini, saya pulang ke hotel untuk rehat, sarapan dan mandi. Keletihan karena semalaman tidak tidur, membuat saya terlelap dan saat terjaga pukul 10.30, fisik terasa segar kembali. Selesai mandi, salinan, pakai sweeter yang kemarin dibeli di Jeddah, langsung berangkat ke Masjid Nabawi. Ini zuhur pertama ku di Masjid Nabawi, dan sengaja mencari tempat lebih ke depan. Beda memang dengan di Masjidil Haram, di sini jamaah wanita benar-benar terpisah, dan dibatasi dengan partisi yang tinggi, di bagian kiri dan kanan agak ke belakang di dalam masjid.

   Alhamdulillah, di kesempatan pertama usai zuhur, saya berhasil menuju Raudah setelah masuk melalui pintu Abubakar Siddik, tentunya setelah berjuang melewati jamaah yang berjubel saling berdesakan. Saya dapat secuil tempat persis di antara Mimbar dan Makam Rasulullah. Lega rasanya usai bermunajat di sana, dan harus memberi kesempatan jamaah lain mengisinya juga.

   Saat keluar, saya bersama jamaah lainnya melintas di Makam Rasulullah, bersama dua sahabat beliau, yang dikawal ketat askar Saudi, yang tegas melarang jamaah melakukan ritual yang berlebihan di sana.

   Di luar, foto sebentar Kubah Hijau yang menjadi pertanda di bawahnya adalah makam Rasulullah. Saya minta tolong seorang jamaah yang ternyata orang Palestina, untuk mengabadikan saya berdiri dengan latar belakang sisi kiri Masjid Nabawi dengan Kubah Hijau tadi.

   Saya masuk lagi ke dalam masjid lewat pintu kiri depan, rehat-rehat sambil bersandar ke kaki tiang masjid, sekaligus mengetik berita. Sempat mencuri-curi kesempatan mengambil foto, karena sebenarnya di dalam masjid dilarang mengambil gambar. Tiba-tiba atap kubah yang dari bawah terlihat berwarna kuning keemasan dengan ornamen yang mewah bergerak secara otomatis menutup, kembali ke posisinya setelah tadinya bergeser terbuka, sehingga udara dan cahaya segar masuk leluasa ke dalam masjid. Semacam sistem ventilasi yang canggih. Luar biasa, kubah yang beratnya dalam hitungan ton itu bisa digeser-geser. Tentu sistem hidroliknya oke banget.

   Menjelang waktu asar, saya pergi ke toilet yang berada di banyak tempat di luar masjid, lalu ke tempat berwuduk, Lokasinya bertingkat ke bawah tanah. Saya masuk kembali ke masjid melewati pintu utama Babussalam. Ternyata sudah ditutup, tapi masih bisa lewat pintu sebelahnya, Abubakar Siddik. Walau sempit, masih dapat tempat tak jaug dari Raudah. Ini karena waktu salat Asar masih lama lagi. Usai salat Asar, saya bersama jamaah lainnya sedikit berebutan untuk mendapat tempat di Raudah. Alhamdulillah, dapat kesempatan lagi, bahkan kali ini agak istimewa. Sebab, usai salat sunat di sana, rombongan yang sama dengan saya diberi kesempatan lebih lama berada di sana, karena disuruh duduk oleh seorang petugas bermata sipit tapi memakai jubah. Kami diberi masing-masing sebuah kitab Alquran. Jadinya, puas-puaslah berdoa di Raudah kali ini, persis di sebelah mimbar nabi. Seakan habis sudah bahan-bahan doa dibaca, akhirnya saya sendiri berinisiatif untuk berdiri, memberi kesempatan jamaah lain untuk juga bermunajat di Raudah. Keluar melintasi Makam Rasul, masuk lagi lewat pintu lain, karena sandal tadi dititip di loker di pintu King Fahd.

   Di luar masjid, baru terasa perut minta diisi, Segera ke KFC yang berada di depan masjid. Bali paket RS 8 yang terdiri dari ayam dua potong plus kentang goreng dan roti. Disantap di sudut kaki lima pertokoan itu saja. Banyak yang gitu juga kok.

   Kenyang perut, segera ke tempat wuduk, bersuci dan ambil wuduk, terus ke masjid lagi. Wah, sudah ramai. Kubah seperti payung yang berada di tengah masjid sudah dilipat secara otomatis, sehingga ruang tengah itu kini beratapkan langit. Di sinilah saya mengambil saf untuk salat magrib dan isya. Menjelang pulang, sempatkan jalan-jalan dulu melihat situasi sekitaran Masjid Nabawi. Sekitar pukul 21.00 tiba di lobi penginapan, duduk-duduk sebentar di sana karena ada rekan lain yang belum naik ke kamar. Di kamar, ternyata ada dua kotak nasi. Berarti jatah saya tadi siang, juga untuk malam ini. Makan yang jatah malam aja. Udah tu, rehat sambil bikin catatan, baca-baca dan tidur. Udara dingin di luar, tembus ke dalam kamar.

32. Rabu, 10 Januari 2007

   Salat subuh di Nabawi. Mulai terbiasa dengan cuaca sangat dingin dan angin sejuk yang menerpa saat perjalanan ke Nabawi PP. Pulangnya, selalu jumpa banyak orang kita yang jualan makanan khas untuk sarapan seperti nasi goreng, nasi uduk dan bakwan serta tempe goreng dan rempeyek. Di kaki lima aja. Saya kerap memanfaatkan itu untuk sekadar sarapan, termasuk pagi ini. Sarapan nasgor plus kopi ginseng. Lantas rehat dan tidur sebentar.

   Sekitar pukul 10.30 mandi dan siap-siap ke Nabawi untuk salat zuhur. Usai salat antri di depan Babussalam untuk ke Raudah. Dapat masuk lewat pintu Abubakar Siddiq yang tiba-tiba dibuka. Alhamdulillah dapat salat sunat di Raudah, plus berdoa.

   Usai itu, keluar, langsung ke depan masjid, rehat sambil membuat berita sambil melihat-lihat jamaah lalu-lalang. Sekitar pukul 15.00 ambil wuduk, lalu bergegas masuk ke Nabawi, dapat saf nomor empat, lalu pindah-pindah, akhirnya dapat saf di tengah, tak jauh dari barisan belakang imam.

  Usai asar, tak dapat keluar, bertahan saja di dalam, terus ambil saf di depan. Terasa sempit saat salat magrib dan isya. Tapi dapat melihat bagaimana prosesi menjelang dilangsungkannya salat jenazah, di mana jenazah yang akan disalatkan sudah berada di ruang khusus yang berhubungan dengan pintu di depan tempat saya sore tadi rehat. Usai salat fardu, keranda jenazah sudah diusung keluarga mayit, lalu imam bergeser ke arah jenazah untuk mengimami salat jenazah.

  Usai isya, baru dapat meninggalkan masjid Nabawi. Letih dan perut terasa lapar, bergegas saja pulang, makan di kamar, bincang-bincang lalu istirahat tidur.

33. Kamis, 11 Januari 2007

   Usai subuh, sarapan, dan kami siap-siap untuk melakukan ziarah sesuai yang direncanakan. Tempat pertama yang dikunjungi adalah kawasan Jabal Uhud, tempat bersejarah dulu berlangsungnya Perang Uhud antara 12 ribu muslim bersama Rasulullah dengan 500-an Quraisy. Umat muslim kalah karena kurang disiplin, sibuk mengambil pampasan perang padahal sudah dilarang oleh Rasulullah untuk tidak meninggalkan bukit Uhud.

   Di lokasi yang banyak dijumpai pedagang aneka suvenir, makanan dan obat-obatan tradisional itu, terdapat kompleks makam para syuhada Uhud, termasuk Paman Nabi, Saidina Hamzah serta 70 orang penghafal Quran.

   Di lokasi ini rekan kami H Risman dan istrinya terpisah dari rombongan dan belum berabung saat kami sudah harus siap-siap berangkat. Perlu waktu lama juga untuk mencarinya, sampai kemudian bertemu. Ternyata beliau tersasar karena keasyikan ‘’syuting’’ dengan perangkat baru handycam yang dibeli saat masih di Makkah.

   Lokasi kedua yang kami ziarahi adalah Masjid Qiblatain, masjid dua kiblat. Masjid bersejarah karena di sinilah ketika zaman Rasulullah, saat salat berjamaah berlangsung, turun perintah untuk memindahkan arah kiblat dari semula ke Masjidil Aqsa, menjadi arah ke Kakbah di Masjidil Haram, Makkah. Kami, seperti peziarah lainnya, melaksanakan salat sunat di sini.
Hal yang sama juga dilaksanakan di Masjid Quba, masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah ketika memulai hijrah ke Madinah. Selanjutnya kami berkunjung ke kawasan perkebunan Kurma yang di antaranya mengolah jenis kurma khusus yang dikenal sebagai Kurma Nabi, kurma Al-Jahwa, yang konon bibit pertamanya ditanam langsung oleh tangan mulia Rasulullah SAW.

   Menjelang zuhur, rombongan kembali ke hotel. Di beberapa lokasi tadi, bahkan hinga ke atas bus, ada saja orang-orang dengan dialek khas Madura menjajakan aneka komoditi seperti hati unta, kurma muda untuk obati mandul, dan sebagainya, plus suvenir-suvenir lainnya.
Usai zalat Zuhur di Nabawi, pulang ke hotel, makan dan rehat sambil bikin berita. Sekitar pukul 15.00 pergi ke Nabawi untuk salat asar, pulang lagi sambil cari-cari sorban. Magrib dan Isya, ke Nabawi bersama Piras Juli.

   Usai isya, sendirian jalan ke toserba Bin Dawood, beli kacang Arab campur, Rinso Arab, lalu pulang, makan nasi kotak dan crita-cerita dengan pak Regar, Piras, Yamsu dan Risman. Aku suguhkan kacang yang tadi dibeli.

34. Jumat, 12 Januari 2007

   Subuh ke Masjid Nabawi. Pulangnya, siap sarapan, menyuci pakaian kotor dan menjemurnya di dekat dapur pemondokan. Lalu rehat sebentar. Sekitar pukul 10.00 mandi dan pakai baju Polo putih lengan panjang, untuk Jumatan. Berangkat bersama Piras Juli. Jam segini, masjid nyaris sudah penuh sesak. Dapat tempat di tengah. Menunggu sekitar dua jam lebih sebelum khatib khutbah dan salat Jumat.

   Usai jumatan, pulang, rehat dan makan siang pake nasi kotak. Bosan sebenarnya dengan menu nasi, ayam atau ikan, sayur yang rasanya entah di mana. Tapi perut harus tetap diisi. Selesai makan, bikin berita tentang uang kompensasi RS100.

   Tadi subuh, jumpa Ketua Kloter di Nabawi dan ia cerita tentang uang pengganti karena kamar yang disediakan di sini tidak sesuai yang disepakati sebelumnya. Kami dapat masing-masing 100 Riyal. Juga ia cerita tentang khatam Quran sekitar 200 orang.

   Kemarin juga cerita dengan jamaah dari Jogja dan Jatim yang kamar-kamar mereka yang tak layak serta jauh dari Nabawi. Masih lumayan kamar yang kami tempati, tapi lebih mewah lagi pondokan yang ditempati rekan Mosthamir Thalib, hotel berbintang dan sangat dekat dengan masjid Nabawi. Saya sudah survey langsung ke sana. Ibarat dia di hotel bintang 5, kami di penginapan kelas Melati. Tapi tak apa, di Makkah, justru sebaliknya.

   Saya tahu lokasi Mosthamir nginap karena subuh tadi sempat mutar-mutar dan ketemu hotel bintang 5 yang berjarak hanya dua blok dari Nabawi. DI situlah menginap rekan dari Kloter 12 yakni jamaah haji dari Siak dan Pekanbaru, di mana Mosthamir tergabung di sana. Sangat beda jauh dengan ‘’losmen’’ tempat kami mondok. Saying, tak ketemu Mosthamir.

   Zuhur, saya pergi ke masjid bersama Piras. Namun kami terpisah di jalan. Memang, kalau sendirian, saya lebih leluasa bergerilya. Kali ini cari tempat terus agak ke depan. Usai Asar, lihat ada ceramah dari seorang Syekh, yang disampaikan dalam bahasa Arab. Satu dua dapat juga saya tangkap, yang isinya kira-kira tentang keutamaan mengisi waktu bakda Asar di hari Jumat sebagai saat-saat yang ‘’mubarak’’ alias penuh keberkatan dan adalah kewajiban menambah ilmu sekaligus sebagai ibadah bagi jamaah, termasuk mendengarkan tausiyah seperti ini. Banyak jamaah yang mendengarkan ceramahnya, kebanyakan mahasiswa yang selalu membawa diktat dan buku catatan, yang terkadang menyela dengan pertanyaan kepada sang Syekh.

   Sekitar pukul 15.00 saya keluar menuju depan masjid, ke toilet, buang air dan ambil wuduk lalu masuk lagi ke masjid, kali ini ke kawasan sekitar Raudah, sejajar dengan posisi muazin yang tempatnya khusus di satu balkon tak jauh dari Raudah. Saya salat Asar dan Magrib serta Isya di Nabawi. Usai Isya, ke Raudah setelah desak-desakan dan sempat sempoyongan. Terpaksa bergelayut di tubuh seorang jamaah yang tubuhnya besar, sepertinya dari Afrika.
Dalam bersempit-sempit itu, saya sempat melaksanakan salat sunat dan berdoa di Raudah. Disayangkan, banyak juga yang tidak mengindahkan perilaku yang semestinya di tempat yang suci tersebut.

   Saat lewat di depan Makam Rasulullah, saya melihat ada jamaah asing yang bertengkar hebat dengan Askar Saudi. Akhirnya ia dipaksa keluar agar jamaah lain tidak terganggu. Memang, askar-askar yang berjaga di Nabawi, juga sewaktu di Masjidil Haram, bersikap tegas namun tetap santun.

   Sampai di luar, saya melintasi bagian lain dalam masjid Nabawi menuju tempat penitipan sandal, lalu pulang. Cuaca masih sejuk dan sangat banyak jamaah yang berbelanja baik di toserba, took emas, took suvenir, toko makanan, took buku, kaset, penjual kurma, buah-buahan dan sebagainya, yang bertebaran dari depan gerbang masjid sampai di sebelah pintu masuk penginapan, Di hotel, makan malam, angkat jemuran, cuci seragam, bikin catatan, rehat dan tidur.

35. Sabtu, 13 Januari 2007

   Salat subuh di masjid Nabawi, pulang sambil beli sarapan dan nyantapnya di kamar, baru rehat sejenak. Lalu menyuci sedikit, rehat lagi. Siang, zuhur di Nabawi dan pulang setelah bikin dan kirim berita. Saya beli kitab suci alquran berukuran besar seharga 40 Riyal. Tadi juga beli dua Quran ukuran sedang seharga 50 Riyal untuk disumbangkan ke masjid Nabawi. Bagi saya, inilah sara berinfak yang praktis, karena di sana, Makkah dan Madinah, memang tidak ada kotak wakaf seperti di tanah air, sehingga jika ingin berinfak, ya di antaranya dengan Quran itu tadi. Toh, banyak tempat untuk meletakkan Quran di masjid dan setiap saat akan dibaca oleh jamaah dari seluruh dunia!

   Sebentar di pondokan, saya ke masjid lagi untuk salat asar. Lepas tu jalan-jalan ke selatan masjid. Ada semacam ‘’Pasar Seng’’ seperti di Makkah. Saya cari kopiah buatan Bangladesh yang modelnya bagus, beli empat seharga 20 riyal, lalu minum teh susu plus kue. Terus ambil wuduk karena sebentar lagi magrib.

   Oh ya, siang tadi rapat dengan Ketua Kloter tentang persiapan-persiapan untuk pulang ke tanah air, serta atur-cara bagasi yang diperkenankan. Tegas dan lugas. Usai magrib, ke luar lagi ambil wuduk di sebelah barat masjid, masuk lagi dan salat isya. Usai itu, jalan ke supermarket Bin Dawood. Rekan-rekan banyak yang tak tahu lokasinya, berada di salah satu komplek hotel, naik ke lantai atas, lalu turun ke lantai basement. Luas tempatnya. Saya beli dua set pisau lipat, salah satunya lengkap, juga sabun bayi.

   Pulang ke pondokan, makan dan kumpul-kumpul di Lobi dengan Pak Taufik yang kerap menyebut nama lengkapnya Haji Muhammad Taufik, urang awak yang selalu bersemangat kalau bercerita. Juga rekan-rekan lain, termasuk jamaah dari Cianjur yang bawa bandrek. Lalu rehat tidur. Tadi sudah kemas-kemas koper. Ditimbang, masing-masing 21 kg, tak melebihi batas 35 kg. Padahal, sudah tak bisa diisi lagi.

36. Ahad, 14 Januari 2007

   Usai subuh, sarapan kue dan teh susu, rehat. Sekitar pukul 08.00 ikut rombongan ziarah ke pemakaman Baqi’ dekat Masjid Nabawi. Tapi ternyata kami tidak dapat masuk ke kompleks pemakaman tersebut. Ada jam-jam tertentu saja peziarah dapat masuk ke lokasi tempat dimakamkannya para syuhada dan kerabat dekat Rasulullah, serta jamaah haji yang wafat di Madinah tersebut.

   Kami sama-sama berjalan ke pelataran depan Masjid Nabawi, berhenti tak jauh dari posisi sungkub berkubah hijau Makam Rasulullah. Berdoa di sana, dipimpin ketua kloter. Selanjutnya kami menziarahi Masjid Abubakar Siddiq, Ali bin Abi Thalib, Masjid Yamamah dan Masjid Umar bin Khattab, kesemuanya tak jauh dari Masjid Nabawi. Setelah foto-foto di lokasi tadi, kami bubar.

   Saya pilih jalan sendiri aja, ke toilet dulu, terus ke Baqi’ lagi. Lihat ada antrean jamaah untuk mengambil buletin yang dibagikan gratis. Ternyata juga tak bisa ke Baqi’. Terus ke Madinah Shoping Center, depan Nabawi. Rata-rata yang dijual sama saja seperti di pusat perbelanjaan lainnya. Saya hanya beli parfum Jannah asli seharga 10 Riyal, lalu beli tasbih 5 Riyal, terus jalan-jalan sendiri menelusuri jalan menjauhi Masjid Nabawi.

   Akhirnya ketemu sebuah pusat perbelanjaan City Plaza, setelah melewati gedung Mahkamah/Kehakiman. Baru kali ini jumpa plaza yang tidak spesifik menjual suvenir. Di sini saya dapat beli baju kaos 50 Riyal, dua topi sebo anak-anak diskon 50 persen. Banyak pilihan tapi tak bisa lama-lama karena sudah dekat waktu zuhur. Pukul 12 kurang seperempat langsung ke Nabawi, ambil wuduk dan masuk, langsung terdengar azan.

   Usai salat zuhur, pulang, makan. Tadi beli KFC 8 Riyal. Lalu buat berita setelah makan. Eh, tau-tau udah pukul 3 sore. Ambil wuduk setelah beol, berangkat ke Nabawi. Tiba di masjid pas azan bergema.

   Pulang setelah asar, tidak dapat tidur. Hanya rehat sambil beres-beres. Jelang magrib, sekitar pukul 17.00 mandi dan berangkat ke Nabawi. Sekalian salat magrib dan isya. Sempat lihat anak-anak Madinah belajar ngaji. Mereka belajarnya sejak bakda Asar. Kagum juga lihat anak-anak itu memeragakan kemampuannya hafal Alquran.

   Pukul 20.00 sampai di penginapan. Oh, ya, hari tadi jamaah ramai sekali. Terutama saat bertemu rombongan ziarah ke Baqi’ saya terjebak di tengah lautan jamaah dari Turki dan India yang akan berziarah ke Baqi’. Pas ketika saya akan pulang melintasi bagian utara Masjid Nabawi. Macet total.

Malam ini, makan tak selera, Cuma ngemil kentucky aja, dengan nasi jatah. Dapat kabar, ada jamaah dari kloter 9 yang wafat. Pak Yusriyun sudah konfirmasi ke dokter. Pak Muchtar tak bisa dihubungi. Masih simpang siur. Tinggal di kamar aja sendiri, nulis sampai pukul 22.15. Rehat dulu ah…

37. Senin, 15 Januari 2007

   Bangun subuh agak telat, tapi tidak terlambat. Pulang dari masjid, beli dua kalender dan sarapan riti plus kentang dan the susu. Sekitar pukul 07.30 bersama rekan lainnya pergi ke penginapan rekan satu kloter yang berjauhan dari kami, melayat keluarga sesama jamaah yang kemarin sore wafat, H Soekarno (73) karena sesak nafas. Ternyata jenazahnya yang subuh tadi ikut disalatkan di Masjid Nabawi dan dimakamkan di Baqi.’ Pak Muchtar yang langsung menerima jenazahnya di dalam lahat.

   Saya bincang-bincang dengan istri almarhum, yang menyebutkan bahwa almarhum sakit setelah selesai sai dan sempat melaksanakan Tawaf Wada.’ Tadi kami iuran. Pulang dari sana, ibu-ibu diantar Pak Yamsu, saya bertiga Piras dan Risman jalan-jalan. Risman terus pulang, saya dan Piras mutar-mutar nikmati mentari pagi untuk mengusir dingin yang terasa menusuk.
Sempat bertemu seorang jamaah yang berasal dari Padang, yang tak tahu jalan mana untuk pulang ke pemondokannya. Sayangnya ia juga tak mengantongi kartu nama penginapannya.
Kami terus berjalan menelusuri banyak pertokoan, eh ternyata sampai lagi di depan maktab tempat tadi kami takziah. Ketemu Norham Wahab beserta istri yang lagi ngopi. Saya singgah di warung mainan, beli dua kursi tiup utuk Azi dan Riza. Lalu kami singgah ke toko garmen, lihat-lihat ada jaket bagus tapi malas beli karena tak ada tempat lagi untuk membawanya nanti. Bagasi dah penuh.

   Dari sini, kami langsung pulang dan beresin bagasi karena ada tambahan untuk di samping koper. Tadi tu, luar biasa dinginnya karena angin bertiup sangat kencang dan membawa hawa sejuk. Di kamar, baru terasa sedikit hangat Saya ke masjid dengan kondisi lelah. Masjid Nabawi sudah penuh. Ada telepon dan sms dari Pku. Balik telepon ke rumah. Istriku pesan batu cincin dan cerita tentang acara pulang nanti. Menurutnya, pak Haji Abdulah Dun usul turun di Mushala Bayu dan jalan kaki ke rumah, ada mendoa sedikit. Aye sih oke-oke aja, asal nggak berlebih-lebihan.

   Usai makan siang, yang juga tak habis, benahi lagi koper sampai tuntas menjelang pukul 15.30. Tadi, sudah kirim berita setelah salat zuhur, tentang wafatnya jamaah

   Asar ke Nabawi, juga pas-pasan waktunya saat sampai, jadwal salat sudah masuk. Pulangnya, lelah sekali. Baring-baring dan telepon ke Pekanbaru. Rupanya keluargaku sedang jalan-jalan, setelah mobil di service. Aku juga bicara dengan Azi dan Riza. Kelelahan membuatku tertidur sampai menjelang magrib. Agak buru-buru ke masjid dan sampai di Nabawi, azan bergema.
Usai magrib, sak kencing, ke toilet, antri karena penuh. Jalan-jalan ke pasar depan dulu, ada batu cincin tiga RS 25. Uang kecil habis, yang ada RS 500. Pukul 19.00 ambil wuduk, antrian masih panjang untuk buang air kecil.

   Aku kali ini salat Isya di lantai dua masjid Nabawi sebelah depan. Usai salat coba menyusuri lantai dua sampai menuju arah jalan pulang di sekitar pintu Raja Fahd. Singgah di Money Changer, tukar uang 100 dolar AS, dapat RS 373. Beli batu cincin RS 20, pulang, makan dengan sambal ikan. Rasanya entah di mana, tapi perut harus tetap diisi. Usai makan, ajak Piras jalan-jalan karena cuaca tidak terlalu dingin seperti hari sebelumnya. Beli kopiah putih, kemudian ke toko karpet yang sangat besar, beli sajadah bagus buatan Arab Saudi sendiri, beda yang kemarin dibeli, rata-rata buatan Turki. Motifnya bagus, untuk dipakai sendiri, harganya RS 25.
Udah tu, jalan-jalan lagi, kembali cuaca berubah dingin. Putuskan pulang aja. Bincang-bincang dulu di lobi hotel sambil minum teh susu hangat. Ada Pak Hamdan, Risman dan Daulay. Sekitar pukul 22.30 ke atas, rehat dan bikin catatan sampai pukul 23.10. Rehat lagi ah…


38. Selasa, 16 Januari 2007

   Salat subuh di masjid Nabawi. Pulangnya singgah ke warung bakso di salah satu hotel dekat masjid Nabawi. Namun tak jadi karena kelewat ramai. Beli bakwan aja plus tempe goreng dan the susu, untuk sarapan di kamar. Kemudian rehat-rehat, sementara rekan-rekan pada sibuk beresin koper dan bagasi masing-masin, persiapan untuk pulang ke tanah air.

   Pukul 08.00 ke Nabawi karena rencananya akan melakukan tahlilan, baca Yasin untuk almarhum Soekarno (Pak Karno). Namun tak ketemu rekan-rekan satu kloter. Akhirnya sepagi itu melihat aktifitas lain di dalam Masjid Nabawi. Melihat para pekerja yang sibuk membereskan serta membersihkan seluruh bagian dalam masjid.

   Mereka juga memiliki peralatan yang canggih, seperti untuk membersihkan bagian ruangan yang tinggi, atau mengganti lampu, menggunakan tangga hidrolik. Dengan menekan tombol, pekerja sudah terbawa ke ketinggian untuk menuntaskan kerjanya melakukan perbaikan. Semua bagian-bagian dibersihkan karena itulah waktu yang relatif bisa dimanfaatkan, karena jarak antara usai subuh dengan zuhur cukup lama.

   Saya melintasi tirai yang dipasang khusus membatasi sekaligus lajur khusus bagi jamaah wanita yang akan mengisi kesempatan ziarah dan beribadah di sekitar Raudah. Sudah segitu lama dan telusuri banyak sudut, tak juga ketemu rekan-rekan tahlilan yang katanya di dekat gerbang 26.

   Terus saja jalan ke luar, menuju kompleks pemakaman Baqi’ dan mencoba keliling separuhnya lalu balik, merapat ke Madina Shoping/Busines Centre. Agak sepi karena masih pagi. Beli tasbih kayu 20 utas RS 10 dan batu akik 10 biji RS 5. Balik jalan kaki lewat bagian utara masjid, susuri jalan sisi utara, terus balik ke hotel. Rehat karena cape kali.

   Zuhur ke Nabawi, setelah tadi di kamar Risman tes hasil syutingnya di tv kamar. Makan siang hanya habis separo karena menunya daging plus sayur. Lalu bikin berita tentang rencana kepulangan kloter 9 sebagai awal kembalinya gelombang Jamaah Haji Riau.

   Asar ke Nabawi, pas waktu azan, lalu buru-buru pulang karena sak pipis banget. Lalu rehat lagi sambil baca-baca. Tadi koper-koper kami sudah diambil petugas penerbangan untuk dimasukkan ke bagasi pesawat Saudi Arabian Airlines.

   Magrib ke Nabawi. Sempat lihat anak-anak Madinah ngaji bersama, umumnya sudah pada hafal Alquran. Wah, sak pipis lagi, terus ke bagian selatan Masjid Nabawi, ngeteh dan coba cari kopiah putih Bangladesh, tapi tak ada nomer yang cocok.

   Pukul 19.00 ambil wuduk, masuk masjid, pas muazin sedang azan. Inilah salat yang menandai sudah 40 waktu secara kontinyu salat di Masjid Nabawi secara berjamaah. Berarti, Rabu besok sudah bonus untuk lima waktu salat, sebelum berangkat ke Bandara. Ke penginapan, makan malam kali ini, yang terakhir dijatah, betul-betul habis karena sambalnya ayam goreng.

Udah tu, semua pada kumpul di kamar kami, mau lihat hasil syuting videonya Risman dan Bermawi. Selesai sekitar pukul 21.30. Turun ke lobi, pesan the susu, sama-sama berbincang dengan Pak Hamdan, Piras dan Yamsu. Pukul 22.30 ke kamar, tulis catatan. Pukul 23.00 siap-siap tidur.

39-40. Rabu-Kamis, 17-18 Januari 2007

   Mandi sekitar pukul 04.30 dan salat subuh di Nabawi. Pulang, beli nasi goreng plus rempeyek, sarapan di kamar terus rehat. Sekitar pukul 08.15 jalan-jalan dengan Piras dan Pak Daulay. Ketemu barber shop (ada juga yang tertulis Bar-bar Shop lho!), keduanya pangkas hingga plontos. Lalu kami mutar-mutar. Cuaca pagi ini sangat dingin. Apalagi angin sejuk berhembus kencang. Kami betul-betul kedinginan dan cepat-cepat pulang ke penginapan, tidur berselimut tebal.

   Orang-orang satu kloter di penginapan Badar Palace ini pada sibuk beresin barang bawannya. Saya sendiri, sudah siap lakukan itu malam tadi.

   Pukul 11.30 siap-siap dan berangkat ke Nabawi. Usai Zuhur, ke Plaza di utara Nabawi, keluar masuk hotel berbintang yang satu kompleks dengan plaza modern tadi. Beli kopiah putih Bangladesh RS 5. Lalu ke Bin Dawood Dept Store, keluar lagi, terus ke plaza paling ujung, eh ketemu Bakso si Doel. Minta Bakso seporsi (RS5), beli aqua dan the susu (RS2). Usai itu BAB di toilet hotel tersebut, terus jalan-jalan ke pertokoan di

   Sekitar pukul 15.10 ke toilet masjid dan ambil wudhuk, terus masuk masjid. Ingin sekali ke Raudah, namun sudah sangat padat, tak bisa memaksa diri. Usai asar, sak pipis betul, bergegas ke toilet dan pulang lewat sisi barat Nabawi terus ke utara. Beli mainan magnet (RS 5), terus jalan-jalan ke pasar tradisional dekat pondokan. Beli celana panjang putih koko (RS 10), terus pulang ke hotel. Tak ada orang.

   Kemaskan lagi koper tambahan. Bongkar ulang, ternyata harus dibuka satu tingkat lagi. Usai itu, beres-beres dan mandi untuk salat magrib. Tak jadi ke Nabawi, karena Pak Yusriyun ajak salat Magrib-Isya jamak qashar di hotel karena setelah itu akan siap-siap ke bandara. Wah, jadi salat asar tadi adalah terakhir kali untuk saya salat di Masjidil Nabawi. Entah kapan akan ke sana lagi, namun keyakinan selalu ada, insya Allah satu saat akan dapat ke sana lagi. Perkenankanlah Ya Allah!

   Selesai salat, makan malam. Pak Yamsu buat mie dan saya beli the susu di bawah. Jadi, malam ini makan mie plus the susu. Semua penghuni pondokan asal Riau, sudah sibuk turunkan barang ke lobi, padahal masih lama jadwal berangkatnya.

   Ternyata memang telat. Diinformasikan, sekitar pukul 10 malam baru dijemput karena tadi ada dua jamaah dari kloter kami dari penginapan yang lain yang dijemput pakai ambulan karena sakit.

   Sekitar pukul 20.45 balik ke kamar, rehat dan bikin catatan. Kamar sudah kosong total dan sebagian sudah dibersihkan oleh pengelola karena akan diisi jamaah lain yang datang sekejap nanti.

   Oh ya, tadi sempat telepon ke Pekanbaru. Kata istriku, Ibu sudah di rumah, bersama Mak Elok, dijemput Riza dan ibunya. Juga sudah kasi nomor Ibu Elsa di Batam, karena istriku titip beli VCO sama beliau dan ntar dititip lewat saya saat tiba di Batam, rencananya.

   Di kamar yang sudah kosong, rehat-rehat sambil nunggu bus yang katanya akan menjemput pukul 22.00. Sedang rehat, datang pekerja yang akan membersihkan kamar, karena bakal diisi jamaah lainnya nanti, yang datang dari Makkah.

   Ke lobi lagi, dapat kabar lagi bahwa saat menjemput dua pasien tadi, ternyata salah seorang jamaah, Pak Jasman harus dirawat intensif di Rumah Sakit karena asmanya kumat. Boleh jadi beliau terpaksa tak ikut bersama kami pulang ke tanah air (belakangan, setelah di Pekanbaru dapat kabar beliau wafat di Madinah. Innalillahi wainna illaihi rajiun).

   Sekitar pukul 23.00 baru dapat kabar untuk mulai naik bus. Terpaksa semua beban ditenteng sendiri, karena busnya parkir jauh di jalan, sementara gang tempat penginapan kami sempit karena banyak yang jualan dan sedang jam sibuk.

   Saya sudah atur sedemikian rupa sehingga tas tenteng dimaksimalkan dengan air zam-zam yang dimuat ke beberapa botol aqua dan jerigen kecil. Wuih beratnya. Belum lagi tas tambahan, tas dokumen, poster dan kalender yang dikemas dalam gulungan rol, plus termos zam-zam berwarna kuning emas. Tertatih-tatih menuju bus yang parkir di mulut gang karena tak dapat masuk. Proses sampai berangkat cukup lama, sampai sekitar pukul 00.00 lewat. Berarti ini sudah berganti hari,

Kamis, 18 Januari 2007.

   Sampai di Daker saat pergantian hari ini, bus juga berhenti lama karena membereskan urusan paspor. Alhasil, rombongan kami sampai di Bandara Madinah sekitar pukul 02.00. Udara dingin langsung menyergap. Kami tak langsung turun, karena bus harus menunggu giliran untuk masuk ke terminal khusus bandara. Harus ekstra sabar.

   Saatnya tiba, kejutan datang! Ada penjelasan tegas, bahwa semua bagasi selain tas berlogo Saudi Airlines harus tinggal. Jamaah tegang, karena boleh dikatakan semua jamaah berlebih tas tentengannya. Bahkan lebih banyak ketimbang yang berlogo resmi dan diizinkan itu. Belum lagi berjerigen-jerigen air zam-zam. Tipis kemungkinan untuk lolos ke pesawat.

   Untuk masuk ke ruang tunggu pun antre. Di sinilah terlihat wajah-wajah yang tegang, cemas dan lelah yang tak bisa ditutup-tutupi lagi. Sebagian yang suami istri saling menyalahkan karena bagasi terlalu banyak, tak terkontrol saat borong oleh-oleh. Cemas, jangan-jangan tak lolos untuk dibawa pulang.

   Sampai duduk di ruang tunggu, ketegangan belum hilang. Silih berganti ke toilet, yang duduk pun pada gelisah. Jarum jam terus beringsut, merambat pasti. Pukul 03.00 sudah lewat, berarti jadwal semula untuk berangkat jam segini, delay lagi. Jamaah yang suami-istri ada yang uring-uringan, saling menyalahkan karena banyak betul beli ini-itu, yang akhirnya repot dan ada kemungkinan tinggal. Padahal ketua kloter sudah mewanti-wanti untuk tidak melebihkan bagasi. Untung-untungan katanya, bisa lolos, bisa juga tidak.

   Ketegangan sedikit berkurang saat ketua kloter memberi penjelasan tentang kepastian barang-barang yang tadi ditahan, akan ikut diberangkatkan ke Batam, dimasukkan ke bagasi bawah pesawat. Itu juga yang kemudian dijelaskan oleh petugas dari Indonesia atas nama Saudi Airlines. Barulah jamaah lega, kendati jerigen-jerigen yang berisi zam-zam terpaksa ditinggal, karena memang begitu aturannya.

   Tadi memang ada yang nekat bongkar-bongkar tas yang ditumpuk dan ambil barang-barang yang dibeli untuk oleh-oleh. Takut kalau memang tak bisa dibawa, selamatkan apa yang bisa diselamatkan. Selebihnya, pasrah, karena memang tak mungkin balik lagi ke ruang lain karena waktu sudah kasip.

   Di ruang tunggu yang riuh-rendah ini, ada juga yang buka conter sejenis cafĂ©. Beli teh manis secangkir RS 4, sekitar Rp10.000. Salat subuh yang waktunya sudah masuk, dilaksanakan di sudut ruang tunggu, gantian.

   Sekitar pukul 05.00 baru kami dipanggil untuk ke pesawat, dimulai dari rombongan 10. Tiap nama yang dipanggil, mendapat Quran dan terjemahannya, oleh-oleh dari pemerintah Arab Saudi. Repot juga bawa barang naik tangga pesawat jumbo yang tinggi jangkung. Jamaah pun sudah tidak disiplin lagi seperti saat berangkat dulu. Nomor seat tidak lagi diindahkan. Alhasil, saya dapat tempat duduk di tengah, karena posisi kami di bagian depan sudah diisi jamaah yang naik duluan.

   Pesawat baru take-off sekitar pukul 07.25 WAS. Kendati lelah, toh tidak dapat tidur di pesawat ini. Bermacam perasaan berbaur menjadi satu. Sampai saat zuhur tiba, kami sekalian salat Zuhur dan Asar dijamak, di tempat duduk pesawat.

   Persis delapan jam penerbangan, kami sudah sampai di Bandara Hang Nadim Batam. Jadi sekitar pukul 15.39 waktu Saudi dan di Batam sudah malam, pukul 19.30 WIB. Alhamdulillah, akhirnya selamat sampai di tanah air kembali. Telepon ke rumah, juga ke kantor. Kata Erwan Sani, rombongan pertama dari kloter kami ini berangkat ke Pekanbaru pukul 06.00 pagi besok.
Di bus yang membawa kami ke asrama haji, sudah disediakan jerigen khusus berisi lima liter zam-zam, oleh-oleh dari Saudi Airlines untuk masing-masing jamaah. Kami nunggu bus lain untuk sama-sama konvoi ke asrama haji.

   Sekitar pukul 21.00 tiba di Asrama Haji Batam Center, minum teh hangat dan gorengan di aula penyambutan. Dapat kabar sedih, ada jamaah yang wafat setiba di Batam karena serangan jantung. Syukurnya, bagasi lebih punya saya, ternyata berhasil ketemu, tak jadi sangkut di Madinah. Alhamdulillah, tak kurang satu apapun. Padahal, ada rekan-rekan yang tak menemukan lagi tas bagasi tambahannya. Entah tinggal di Madinah, atau hilangnya saat sudah di Batam.

   Repot juga cari dan kemudian bawa barang ke kamar, sama repotnya sewaktu di Bandara Madinah. Tadi, Eni dan Siri sms sudah menunggu, bawa ramas. Tadi aku memang sms sewaktu baru datang, sekalian minta mereka bawakan nasi ramas, maklum sudah 40 hari tidak makan nasi ramas. Bergegas ke kamar dan ambil oleh-oleh yang dekat aja, sajadah yang aku pakai selama ke Masjidil Haram, kebetulan terletak di luar. Juga tasbih. Cerita-cerita sebentar dengan Eni dan Siri, hari sudah larut, jam 11 malam. Balik ke kamar dan makan nasi ramas gulai ayam. Ehm, ini baru terasa makan! Bagi-bagi dengan Piras. Lalu kata rekan-rekan, di aula ada jamuan dari Gubernur. Kami ke sana, dan makan dengan ikan salai, selanjutnya telepon ke rumah.
Lepas tu ke kamar, salat jamak magrib dan isya lantas kemas-kemas barang karena pukul 04.00 subuh sudah stand by.

41. Jumat, 19 Januari 2007

   Ketiduran, pukul 04 dibangunkan Piras, buru-buru mandi dan langsung ke Aula. Sudah siap-siap dipanggil ke bus rupanya. Pukul 05.00 salat subuh di bus, terus berombongan sebanyak tiga bus bertolak ke bandara Hang Nadim.

   Di bandara, ambil troli, bawa bagasi, ambil jatah nasi goreng yang dibagikan petugas cek-in, langsung naik ke pesawat. Lega rasanya setelah duduk di kursi pesawat. Bahkan, nasi goreng tadi pun, tak habis dimakan karena entah kenapa, tak terasa lapar kali.

   Cuaca cerah saat pesawat berangkat sekitar pukul 06.45 dan ketika mendarat di bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru pukul 07.15, hujan turun mengguyur. Lumayan lebat. Kembali keteteran saat memboyong bagasi dan bawaan turun dari pesawat. Apalagi rata-rata, sesuai anjuran, kami turun di bandra dengan pakaian khusus, baju ghamis warna putih sampai ke mata kaki, plus kafiyeh yang menutupi kepala yang berkopiah putih.

   Masyarakat berjubel menunggu, sementara kawasan sekitar kantor Angkasa Pura itu becek. Celingukan cari keluarga yang menjemput, tak ketemu. Lama juga menunggu di teras kantor Angkasa Pura, berteduh dari siraman hujan.

   Telpon-telponan, barulah muncul istriku Ernawati bersama dua anak kami, Azizul Hakim dan Febriza Asri, bersama Bang Yan dan Mak Ayuh. Mereka bahkan tak nampak saya yang mendekat ke arah mobil. Kangen-kangenan sebentar, mensyukuri karena dapat bertemu lagi dalam keadaan sehat wal afiat.

   Setelah mengemasi tas tentengan ke dalam mobil, segera mencari bagasi yang pengurusannya amburadul sekali. Lega setelah bagasi ketemu di tengah guyuran huna tersebut. Dalam perjalanan pulang, kami singgah di Masjid Al-Ikhlas Pasarbaru untuk melakukan sujud syukur. Sebenarnya sudah direncakan itu dilakukan di bandara, namun batal karena hari hujan.
Terus kami ke Mushala Al Muhtadin. Di sana sudah menunggu War, Pak Gino, Pak Sukendar. Segera lakukan salat sunat di mushala lalu siap-siap ke rumah. Datang Yuharmen dengan mobilnya.

   Saat tiba di rumah, ternyata sudah ramai menunggu para jiran-tetangga, juga ibu-ibu. Rupanya semua sudah disiapkan. Pak Haji Abdullah Dun memimpin prosesi penyambutan. Sebelum masuk melangkah ke rumah, aku membacakan doa yang memang sudah disiapkan sewaktu di Madinah, diaminkan oleh yang hadir di teras rumah.

   Baru setelah itu masuk dan melaksanakan sujud syukur serta salat sunat di ruang tamu. Barulah prosesi berlanjut, di mana aku diberi tempat duduk di tengah hadirin untuk ditepung tawari. Terharu tadi saat mencium tangan ibunda yang sudah menunggu, juga Mak Elok. Jiran tetangga pun menyalami dan memeluk.

   Juga saat memberi tepuk tepung tawar, semua menyalami dan memelukku. Kesemua dipandu oleh pak Haji Abdullah Dun. Setelah itu sambil duduk lesehan bersama jamaah yang hadir, aku menceritakan sedikit pengalaman selama di tanah suci. Juga ada penyampaian nasehat dari jamaah yang diwakili Pak Agus Rahim, RT dari Perumahan Bayu. Acara diakhiri dengan makan-makan bersama.

   Alhamdulillah, sudah selamat bertemu keluarga. Jelang jumatan, ayahanda datang. Kami sama-sama ke masjid, juga Azi. Sampai sore dan malam, para kerabat, sanak saudara serta jiran tetangga berdatangan. Bahagia sekali….

Selengkapnya..