Rabu, 18 November 2009

Pascagempa Sumbar (1)

Selasa, 17 November 2009

Menyusuri Padang pada Hari Ke-40 Pascagempa (1)
Bangun Sekolah Tahan Gempa Sekaligus Rescue Center

Pada hari ke-40 pascagempa, wartawan Jawa Pos Nany Wijaya kembali ke Gunung Tigo, Kabupaten Padang Pariaman. Sebelumnya, sepekan pascagempa pun dia sudah ke sana. Catatan tentang kehancuran akibat guncangan 7,9 skala Richter yang mencabik-cabik dan rencana-rencana ke depan akan diturunkan secara bersambung.

---

DI sela-sela mengurus dan mempersiapkan lokasi sekolah yang akan dibangun dengan dana bantuan para pembaca Jawa Pos, saya menyempatkan berkunjung ke daerah perbukitan Gunung Tigo (baca: Gunuang Tigo) di Kabupaten Padang Pariaman beberapa hari lalu.

Dari sisa bantuan pembaca yang belum tersalurkan, kami merencanakan untuk membangun dua sekolah -masing-masing di Padang dan Padang Pariaman- dengan konsep seperti sekolah-sekolah di Jepang. Tak hanya tahan gempa, tapi juga sebagai rescue center ketika terjadi bencana.

Untuk itu, Jawa Pos bekerja sama dengan konsultan JICA, Joshie ''Arenco'' Halim, Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya, Universitas Andalas (Unand) Padang, dan harian Padang Ekspres Group (Jawa Pos Group).

Ini bukan kali pertama saya ke Gunung Tigo yang hancur di beberapa titik karena gempa tektonik. Sebagaimana diketahui, ketika terjadi gempa tektonik berkekuatan 7,9 skala Richter pada 30 September lalu, beberapa titik di kawasan perbukitan yang penduduknya lumayan padat itu mengalami longsor berat. Ratusan orang tewas terkubur hidup-hidup oleh bukit yang longsor.

Tak seperti di Padang, tak banyak korban di Gunung Tigo dan sekitarnya yang bisa diselamatkan. Bahkan, yang di Tandikek, tak seorang pun bisa diselamatkan, sehingga daerah itu pun dinyatakan sebagai kuburan masal dengan jumlah korban tewas sekitar 300 orang.

Kali pertama saya ke Gunung Tigo justru bersama Bupati Padang Pariaman Drs H Muslim Kasim Ak MM dan tim medis RS Petrokimia Gresik yang dipimpin langsung oleh dr Singgih pada hari ketujuh pascagempa.

Baru kali itu saya mengunjungi daerah bencana bersama pejabat pemerintah. Jujur, saya terkesan oleh cara bupati yang pernah bertugas di Dolog Jatim selama 10 tahun (1984-1994) dengan jabatan terakhir Waka Dolog Jatim itu mendatangi para korban.

Dia datang ke lokasi tanpa protokoler. Juga, tak ada tim pendahulu yang ''mengamankan'' lokasi. Dia menemui langsung para korban yang selamat. Kepada mereka, sarjana akuntansi lulusan Unpad Bandung tersebut tak hanya bertanya. Tapi, memberikan langsung apa yang dibutuhkan para korban. Sebab, dia membawa serta sebuah mobil boks berisi bantuan bagi para korban. Mulai natura sampai susu bayi, pakaian layak pakai, dan tenda darurat yang sederhana.

Pada saat yang sama, dia juga memberikan sendiri uang lauk-pauk kepada para korban. Cara memberikannya pun unik. Yakni, meminta mereka yang belum mendapatkan bantuan pemerintah itu untuk berkumpul, kemudian menyerahkan layaknya seorang bapak yang memberikan uang saku kepada anak-anaknya yang akan berangkat sekolah.

Sementara Pak Bupati sibuk dengan urusannya, saya memisahkan diri bersama dr Singgih dan tim medisnya. Di lokasi yang sama, yakni di Korong (semacam dusun) Patamuan, kami bertemu seorang ibu yang bayinya sudah berhari-hari demam. Karena kebetulan sedang bersama tim medis, bayi itu pun langsung ditangani. Tapi, karena ketika itu mereka belum punya posko, penanganan dilakukan secara darurat di teras sebuah rumah yang kebetulan masih utuh.

Untuk gempa di Sumatera Barat ini, Petrokimia Gresik tidak hanya mengirimkan tim medis yang berjumlah 10 orang, tapi juga puluhan dus besar obat-obatan, belasan ton beras, bahan makanan lain, selimut, serta tenda. Bantuan itu diangkut KRI Teluk Mandar bersama sumbangan pembaca Jawa Pos lainnya. Di antaranya, 50 tabung (isi) elpiji 12 kg dari PT Pertamina dan 100 kompor gas PT Energi Multitech Indonesia.

Ketika pagi itu rombongan kami tiba, warga di kawasan tersebut belum mendapat bantuan apa pun. Baru siangnya bantuan dan relawan lain yang membawa bantuan medis, tenda, serta keperluan lain datang berduyun-duyun.

Kalaupun sebelumnya banyak relawan yang datang, konsentrasi mereka bukan membantu yang hidup, tapi berusaha menyelamatkan yang tertimbun longsoran bukit Gunung Tigo. Sayang, yang berhasil dievakuasi umumnya para korban yang sudah menjadi jenazah. Memang rada mustahil untuk bisa bertahan hidup di bawah timbunan tanah bukit yang longsor seperti itu.

Beberapa hari lalu, saya kembali ke Kampung Patamuan. Bukit Padang Alai yang longsor tersebut masih belum banyak berubah. Kalaupun ada yang berbeda, lokasi itu sudah bersih. Tak ada lagi tanah longsoran dan batang-batang pohon kelapa yang berserakan. Jalan di situ juga sudah cukup lebar dan cukup keras untuk dilalui mobil.

Ketika saya ke sana pada hari ke tujuh itu, jalan tersebut cuma jalan setapak yang hanya cukup untuk dua orang. Jika tidak hati-hati jalannya, akan tergelincir masuk ke jurang yang menganga lebar di sampingnya.

Ketika saya kembali ke situ akhir pekan lalu, jurang tersebut masih menganga selebar dan sedalam yang dulu. Rumah bercat tembok pink yang terasnya pernah digunakan dr Irfan dari tim medis RS Petrokimia Gresik mengobati bayi yang demam tersebut masih di sana. Tegak berdiri seperti sebelumnya dan bersih.

Ketika saya tiba di situ, di ruang tamunya hanya ada dua pria muda yang sedang bersantai. Saya yang ketika itu didampingi Iyut, reporter cantik dari Padangtv (Grup JTV-Jawa Pos), tak sempat bertanya banyak. Sebab, kami berdua ingin segera sampai ke Koto Tinggi sebelum hari gelap.

Kami berdua juga tak sempat bertanya kepada pemilik warung di sebelah rumah itu, ke mana gerangan orang-orang yang pernah kami temui pada hari ketujuh pasca gempa yang lalu.

Misalnya, Aroni, 50, yang anak lelakinya, 11 tahun, tewas terkubur longsoran Gunung Padang Alai ketika sedang asyik menonton TV bersama lima temannya. Apriadi baru ditemukan pada hari keenam pascagempa, oleh Aroni yang dibantu tetangga-tetangganya.

Saya juga tak sempat bertanya di mana gerangan ibu Umay sekarang tinggal. Wanita berumur 65 tahun tersebut, pada hari ketujuh itu, juga saya temui di teras rumah tersebut. Dia kehilangan 12 anggota keluarganya. Sepuluh orang di antaranya baru ditemukan pada hari keenam itu, bersamaan dengan jasad Apriadi. Mereka juga sudah tak bernyawa saat ditemukan.

Yang saya agak heran ketika datang kembali ke situ, rumah di samping rumah pink itu. Di situ dulu saya bertemu Kamal. Seorang lelaki berumur 47 tahun yang sebelum gempa tinggal di Jakarta.

Kamal juga kehilangan 12 anggota keluarganya. Delapan orang berhasil ditemukan dalam keadaan hidup. Tapi, karena tak ada akses untuk mendapatkan pertolongan, ''Mereka hanya bertahan hidup selama dua hari,'' tuturnya dengan wajah sedih.

Ketika saya datang dulu, rumah tersebut tinggal separo. Tapi, gorden kamar, lemari hias (orang biasa menyebutnya bufet) di ruang tamu berikut isinya, dan televisinya masih utuh. Namun, lemari pintu hias itu sudah tak bisa lagi dibuka karena bagian depannya tertutup reruntuhan tembok dan atap rumah. Di halamannya juga masih berserakan beberapa kantong mayat bantuan Departemen Kesehatan yang berwarna kuning.

Saat saya kembali ke situ pekan lalu, sisa rumah itu sudah tak ada. Diganti dengan rumah kayu semipermanen yang dihuni kelapa-kelapa. Di halamannya, seorang bapak setengah baya yang saya lupa namanya sedang sibuk membangun tungku untuk membakar kelapa-kelapa yang sudah kering tersebut.

''Kami belum bisa bekerja seperti dulu. Tapi, kalau kelapa yang hanya sedikit ini bisa kami bakar jadi kopra, kan lumayan untuk menyambung hidup,'' tuturnya dengan wajah penuh optimisme.

Dengan berjalan kaki, seperti hari ke tujuh dulu, saya melintasi bukit Padang Alai. Beberapa remaja pria yang berpapasan dengan kami menawarkan mengantar kami dengan sepeda motornya. Saya pikir mereka itu pengemudi ojek, ternyata bukan. Mereka hanya kasihan melihat kami berdua berjalan kaki.

Beda dengan hari ketujuh dulu. Beberapa anak muda yang berani mengemudikan motornya di jalan-jalan darurat memanfaatkan kesempatan untuk jadi ojek. Lumayan juga penghasilan mereka karena bisa mencapai Rp 100 ribu per hari.

Saya dan Iyut memang sengaja berjalan kaki. Untuk mengenang kembali perjalanan kami pada hari ketujuh dulu, di mana kami harus sangat berhati-hati. Kalau tidak, kaki akan tersandung pohon kelapa atau tiang listrik yang tumbang. Saat itu, yang terancam bukan hanya kaki, tapi juga leher yang bisa tersangkut kabel listrik yang tiangnya telah setengah tumbang. Atau, bisa juga dahi kita terantuk tiangnya yang melintang di tengah jalan.

Saat itu, ketika jalan masih sangat darurat, saya dan Iyut sempat juga naik ojek. Namun, tidak jauh karena takut terjungkal. Begitu juga tim dokter dari Petrokimia Gresik. Setelah lelah memikul obat-obatan yang satu dus besar, mereka terpaksa menggunakan ojek.

Ketika kami berdua menapak tilas jejak kami sendiri di Padang Alai, langit sedang terik. Tapi, jika dibanding hari ketujuh dulu, teriknya matahari pekan lalu jauh lebih bersahabat. Apalagi, di sepanjang perjalanan sudah banyak warga yang kembali menempati rumahnya yang masih dalam kondisi berantakan. Yang rumahnya tak bisa lagi ditinggali ya tinggal di tenda-tenda yang didirikan di depan atau samping puing-puing rumah mereka.

Berbeda dengan dulu, kali ini kami banyak mendapat tawaran mampir dan minum dari warga. Pada hari ketujuh dulu, kami harus berjalan sejauh 18 kilometer (PP) tanpa ada yang menawari minum. Beli pun tak bisa karena juga belum ada yang berjualan.

Sebaliknya, ketika itu, kami juga tak bisa memberikan apa-apa kepada warga dan anak-anak yang jadi korban. Namun, pekan lalu, kami berdua dan Pemimpin Redaksi Pos Metro Padang (Jawa Pos Group) Sukri bisa berbagi roti, makanan kecil, bahkan permen dan permainan puzzle (gambar yang bisa dibongkar pasang).

Permen dan puzzle-puzzle itu saya dapat dari Dian, pramugari Garuda rute Jakarta-Padang. Pramugari cantik tersebut juga pernah memberi saya dua bungkus permen saat saya dan dr Singgih dalam penerbangan Surabaya-Jakarta untuk kemudian ke Padang dengan membawa satu tas besar berisi obat bius dan obat-obat injeksi (antibiotik dan anti nyeri).

Permen-permen dan mainan-mainan itu sangat menghibur anak-anak korban gempa di Padang Alai dan Gunung Tigo. (*/iro/jawa pos.com)


Selengkapnya..

Kamis, 05 November 2009

Samudera di Gurun



Samudra Baru Akan Muncul
di Padang Pasir Afrika


Kamis, 5 November 2009

New York-- Jumlah lautan di bumi bakal bertambah. Itu prediksi sejumlah ilmuwan dari Amerika Serikat, seperti dikupas dalam jurnal Geophysical Research Letters. Tim peneliti internasional memperkirakan samudra baru itu muncul di wilayah Ethiophia.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa akibat gempa pada 2005 terbentuk retakan di wilayah padang pasir Ethiopia. Retakan tersebut sepanjang 56 kilometer dengan lebar hingga 6 meter. Laporan tersebut juga menyampaikan bahwa kemunculan celah raksasa itu begitu cepat, hanya dalam beberapa hari.

''Kami tahu bahwa dasar laut dibentuk oleh campuran magma yang masuk ke celah retakan. Tapi, kami belum pernah melihat bahwa jarak sebesar itu bisa terbentuk dalam sekali (retak) seperti ini,'' papar Cindy Ebinger, profesor ilmu bumi dan lingkungan dari University of Rochester.



Berdasar pengamatan ahli, proses bermula ketika gunung berapi Debbanu yang berada di ujung utara retakan meletus. Ebinger memaparkan aktivitas gunung yang tinggi di sepanjang lempengan laut tektonik dapat menimbulkan retakan pada permukaan bumi. Kemudian, magma mengalir mengisi retakan tersebut. Proses itu identik dengan proses terjadinya samudera. Keyakinan itu menguat karena aktivitas retakan serupa juga menjadi bagian dari proses terbentuknya Laut Merah.

Laut Merah terjadi ketika retakan antara lempengan Afrika dan Arab bertemu di Gurun Afar, utara Ethiopia. Celah retakan itu terus meluas hingga 30 juta tahun. Selama itu, setiap tahun kecepatan retakan bisa mencapai kurang dari 1 inci hingga meluas menjadi 297,6 kilometer yang akhirnya menciptakan Laut Merah. Nah, samudra baru ini akan terhubung dengan Laut Merah dan Teluk Aden. (war/ami/jpnn)

Selengkapnya..