Kamis, 29 September 2011

Kesedihan Lintang



KESEDIHAN LINTANG karya IRA WIDANA (DUMAI POS)

FOTO PILIHAN peraih Rida Award 20011

Selengkapnya..

Cewek-cewek Panggilan di Penjara Tj. Gusta

Cewek-cewek Panggilan di Penjara Tj. Gusta (1)

Spesial Dipasok untuk Kalangan Napi Berduit

Pelacuran memang setua peradaban manusia. Begitu juga di rumah-rumah penjara Tanjung Gusta, Medan. Meski lokalisasi pelacuran tidak ada, tapi bagi Napi atau tahanan yang butuh layanan seks komersil, 'banyak jalan' guna menghadirkan cewek pemuas birahi. Tentu, secara ilegal. Nah, lewat investigasi 2 pekan terakhir, POSMETRO menemukan mucikari yang rutin memasok pelacur-pelacur muda ke 'hotel prodeo' itu. Inilah laporan berserinya.

Oleh: Ahmad Faisal

Adalah Rani (25) penguak temuan yang lama teryakini ini. Demikian sosok menggairahkan itu mengenalkan nama komersilnya. Meski perkenalan digaransi seorang tahanan teman POSMETRO, janda bertubuh montok itu berpuluh kali menolak diwawancarai. Ia merasa (wawancara) itu bisa menghancurkan praktiknya. Beruntung pendekatan tak kenal nyerah dari wartawan Anda, membuat Rani akhirnya 'mengangkat bendera putih'.

"Tapi janji, (wawancaranya) tak ada main-main rekam, apalagi difoto-foto, identitas saya juga tolong dirahasiakan, bisa mampus aku kalau orang penjara tahu," Rani mengajukan syarat mutlak. Dan tanpa tedeng aling-aling, "Aku diboking berapa?" Dia menodong tarif waktunya yang dibajak guna wawancara. "Ok, nanti malam kita jumpa," sambungnya via SMS, Selasa (8/3) sore, usai tarif boking disepakati.

Pemuas Nafsu Merangkap Mucikari
Bisnis 'lendir' dalam bui yang disetir Rani rupanya buntut kehancuran rumah tangganya. Dia ditinggal suami. Itu terjadi setahun lalu. "Tak perlu tahu sebabnya," vonisnya ketika POSMETRO coba mengusut sebab perceraiannya. Karena itu, tak diketahui keberadaan mantan suaminya. Cewek berdada dan pinggul besar ini rupanya selalu sakit hati jika dipancing mengenang masa lalunya. Karena itulah dia selalu berupaya meredam dan melupakan noktah hitam perkawinannya.

Sejak menjanda, wanita berdarah Aceh ini hidup bersama putra semata wayangnya, berumur 10 tahun. Mereka tinggal ngontrak di kawasan Pasar VI Medan Marelan. Di rumahnya, beberapa cewek muda dilaporkan acap terlihat. Cewek-cewek itu dipastikan tak punya hubungan ikatan darah dengan Rani. Bukan saudara, bukan pula family.

"Itu teman-temanku," jawab Rani, ketika sosok-sosok menggoda yang diduga kuat 'anak-anak didiknya' itu diusut. “Bentar ya,” tutupnya sambil berlalu ke kamar, ketika disambangi, Selasa (8/3) malam itu. Rani berganti busana.

Di rumahnya yang kecil, tak banyak terlihat perabot. Bahkan idealnya rumah, tak terlihat kursi dan meja tamu di ruang utama. Hanya karpet plastik, alas duduk setiap tamu yang datang. Selain ranjang, di rumahnya hanya ada sebuah pesawat tivi Samsung 21 Inchi, kulkas 1 pintu, lemari pakaian 3 pintu, 1 kipas angin, buffet mini berdebu berisi 8 gelas hias, serta 3 hiasan dinding bermotif religi.

Meski itu semua bernilai 'tak seberapa', awalnya Rani bahkan sama sekali tak punya harta saat memulai hidup sebagai single parent atau sebelum dia menjadi produsen pemuas nafsu syahwat merangkap mucikari. Ya, tak disangkal: hasil dari bisnis syur di balik jeruji perlahan mengangkat derajat ekonomi Rani. "Yuk," ajaknya, usai mengganti baju tidur tipisnya yang tadi jelas membayang ditimpa sinar lampu.

Komisi Rp200 Ribu/PSK
Begitulah. Di sebuah lokasi, mucikari muda itu pun mulai cerita. "Rumah (sewa) itulah awalnya," Rani menyiratkan 'lounching' praktiknya menyetir bisnis memuaskan syahwat para tahanan. "Setahun lalu rumahku itu digrebek polisi," Rani membuka tabir awal memasok PSK ke penjara.

"Dua temanku (1 cewek, 1 bencong, red)," sambungnya, "ditangkap pakai sabu. Aku pun jadi ikut berurusan (dengan polisi) walau akhirnya aku tak ditangkap (kabarnya hasil tes urine Rani saat itu negatif, red)." Pun lolos jerat bui, Rani mengaku bukanlah sosok bersih dari Narkoba. Ceritanya, sejak ditinggal suami lalu bergaul dengan bencong dan cewek-cewek nakal, hingga kemudian mulai sesekali jual diri, Rani sadar tak hanya mendapatkan uang dari hasil dagang kemaluannya. Di dunia 'kotor' itu dia juga menemukan hobi baru yang tak kalah membahayakan, ya... mengonsumsi Narkoba. Hampir semua cewek yang terjun dalam praktik prostitusi juga menikmat itu.

Bagi Rani, dengan memakai Narkoba, pikirannya hanya berkutat pada kesenangan semata. Itu artinya benaknya bersih dari bayang-bayang kelam perkawinannya. "Tapi sabu aku kurang mau, karena rasaku menyiksa, tak bisa tidur. Kalau on (pesta ekstasi di diskotik, red) aku suka. Apalagi kalau (on) di Super (Diskotik), enak obatnya (ekstasi, red)," akunya. Adakah narkoba punya benang merah dengan awal terciptanya bisnis syahwatnya di penjara Tanjung Gusta? Ya. Begini tali penyambungnya.

Pasca 2 temannya ditangkap akibat nyabu, Rani kemudian ketiban mendapat job menyuplai cewek-cewek PSK (pekerjai seks komersil) ke penjara Tanjung Gusta. Janda ngaku suka berbagai adegan seks ini langsung tertarik karena duit hasil kerja gampang itu lumayan menggiurkan. Dari setiap 1 PSK yang diantarnya untuk teman tidur Om Napi, Rani bisa mendapat komisi Rp200 ribu. Bayangkan jika dia mengantar 10 PSK. Itu belum lagi uang tip dari Napi atau tahanan yang senang tak kepalang terhadap cewek suguhan Rani. Dan intinya, tugas Rani hanya menyiapkan para PSK lalu mengantarnya sampai ke dalam penjara. Itu saja.

Nah, bisnis yang akhirnya nyaris rutin membuatnya dapat order saban pekan itu rupanya berkat pergaulan si bencong (teman Rani yang tertangkap, red) dengan sejumlah tahanan berduit, saat 'wanita jadi-jadian' itu menjalani masa hukuman di Tanjung Gusta. Jadi sesungguhnya, bencong itulah awal perantara terciptanya bisnis prostitusi dalam penjara ini. Pada Rani, Waria itu menyerahkan segala urusan penyediaan PSK. Rani dan si bencong memang berteman akrab.

So, bagaimanakah modus operandi Rani saat memasok PSK-PSK koleksinya ke dalam penjara sesak penghuni itu? Sudah berapa lama dia menjalankan bisnis itu? Adakah tahanan kere keciprat rezeki praktik itu?

Seperti apa pula bentuk keterlibatan oknum sipir? (bersambung)


Cewek-cewek Panggilan Penjara Tj. Gusta (2)

Tanpa Ranjang & Bantal Tarif Kamar Rp300 Ribu



Tanjung Gusta terkadang disebut miniatur Alcatraz, penjara seram paling kesohor di Amerika. Itu karena 2 penjara tersebut sama-sama banyak dihuni penjahat yang gol untuk kali kedua atau ketiga. Bedanya, Alcatraz dihuni banyak pembunuh -seperti Al Capone, raja kejahatan dari Chicago, sementara Tanjung Gusta (kayaknya) diisi banyak bandit sabu-sabu. Nah, napi kasus ‘si putih’ itulah yang sering memboking pelacur-pelacur pasokan Rani (25).


Oleh : Ahmad Faisal

Tak disangkal: eksisnya bisnis prostitusi di balik bui Tanjung Gusta adalah buntut pengawasan yang lemah. Juga akibat penegakan standart moral yang longgar. Itulah yang membuat ‘muntahan’ kafe-kafe remang kawasan Marelan mudah masuk ke sana. Ya, cewek-cewek pasokan Rani sebelumnya primadona sejumlah kafe esek-esek.

Pun ‘kelas’ kafe remang, bukan berarti para pelacur itu berparas tak menggairahkan. Soal wajah, apalagi body, Rani mengaku selalu ketat melakukan ‘editing’. Demi kesenangan para konsumen, seleksi fisik yang ketat dilakukannya sejak kali pertama mendapatkan bisnis ‘lendir’ ini. Bahkan selain 2 syarat kasat mata itu, Rani juga melakukan seleksi non fisik bagi para calon ‘anak didiknya’. Seperti apa?

“Mereka harus punya naluri seks yang menggebu-gebu dalam waktu yang singkat,” jawab Rani, mucikari bohay itu. “Itu harus karena mereka bukan ‘main’ di (kamar-kamar) hotel yang dingin ber-AC dan ranjangnya empuk. Bukan. Tapi (mereka ‘main’) di dalam kamar-kamar penjara, yang tentu panas,” terangnya.

Kamar-kamar ‘eksekusi’ itu, imbuhnya, “Ya ruang-ruang untuk berhubungan intim para tahanan. Tapi kadang bisa juga ruang-ruang lain. Yang jelas, tak ada tempat tidur, bantal juga tak ada. Ya ‘mainnya’ di atas karpet. Tapi pernah juga (cewek) bawaanku diajak (‘ho-oh’) ke kantor (ruangan kantor penjara, red).”

Meski kamarnya kecil bahkan tanpa ranjang, jangan kira tarif sewanya murah. Tarif kamar hotel mewah pun bisa kalah. Berapa? Rp.300 ribu/3 jam.

“Mulai setahun lalu. Bulan berapa ya... tak ingatlah,” Rani menyebut awal kali pertama dia memasok cewek-cewek PSK ke penjara Tanjung Gusta. “Tapi aku masih ingat siapa aja 6 cewek yang kubawa pertama kali itu. Mala (23), Shanty (20), Tina (18), Rika (20), Ema (21), Dina (18). O, Dina belum, Vina (22) yang (mulai sejak) pertama,” sambungnya, sedikit meralat.

Tak ada modus spesial saat Rani meloloskan cewek-cewek koleksinya ke rumah penjara yang dijaga berlapis-lapis itu. Semua berlangsung biasa, lazimnya para pengunjung tahanan. “Biasa aja,” bebernya, “ya (kami) daftar dulu di loket depan, nyerahkan KTP, trus di pintu pertama barang-barang (kami) diperiksa. Paling ya karena peraturan (soal jumlah tamu) maksimal 3 orang (per kelompok), ya tinggal atur kami terpisah-pisah saja. Gampang aja.”

Ya, prostitusi itu berlangsung siang hari. Bukan malam. Dan Sabtu adalah hari paling sering bagi Rani memasok cewek-cewek pemuas birahi itu. Lalu apa sebab hingga proses masuk para pelacur itu bisa terlihat bak pengunjung biasa? Pada siapa duit sewa kamar, juga biaya boking pelacur, disetor? Adakah bisnis syur ini juga bisa mengalami stagnasi? (bersambung)

Cewek-cewek Panggilan Penjara Tj. Gusta (3)

Pasokan PSK Terhenti
Gara-gara Khatibul


Bisnis syur ini kadang kala juga mengalami stagnasi. Seperti terjadi selama Februari kemarin. Tapi eits, terhenti bukan karena 'dagangan' retail ‘anak-anak didik’ Rani mulai jarang pembeli
.

Laporan: Ahmad Faisal

“Om itu nafasnya sudah seperti kereta api,” Rani lalu masuk pada sesi cerita ‘terpanas’ dari bisnis ‘lendir’nya, saat kali pertama -dari tak terhitung berapa kali memasok cewek-cewek ke penjara Tanjung Gusta- dia pun turut diboking seorang tahanan berdarah Tionghoa. Ya, saat memasok 8 PSK di buritan Januari 2011, mucikari bohay berumur 25 tahun itu juga ditaksir.

Begitulah. Di kamar pengab tanpa ranjang, sambungnya, “Tangannya memegang bahuku yang sudah terbuka. Ia lama mengusapku lembut. Aku menutup mata. Naluri kewanitaanku bangkit. Jantungku dag dig dug. Tapi aku diam tak bereaksi. Bukan munafik. Sebelum menjadi penyuplai cewek-cewek ke penjara, sudah sering aku (berhubungan intim) dengan banyak cowok. Tapi untuk ‘main’ dengan tahanan di kamar penjara, sumpah... itulah pengalamanku pertama kali.”

Rani tak bereaksi walau jantungnya berdegup kencang karena ia yakin: para tahanan yang memboking cewek-cewek bawaannya adalah tipe pria kasar dalam bercinta. Dugaannya dilatari jarangnya para lelaki terkurung itu menyalurkan hasrat seksnya, juga suasana penjara yang penuh dengan nuansa kekerasan.

Rupanya Rani salah duga. “Om (yang membokingku) itu ternyata romantis. Dia tak langsung grasa-grusu, seperti banyak cowok yang sudah lama tak menyentuh wanita. Om yang katanya dipenjara karena kasus sabu-sabu itu main slow karena ingin menunjukkan kematangannya sebagai lelaki,” lanjut janda bertubuh proporsional ini. Inilah ringkasan adegan purba di kamar penjara itu, usai bahasa oral Rani yang vulgar disemir di sana sini.

“Setelah bermain di bahuku, dipegangnya daguku. Lalu pelan-pelan aku didekatkannya ke wajahnya. Ya, aku dilumatnya. Sampai di sini, aku masih berlagak seperti anak lugu ‘yang tak pernah gituan’. Tapi saat kemudian dia mulai bermain-main di seputar wilayah sensitifku, di situlah aku mulai tak tahan. Aku sudah tak tertahankan. Aku bereaksi. Selanjutnya giliranku yang melakukan permainan di wilayah sensitifnya. Dan saat aku makin tak tertahankan lagi, aku naik ke tubuhnya. Kupegang kendali sampai permainan itu tuntas tas tas... Kami mandi keringat.”

Meski (mengaku) hanya kali itu diboking tahanan, tapi Rani jujur tak bisa melupakan aksi lawan mainnya di kamar penjara itu. Apalagi sejak memasok ‘barang-barang koleksinya’ di siang ujung Januari itu, bisnis prostitusinya mendadak berhenti. Sebuah peristiwa heboh di penjara jadi pemicunya. Ingatkah Anda dengan aksi kabur seorang tahanan yang berhasil mengelabui para sipir dengan modus menumbalkan teman penjenguknya -menjadi penggantinya di penjara, pada Selasa siang 8 Februari (2011) lalu?

Ya, gara-gara aksi kabur tahanan bernama Khatibul –bahkan hingga sekarang belum ditemukan- itu order memasok cewek-cewek ke rumah penjara itu pun terhenti. Akibat kasus yang ‘menampar’ institusi rumah penjara itu, POSMETRO memang menemukan pengawasan –mendadak- super ketat pada semua pengunjung dan ribuan tahanan di situ.

Pengawasan ketat berlapis-lapis bahkan nyaris membongkar misi investigasi membongkar praktik prostitusi terselubung ini saat wartawan Anda mengunjungi rumah penjara itu pada Jumat siang 25 Februari 2011. Tapi penjagaan super ketat itu hanya sesaat. “Ya ada sekitar 5 minggulah tak ada panggilan (ke penjara), sekarang baru mulai (bisa memasok) lagi,” kata Rani terlihat sumringah. Bagaimana aktivitas Rani dan ‘anak-anak didiknya’ saat ‘libur kerja’ selama 5 pekan itu? (bersambung)

Cewek-cewek Panggilan Penjara Tj. Gusta (4)

Selain Rani, Sedikitnya Ada 2 Mucikari Lain


Desain bangunan yang berkelok-kelok pada 9 blok rumah penjara Tanjung Gusta menjadi pemulus geliat prostitusi terselubung di sana. Ini bukan top secret. Semua (penghuni) sudah tahu sama tahu.

Laporan: Ahmad Faisal

Pasca heboh aksi kabur Khatibul, terhitung 3 kali wartawan Anda bolak-balik menembus 6 lapis pemeriksaan super ketat guna masuk rumah penjara Tanjung Gusta. Kunjungan pertama terjadi pada Jumat siang 25 Februari 2011. Di sini, karena wartawan Anda lupa membawa KTP, pemeriksaan identitas (oleh petugas) terpaksa dicatat lewat kartu pers koran ini. Itu pula yang nyaris membongkar misi investigasi membongkar praktik pelacuran di balik terali besi ini.

“Apa tujuan kunjungan ke sini, Pak,” tanya petugas di loket 1, dengan wajah tampak tak bersahabat, sebelum meminta identitas awak koran ini.

“Mau mengendus jejak (pelarian) Khatibul,” sigap POSMETRO sambil menyurungkan id.card harian ini, dan jawaban singkat itu kontan menyetop ‘lika-liku birokrasi njelimet’, seperti dialami banyak pengunjung lain.

“Kenal dengan Johasman (di POSMETRO MEDAN), Pak?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada dan wajah tak lagi menakutkan.
“Kenal.” Bak jalan tol, wartawan Anda pun melenggang masuk tanpa lagi ‘dihambat’ birokrasi pemeriksaan yang njelimet.

Kunjungan kedua, dengan tampilan sedikit diubah dan memakai topi pet, terjadi besoknya (Sabtu siang 26 Februari). Kali itu tentu membawa KTP dan menanggalkan identitas kewartawanan. Tapi masuk dengan ‘cara biasa’ itu rupanya mengingatkan koran ini pada sosok-sosok tersangka saat menjalani proses introgasi yang tak jarang berbuntut kekerasan.

“Mau menemui siapa?!” introgasi dimulai.
“Iwan, Pak, tahanan di blok 3.”
“Siapa Anda (Iwan) itu?!”
“Family, Pak.”
“Family bagaimana!?” pertanyaan bernada mencurigai.
“Eee... gimana ya, agak jauh juga sih (hubungan kami secara saudara).”
“Anda jangan bohong!” gebrak petugas di loket itu.
“Lho buat apa bohong. Gini, ringkasnya, kakek kami itu sepupuan. Kalau tak percaya, tanya aja dulu sama dia (Iwan, red) di dalam.”
“Urusan apa nemui dia?” introgasi makin mendalam.
“Saya mau nanya soal (mesin) shinsaw punya dia yang tak lagi terpakai, apakah dijualnya, karena saya mau membeli shinsaw dia itu, Pak.” Beruntung jurus (dalih) ‘shinsaw’ itu berhasil membuat si petugas yakin hingga dia tak lagi bertanya ini itu.

Nah, di kunjungan kali kedua pas week-end (akhir pekan, red) itulah, pandangan mata banyak orang (tahanan dan tamu) yang tumplek di ruang kunjung mendadak tertuju pada kemunculan 3 cewek muda bercelana jins dan t-shirt ketat. Sambutan terhadap trio menggairahkan itu tampak beda dibanding para tamu yang diarahkan menuju ruang bertemu para tahanan.

Tiga cewek itu, usai lolos di pintu pemeriksaan kedua, terlihat berjalan menuju sebuah bangunan berkelok di sisi kanan bagian dalam dari rumah penjara itu. Langkah 3 sosok menggoda itu dipandu seorang tamping (tahanan yang dipekerjakan, red).

“Alamak jang... tahan selera woi, ‘bajing-bajing’ kali ah,” celetuk nakal seorang tamu, blak-blakan menyebut 3 cewek itu adalah PSK yang sudah diboking tahanan tertentu. Saat dicros-check, pengakuannya itu diamini sejumlah tahanan, termasuk Iwan, sosok yang ditemui koran ini.

“Alah, semua yang di sini sudah tahu sama tahulah soal itu, hampir tiap Sabtu mereka didatangkan,” sambung lelaki diketahui bernama Ramadhan (26), warga Jl. Mayor, Pulo Brayan, Medan, dan diakui sudah sering ke rumah penjara itu guna menjenguk seorang saudaranya yang ditahan. Nah, temuan ini terjadi sebelum POSMETRO mengenal Rani (25), mucikari yang saat itu –gara-gara heboh aksi kabur Khatibul- malah (sementara) tak bisa memasok cewek-cewek PSK koleksinya ke dalam penjara.

Ternyata tak hanya Rani mucikari di rumah penjara itu. “Ya sih, yang kudengar ada 2 (mucikari) yang lain yang juga sering memasukkan cewek-cewek ke dalam penjara. Tapi aku tak kenal mereka,” aku Rani, yang baru dikenal pada kunjungan kali ketiga koran ini ke rumah penjara sesak penghuni itu. (bersambung)


Cewek-cewek Panggilan Penjara Tj. Gusta (5)

Lokalisasi Aja tak Otomatis Membuat Prostitusi jadi Legal

Laporan : Ahmad Faisal


Prostitusi itu sejatinya ilegal. Apalagi yang terselubung, seperti yang lama menjadi rahasia umum di kalangan penghuni rumah-rumah penjara di Tanjung Gusta.

Meski terkesan teori, setidaknya demikianlah mahzab hukum pelacuran di negeri ini. Pun (prostitusi) itu (ilegal) sepakat dianut, pro dan kontra tetap terjadi. Praktisi hukum Matjon Sinaga, SH yang kemarin (17/3) ditemui POSMETRO, kontan mengaku akan bereaksi bersama sejumlah teman seprofesinya, jika dalam perkembangan zaman yang semakin kapitalistis ini ada mendengar upaya kampanye terselubung guna melegalkan prostitusi. “(prostitusi jadi legal) Itu mungkin saja terjadi di zaman yang semakin gila ini.

Apalagi sekarang, tak hanya wanita yang jadi pelaku pelacuran, lelaki juga diam-diam sudah banyak. Bahkan (pelacuran) itu (banyak terjadi) di daerah-daerah (pedesaan) yang katanya pemahaman masyarakatnya soal agama lebih kuat daripada masyarakat kota,” beber Matjon di kantornya, Jl. Ahmad Yani VII, Medan.

Karena ilegal, dapatkah semua yang terlibat dalam praktik prostitusi, seperti kasus di penjara Tanjung Gusta, diancam dengan pidana? Jawabnya “Tentu saja sangat bisa,” jawab Matjon.

Apa pendukung yuridis untuk upaya pidana itu? Dia membeberkan beberapa langkah hukum terkait upaya pidana terhadap praktik prostitusi.

Upaya pidana, menurutnya, bisa dilakukan jika Pemerintahan Daerah di wilayah tempat lokalisasi atau pelacuran terselubung itu ditemukan, ada kebijakan soal Perda (Peraturan Daerah) Pelarangan Pendirian Lokalisasi.

Pun jika Perda soal itu tak ada, pendukung yuridis yang lain bisa dicari lewat beberapa pasal di Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Bisa juga dengan menggunakan kekuatan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons of the Prostitution of Others, 1949), perdagangan perempuan, dan prostitusi paksa.

Atau juga memakai UU Pariwisata No. 9 Tahun 1990. Atau, Konvensi ILO No. 182, serta peraturan lain yang mengatur pelarangan praktik seks komersil.

Pada undang-undang atau aturan itu disebutkan, pengelolaan atau pengadaan praktik seks komersil -baik bersifat pribadi maupun yang dipersiapkan secara profesional, dikategorikan sebagai tindak pidana.

“Karena itu,” jelasnya, “jadi jika sebagian daerah di negeri ini masih mengijinkan pendirian lokalisasi, sebenarnya itu bukan otomatis membuat kegiatan prostitusi menjadi legal. Pada prinsipnya, lokalisasi itu adalah tindakan preventif
(pencegahan, red) untuk mengurangi kegiatan prostitusi itu semaksimal mungkin.”

Karena itu, jelasnya lagi, “Pengenaan sanksi pidana terhadap seseorang atau pihak-pihak yang ditemukan terlibat dalam pengelolaan praktik seks komersial, dapat dijatuhi pidana sesuai dengan tingkatannya. Adakah orang itu, misalnya, terbukti sebagai pelaku yang mengambil inisiatif (prostitusi), atau pengelola, atau dia sebenarnya pesuruh, atau pelanggan, hingga si pekerja seks itu sendiri.”
Kapankah penegakan hukum pelacuran mulai marak dilakukan di setiap sudut negeri dengan warganya yang banyak ditemukan bertabiat porno ini? Tak usah muluk menjawab sesuatu yang masih jadi impian. Soalnya, kini, besok, lusa, dan entah sampai kapan: praktik prostitusi di negeri ini selalu eksis –meski ilegal. (bersambung)


Cewek-cewek Panggilan Penjara Tj. Gusta (6/tamat)

Diboking TahananSulit ‘Berkokok’

Laporan : Ahmad Faisal

Mendatangkan pelacur ke penjara guna memuaskan hasrat seks,
bisa dilakukan kapan saja, yang penting uang ada. Ya, kuncinya: duit! Inilah buntut pameo: segala sesuatu yang bisa dipersulit tak akan dipermudah.

Setidaknya, begitulah asumsi hasil investigasi POSMETRO terhadap temuan lemahnya upaya penegakan hak-hak tahanan di rumah-rumah penjara Tanjung Gusta, terutama hak menyalurkan hasrat biologis. Soal ini tentu tak dialami para napi atau tahanan yang terlibat kasus ilegal logging, narkoba partai besar, apalagi korupsi.

Bahkan menurut Rani (25), seorang pelanggannya yang notabene tahanan berduit, saban pekan tak pernah absen memboking cewek kirimannya, meski lelaki berdarah Tionghoa itu diketahui mengidap diabetes. Secara teoritis, lelaki penderita diabetes tentu tak lagi nyaring ‘berkokok’ di ranjang.

Tapi itulah adanya. Bagi para tahanan 3 tipe kasus itu, duit seolah tak berseri. Karena itulah, para penikmat cewek-cewek pasokan Rani, adalah napi atau tahanan 3 jenis kasus itu. Ya, menu syur seharga minimal Rp.1.500.000/paket 3 jam itu tentu tak akan mungkin bisa dikompromikan guna dinikmati para tahanan kasus maling ayam, apalagi pencopet kelas pasar yang masuk bui usai bonyok digebuk massa.

Alih-alih menyalurkan hasrat seks yang lama terpendam, sebagian dari tahanan kelas kere itu malah ditemukan acap ‘dibon’ petugas untuk dipermak, guna kemudian diminta menyerahkan uang sogokan agar kasusnya ‘tak berkembang ke sana ke sini’. Syukur bagi mereka yang selama meringkuk di ‘hotel prodeo’ itu tak membuat orientasi seksnya jadi menyimpang.

Begitulah. Gelombang praktik prostitusi serta free sex diketahui semakin menggemuruh setelah internet membumi pada pertengahan dekade 90-an. Pengaruhnya dibuntuti kemajuan teknologi telepon seluler yang kian canggih. Dua temuan di zaman millenium itu kini menjadi alat baru dalam pergaulan seks bebas dan ‘tak bersekat’, seperti yang sekarang terus terjadi di balik sel-sel pengab penjara Tanjung Gusta, Medan. (tamat)


Selengkapnya..

Horeee Lulus



HOREEE LULUS, karya FARAH NADYA UMAINA (Tanjungpinang Pos)

Nomine Rida Award 2011 kategori Foto Jurnalistik

Selengkapnya..

Korban ALS




KORBAN ALS karya Amran Pohan (Metro Siantar)

Nomine Rida Award 2011 kategori Foto Jurnalistik

Selengkapnya..

Salsabila



SALSABILA karya SAID MUFTI (RIAU POS)

Nomine Rida Award 2011 kategori Foto Jurnalistik

Selengkapnya..

Menunggu Jatah Makanan



MENUNGGU JATAH MAKANAN karya YUSUF HIDAYAT (BATAM POS)


Nomine Rida Award 2011 untuk Foto Jurnalistik

Selengkapnya..

Abadikan Baku Tembak dari Balik Pohon Sawit

Menyusuri Jejak Gerombolan Bersenpi di Dolok Masihul, Kabupaten Sergai (1)

Hardono Purba, Silou Kahean

Tegang, waswas, dan lelah menjadi satu saat kru METRO turut bersama polisi berburu gerombolan bersenjata api (senpi) yang bersembunyi di perkebunan sawit di Kecamatan Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) beberapa hari lalu. Bagaimana kisahnya? Ikuti mulai edisi hari ini.

Jumat pagi, (1/10) METRO meluncur menuju Dusun II Desa Dolok Manampang, Kecamatan Dolok Masihul, lokasi di mana mobil Kapolsek Dolok Masihul ditembak kawanan bersenpi. Menyusuri jalan pintas yang becek dan berlumpur di kawasan perkebunan PTPN III Silou Dunia, beberapa kali sepedamotor yang dikendarai terpeleset di kubangan lumpur.

Di lokasi kejadian, ratusan warga berkumpul. Satu unit truk Samapta dan mobil patroli disiagakan di sana . Sementara puluhan personel polisi berpakaian dinas dan sipil berjaga–jaga. Sebagian tampak mengatur lalu-lintas yang macet. Kebetulan ruas jalan tersebut memang jalan utama dari Dolok Masihul menuju Medan via Galang dan Lubuk Pakam, Kabupaten Deliserdang.

Setelah memarkirkan sepedamotor, METRO menemui Wakapolres Sergai, Kompol Syahril Yusuf yang sedang beristirahat di sebuah warung. Di warung tersebut, perwira menengah ini menceritakan kronologi kontak senjata. Ternyata Wakapolres berada di dalam mobil saat kawanan bersenpi menembaki mobil Kijang milik Kapolres.

“Saya, Kapolsek Dolok Masihul, dan seorang anggota sedang melakukan penyisiran dari arah Galang menuju Dolok Masihul. Di TKP, mereka menembaki mobil yang langsung kami balas dengan tembakan juga. Dua orang meninggalkan sepedamotor dan lari ke arah perladangan, sementara empat sepedamotor lainnya dibawa kabur ke arah Dolok Masihul,” tuturnya.

Usai berbincang dengan Wakapolres, METRO menemui warga di sekitar tempat kejadian perkara (TKP). Namun beberapa warga enggan memberikan informasi.

“Takut,” ujar salah seorang dari mereka.

Namun setelah diajak berkenalan dan martutur (menyebutkan hubungan marga), warga mau diajak cerita.

“Suasana saat itu mencekam. Terdengar beberapa kali letusan senjata, juga teriakan aparat meminta kami tiarap dan mematikan lampu. Kami juga mendengar derap langkah berlari dari samping rumah menuju perladangan sawit dan karet di belakang rumah,” ujar Eli br Barus, warga setempat. Di depan rumah Eli, kawanan meninggalkan satu unit sepedamotor Yamaha Vega R.

Hanya itu yang diketahuinya. Sebab saat kejadian ia berada di dalam rumah, dan tidak berani keluar.

Dari situ, METRO menuju desa Pekan Kamis, TKP kontak senjata kedua, sekitar lima kilometer dari lokasi kontak senjata pertama, k earah Tebing Tinggi. Di Dolok Masihul, METRO berpapasan dengan iring-iringan kendaraan Wakapoldasu Brigjen Pol Syafruddin yang ingin meninjau TKP. METRO langsung balik kanan mengikuti iring-iringan kendaraan tersebut. Di sebuah lokasi penimbangan kelapa sawit di sekitar TKP, Wakapoldasu memberikan keterangan pers.

“Empat pleton pasukan sedang melakukan penyisiran sampai batas waktu tidak ditentukan, aparat TNI juga turut membantu pengejaran,” jelasnya.

Selanjutnya METRO meneruskan perjalanan ke Pekan Kamis dan singgah di Mapolsek Dolok Masihul. Tempat ini dijaga ketat, beberapa aparat bersenjata lengkap berjaga-jaga di depan Mapolsek. Di tempat ini, METRO bertemu Kapolres Sergai AKBP Drs Fery Sahari. Namun ia tidak bersedia diwawancarai.

“Maaf saya buru-buru,” katanya menuju mobil hitam yang sudah stand by di depan Mapolsek. Di Pekan Kamis, warga masih berkerumun. Salah seorang warga bercerita, saat dini hari sempat terjadi kontak senjata. “Terdengar letusan, namun kami pikir trafo PLN yang meledak,” ujar br Silitonga.

Salah seorang warga juga melihat enam anggota kawanan bersenpi melarikan diri menuju persawahan, d isamping gereja HKBP.

Menjelang sore, METRO meneruskan perjalanan ke Pertapaan, tempat petugas melakukan penyisiran. Masuk dari belakang rumah warga, melewati perladangan ubi, karet, dan kelapa sawit, serta jalan yang becek dan berlumpur, METRO tiba di Pertapaan. Di tempat ini, puluhan aparat bersenjata berjaga-jaga.

“Kawan-kawan masih menyisir ke perladangan, kami berjaga-jaga di sini untuk mengantisipasi mana tahu mereka (gerombolan bersenpi, red) terdesak dan lari ke sini,” ujar seorang petugas yang menyandang senjata laras panjang.

Terlibat Kontak Senjata

Keesokan harinya, Sabtu (2/10) sekitar pukul 10.00 WIB, METRO bermaksud menuju Mapolsek Dolok Masihul. Namun di Pos Polisi Silou Dunia, bertemu Kapolsek Silou Kahean, AKP Lamin. Kepada METRO, Kapolsek menyampaikan informasi jika pasukan BKO Brimob di Silou Kahean sedang melakukan penyisiran di wilayah Bandar Nagori. Saat bermaksud turut dalam penyisiran, seorang rekan yang bermalam di Mapolsek Dolok Masihul menginformasikan kawanan bersenpi terlihat di kawasan Dolok Sagala, Kecamatan Dolok Masihul.

“Informasinya A1 (pasti, red), kami menuju ke sana ,” katanya melalui pesan singkat.
Agar cepat tiba di TKP, METRO mengambil jalan pintas melalui perkebunan kepala sawit PT Socfindo Bandar Pamah. Kondisi jalan yang tidak diaspal, sangat licin karena hujan yang turun di malam sebelumnya. Alhasil, METRO beberapa kali terpeleset, dan bagian bawah celana penuh lumpur, sementara alas kaki terasa berat karena dipenuhi lumpur. Parahnya, METRO kehabisan bensin sepedamotor di tengah perkebunan kelapa sawit.

Sendirian di tengah perkebunan kelapa sawit yang luas dan sepi, sempat membuat hati waswas. Beruntung, seorang karyawan perkebunan berpakaian dinas biru tua mengendarai sepedamotor Mega Pro hitam melintas. Saat itu, ia berboncengan dengan seorang temannya.

Awalnya, pria berkumis yang membawa parang panjang di pinggangnya itu menolak ketika METRO meminta tolong diantarkan ke warung terdekat. Setelah METRO menunjukkan identitas, karyawan tersebut menghubungi rekannya agar mengantarkan bensin ke lokasi kami, bahkan memberikan petunjuk jalan pintas yang paling dekat. “Terus terang kami khawatir kalau ada orang yang tidak dikenal,” sebut pria itu.

Setelah membayar uang bensin dan mengucapkan terima kasih, METRO meneruskan perjalanan menuju Dusun 3 Saranpuah, Desa Dolok Sagala, Kecamatan Dolok Masihul. Di setiap persimpangan jalan menuju desa itu, dijaga personel Brimob bersenjata laras panjang. Warga juga tampak duduk-duduk di depan rumah masing-masing

Sekitar pukul 13.00 WIB, saat sedang berbicara dengan warga, dari arah perkebunan kelapa sawit terdengar letusan senjata yang kemudian diikuti rentetan letusan senjata. Mudah ditebak, sedang terjadi kontak senjata.

Beberapa personel Brimob terlihat mengokang senjata laras panjang dan berlari menuju barisan pohon kelapa sawit. Petugas berpakaian sipil juga mengeluarkan senpi dan mencari perlindungan di pohon kelapa sawit sambil mencari arah letusan senpi. Sementara warga masuk ke rumah, meskipun ada juga yang tidak takut, bahkan turut menuju lokasi perkebunan.

Suasana saai itu sangat mencekam. Hanya ada suara senjata yang bersahut-sahutan diikuti teriakan-teriakan petugas. Beberapa aparat menyuruh warga masuk ke rumah. Sedangkan METRO berlindung di balik pohon kelapa sawit, dan mencoba mengabadikan petugas yang sedang menembak.

Suara tembakan terdengar semakin jauh. Kemungkinan pasukan Brimob berhasil mendesak kawanan tersebut ke tengah perkebunan. METRO mengikuti polisi yang bergerak maju.
“Hati-hati, Bang, peluru nyasar,” serang polisi mengingatkan METRO. Ia berlindung sekitar tujuh meter dari METRO. Sementara kontak senjata berlangsung sekitar dua jam.

Dalam kontak senjata ini, seorang petugas, Bripka Sugeng, komandan regu Brimob Tebing Tinggi, terkena tembakan di bahu kanan. Ia langsung dievakuasi ke rumah sakit. Saat itu, petugas menembak kawanan bersenpi berbaju kotak-kotak yang diketahui bernama Robin Simanjuntak, warga Tanjung Morawa Gang Keluarga, Deliserdang. Dengan tangan dinorgol, Robin dibawa dari perkebunan sawit menuju perkampungan. Beberapa saat kemudian, satu unit mobil ambulans abu-abu milik polisi tiba dan membawa Robin ke Mapolsek Dolok Masihul. (bersambung)


Menyusuri Jejak Gerombolan Bersenpi di Dolok Masihul, Kabupaten Sergai (2)
Menyeberang Sungai, Sebotol Air Mineral Dibagi-bagi

Hardono Purba, Silou Kahean

Di dusun III Saranpua Desa Dolok Sagala, polisi melumpuhkan seorang anggota kawanan perampok. Perampok yang belakangan diketahui bernama Robin Simanjuntak itu ditembak dua kali di paha. Polisi juga menyita puluhan peluru aktif dari tangan tersangka.

Setelah suara tembakan berhenti, atas anjuran seorang petugas, kru METRO keluar dari lokasi kontak senjata.

“Tak usah ikut melakukan penyisiran, sangat berbahaya, apalagi abang tidak bersenjata,” katanya.

Dengan bercanda kru menjawab, “bawa senjata, tapi pistol air.”

Petugas itu hanya tersenyum, selingan ringan yang membuat suasana cair usai kontak senjata yang menegangkan.

Meskipun tak sempat tiarap karena berlindung di balik pohon kelapa sawit, bagian bawah celana kru yang berwarna hitam sudah berubah menjadi kecoklat-coklatan, tersiram lumpur.

Pasukan Brimob yang membawa senjata laras panjang dan berseragam masih melakukan penyisiran hingga ke tengah kebun kelapa sawit dan ubi. Sementara beberapa personel berpakaian preman dan bersenjata pistol mulai keluar dari kebun. Raut ketegangan masih tersirat di wajah mereka.

“Kita jaga di pinggiran pemukiman, mana tau mereka lari ke sana ,” ujar seorang di antara mereka.

Usai kontak senjata, situasi mulai tenang. Warga juga sudah berani keluar rumah dan berkerumun menceritakan pengalaman masing-masing. Kadang terdengar suara tawa. Beberapa warga juga terlihat mengeluarkan ponsel, mencoba mengabadikan situasi.

METRO bersama rekan sesama jurnalis beristirahat di rumah warung milik warga. Dari rumah permanen bercat hijau inilah pelarian kawanan rampok diketahui. Salah seorang perampok dengan diantar seorang warga, sekitar pukul 09.30 WIB ternyata sempat berbelanja 4 botol air mineral, 4 bungkus roti, dan 4 pasang sandal jepit.

“Dia membayar menggunakan uang pecahan seratus ribu (rupiah),” tutur Ana, istri Gimin Purba, pemilik warung.

Warga yang curiga kemudian melapor kepada kepala desa, yang kemudian menghubungi polisi. Saat menikmati air mineral, dua aparat berpakaian preman yang menenteng pistol memberi informasi ada kawanan perampok yang dilumpuhkan.

“Ayo, di Kampung Lalang ada yang ditembak,” ujar seorang polisi bercelana puntung. Mendengar informasi berharga, METRO berboncengan dengan seorang rekan yang juga grup Jawa Pos. Si rekan bergegas memacu sepedamotor mengikuti polisi yang memberi informasi.

Sekitar 1 kilometer dari warung tempat beristrahat, anggota Brimob yang berjaga di sepanjang jalan memerintahkan kru minggir. Ternyata rombongan Kapolda Sumut Irjen Pol Oegrosono dan Kasat Brimob Kombes Ferdianto Iskandar Biticaca akan melintas. Kru langsung balik kanan dan mengikuti rombongan Kapolda. Kondisi jalan menuju TKP sangat buruk. Beberapa kali mobil yang turut dalam rombongan harus didorong agar bisa lolos dari genangan air.

Di ujung kampung jalan buntu, mobil berhenti, cuaca mulai mendung. Perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Kapolda yang mengenakan celana loreng hitam, baju kaus, dan topi hitam serta rompi anti peluru hitam bertuliskan Polisi di bagian belakang, turun dari mobil. Sebuah pistol hitam terselip di pinggang kanan. Di lokasi, beberapa personel Brimob berpakaian seragam hitam dan bersenjata laras panjang sudah menanti.

Ada sekitar 20 petugas yang keseluruhannya bersenjata mengikuti rombongan Kapolda, sebagian besar berpakaian preman. Selain Kasat Brimob yang juga mengenakan rompi anti peluru, terlihat juga Kasat Lantas Polres Deliserdang AKP Saleh, juga berseragam lengkap. Beberapa warga juga ikut dalam rombongan, sementara jurnalis ada 7 orang, 2 dari media elektronik dan sisanya media cetak.

Personel Brimob yang berjaga langsung memberi hormat.
“Siap Jenderal! Jalannya lewat sini!” katanya.

Dengan berjalan kaki, rombongan menyusuri TKP melintasi jalan setapak yang licin. Sekitar 500 meter dari rumah terakhir di ujung kampung, rombongan melintasi perkebunan kelapa sawit, karet, dan ubi milik warga. Beberapa petugas menyiagakan senjata dan dengan sigap mengambil posisi di sisi kiri dan kanan rombongan. Mata mereka liar mengawasi sekitar. Memasuki perkebunan kelapa sawit milik sebuah perusahaan swasta, situasi mulai sepi.

Sesekali terdengar suara pelepah kelapa sawit terinjak petugas yang berada di sisi jalan membuat jantung berdegub lebih kencang. Di depan, petugas Brimob yang turut dalam kontak senjata bercerita.

“Jendral, di sana anggota tertembak di bahu,” ujarnya sambil menunjuk ke arah lokasi yang berbatasan dengan kebun ubi milik warga.

Di sepanjang jalan, Kapolda mendapat penjelasan dari Kasat Brimob. Sesekali Kasat Brimob memberi perintah kepada petugas. Beberapa petugas juga menghubungi rekannya menggunakan ponsel, memberitahu situasi terbaru.

Seorang rekan memuji fisik Kapolda yang prima, tak terlihat kelelahan meskipun sudah berjalan sejauh 2 kilometer dengan topografi tanah yang berbukit, ditambah jalan licin. “Wah fisiknya cukup kuat. Kita aja yang muda sudah ngos-ngosan,” ujar salah satu wartawan sambil melap keringat di wajahnya.

Seorang rekan menjawab, “Iyalah pula, orang kerja kita begadang setiap malam, ya loyolah.”

Sekitar 40 menit perjalanan, setelah melintasi jalan menurun, rombongan tiba di pinggiran sungai yang lebarnya sekitar tujuh meter. Airnya keruh berwarna kekuning-kuningan. Seorang warga mengatakan air tersebut meluap karena hujan deras di malam sebelumnya.

Gerimis mulai turun. Seorang warga yang turut dalam rombongan berinisiatif mencari tempat yang bagus untuk menyeberang. Kesempatan ini digunakan kru untuk beristirahat, mengendurkan otot kaki yang mulai kaku. Keringat mengucur deras, haus mulai terasa. Beberapa rekan membuka sepatu, mengikat, dan menentengnya. Sebagian lagi, termasuk METRO, mengeluarkan ponsel dan dompet agar jangan basah

Seorang petugas Brimob masuk ke sungai menyusuri sungai menuju ke bagian tengah. Lima meter di belakangnya, dua petugas mengikuti. Lalu Kapolda bersama Kasat Brimob turun dikelilingi petugas yang waspada melihat situasi. Kedalaman sungai fluaktif. Kadang sebatas lutut, namun tiba-tiba bisa sebatas pinggang. Dasarnya pasir bercampur lumpur sangat terasa di telapak kaki yang telanjang.

Tiba di seberang sungai, hujan mulai turun. Sesekali kilat menyambar seperti lampu blitz kamera, diikuti petir. Jalan mulai menanjak curam. Kapolda sempat tergelincir, namun dengan sigap Kasat dan ajudan menolong.

Hujan semakin deras, airnya terasa asin karena bercampur keringat. Namun perjalanan tetap diteruskan.

Di sebuah pekuburan Muslim, seorang petugas menawarkan rombongan beristirahat di pondok beratap seng. Namun Kapolda menolak.

“Kita terus aja,” ujarnya.

Sekitar 10 menit kemudian, rombongan tiba di dusun III Pondok Lalang, Mariah Bandar. Di sebuah rumah penduduk, rombongan berteduh. Namun beberapa personel Brimob berjaga-jaga di depan rumah, di tengah hujan yang sangat deras.

Sepuluh menit kemudian, lima orang pasukan Gegana bersenjata laras panjang menggunakan penutup wajah, tiba dan bergabung dengan rombongan. Selang beberapa menit, Kapolres Serdang Bedagai (Sergai) AKBP Drs Eri Safari dengan kondisi basah kuyup juga bergabung. Seorang petugas membawa beberapa botol air mineral. Jumlahnya terbatas, sehingga meskipun sangat haus, satu botol harus dibagi bersama. (bersambung)


Menyusuri Jejak Gerombolan Bersenpi di Dolok Masihul, Kabupaten Sergai (3)
Turuni Jurang Licin dan Semobil dengan Dua Anjing Pelacak

Hardono Purba, Dolok Masihul

Sekitar dua jam rombongan Kapoldasu Irjen Pol Oegrosono dan Kasat Brimob Kombes Ferdianto Iskandar Biticaca berada di tengah perkebunan sawit. Cuaca yang buruk tidak menyurutkan langkah menuju Dusun III Pondok Lalang, Mariah Bandar, lokasi empat kawanan bersenjata api (senpi) tewas ditembak petugas.

Sabtu (2/10) pukul 15.20 WIB, setelah beristirahat sekitar 30 menit, perjalanan diteruskan. Kapoldasu dan Kasat Brimob dibonceng dua sepedamotor Honda Supra menuju lokasi. Anggota rombongan yang lain meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Wanita pemilik rumah sibuk membagikan plastik kresek beraneka warna kepada rombongan. Plastik ini sebagai wadah untuk melindungi barang-barang agar tidak basah terkena air hujan yang masih turun deras.

Perjalanan dilanjutkan menyusuri pemukiman warga yang berjejer rapi. Kali ini dipandu seorang warga, yang juga aparat pemerintahan desa di sana . Saat itu, air di jalanan setinggi mata kaki. Sekitar satu kilometer dari rumah tempat beristirahat, di belakang rumah warga bercat oranye, rombongan mengambil jalan pintas melintasi jurang sedalam tiga meter. Jurang itu ditanami tanaman karet sebesar lengan orang dewasa. Pohon karet ini dijadikan tempat berpegangan di saat menuruni jurang. Banyak yang terjatuh karena jalan licin dan berlumpur.

Setelah berhasil melewati jurang, perjalanan dilanjutkan menyusuri perkebunan kelapa sawit. Sekitar tujuh menit berjalan, rombongan tiba di lokasi. Puluhan personel Brimob membuat pagar betis mengelilingi empat mayat yang tergeletak di tanah. Tubuh mayat-mayat itu ditutupi pelepah daun kelapa sawit. Beberapa petugas Brimob tetap siaga mengokang senjata.

Kapoldasu terlihat memeriksa barang bukti. Wartawan dan warga yang mulai berdatangan dilarang mendekat. METRO yang mencoba mendekat untuk mengambil foto mayat dihalau seorang personel Brimob.

“Maaf, Pak,” ujarnya.

Beberapa menit kemudian, Kapoldasu mempersilahkan wartawan mengambil foto.
“Tapi jangang terlalu dekat ya,” imbaunya.

Kapoldasu lalu memberikan keterangan pers. Menurut Kapoldasu, empat kawanan berhasil dilumpuhkan. Keempatnya tewas ditembak karena memberikan perlawanan dengan menembaki petugas. Turut juga disita dua pucuk senjata, magazin, peluru aktif, dua dompet, dan kartu pengenal.

Kapoldasu juga menjelaskan, barang bukti senjata laras panjang M16 yang ditemukan identik dengan senjata milik almarhum Manuel Simanjuntak, petugas Brimob yang meninggal ditembak saat perampokan Bank CIMB Niaga Medan, Agustus lalu. “Kemungkinan ada keterkaitan kawanan ini dengan perampokan itu,” lanjutnya. Selanjutnya, wartawan memberikan ucapan selamat kepada Kapoldasu. Pasukan Brimob juga saling memberikan salam komando sesama mereka, dan beberapa orang terlihat saling berpelukan.
Sekitar 20 menit berselang, satu unit mobil polisi jenis Ford double cabin nomor polisi 4218- II, warna ungu mendekat. Beberapa aparat terlihat turun membawa kantung mayat warna oranye bertuliskan Bid Dokkes Polda. Aparat yang lain membantu dengan menyingkirkan pelepah daun kelapa sawit dari mayat. Masing-masing kantung diisi dua mayat..

Keempat mayat tidak menggunakan alas kaki. Terlihat luka bekas tembakan di dada seorang pelaku berbaju abu-abu dan berambut pendek. Ceceran darah tak terlihat di tubuhnya, mungkin ‘dibersihkan’ air hujan yang masih turun. Kedua kantung mayat dimasukkan ke bagian belakang mobil. Beberapa petugas naik ke mobil dan mengelilingi mayat. Dengan mobil ini, Kapoldasu kembali ke Mapolsek Dolok Masihul.

Lokasi mulai ramai karena warga terus berdatangan. Beberapa anggota Brimob masih tinggal di lokasi. Beberapa dari mereka terlihat mengosongkan senjata. Senjata dikokang, lalu muncung senjata diarahkan ke bagian bawah pohon kelapa sawit, lalu terdengar suara ‘klik’ beberapa kali. Setelah itu senjata disandang di bahu.

“Puas, Bang, meskipun sudah dua hari mengendap di sini, disiram hujan, tapi operasi sukses. Pelaku berhasil dilumpuhkan,” tutur salah seorang dari mereka.

Wajahnya terlihat lelah, baju dan celananya dipenuhi lumpur. Ketika diminta menceritakan jalan cerita perburuan, ia menolak. “Janganlah, Bang. Ditandai teroris itu pula aku nanti,” ujarnya.

METRO dan beberapa rekan jurnalis kembali ke pemukiman warga. Sepedamotor masih ditinggal di Dusun III Saranpua, sekitar lima kilometer dari lokasi. METRO dan dua rekan jurnalis menumpang mobil bak terbuka. Di dinding mobil tertulis K-9, sementara di dalamnya terdapat dua kandang anjing pelacak berjerajak besi. Masing-masing kandang berisi seekor anjing hitam. Dengan ramah, empat personel Brimob mengizinkan METRO dan rekan menumpang. Kebetulan, salah seorang dari mereka bermarga sama dengan METRO.

“Ayo, Bang, naik, tapi sempit-sempitanlah,” ajaknya.
Mereka mengaku dari Mabes Polri. “Tadi pagi kami sampai di sini, membantu pengejaran dengan menggunakan anjing pelacak,” kata seorang dari mereka.

Anjing pelacak tersebut diberi nama Hard dan Dre.
“Jenis Herder, anjing pelacak terbaik, yang khusus didatangkan dari Amerika. Makanannya juga khusus, makanan kaleng,” lanjutnya.

Sayangnya mobil tidak bisa ke Saranpua karena jalan menuju ke sana terhalang satu unit mobil truk yang terperosok. Seorang warga memberitahu jalan menuju Mapolsek Dolok Masihul di Martebing. Artinya perjalanan METRO menjemput sepedamotor bertambah jauh sekitar tiga kilometer.

Pukul 17.20 WIB, mobil tiba di Mapolsek Dolok Masihul, saat itu situasi sangat ramai. Jalanan pun macet. Ratusan warga berkerumun di depan Mapolsek, ingin melihat mayat gerombolan bersenpi. Beberapa aparat terlihat mengatur lalu-lintas, sebagian lagi meminta warga mundur. Garis polisi yang mengelilingi Mapolsek sudah rusak. Di halaman depan terlihat dua unit mobil Baracudda siap siaga, juga dua mobil ambulans sudah stand by.

METRO bermaksud menjemput sepedamotor yang ditingalkan di Saranpua. Seorang pengendara ojek mengantar METRO. Dengan mengendarai sepedamotor Honda Supra Fit, menyusuri perkebunan kelapa sawit, tempat kontak senjata terjadi, membuat METRO waswas, apalagi hari mulai gelap. Beberapa kali METRO turun dari sepedamotor karena jalan licin.

“Kita ambil jalan pintas saja, biar cepat sampai, saya pulang juga nggak terlalu gelap nanti,” katanya. (bersambung)



Menyusuri Jejak Gerombolan Bersenpi di Dolok Masihul, Kabupaten Sergai (4/Habis)
Berdiri 40 Meter dari Lokasi Baku Tembak

Hardono Purba, Silou Kahean

Hujan sudah berhenti saat METRO tiba di Dusun III Saranpua, Dolok Sagala, Kecamatan Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) untuk menjemput sepedamotor yang ditinggalkan di sana. Langit semakin gelap, dan sesekali kilatan cahaya membelah langit. Personel Brimob masih berjaga-jaga. Tiga mobil patroli polisi juga masih disiagakan.

Sabtu (2/10), pukul 18.00 WIB, dengan kondisi basah kuyup, METRO kembali ke Dolok Masihul mencari warung internet (warnet) untuk menulis berita. Sepanjang jalan, personel Brimob masih melakukan sweeping. Kendaraan yang melintas, khususnya mobil diperiksa. Di sebuah warnet yang dipenuhi wartawan yang ingin melaporkan liputannya, METRO bertemu Tonggo Sibarani, reporter METRO dari Pematangsiantar.

Keesokan harinya, Minggu (3/10), pukul 09.30 WIB, METRO tiba di Mapolsek Dolok Masihol. Suasana sepi. Di pos penjagaan beberapa petugas menonton televisi, menyaksikan liputan tentang perburuan kawanan bersenpi. Dalam berita tersebut. seorang kawanan menyerahkan diri pagi itu.

Namun polisi tidak mengizinkan wartawan mewawancarai dan mengambil foto tersangka. Pintu dan jendela ruangan Sat Reskim ditutup, seorang anggota Provost berjaga di pintu depan. Pintu hanya terbuka ketika ada aparat yang ingin masuk atau keluar, dan itu dimanfaatkan METRO untuk mengambil foto.

Di samping ruangan Sat Reskim, puluhan pasukan Gegana beristirahat. Mereka membaringkan tubuh di lantai berlapiskan tikar. Beberapa bungkus roti dan botol air mineral terlihat berserakan di lantai. Usia mereka masih muda. Terlihat kelelahan di wajah mereka. Aementara pakaian mereka kotor dan lusuh.

“Tadi malam kami patroli di tengah kebun sawit,” ujar seorang anggota Gegana yang meminta namanya dirahasiakan.

Sekitar 30 menit kemudian, METRO tiba di Dusun III Pondok Seberang, Desa Martebing, tempat salah seorang kawanan menyerahkan diri. Dusun ini hanya sekitar 800 meter dari Mapolsek Dolok Masihul. Dusun ini mayoritas dihuni karyawan PT Socfindo. Sepanjang jalan, barisan rumah kopel berwarna sama berjejer rapi. Di lokasi kejadian, suasana sangat ramai, ratusan warga berkerumun, dan puluhan sepedamotor parkir sembarangan sehingga membuat macet. Beberapa truk polisi juga parkir di sana .

Setelah memarkirkan sepedamotor di samping sebuah rumah warga, METRO menuju bantaran sungai, sekitar 200 meter dari pemukiman. Jalanan licin dan berlumpur. Di tempat itu, terlihat beberapa WC darurat milik warga hanya ditutupi karung. Sungai yang airnya berwarna kekuning-kuningan itu membelah perkebunan kelapa sawit. Pinggiran sungai dipenuhi tumbuhan gelaga dan di beberapa tempat di pinggir sungai terlihat kandang lembu milik warga.

Sementara suasana di bawah pohon kelapa sawit ibarat pasar. Ratusan warga dan aparat bercampur-baur. Pasukan TNI juga ada di sana . Beberapa aparat bersenjata tampak menyusuri sungai mencari kawanan bersenpi yang diduga bersembunyi di tempat itu. Raut wajah mereka tegang.

Tiba-tiba terdengar letusan senjata yang diikuti teriakan-teriakan petugas. METRO langsung bersembunyi di balik pohon kelapa sawit. Kontak senjata terjadi sekitar 40 meter di depan METRO.

Warga yang mendengar suara senjata bukannya menghindar. Malah mereka mendekat ke lokasi. Petugas terpaksa membuat pagar betis agar warga menjauh.

“Mundur, mundur, nanti terkena peluru, repot akhirnya nanti!” ujar seorang aparat Brimob. Namun warga bertahan, sebagian malah mengeluarkan ponsel, mencoba mengabadikan situasi.

Lima belas menit sejak letusan pertama, terdengar suara ledakan kuat. Ternyata ledakan itu bersumber dari granat nenas seorang pelaku. Menurut aparat TNI yang turut menyergap, pelaku mencoba melemparkan granat ke arah petugas, namun kalah cepat dengan petugas, sehingga granat tersebut meledak di tangannya. Kontak senjata berlangsung sekitar 30 menit

Setelah suara letusan senjata mulai sepi, petugas menyisir pinggir sungai untuk mencari mayat kawanan bersenpi. Di lokasi ini, dua orang kawanan ditemukan tewas tertembak. Salah seorang yang mencoba meledakkan granat, tubuhnya hancur. Bagian-bagian tubuhnya tercecer. Mayatnya diangkat ke darat dan ditutup karung bekas.

Seorang orang lagi ditemukan sekitar 40 meter ke arah hulu sungai. Pistol jenis FN yang sempat ditembakkan salah seorang pelaku ke arah aparat gabungan, tidak ditemukan.

Mayat kedua kawanan tersebut dibawa menggunakan mobil ambulans setelah terlebih dahulu dimasukkan ke kantung mayat. Mobil ambulans sempat terhalang masuk ke lokasi karena jalan dipenuhi sepedamotor. METRO tetap bertahan di lokasi menyaksikan penyisiran yang dilakukan personel Brimob. Beberapa warga turun ke sungai untuk mencari senpi kawanan yang diduga jatuh ke sungai.

Di lokasi, seorang perwira Brimob dari Pematangsiantar, AKP H menuturkan penyergapan dilakukan setelah mendengar informasi dari rekan kawanan yang menyerahkan diri. Saat melakukan penyisiran, aparat melihat dua orang kawanan bersenpi bersembunyi di balik tumbuhan gelaga. Awalnya aparat meminta mereka menyerah.
“Tiga kali saya sempat meminta mereka untuk menyerah, namun mereka tidak menggubris, malah menembaki petugas,” tutur perwira berambut ikal ini.

Jarak antara petugas dengan salah seorang kawanan ini hanya sekita empat meter. Karena anggota kawanan melawan dengan menembakkan senjata ke arah petugas, akhirnya petugas menembaknya hingga tewas.

Perwira Brimob ini juga mengakui dia dan pasukannya sudah tiga hari berada di perkebunan sawit.

“Istilahnya, mengendap di perkebunan sawit, menahan dingin dan hujan. Namun itu bukan masalah demi tugas dan negara ini,” ujarnya.

Di saat sedang berbincang-bincang, ada informasi seorang kawanan berambut gondrong, mengenakan jaket, dan membawa senjata laras panjang berhasil melarikan diri ke arah perkebunan sawit di seberang sungai.

Perwira tersebut langsung memerintahkan pasukannya untuk bergerak.
“Ayo kalau mau ikut!” ajaknya.

METRO bersama dua rekan dari SUMUT POS dan media lainnya memutuskan turut dalam penyisiran, namun mengambil jalan memutar agar jangan ikut menyeberangi sungai.
Bersama seorang anggota Polisi Masyarakat (Polmas), METRO dan rekan memutar arah dari Dusun 4 Desa Martebing. Setelah melewati pemukiman penduduk, METRO tiba di lokasi di mana seorang kawanan diduga bersembunyi. Di tempat itu, lima orang polisi berpakaian sepil dan menenteng pistol mengawasi situasi.

Selang beberapa menit, lima unit sepedamotor yang dikendarai 10 personel Brimob bersenjata laras panjang tiba di lokasi. Dengan sigap, mereka langsung menuju ke tengah perkebunan sawit melewati taman pemakaman umum (TPU). METRO dan rekan mengikut dari belakang. Di pinggir perkebunan kelapa sawit, mereka mengokang senjata berpencar di balik rimbunnya pohon kelapa sawit. Sementara petugas berpakaian sipil berjaga-jaga di pemakaman.

Kebun kelapa sawit tersebut dipenuhi semak-belukar sehingga menyulitkan pandangan. Sementara onggokan kotoran sapi berceceran di beberapa tempat. Terkadang tanpa sengaja, anggota Brimob menginjak kotoran itu dan menimbulkan bau tidak sedap. METRO dan rekan mengikuti penyisiran hingga jarak 800 meter ke tengah perkebunan kelapa sawit. Suasana sangat sepi, sesekali terdengar suara siulan pasukan memberikan tanda untuk bergerak.

Sekitar satu jam penyisiran, karena tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan, pasukan kembali ke tempat semula. Salah seorang personel Brimob berkulit hitam menuturkan jika pasukannya merupakan unit reaksi cepat yang bergerak jika mendengar informasi tentang keberadaan kawanan.

“Sejak Jumat kami di sini meninggalkan keluarga, pakaian pun hanya berganti sekali, CD (pakaian dalam) pun sudah side A dan side B,” tuturnya.

Personel Brimob ini juga mengatakan, masyarakat di sekitar lokasi penyisiran sangat kooperatif.

“Warga di sini sangat terbuka, mau memberikan informasi, juga mau turut sebagai penunjuk sehingga perburuan kawanan bersenpi lebih ringan,” ujarnya. (tamat)

Selengkapnya..

Makyong Bernafas di Ujung Tanduk

Nasib Teater Tradisional yang Diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia

Siang itu, Rika (24) baru saja selesai menyantap nasi bungkus di rumah orang tuanya, Gang Selar, Kampung Keke, Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Bintan. Sejak beberapa bulan lalu, ia memutuskan meninggalkan Sanggar Seni Teater Makyong Warisan. Padahal, ia sudah jatuh cinta dengan Makyong sejak usia 14 tahun.

NURALI MAHMUDI - Bintan

KEPUTUSAN mundur dari panggung teater tradisional yang sudah membesarkan bakatnya selama puluhan tahun tampaknya tak disesali ibu satu anak ini. Menurutnya, semakin ke depan Makyong semakin dilupakan. Ia mengatakan hal itu berdasarkan semakin jarangnya ia bersama teman-temannya satu sanggar mendapatkan undangan untuk mementaskan cerita Makyong. Padahal seringkali ia latihan setiap malam. Butuh bensin untuk bahan bakar sepeda motornya. Apalagi ia tak memiliki pekerjaan tetap, sehingga undangan main Makyong merupakan rezeki baginya.

"Adik saya (Yanawati) juga keluar dan sekarang bekerja. Susah sekarang main Makyong. Kalau hanya latihan-latihan terus, saya tidak bisa," tutur Rika.
Mengaku mencintai Makyong sejak usianya belasan tahun, Rika sebenarnya sangat mencintai budaya ini. Selain honor yang diterimanya sehabis undangan pentas, ia bisa memenuhi kepuasan batinnya. Menjadi pemain Makyong pada waktu itu merupakan keputusannya sendiri, demikian juga dengan adiknya.

Beberapa kali kakak adik ini tampil bersama di atas panggung. Ketika tepuk tangan terdengar di tengah kursi penonton, Rika mendapatkan kebehagiaan tiada tara.

Senada dengan Rika, Sariyah yang kini usianya sudah kepala tujuh juga tengah sedih. Ditemui di rumahnya, Kampung Keke, pekan lalu, istri almarhum Tengku Muhammad Atan Rahman ini belum bisa melupakan kejayaan Makyong. Berkat Makyonglah ia pernah datang ke Jakarta atas undangan sebuah lembaga kebudayaan. "Pertama naik kapal, kedua naik pesawat terbang," tutur Sariyah yang siang itu tengah termenung di teras rumahnya. Ia begitu bersemangat saat diajak bicara tentang Makyong. Tengku Muhammad Atan Rahman atau biasa dipanggil Pak Atan adalah pewaris utama Makyong kelahiran sebuah kampung di Tanjung Kurau, Singapura sekarang ini. Sedangkan Sariyah asli kelahiran Kampung Mantang.

Bersama Pak Atan lah ia turut serta mengembangkan Makyong. Ia menceritakan bagaimana dulu Makyong selalu ditunggu kehadirannya oleh warga. Bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau sekitar Bintan, Makyong adalah hiburan saat ada keramaian warga. Kejayaan Makyong juga kejayaan secara ekonomi. Selain Jakarta, Singapura adalah negara tetangga yang pernah dipijak Sariyah juga karena Makyong. Dari lima anaknya, hanya anak keempatnya, Satar dan anak kelima, Muhtar yang masih tetap mencoba mempertahankan Makyong meski semakin sulit.

Satar adalah Ketua Sanggar Seni Teater Makyong Warisan, Keke yang piawai memukul gendang pengibu, sedangkan Muhtar lihai memukul gendang penganak. Selain mereka, masih ada seorang anak Satar bernama Tengku Sakdiyah dan Tengku Saputra yang memiliki bakat seni warisan leluhurnya dan senang senang hati mempelajari Makyong dari ayah dan neneknya.

Bagi Sariyah, semakin lama memendam kerinduan untuk bisa main Makyong lagi justru menimbulkan kesedihan mendalam. Ia tahu kampungnya semakin maju, semakin banyak kebudayaan baru yang lahir, semakin banyak anak-anak muda yang sekolah, namun ia seakan tak rela Makyong dilupakan begitu saja. Anak-anak muda lebih suka tarian modern dibandingkan ikut Makyong. Makyong sudah dianggap kuno. Padahal di dalamnya terkandung begitu banyak nilai-nilai moral serta kebajikan yang semakin luntur di zaman ini.

Jika Sariyah dua kali ke Jakarta main Makyong, Rohayah (67) sudah empat kali. Rohayah yang juga anggota teatar yang sekarang diketuai Satar masih ingat kepergiannya ke Jakarta untuk main Makyong. "Tahun 1975 ke istana negara, lalu ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan mana lagi saya lupa. Saya hanya ingat kami main Makyong di gedung bulat. Kami main di tengah, tempatnya di panggung bawah, lalu penonton di atas mengelilingi kami. Senang sangat kalau mengingat masa itu," tutur wanita kelahiran Jawa Barat namun merantau ke Bintan sejak kecil dan jatuh cinta kepada Makyong.

Rohayah menceritakan, penampilan terbaru Makyong ialah saat mendapatkan undangan Pemkab Bintan untuk mengisi acara peresmian Monumen Antam di Kijang beberapa minggu lalu. Seperti main karena undangan lainnya, pementasan teater Makyong selalu dibatasi waktu. Zaman dahulu, tutur Rohayah, satu episode Makyong bisa dua atau tiga hari. Dimulai habis isya sampai tengah malam. Jika ceritanya belum usai, akan diteruskan besok malam. Namun sekarang hanya diberikan waktu belasan menit. Mau tak mau, pemainnya tak selengkap jika bermain utuh.

"Dulu bisa saja peran inang ada dua orang, atau awang juga dua orang. Sekarang satu satu saja. Jika Inang keluar, jangankan mendengar ia bercakap, keluar di panggung dengan gerakannya yang kocak saja sudah membuat penonton terpingkal-pingkal. Sekarang tak bisa banyak bergaya dengan tarian karena waktunya sedikit," kata Rohayah sambil memperagakan tarian inang selama sekian detik.

Wanita yang kini tinggal bersama Sariyah ini lama terdiam. Jemari tangannya bergerak-gerak. Sesekali ia menatap wajah Sariyah yang juga terdiam. Lalu Sariyah meneruskan cerita Rohayah. Peralatan makyong yang dulu sering mengiringi ia bermain Makyong bersama suaminya sebelum meninggal kini masih tersimpan rapi di gudang. Jika ia bisa bicara, lanjutnya lirih, gendang pengibu, gendang penganak, gendang gedombak, kenong, gong, breng-breng, crek dari bambu, biola dan rebab itu akan mengutarakan kesedihannya begitu lama disimpan di kamar.

"Orang yang sudah menyatu dengan Makyong itu merasakan sesuatu yang mendalam. Ada keterikatan yang tak bisa dikatakan dengan ucapan," kata Sariyah. Peralatan Makyong juga tak boleh diperlakukan sembarang.

Di usianya yang sudah senja, Sariyah dan Rohayah semakin resah. Jika suatu hari nanti mereka dipanggil Tuhan, siapa yang akan meneruskan tradisi Makyong ini, begitu pikirnya. Memang ada beberapa anak muda di Keke dan Kijang yang bersedia diajari Makyong. Tetapi itu belum mampu menghilangkan keresahan tadi.

Seperti sifat anak-anak muda lainnya, mereka sedang di masa pencarian jati diri. Jika tidak diperlakukan dengan sungguh-sungguh dan pendekatan yang bagus, bisa saja mereka akan beralih ke tarian modern yang lebih sering dilombakan daripada Makyong yang belum tentu tiga bulan main sekali. Padahal untuk pementasan Makyong tak perlu panggung segemerlap panggung hiburan lain, seperti festival band misalnya yang butuh dana banyak untuk menyewa peralatan.

Seperti juga teater rakyat lainnya, pementasan Makyong tidak menuntut set properti, dekorasi, atau layar untuk pergantian babak. Bila Makyong dipentaskan di lapangan terbuka, tempat pentas harus diberi atap yang menggunakan bubungan dengan enam buah tiang penyangga. Pada kayu yang melintang dihiasi daun kelapa muda. Bila dimainkan di istana, Makyong dipentaskan di panggung beton berbentuk segi enam.

Keprihatinan akan masa depan Makyong turut dirasakan Aswandi Syahri, sejarawan Kepri. Sebagai sebuah warisan budaya yang diakui UNESCO, Makyong seharusnya dipertahankan. Pemerintah memiliki peranan yang penting untuk melestarikannya. Terasa lucu jika Makyong yang sudah diajukan ke PBB sebagai warisan budaya Indonesia khususnya dari Bintan dan akhirnya diakui ternyata sudah sulit ditemui di tengah-tengah masyarakat Melayu Kepri.

"Saya pernah menyaksikan penampilan Makyong di Jakarta. Begitu pemain keluar, rasanya seperti tersihir. Bagus. Sekarang tak mudah untuk melihat para pemain Makyong berperan di atas panggung. Sayang kalau warisan budaya tradisional yang diakui UNESCO hilang begitu saja," kata sejarawan yang baru-baru ini menyelenggarakan pameran sejarah di Gedung daerah, Tanjungpinang.

Machzumi Dawood, budayawan yang tinggal di Tanjungpinang pada kiriman artikelnya Februari kemarin menuliskan: Pulau Bintan merupakan salah satu pulau utama di Kepulauan Riau. Di pulau inilah terletak Tanjungpinang, salah satu kota di Pulau Bintan, yang dahulunya merupakan ibukota Kabupaten Kepulauan Riau (ketika itu masih dalam wilayah Provinsi Riau).

Sebagai ibukota kabupaten ketika itu, tentu banyak aktivitas yang berlangsung di kota Tanjung Pinang, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun oleh pihak non pemerintah. Di antara berbagai kegiatan itu, salah satunya adalah kegiatan seni-budaya. Kegiatan seni-budaya di Tanjung Pinang - menurut catatan saya - telah berlangsung sejak pertengahan tahun 50-an.

Saya selalu menyaksikan kegiatan seni-budaya pada periode masa kecil saya. Saya saksikan pertunjukan tari-menari dan drama dalam acara-acara sekolah, saya saksikan Makyong dari Pulau Mantang; saya menyaksikan Wayang China/Opera China dari Singapura, dan saya juga menyaksikan pertunjukan Joget alias Dancers bayaran dari Singapura. Ketika dewasa, banyak hal yang saya saksikan pada periode masa kecil saya, menjadi bahagian dari aktivitas kehidupan saya.

Saya pernah menyanyi, menari, main drama, dan membaca puisi. Pada akhirnya, pilihan saya jatuh pada sastera.

Bila saya sebut Wayang China/Opera China dan Joget alias Dancers bayaran dari Singapura, maka memanglah kedua jenis kesenian itu datang dari Singapura. Yang saya tahu, Wayang China/Opera China masih eksis di Singapura. Ada sebuah akademi yang khusus mempelajari hal tersebut di Singapura. Saya tak tahu, bagaimana dengan Joget atau Dancers bayaran dari Singapura itu.

Mengenai Makyong, kelompok teater tradisi ini masih ada sampai ke hari ini. Masih tetap ada di Pulau Mantang. Bahkan ada sebuah lagi kelompok Makyong di daerah Keke, Kijang, Bintan Timur.

Kekhawatiran saya ialah, bahwa seni tradisi yang telah saya sebutkan itu, dianggap ketinggalan zaman dan kolot, lalu hanya akan menjadi sebutan saja, bagaikan artefak budaya, yang hanya dikaji dan dikaji, namun tak pernah dapat ditampilkan.

Di Kepulauan Riau atau Provinsi Riau, hanya tinggal dua grup teater Makyong, tetapi hidupnya tertatih-tatih. Pertama, teater Makyong yang bertempat di Mantang Arang, pimpinan Chalid Kasim. Dan kedua, teater Makyong di Keke, yang dulu dipimpin Atan. Setelah Atan meninggal digantikan oleh anaknya Satar. Keduanya di Kabupaten Bintan, dan merekalah yang sampai sekarang punya semangat untuk mempertahankan seni tradisi makyong, tetapi lemah apresiasi.

Sebenarnya, saat masih berjaya di tahun 50-an, Makyong menyebar ke berbagai tempat, selain di Mantang Arang dan Keke, Kijang, teater Makyong juga ditemukan di Rempang/Sembulang, Dompak, Kasu, Pulau Buluh, dan Cate (daerah pinggiran Pulau Batam).

"Hingga kini di Kepri yang masih bertahan adalah Makyong di Keke Kijang dan Mantang Arang," kata Ketua Dewan Kesenian Kepri, Husnizar Hood usai pementasan Makyong di Tanjungpinang, beberapa waktu lalu.

Yang paling merasa sedih tentu saja Satar. Ketua Sanggar Seni Teater Makyong Warisan ini tahu betul sejarah Makyong di Kepri, karena nenak moyangnya memang pelaku Makyong. Tahun 1975 dikatakan nyaris tak ada lagi Makyong di Riau. Baru pada tahun 1993 Makyong mulai dibangkitkan kembali. "Itu juga bukan oleh orang Riau atau Kepri, melainkan oleh Ibu Pudentia, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dari Jakarta. Dosen Sastra Universitas Indonesia ini memperjuangkan Makyong tiada henti. Kalau bukan karena amanah, sudah saya tinggalkan Makyong dan memilih bekerja formal," kata Satar saat menceritakan kisah hidup Makyong di Hotel Sadap, Tepi Laut, Minggu (26/6) siang.

Jika hanya pesan yang disampaikan almarhum ayahnya, mungkin Satar bisa melupakannya. Namun karena Makyong diamanahkan kepadanya, ia memilih meninggalkan pekerjaannya sebagai mandor sebuah perusahaan di Galang, Batam dan juga mengistirahatkan jaring dan pompongnya. Ia sadar, hidup dari Makyong di zaman seperti sekarang ini serba susah. Hanya kecintaannya terhadap warisan leluhur ini membuatnya bertahan.

Sejak usia 10 tahun, Satar sudah diajak pentas Makyong oleh orang tuanya, Atan dan Sariyah. Pulau Dendun, Karas, Senayang, Lingga, Dabo Singkep, Bangka Belitung bahkan Kalimantan pernah disinggahi teater Makyong yang waktu itu dipimpin almarhun Atan. Bakatnya mengkreasikan naskah cerita Makyong, menciptakan tarian, melatih dan memainkan peralatan Makyong lahir dari seringnya ia ikut orangtuanya. "Kami dulu mengamen. Panggungnya dihiasi dengan daun kelapa di semua sudut, yang masuk pakai karcis. Waktu dulu saya ingat bayarnya Rp50. Senang bukan main," tutur Satar.

Peralatan Makyong yang tersimpan di gudang rumahnya bahkan pernah ditawar kolektor dari Belanda Rp500 juta, namun tak dilepas Satar. Berapa pun orang mau bayar, kata dia, tak akan diserahkan.

Sama seperti Sariyah yang sedikit terhibur karena ada Satar yang tetap melestarikan budaya Makyong, Satar juga berharap dua anaknya, Tengku Sakdiyah dan Tengku Saputra yang akan meneruskan darah Makyong.

***


TAK ada catatan tertulis yang secara jelas menyebutkan asal usul Makyong. Ada berbagai pendapat. Pertama dari hasil diskusi Teater Tradisional yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, Direktorat Pembinaan Kesenian tanggal 13 Desember 1975. Juga ada pendapat dari Ediruslan PE Amanriza dan Hasan Junus tahun 1993 serta BM Syamsuddin tahun 1995. Namun yang dianggap mendekati kebenaran hasil penelusuran yang dilakukan oleh Pudentia MPSS, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) ketika melakukan penelitian sejak awal 1990-an tentang Makyong untuk disertasi doktornya di Universitas Indonesia, terungkap bahwa teater tradisi sejenis Makyong di Melayu-Riau pertama kali dikenal oleh orang- orang Eropa pada abad ke-18 di Thailand selatan. Tepatnya di daerah Narathiwat, Patani.

Oleh karena itu, tidak aneh bila Makyong-juga disebut-sebut sebagai opera Melayu-punya banyak kemiripan dengan teater (tradisional) Manora dari Thailand selatan. Dari Patani, teater-opera ini diperkirakan masuk ke Kepulauan Riau melalui Kelantan di Tanah Semenanjung dan Tajung Kurau di Teluk Selabim, Singapura.

Dalam berbagai tulisannya yang masih bisa ditelusuri, termasuk di internet, Pudentia mengatakan Makyong sempat mengalami masa ketiadaannya, yakni pada sekitar tahun 1990-an, saat ia mencoba menemukan jejaknya. Sebelumnya, Makyong setelah mencapai masa puncak kejayaan pada tahun 1950-an. Selama lebih dari dua dekade tak pernah terdengar ada pentas Makyong. Padahal, kata Pudentia, saat itu masih ada beberapa tokoh yang dapat bermain Makyong. Pak Atan dan Pak Khalid adalah dua tokoh pewaris utama Makyong yang sempat menikmati masa kejayaan salah satu seni tradisi Melayu ini. Jika Pak Atan meninggal dunia, toh masih memiliki anak yaitu Satar yang bisa bercerita tentang teater tradisional ini.

Sedangkan menurut Aswandi yang ditemui di Jalan Bintan, dua pekan lalu, kisah Makyong bermula pada 1780, di mana dua pemuda asal Mantang, Encik Awang Keladi dan Encik Awang Durte pergi ke Kelantan untuk mencari jodoh. Takdir mempertemukan jodoh mereka dengan gadis Kelantan. Selepas nikah, mereka menetap di Pulau Tekong, perbatasan Johor dengan Singapura. Mereka bercerita kepada penduduk bahwa ada kesenian Makyong di Kelantan. Penduduk Pulau Tekong yang tertarik, pun kemudian sepakat belajar Makyong ke Kelantan pada 1781.

Menjelang 10 tahun kemudian, penduduk Pulau Tekong berhasil menggelar pementasan pertama Makyong. Setelah itu, Makyong pun semakin berkembang, hingga kabar pun terdengar oleh telinga Sultan dari Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, Sultan Mahmud Syah III (1757-1811). Ia mengundang pemain Makyong untuk tampil di Pulau Penyengat. Dari titik itulah, Makyong kemudian masuk ke Kepri.

Makyong di Indonesia mengalami kejayaannya pada masa keemasan kesultanan Riau-Lingga dan pada masa sekitar tahun 1950-an. Pada masa kejayaannya ini Makyong pernah dianggap sebagai kesenian istana. Hal ini juga dituliskan Aswandi dalam bukunya Makyong, Teater Tradisional Kabupaten Kepulauan Riau yang diterbitkan atas kerja sama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kepulauan Riau dengan Yayasan Khasanah Melayu tahun 2005.

Penggalian informasi dari Sariyah dan Rohayah, pemain Makyong terdiri dari berbagai peran, yaitu awang dan inang pengasuh (sebagai pesuruh raja), mamak (rakyat), Pakyong (raja), dan Wak Perambun (panglima). Pertunjukan dimulai dengan upacara ritual yang dilakukan oleh bomoh (pembaca mantra). Setelah acara ritual selesai, bomoh membuka upacara "buka tanah", minta izin kepada leluhur. Pada akhir pertunjukan, bomoh mengakhirinya dengan ritual "tutup panggung".

"Tetapi sekarang saya tidak melakukan buka tanah secara lengkap. Karena zaman sekarang hal-hal demikian sering disebut tahayul. Saya ambil beberapa bagian saja, intinya meminta kepada Allah agar permainan Makyong berjalan sukses, tak ada yang mengganggu," kata Satar.

***


Upaya menghidupkan kembali Makyong bukan hanya dilakukan baru-baru ini. Pada kegiatan Revitalisasi Budaya Melayu tahun 2004 sudah dicuatkan agenda untuk melakukan upaya pelestarian. Bukan yanya oleh tokoh budaya yang ada di Kepri. Bahkan mulai tahun 1975 dan tahun 1982 sudah ada usaha untuk menghidupkan Makyong lewat semacam kegiatan revitalisasi pada para pelajar sekolah pendidikan guru atau SPG (sekarang SMAN 5 Tanjungpinang). Hanya saja, pementasan Makyong dalam arti yang sesungguhnya tak kunjung muncul.

Sebuah kejadian penting akhirnya muncul, pada bulan Agustus 1991. Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama Pudentia memelopori pementasan Makyong di Mantang Arang, kampung asal Makyong Riau. Masyarakat Bintan seakan bangkit. Ingatan pada kegemilangan Makyong pada era 1950-an seolah dihidupkan kembali. "Tentu saja mereka merasa dihibur dan dihargai karena orang 'kota' pun mau nonton seni tradisi leluhur mereka. Euforia ini terus berlanjut sampai tahun 1993, yakni ketika Makyong Riau berpentas di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dalam Seminar dan Festival Tradisi Lisan Nusantara I," jelas Pudentia.

Kedekatan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Indonesia ini dengan Makyong, kata Sariyah dan Rohayah memang terasa sampai sekarang. "Pokoknya kalau beliau datang ke Kepri pasti mampir ke rumah. Kecuali sibuk sekali, beliau meminta kami yang datang menemuinya. Salah satu perlengkapan Makyong juga dibelikan oleh Ibu Pudentia dari Thailand," ujar Rohayah.

Sejak itu kegiatan pendampingan terus dilakukan. Selain ATL, Ford Foundation dan pemerintah daerah juga mulai menoleh pada Makyong. Dalam catatan seorang Soemantri Sastrosuwondho yang ikut workshop Makyong di Tanjungpinang pada tahun 1980 dan dituliskannya dalam sebuah website, panitia mengajukan proposal kepada Gubernur Kepala Daerah Riau dan mendapatkan persetujuan untuk dilaksanakan dengan dukungan biaya dari APBD Provinsi Riau tahun anggaran 1979/1980.

Semula Proyek Revitalisasi Teater Makyong ini akan dibiayai oleh pihak Pemerintah Daerah Provinsi Riau dan pihak LPKJ sebagai pelaksana proyek, yang akan mengumpulkan dana dari beberapa sponsor. Sampai menjelang pelaksanaan workshop, dana yang diharapkan dari pihak sponsor tidak berhasil dikumpulkan. Akhirnya pihak pelaksana tetap melaksanakan kegiatan tersebut dengan dana yang disediakan oleh Pemerintah Daerah Riau.

Workshop dimulai tanggal 17 Februari 1980 dan berakhir pada tanggal 14 Maret 1980 dengan pementasan Makyong hasil garapan workshop, bertempat di SPG Negeri Tanjungpinang. Sehari kemudian, seluruh peserta workshop berangkat ke Mantang Arang dengan menggunakan kapal motor milik Pemda Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang Kabupaten Bintan). Malam harinya seluruh peserta workshop menyaksikan pementasan Makyong, agar mereka mendapat gambaran yang jelas tentang Makyong.

Ketua Lembaga Kemajuan Makyong Kepulauan Riau, Said Parman mengatakan Pemerintah Indonesia dan Malaysia bersama-sama mengajukan kesenian Makyong sebagai catatan sejarah dunia (Memorial of The World) kepada Unesco. "Pengajuan ke Unesco sudah dimulai dari bulan Mei tahun 2008 bersama Pemerintah Malaysia, karena Malaysia juga mempunyai kesenian Makyong," Kata Said Parman di Tanjungpinang, waktu itu.

Pengajuan Makyong ke UNESCO tak lepas dari penelitian Pudentia yang sudah tertarik mempelajari budaya Melayu sejak 18 tahun silam. Sebelum mengajukan Makyong sebagai warisan budaya ke UNESCO, ia membuat film dokumenter selama enam hari di Pulau Bintan.

Hasil rekaman ini sampai sekarang masih bisa disaksikan di youtube. Selain Makyong, seni-seni tradisi lain di Indonesia yang turut diajukan ATL ke UNESCO diantaranya adalah Mamanda di Kalimantan, Lenong di Jakarta, Bangsawan di Lingga serta Gambang Kromong di Jawa. ATL sendiri merupakan lembaga yang konsen terhadap seni-seni tradisi lisan di Indonesia.

Namun klaim atas Malaysia akhirnya terbantahkan ketika dilakukan Seminar Makyong di Hotel Comfort tahun 2010. Seminar ini dihadiri tokok-tokoh sejarawan Melayu, termasuk dari Malaysia dan negara lain. Malaysia akhirnya bisa mengerti karena Satar waktu itu bisa menunjukkan dokumen tertulis yang diwariskan nenek moyangnya.

"Jadi Makyong itu milik Indonesia," kata Satar. Dalam waktu dekat, Satar dan rombongan akan berangkat ke Parid - Perancis untuk penetapan Makyong sebagai salah satu warisan budaya dunia. Menurut Satar, piagamnya sudah berada di Jakarta. Kabar keberangkatannya ke Paris diperolehnya dari Pudentia.

Pudentia sendiri yang dikonfirmasi, Minggu (26/6) mengatakan pada hari Rabu (29/6) akan datang ke Tanjungpinang. "Kita ketemu saja di Tanjungpinang agar lebih lengkap informasinya," katanya.

Pada bulan April 2011, Bupati Bintan Ansar Ahmad menyampaikan kabar kalau Makyong akan ditetapkan UNESCO sebagai milik Negara Republik Indonesia. "Penetapan seni dan tari Makyong oleh UNESCO ini akan berlangsung di Paris-Perancis. Makyong merupakan seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional. Di zaman dulu, pertunjukan Makyong diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen padi," kata Bupati di sela-sela Festival Tari se- Kabupaten Bintan yang diadakan di Gedung Nasional, Tanjunguban.

Melestarikan Makyong sepertinya harus segera dimulai oleh pemerintah bekerja sama dengan pelaku Makyong. Seperti dikatakan Kadis Pariwisata Provinsi Kepri, Guntur Sakti, tiga hari lalu. "Satu yang perlu dipahami oleh semua pihak, pariwisata bukanlah penunjang pelestarian kebudayaan. Akan tetapi, kebudayaan merupakan fondasi utama dalam membangun pariwisata di Kepri," tegasnya.

Guntur mencontohkan Bali, daerah ini sukses membangun kebudayaan dan pariwisatanya maju dengan pesat, karena, budaya menjadi fondasi dan memiliki nilai jual tinggi di bidang pariwisata. Sekarang ia melihat pariwisata di Kepri terkesan lebih menonjol ketimbang budayanya. "Jangan sampai, pariwisata digesa, budaya terlupakan. Kalau suduh bagus pengembangan budayanya, itulah yang menjadi produk pariwisata kita. Contoh nyatanya adalah Makyong di Bintan, semakin lama semakin tergerus zaman dan terlupakan. Padahal, ini bisa menjadi jajanan pariwisata di Kepri, sebagai wilayah yang sangat menghormati nilai-nilai luhur kebudayaan," pesan Guntur.

UNESCO boleh mengakui Makyong, Kadis Pariwisata Kepri boleh menginginkan terjaganya budaya yang maju bersama dunia pariwisata. Namun kegelisahan Sariyah tetap ada. Saat Makyong tengah berada di sebuah lorong waktu, apakah ia masih bisa menyaksikan generasi penerusnya memainkannya untuknya. Bersama Rohayah ia menitipkan pesan, "Kalau ada anak muda yang ingin belajar Makyong kami dengan senang hati akan mengajari mereka." ***

Selengkapnya..

Minggu, 25 September 2011

Sepuluh dari Tiga Belas Anak Jamal Lahir di Perahu

Menengok Kampung "Pendaratan" Suku Laut (1)
Poster Harry Azhar Azis di Rumah Jamal

Oleh Ahmadi Sultan, Batam Pos

PENYU sebesar bentangan dua halaman koran itu sesekali masih mendenguskan napasnya. Di punggungnya ada dua luka bekas tombakan. Darah yang mulai menghitam membekas dari luka itu. Dua tungkai depannya terikat jadi satu. Penyu itu teronggok tak berdaya di perahu Melo, nelayan Suku Laut, di Pulau Gara.

"Tolong muat!" kata Melo, lelaki berusia 31 tahun, dalam aksen Suku Laut. Kulit legam yang membalut tubuh dan celana pendek hitam yang dikenakannya, membuat ia nyaris tak kelihatan di remang malam itu. Lelaki berambut ikal kusam bertelanjang dada itu dengan sisa-sisa tenaga menambatkan perahunya.

Mesin tempel sudah dimatikan. Melo yang berdiri tepat di tengah perahunya berteriak kepada dua pemuda tetangganya yang berdiri di pelantar. Melo sudah terlalu lelah mengangkat penyu beratnya lebih dari seratus kilogram. Selasa (21/12) pukul 19.00 malam itu, Pulau Gara sudah senyap. Melo pulang dari melaut sendirian.

Tanpa menjawab, mereka bertiga langsung mengangkat penyu itu ke pelantar rumah panggung, perkampungan di atas laut, di tepi Pulau Gara. Hanya seekor penyu itu yang berhasil ditangkap oleh Melo sejak ia pergi melaut pukul satu siang. Berbekal keterampilannya menggunakan tombak. Tombak bermata seperti busur panah dari besi itu tampak diletakkan membujur di cadik perahu. Panjangnya dua meter.

"Ini saya tangkap dekat Pulau Lima," kata Melo. Pulau yang disebutnya itu terletak di antara Pulau Gara dan Tanjunguncang, kawasan di Pulau Batam yang disesaki industri maritim, di sana banyak galangan kapal.

***

Malam lekas jadi sepi di Pulau Gara. Pulau yang secara administratif termasuk di wilayah Kelurahan Kasu, Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam. Malam itu, saat Melo pulang melaut, seluruh penduduk sudah berada di dalam rumah masing-masing. Perkampungan itu lengang. Empasan ombak angin utara kalah keras oleh suara genset.

Ikan di perairan sekitar Pulau Gara sudah sulit ditemui. Maka penyu tangkapan Melo itu adalah kabar gembira. Penyu itu menghasilkan sekitar 80 kilogram daging yang ia jual ke warga sekitar. Daging sebanyak itu cukup untuk dikonsumsi penghuni satu pulau.

''Dagingnya dijual di sini saja. Satu ekor ini habis untuk semua orang sini. Biasanya dimasak asam manis,'' ungkap Melo. Sedangkan kulit penyu yang punya nilai ekonomi dibuang begitu saja ke laut. "Tak tahu mau dibuat apa," ujar Melo.

Melo tampak lelah. "Dipotongnya besok saja," katanya. Ia lalu masuk rumah beristirahat.

*

Pulau Gara adalah satu di antara dua pulau di Kota Batam yang paling banyak dihuni Suku Laut selain Pulau Bertam. Di Kampung Suku Laut di Pulau Gara terdiri atas 49 rumah.

Dari Pulau Batam, Pulau Gara bisa dicapai dari Pelabuhan Pandan Bahari, Tanjunguncang, 15 menit dengan perahu bermesin. Dari kejauhan rumah warga Suku Laut terlihat berderet seperti deretan gerbong kereta api. Semuanya menghadap ke laut, membelakangi daratan.

Semua rumah modelnya seragam, persegi empat dengan atap asbes. Dindingnya kayu. Ukurannya bujur sangkar dengan sisi-sisi lima meter. Pintu rumah mereka itu tepat di tengah. Di samping kiri pintu ada jendela kaca. Ruang dalam rumah dibagi dua. Satu bagian jadi ruang tamu, ruang keluarga sekaligus tempat makan. Bagian lainnya disekat jadi dua kamar, tanpa pintu.

Bagian belakang rumah dijadikan dapur. Di situ berdiri bangunan kecil berbentuk kotak. Ukurannya kecil, hanya satu meter persegi. Ini adalah kamar mandi sekaligus tempat buang air. Kalau buang air, kotoran mereka langsung jatuh ke laut.

"Rumah kami ini dibangun dan kami tempati tahun 1992. Waktu itu Batam masih masuk wilayah Provinsi Riau," kata Jamaludin. Ketua RT tak tergantikan itu, di dinding rumahnya, masih memajang foto Soeripto dan istrinya, Gubernur Riau 1988-1998. "Kenang-kenangan saja, karena di jaman beliaulah kampung kami ini dibangun," katanya.

Sejak dibangun sebagian besar warga tidak pernah mengganti atap, dinding, maupun lantai rumah pemberian pemerintah itu. Padahal ada yang dinding dan lantai rumah sudah lapuk dan berlubang.

Jumlah rumah di pulau ini 49 unit dengan 57 kepala keluarga. Awalnya hanya 20 unit rumah yang dihuni 20 kepala keluarga. Pada tahun yang sama, rumah bertambah karena penduduknya berkembang dan masuknya warga di luar Suku Laut ke pulau itu.

Jarak satu rumah dengan rumah lainnya satu setengah meter, dihubungkan pelantar. Dari ujung barat hingga timur, panjang pelantar mencapai 900 meter.

Di ujung barat pelantar, ada satu rumah yang berbeda. Rumah itu milik warga pendatang, Ahi namanya. Ia lelaki Tionghoa dari Batam yang menikah dengan perempuan Suku Laut bernama Ida dan kini sudah beranak dua orang. Rumah itu sekaligus kedai. Di belakangnya ada tempat mengumpulkan ikan hasil tangkapan nelayan setempat dan nelayan sekitar Pulau Gara. Tempat itu sekaligus tempat menjemur ikan asin.

Selain di ujung barat itu, di bagian tengah perkampungan ada dua kedai lainnya. Semuanya milik pendatang yang membaur dan hidup bersama Suku Laut. Di kedai-kedai itu Suku Laut berbelanja sehari-hari. Harganya lebih mahal sedikit dibanding di Batam karena barang-barangnya dibawa dari Batam dengan transportasi laut. Mie instan Indomie misalnya Rp1500 per bungkus sementara di Batam Rp1300.

Di belakang rumah, tepatnya di daratan, ada satu masjid yang baru saja dibangun. Namanya Masjid An-Nur. Di plang nama masjid kecil itu tertulis Program Bedah Rumah Al-Azhar Peduli Ummat. Halaman masjid dijadikan lapangan sepak takraw. Lelaki Suku Laut, gemar sekali dengan olahraga ini.

Tak jauh dari masjid ada sumur bor bantuan PT Epson Batam. "Itu bantuan tahun lalu," kata Jamal. Sumur umum itu mengalirkan air ke bak besar di samping masjid. Airnya hanya bisa untuk mandi, cuci, dan wudhu, tidak layak dipakai untuk masak.

Untuk keperluan masak, warga menampung air hujan atau pergi ke perigi yang berada di Pulau Bertam dan Pulau Kasu. Mereka membawa jeriken banyak-banyak dalam perahu untuk mengambil air. Untuk minum, sebagian warga yang terbilang mampu membeli air galon yang dijual di kedai.

***

Rumah Jamaluddin bin Tawo (67) termasuk yang sudah sedikit berubah. Rumahnya diberi beranda beratap. Kemudian satu bangunan di belakang rumah utama. Bangunan yang hampir sama ukurannya dengan rumah itu adalah dapur.

''Sebelum ada rumah ini kami ditempatkan di rumah terapung tahun 1991. Karena berbahaya jadi pemerintah membangunkan rumah ini,'' kata pria yang biasa disapa Jamal ini.

Jamal adalah Ketua RT 22 RW 06. Pulau Gara. Genset yang malam itu terdengar bisingnya, ada di rumah Jamal. Ia menjadi ketua RT sejak 1991 hingga sekarang. Tidak ada warganya yang bersedia menggantikannya karena hanya Jamal yang paling berani meski ia juga buta huruf. Sama seperti warga lainnya.

''Sudah berkali-kali saya usulkan untuk diganti, tapi tidak ada yang mau menggantikan,'' ungkap Jamal, Selasa (21/12) lalu.

Rumah Jamal terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Satu kamar untuk ia bersama istrinya, Gaya (49). Satu kamar lagi untuk anaknya, bungsu dari tiga belas anak Jamal. Anak-anak Jamal yang sudah berkeluarga punya rumah sendiri. Di kamar tidur rumah Jamal tidak ada tempat tidur. Mereka biasa tidur beralas tikar plastik.

Di sudut kanan ruang tamu, ada lemari pendek tanpa penutup. Pakaian yang terlipat di dalamnya terlihat jelas. Di atas lemari diletakkan televisi ukuran 14 inci yang sudah kusam. Tidak jelas lagi apa mereknya. Ketika Batam Pos berada di rumah itu, televisi tak dinyalakan.

Di atasnya, foto Jamal dan anak-anaknya terpajang di dinding. Di dinding kiri ada gambar Gubernur Riau Soeripto bersama istrinya tadi. Di atasnya ada gambar Garuda Pancasila yang sudah kusam dan berdebu.

Di dinding penyekat kamar terpasang poster-poster calon DPR RI Pemilihan Umum 2009 lalu. Ada poster Harry Azhar Azis, sekarang Wakil Ketua Komisi XI DPR RI. Di sebelahnya poster Insyah Fauzi yang mencalonkan diri jadi anggota DPD RI, tapi gagal, dan baru saja mencalokan diri sebagai Wali Kota Batam lewat jalur independen, dan gagal juga. Poster itu didapat Jamal dari tim sukses para calon itu.

''Orangnya tidak pernah datang ke sini. Kami hanya disuruh memilih, tapi tidak tahu orangnya yang mana. Janjinya kalau kami pilih, rumah kami akan diperbaiki. Nasib kami diperhatikan,'' ujarnya.

Jamal lalu mengambil kantong yang berisi spanduk. Setelah dibentangkan, tampak gambar salah satu kandidat Wali Kota Batam Periode 2011-2016. Spanduk itu diperoleh Jamal dari tim sukses kandidat tersebut. Ia disuruh memasang spanduk itu di Pulau Gara. ''Kami hanya disuruh, tapi tak tahu Wali Kota orangnya yang mana karena tak pernah ke sini,'' kata Jamal sembari menatap gambar si kandidat tepat di bawah lampu.

Rumah Jamal diterangi lampu 25 watt. Lampu itu hanya terpasang di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga. Sinarnya menerangi sebagian kamar yang tak berpintu. Lampu juga menyala di bangunan belakang yang menjadi dapur. Rumah Jamal termasuk yang paling mewah dan paling besar. Ada televisi dan radio. Diterangi lampu dari genset milik sendiri. Genset itu digunakan mulai pukul 18.00 atau saat mulai malam hingga pukul 22.00.

Genset itu hanya mampu untuk menerangi sedikit rumah. Itupun hanya rumah anak-anak Jamal. Sementara rumah warga lainnya hanya diterangi lampu petromak.

''Yang ada lampu hanya lima rumah di sini. Kemudian rumah orang Cina di ujung itu. Di tengah ada juga yang punya genset,'' ungkap ayah 13 anak dan 16 cucu ini.

Depan rumah Jamal tak dipasangi lampu karena cahaya lampu dari galangan kapal di Tanjunguncang, cukup terang. Dari pelantar depan rumah Jamal, galangan kapal yang bertebaran di sisi selatan terlihat jelas. Kapal-kapal besar yang sedang dibuat maupun dirawat bersandar di sekitar galangan. Tonggak-tonggak dan crane galangan berdiri menjulang tinggi.

Lampu-lampu galangan yang menyala berpendar di air laut. Cahaya lampu yang sangat terang terlihat gemerlap. Seperti melihat gemerlap Singapura dari Batam. Sangat kontras dengan keadaan Suku laut yang hampir gelap gulita.

Malam itu, seperti warga lainnya, Jamal hanya berdiam di dalam rumah. Pukul 20.00 istrinya sudah masuk kamar dan tidur. Enal (18) anak bungsunya pergi ke rumah saudaranya, tepat di sebelah kiri rumah Jamal.

Pukul 22.30, genset di rumah Jamal dimatikan. Pemadaman itu agak telat satu jam karena kami banyak mengobrol dengan Jamal. Jamal tidur di depan pintu kamarnya. Pintu rumahnya dibiarkan terbuka hingga embusan angin laut yang kencang menyerbu masuk. Bias sinar lampu galangan kapal di Tanjunguncang yang memantul dari laut menorobos ke dalam rumah yang sudah gelap.

Memasuki waktu subuh, terdengar sayup-sayup suara azan dari masjid. Jamal dan istrinya terbangun. Keduanya menyibukkan diri di belakang rumah. Dari depan rumah Jamal gemerlap lampu galangan kapal masih terlihat. Sinarnya mulai redup saat matahari muncul. Pagi itu, Jamal berangkat ke Batam mengurus bantuan untuk rukun nelayan yang diketuainya.

Di pelantar, anak-anak bersiap berangkat ke sekolah. Mereka berdiri di pelantar menunggu perahu yang akan membawa ke SD 06 Kasu di Pulau Bertam. Sekolah itu satu-satunya yang terdekat. Itu pun kelas jauh SD 06 Kasu, jadi yang ada hanya ruang kelas dengan bangku, meja, dan papan tulis. Anak Suku Laut di Pulau Gara yang bersekolah bisa dihitung jari. Hanya 15 orang. Mereka pintar-pintar. Cucu Jamal, Mirna (11) kelas tiga SD rangking tiga di sekolahnya. Ninin (11), juga cucu Jamal yang kelas dua SD rangking tiga.

''Yang rangking satu teman saya, anak Pulau Gara juga,'' ungkap Mirna yang berambut mirip ayah dan ibunya, Melo dan Suriah.

Pukul 06.30, anak-anak SD itu berangkat. Enal yang membawa anak-anak itu dengan perahu mesin. Itu tak makan waktu lama, sekitar lima menit saja. Di belakang perahu mesin yang melaju, tiga anak perempuan berangkat ke sekolah dengan perahu dayung. Satu berdiri mendayung dan dua lainnya duduk tenang.

Belasan ibu-ibu duduk bergerombol bersama anak-anaknya di dekat rumah Melo. Melo yang sudah melaut lagi subuh itu, baru saja pulang lagi mendapat tujuh ekor ikan hiu kecil. Pagi itu, Melo menyembelih penyu yang didapat semalam di depan rumahnya. Ibu-ibu itu duduk menunggu sembari mengobrol dan menyaksikan Melo memotong penyu. Mereka berbincang dengan bahasa Suku Laut. Bahasanya sangat berbeda dengan bahasa Melayu. Ada yang menyebutnya bahasa Mapur. Ada juga yang menyebut bahasa Tambus.

Bahasa tiap kelompok Suku Laut di satu tempat berbeda dengan Suku Laut di tempat lain. Bahasa Suku Laut di Pulau Gara, misalnya, tidak sama dengan bahasa Suku Laut di Pulau Bertam. Padahal jarak kedua pulau itu hanya lima menit perjalanan dengan perahu bermesin. Interaksi antara mereka pun masih intens. Bahasa Suku Laut ini tetap dipertahankan dan juga digunakan anak-anak Suku Laut.

Itu terdengar ketika anak-anak Suku Laut berbicara sambil bermain-main di depan rumah Melo. Kebanyakan anak-anak itu sudah masuk usia sekolah. Jumlahnya puluhan anak. Lebih banyak dari anak-anak yang bersekolah. Anak-anak yang sekolah pun belum tentu melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi. Paling tinggi hingga sekolah menengah pertama. SMP hanya ada di Pulau Kasu dan di Belakangpadang yang ditempuh 30 menit dengan menggunakan perahu mesin.

''Banyak anak-anak yang tidak bersekolah dan putus sekolah karena letak sekolahnya yang di pulau seberang dan tidak mampu. Ada juga yang orang tuanya belum punya kesadaran menyekolahkan anaknya. Malah diajak melaut,'' ungkap Jamal.

Seperti Jamal dan Melo, semua Suku Laut di Pulau Gara bekerja sebagai nelayan. Tidak ada pekerjaan lain. Ketika musim utara seperti saat Batam Pos datang ke pulau itu, nelayan hanya melaut sekitar perairan Pulau Gara. Angin kencang membuat mereka takut melaut jauh-jauh. ''Hanya laut ini lahan kami (mencari makan),'' kata Melo.

Biasanya saat laut bersahabat atau pada musim timur, mereka bisa melaut hingga ke Moro, Kabupaten Karimun dan Kabupaten Lingga, Kepri. Mereka menyebutnya bertandang. Mereka bisa bertandang sebulan atau seminggu. Hasil tangkapan mereka untuk konsumsi sendiri. Jika tangkapan ikan banyak barulah mereka jual. Hasil penjualan ikan kemudian mereka bawa pulang. ''Tapi tidak banyak yang biasa dibawa pulang karena boros. Kalau dapat uang hari ini, langsung mau dihabiskan,'' kata Jamal.

Karena melaut, tidak banyak laki-laki yang terlihat pagi itu. Hanya Melo yang sudah pulang melaut dan memotong penyu. Daging penyu yang sudah dipisahkan dari batoknya kemudian dipotong kecil-kecil oleh Suriah, istri Melo, lalu dibersihkan. Ibu-ibu yang sudah menunggu sejak penyu itu dipotong, berkumpul di dekat tumpukan daging penyu yang sudah bersih. Istri Melo menimbangnya sesuai permintaan. Satu kilogram, Melo menjualnya Rp6 ribu.

''Suku Laut sudah biasa makan penyu. Rasanya seperti daging. Kalau mau tau rasanya, coba sendiri,'' ujar seorang perempuan Suku Laut sembari tersenyum kepada Batam Pos.

Ketika tengah membeli daging penyu, penjual kue dari Pulau Kasu muncul. Penjual kue yang suami istri itu datang dengan perahu bermesin. Sebagian ibu-ibu membeli kue khas Melayu itu. Setelah membeli daging penyu dan kue untuk sarapan, ibu-ibu Suku Laut berangsur pulang ke rumah masing-masing untuk memasak. Pelantarpun kembali sepi.

Tidak banyak aktivitas yang mereka lakukan, karena tidak ada pekerjaan lain. Ibu-ibu hanya menunggu suami pulang melaut, mengurus anak, dan memasak. Sementara pria yang tinggal di rumah banyak berdiam diri dalam rumah, memperbaiki alat-alat tangkap.

Sebenarnya, upaya memukimkan Suku Laut, memberi pilihan lain bagi mereka untuk bertani. Tapi, lahan yang disediakan belum banyak mereka manfaatkan. Saat didaratkan, pemerintah membagikan lahan ukuran 30 meter x 60 meter di belakang perkampungan mereka. Selain belum pintar berkebun, hama babi juga jadi penghalang. ''Padahal kalau di darat kami bisa berkebun dan beternak ayam, tapi tak pandai berkebun. Babi juga banyak. Sementara rumah kami di sini (di atas laut), tak bisa jaga di sana.'' kata Jamal.

***

PULAU Bertam adalah pulau pertama yang dijadikan tempat pendaratan Suku Laut oleh Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Batam tahun 1988. Di pulau kecil ini berdiri 37 rumah dan dihuni 40 KK. Rumah mereka berdiri di atas laut dan berhadap-hadapan. Bentuknya tidak seragam lagi seperti di Pulau Gara.

''Kami lebih dulu dari Suku Laut yang ada di Pulau Gara. Sejak dibangun, rumah kami ini tidak banyak diperbaiki. Hasil melaut tidak cukup untuk perbaiki rumah,'' kata Nur (47), yang tinggal bersama dua anaknya yang juga sudah berkeluarga.

Kondisi rumah Suku Laut di Pulau Bertam lebih parah lagi. Banyak yang sudah reyot karena tiang penyangganya sudah lapuk. Dinding-dindingnya ada yang lapuk. Tidak layak ditempati lagi sehingga ada yang ditinggalkan penghuninya. Pelantar yang menghubungkan antara satu rumah dengan rumah lainnya sudah keropos dan banyak yang copot papannya. Kalau tak hati-hati melangkah bisa terperosok. Pelantar ini berujung di daratan tempat sekolah, masjid, dan posyandu berdiri. Sejumlah fasilitas umum itu rusak.

Seluruh penduduk Pulau Bertam adalah Suku Laut. Tidak ada warga pendatang. Melaut adalah satu-satunya pekerjaan warga. Sekarang, mereka kesulitan dapat ikan baik untuk dimakan sendiri maupun dijual kembali. Aktivitas galangan kapal di perairan sekitar tempat tinggal mereka membuat ikan sulit dicari.

''Cari ikan belum tentu dapat dalam satu hari. Kalaupun dapat paling hanya Rp20 ribu. Susah cari ikan sekarang kalau tak jauh-jauh,'' kata Mukhtar (55), Ketua RT 20 RW 06, Kelurahan Kasu.

Ketika tak melaut, mereka hanya memperbaiki alat tangkap dan merawat mesin perahu. Saat Batam Pos berkunjung ke Pulau Bertam, Rabu (22/12), Mukhtar merawat mesin perahunya. Dua anaknya sedang memotong rambut di samping rumah. Istrinya hanya duduk-duduk di dalam rumah.

Lahan di daratan di belakang perkampungan Suku Laut tidak bisa dimanfaatkan lagi. Tanahnya tidak cocok untuk menanam sayuran atau palawija. Mereka juga tidak banyak ilmu cara bercocok tanam. ''Jadi ya tergantung laut saja,'' ujar Mukhtar lagi.

Pendidikan yang tidak tinggi bahkan banyak yang tidak sekolah membuat mereka hanya bisa menjadi nelayan. Suku Laut sangat banyak yang buta huruf. Hanya anak-anak sekolah dan remaja yang sudah bisa membaca. Kebanyakan hanya bersekolah hingga sekolah dasar karena hanya ada SD di pulau ini. Seperti Suku Laut di Pulau Gara, Suku Laut di Bertam juga harus menyeberang laut untuk sekolah lebih tinggi. Ke Pulau Kasu, Belakangpadang, atau ke Batam.

''Tak banyak yang sekolah. Ada yang mau sekolah, tapi uang susah,'' ucap Mukhtar.

Tidak hanya fasilitas pendidikan yang kurang, fasilitas kesehatan juga sangat minim. Hanya ada posyandu yang tak terawat. Atapnya sudah rusak. Untuk berobat kala sakit mereka harus berlayar ke Belakangpadang atau ke Pulau Kasu. Kalau parah mereka ke Batam. Mereka berobat di Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK). Di rumah sakit swasta itu mereka berobat gratis.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Batam, drg Chandra Rizal, posyandu di Pulau Bertam tetap aktif. Petugasnya masih datang secara berkala. Untuk berobat, lanjutnya, memang warga di Pulau Bertam maupun Pulau Gara harus ke puskesmas pembantu di Pulau Kasu atau ke puskesmas induk di Belakangpadang.

"Petugas kesehatan datang sesuai jadwal. Petugas yang di sana Pak Sadri,'' jelas drg Chandra Rizal kepada Batam Pos, Senin (27/12).

***

Pada tahun 1988 Pulau Bertam ini dirintis sebagai perkampungan Suku Laut. Awalnya hanya 14 rumah dan 14 KK. Suku Laut di pulau ini dibina Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Batam yang diketuai Sri Soedarsono. Adik kandung mantan Presiden BJ Habibie.

''Sebelumnya mereka ditempatkan di Pulau Paku. Tapi makin lama pulau itu makin kecil jadi direlokasi ke Pulau Bertam,'' ujar Sri Soedarsono di Kantor KKKS di Sekupang, Senin (27/12).

Di pulau itu dibangun posyandu, klinik kesehatan, sekolah, dan masjid. Warganya diberi lahan dan diajarkan cara bercocok tanam, mengolah hasil kebun dan cara memasak.

Dulu, setiap bulan Sri Soedarsono selalu memasok sembako untuk semua Suku Laut. Ia selalu berkunjung bersama tamu–tamunya. Bahkan ada yang dari Belanda. Suku Laut menganggap Sri Soedarsono sebagai Ibu Suku Laut karena perhatiannya yang lebih.

Tahun 2000, Pemerintah Kota Batam mengambil alih pembinaan Suku Laut. Tapi pembinaan itu tidak berjalan. Tidak ada lagi yang mengajari mereka cara bertanam, mengolah hasil kebun dan memasak. Mereka pun tidak mau berkebun lagi.

''Kami tidak mendapat perhatian. Kami hanya didatangi saat pemilihan dan banyak janji. Janji-janji itu tidak pernah dipenuhi,'' ujar Nur, warga Suku Laut Pulau Bertam, dengan wajah merengut.

Janjinya, lanjut Nur, rumah mereka akan diperbaiki, diberikan bantuan perahu dan alat tangkap. Tapi itu tidak pernah terwujud. Setelah pemilihan, tidak ada lagi yang pernah datang. Wali Kota Batam pun tidak pernah mengunjungi mereka.

''Dulu Wali Kota (Nyat Kadir), sering berkunjung. Tapi Wali Kota sekarang (Ahmad Dahlan) tidak pernah datang. Kami tak tahu yang mana,'' kata Nur.

Sri Soedarsono menyebutkan pemerintah sama sekali tidak ada perhatiannya padahal pembinaan sudah diambilalih. ''Tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah. Sebal saya. Wali Kota tidak pernah bantu, tidak pernah ke sana,'' ujar Sri Soedarsono yang saat ini meskipun secara resmi tak lagi mengurusi program bantuan untuk Suku Laut, ia masih sering mengunjungi Suku Laut Pulau Bertam.

''Kami hanya bisa mengeluh ke lurah, ke camat, tapi jarang ada tanggapan,'' ucap Mukhtar, Ketua RT di Pulau Bertam.

Kepala Dinas Sosial Kota Batam M Sahir mengatakan, Pemko Batam melalui Dinas Sosial tetap punya program pembinaan terhadap masyarakat terpencil termasuk Suku Laut. Program pembinaan tersebut berupa pelatihan, penyuluhan kebersihan lingkungan, peningkatan kesehatan, dan pemahaman tentang kesatuan bangsa.

''Petugas kita turun ke lapangan secara berkala bersama KKKS yang dipimpin Ibu Sri Soedarsono,'' jelasnya M Sahir, Selasa (28/12),

Sahir mengakui program fisik untuk masyarakat di Pulau Gara dan Pulau Bertam belum ada hingga akhir tahun ini. Padahal itu yang diharapkan Suku Laut di kedua pulau itu. Tahun ini, ungkap Sahir, program bedah rumah hanya daerah pesisir Pulau Batam, misalnya di Tanjungriau.

''Program itu tidak khusus untuk masyarakat Suku Laut, tapi semua masyarakat terpencil seperti suku darat yang di hutan dan orang-orang tempatan di hinterland. Tahun ini memang belum ada di pulau itu,'' katanya.

Namun tahun 2011, kata Sahir lagi, program bedah rumah akan menyentuh masyarakat di Pulau Gara dan Pulau Bertam. Program itu dari Pemerintah Kota Batam dan Provinsi Kepulauan Riau. Masing-masing 100 rumah akan dibantu Pemko Batam dan 200 rumah oleh Provinsi Kepri.

Berdasarkan data Dinas Sosial dan Permakaman, jumlah masyarakat Suku Laut kurang lebih 300 KK. Mereka menyebar di Pulau Gara, Pulau Bertam, Pulau Lingka, Pulau Todak, dan Pulau Ngenang. (bersambung)

Menengok Kampung "Pendaratan" Suku Laut (2)

Sepuluh dari Tiga Belas
Anak Jamal Lahir di Perahu


Gaya, 49, istri Jamal bin Tawo, 67, sudah bangun sejak subuh. Ia menjerang air di dapur sambil memasak mi goreng instan. Setelah air mendidih, Gaya bergegas ke dekat kompor dan mengangkat panci berisi air panas. Air itu dituangkan ke dalam tiga gelas yang berisi bubuk Milo. Ia dibantu, Enal, anak bungsunya. Sisa air panas ditaruh dalam teko untuk air minum.

Enal kemudian membawa tiga piring mi goreng dan tiga gelas Milo dengan nampan ke ruang tamu. Ia meletakkanya begitu saja di hadapan kami tanpa bicara, lalu kembali ke dapur. Setelah membuat sarapan itu, Gaya mencuci pakaian. Ia mencuci di pelantar yang menghubungkan dapur dan rumah utama.

''Hanya itu kerje di rumah. Habis itu tak ade kerje lagi,'' kata Gaya dengan aksen Suku Laut, Rabu (22/12) lalu.

Setelah memasak dan mencuci, wanita bertubuh agak gempal dan berkulit legam ini seperti kebingungan. Ia tak tahu harus mengerjakan apalagi. Gaya pun akhinya tidur-tiduran saja. '' Kalau tak ada kerje, ya membersihkan pancung (perahu mesin) saje, menimba air (menguras air yang masuk ke perahu,'' ungkapnya.

Tinggal menetap di rumah sudah dinikmati Gaya dan Suku Laut lainnya. Ada listrik dan bisa menonton televisi. Pukul 11.30 WIB, Rabu (29/12), Gaya menonton tayangan sinetron di salah satu televisi swasta. Gaya bisa menonton setelah memasak dan mencuci. Ia ditemani cucunya, Mirna (11).

''Suka nonton sinetron. Biasanya nonton Indosiar atau SCTV. Nonton Cinta Fitri, tapi tadi malam saya tak nonton,'' kata Mirna, Rabu (29/12) siang lalu.

Tengah hari, Gaya meninggalkan tayangan di televisi itu. Ia keluar rumah dan menuruni tangga pelantar menuju perahu yang ditambatkan di depan rumah. Ia menguras air yang masuk ke perahu. Kata Gaya, ia lebih senang tinggal di perahu dari pada di rumah. Meski sudah menikmati tayangan di televisi dan penerangan dari listrik. Ia merasa tak sebebas ketika masih tinggal di atas perahu.

''Lebih senang di perahu karena bisa dapat ikan terus. Kalau tak ada ikan, udang, kepiting, bisa pindah ke tempat lain. Sekarang sudah susah dapat ikan, udang dan kepiting pun susah,'' ujarnya.

***

Gaya dan Jamal lahir di perahu yang mereka sebut kajang. Perahu yang di atasnya diberi sirap atau atap dari daun kelapa. Jamal menikahi Gaya tahun 1955. Proses lamarannya, keluarga Jamal dan Gaya bermusyawarah. Setelah sepakat mas kawinnya ditentukan. Mas kawinnya harus emas. Ada ketentuannya.

''Emas harus harganya 44 dolar (Singapura) kalau yang gadis. Janda satu kali 22 dolar, kalau janda dua kali 88 dolar. Tidak tahu kenapa lebih banyak yang janda dua kali,'' ungkap Jamal.

Emasnya dibeli dengan dolar karena Suku Laut dulu masih bebas masuk Singapura. Saat pesta seluruh kerabat Jamal dan Gaya diundang. Mereka berdatangan dengan perahu masing-masing. Jamal dan Gaya menikah menurut kepercayaan mereka saat itu. Mereka menyebutnya agama keturunan. Tidak ada pencatatan di kantor urusan agama atau di pengadilan.

''Menikahnya ada semacam ijab kabul juga. Mirip ijab kabul dalam agama Islam,'' ungkap Jamal yang sempat memeluk agama Kristen sebelum masuk Islam.

Sesudah menikah Jamal dan Gaya dibuatkan kajang baru. Gaya masih ingat betul ketika masih tinggal di perahu. Ia beraktivitas seperti layaknya manusia di daratan. Memasak, makan, mencuci, dan tidur. Dalam satu kajang, mereka menyisakan satu bagian tempat di ujung untuk memasak. Api mereka dapatkan dengan menggunakan gesekan batu atau kayu.

Malam hari, mereka tidur di satu bagian kajang yang diberi atap sirap. Di atas perahu ini, mereka juga melakukan hubungan suami istri. Setelah hamil, seorang dukun beranak terus mengikuti ke mana mereka berkelana dengan perahu kajang sampai melahirkan. Anak-anak Jamal sebagian besar lahir di atas perahu. Sepuluh dari 13 anaknya lahir di perahu. Setelah anak-anaknya mulai beranjak remaja, anak-anak perempuan dibuatkan kajang tersendiri.

''Anak perempuan yang sudah besar dibuatkan perahu sendiri, supaya tak silap mata (tidak menggauli anak sendiri),'' kata Jamal.

Kajang untuk anak perempuan itu tetap diikat pada perahu induk. Anak-anak perempuan itu tak boleh banyak bergaul dengan laki-laki. Anak-anak perempuan tidak boleh berdua-duan dengan laki-laki. Kalau ada, keduanya dihukum. Dicambuk dengan ranting. Sampai sekarang, anak laki-laki dan perempuan tidak boleh banyak bergaul.

''Tak boleh berbual-bual lelaki dan perempuan meski tak melakukan apa-apa. Tak boleh memalukan keluarga. Kalau jodoh, tanya langsung ke orang tua,'' bebernya.

***

Kehidupan di atas perahu kini sangat jarang ditemui di Batam. Sejak didaratkan, kehidupan suku laut mulai berubah. Namun masih banyak tradisi-tradisi yang masih tetap dijaga. Anak-anak, laki-laki maupun perempuan sejak kecil sudah pintar mendayung perahu, menangkap ikan, dan bermain dalam laut. Lihatlah Ninin (11), cucu Jamal.

Ninin, putri Ahad dan Farah turun dari perahu mesin kakeknya, Jamal, yang baru saja tiba dari Batam, Rabu sore. Perahu yang membawa dua penumpang lainnya itu kandas karena air laut belum pasang. Siswa kelas dua sekolah dasar ini, mengangkat sedikit bajunya setelah masuk ke dalam air. Air laut setinggi paha Ninin saat itu.

Ninin bergegas lincah menuju pelantar yang berjarak sekitar 20 meter. Di depan rumahnya ada perahu dayung. Ia naik ke atas perahu itu lantas mendayungnya mendekati perahu mesin kakeknya. Satu penumpang di perahu mesin itu berpindah ke perahu dayung. Ninin lantas mendayung perahu membawa penumpang yang sudah dewasa.

Penumpangnya naik ke pelantar, Ninin mendayung perahu lagi mendekati perahu kakeknya. Menjemput penumpang lainnya. ''Sejak kecil sudah bisa mendayung sendiri. Kadang ke sekolah mendayung perahu juga,'' kata anak tertua Ahad dan Farah ini.

Tidak hanya Ninin yang pintar mendayung, sepupunya, Mirna (11) juga lincah mendayung. Bahkan Mirna biasa pergi melaut. Ia memancing ikan tak jauh dari rumahnya. ''Biasanya memancing ikan kalau hari Minggu. Dapatnya ikan sembilang,'' ungkap Mirna.

Tapi Ninin dan Mirna tak ingin seperti kakek-neneknya atau kedua orang tuanya. Ninin dan Mirna ingin sekolah setinggi-tingginya. Ninin yang ramah, pintar di sekolahnya. Ia rangking tiga. Begitu juga Mirna yang lebih kalem masuk tiga besar di sekolahnya. Cita-citanya? ''Tak tahu,'' katanya.

Menurut Kepala Dinas Kota Batam, Muslim Bidin, Pemko Batam menganggarkan dana untuk biaya transportasi laut siswa di hinterland, termasuk anak-anak yang di pulau-pulau. Biaya transportasi laut ini diberikan kepada pelajar di Kecamatan Belakang Padang, Kecamatan Galang dan Kecamatan Bulang. Pulau Gara dan Pulau Bertam masuk wilayah Kecamatan Belakangpadang.

''Dengan begitu anak-anak di pulau bisa sekolah tanpa harus memikirkan biaya transportasi lagi,'' katanya.

Anak-anak hinterland itu mendapatkan bantuan transportasi Rp3 ribu per hari atau Rp78 ribu per bulan dari pemerintah. Bantuan itu diserahkan ke sekolah dan kemudian diberikan kepada masing-masing siswa. Di Kecamatan Belakang Padang, jumlah pelajar yang menerima biaya transportasi dari SD hingga SMA berjumlah 392 orang. Di Kecamatan Bulang berjumlah 512 anak dan di Kecamatan Galang berjumlah 316 anak. Dengan demikian total keseluruhan pelajar hinterland yang menerima biaya transportasi laut berjumlah 1.220 anak.

Adanya bantuan ini banyak orang tua di pulau-pulau kembali bersemangat untuk menyekolahkan anak-anaknya agar tidak melaut seperti mereka. Namun Ninin dan Mirna tidak tahu ada biaya transportasi dari pemerintah. Kedua cucu Jamal ini berangkat ke sekolah dengan perahu mesin milik kakeknya itu.

''Tak tahu om (ada bantuan biaya transportasi dari Pemko Batam). Dari sekolah tak ada, tak tahu juga,'' kata Mirna.

Selain biaya transportasi, anak-anak hinterland juga diberikan beasiswa oleh Pemko Batam, tiap tahun. Misalnya, pada tahun 2008, jumlah 58 orang dengan jumlah peserta yang ikut seleksi 118 orang. Tahun 2009, sebanyak 80 orang anak hinterland diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi.

Mirna yang masih sekolah dasar belum pernah mendapat beasiswa. Padahal prestasinya membanggakan. Saat kelas satu dan kelas dua ia rangking satu dan saat kelas tiga ia rangking tiga.''Tak dapat om,'' katanya.(habis).

* Nomine Rida Award 2011

Selengkapnya..