Suasana pembangunan di Makkah. (Foto : Anas Sadaruwan/jpnn.com)
Mengunjungi Makkah dengan Wajah Baru (1)
Ada Menara Jam, Arah Kiblat Berubah
Pada musim haji tahun ini, megaproyek perluasan Masjidilharam dan modernisasi transportasi Arafah–Mina memasuki tahap penyelesaian. Sebagian bahkan sudah bisa dinikmati jamaah. Apa saja layanan terbaru dari megaproyek tersebut? Berikut laporan Anas Sadaruwan dari Makkah. (tulisan dan foto diambil dari JPNN.COM)
==========================
SAYA tiba di Makkah sekitar akhir September 2010. Saat itu calon jamaah haji (CJH) Indonesia belum datang. Mereka baru masuk Makkah pada 22 Oktober, setelah menunaikan salat Arbain selama delapan hari di Madinah.
Suasana Masjidilharam pun tak begitu padat. Terutama waktu duhur, orang tawaf bisa dihitung dengan jari. Artinya, setiap putaran, kalau mau, orang itu bisa mengecup Hajar Aswad. Padahal, pada waktu ramai, orang harus berebut dan saling sikut untuk bisa mengecup batu hitam itu.
Setelah Ramadan, pemerintah Arab Saudi memang sudah tidak mengeluarkan visa umrah lagi. Sebab, Syawal sudah masuk musim haji (miqat zamani). Dengan demikian, yang bisa masuk ke Makkah adalah pemegang visa haji atau visa ziarah.
Saya bisa masuk karena mengurus dokumen haji khusus. Semua wakil perusahaan travel penyelenggara haji khusus memang diberi kesempatan masuk Arab Saudi dengan visa ziarah untuk mengurus barcode haji khusus. Barcode adalah stiker yang harus ditempelkan di paspor jamaah haji khusus sebagai persyaratan. Sebab, barcode itu baru bisa diperoleh kalau penyelengara haji khusus tersebut sudah bisa menunjukkan kontrak hotel di Makkah, Madinah, dan rumah transit.
Sambil menunggu selesainya barcode, saya mencari hal-hal yang berubah di Masjidilharam. Saya memang akhirnya menemukan sesuatu yang baru. Tapi, bukan pemindahan makam Ibrahim yang cukup diberi tanda di lantai atau ditanam dengan ditutup kaca tebal agar orang yang tawaf lebih leluasa. Sebab, kenyataannya, makam Ibrahim masih ada seperti semula. Sesuatu yang baru itu memang sepele. Yakni, di setiap pintu masuk Masjidilharam saat ini ada segelondong plastik tipis, mirip dengan pembungkus buah di supermarket. Plastik tersebut disediakan untuk membungkus sandal sehingga praktis dan memudahkan jamaah.
Selain itu, sekarang jamaah bisa melihat lokasi sai yang baru dan megah, yang berkapasitas tiga kali lipat. Saya lantas keluar dari masjid melalui Babul Umrah. Dulu, kalau saya keluar dari Babul Umrah, kemudian naik trap agak tinggi, pasti di hadapan saya ada Makkah Hotel yang terkenal dekat itu. Bangunan tersebut kini sudah dikeruk sedalam 20 meter. Bahkan, gunung di belakangnya sudah rata. Artinya, kawasan tersebut sekarang lebih rendah daripada Masjidilharam.
Ratusan crane berdiri gagah. Di bawahnya, ribuan pekerja menempati pos masing-masing di kawasan itu. Di situlah sekarang dibangun perluasan Masjidilharam ke arah barat. Pilar-pilar berotot besi besar mulai terpancang. Tentu bentuk bangunannya akan disamakan dengan Masjidilharam sekarang. Ada basement serta lantai satu dan dua. Juga ada lantai paling atas tanpa atap.
Saya melihat, dua menara mulai dibangun dan sudah meninggi. Dua menara itu tidak jauh dengan tempat yang dulu merupakan lokasi Hotel Al Safa, yang berjarak sekitar 600 meter dari Masjidilharam. ”Saya menduga, pintu dua menara itu akan dinamakan Bab Malik Abdullah,” kata Amiruddin, seorang mukimin yang menemani saya berkeliling. Sebab, perluasan Masjidilharam era Raja Fahd dinamakan Bab Malik Fahd.
Saya lantas berusaha mengingat-ingat hotel apa saja yang dulu berada di sana, di kawasan Makkah Hotel. Ada Hotel Zahret, Qurtuba, Talal Palace, Anwar Makkah, White Palace, dan Grand Tala. Sedangkan di Syamiah, ada hotel New Safa, Asia, Al Safa, Al Waled Palace, Elaf Tower, dan ratusan hotel lain yang sekarang tinggal nama. Saya masih ingat betul karena dulu sering tukar uang dolar di dekat New Safa. Di sana, rate-nya bagus.
Hotel Sofitel yang berlokasi agak tinggi –menanjak tajam kalau kita jalan kaki dari Masjidilharam– juga dikeruk habis. Kedalamannya sekitar 20 meter. Sulit rasanya mengingat-ingat dengan tepat hotel A dulu di sini atau hotel B dulu di sini. Sebab, proyek itu adalah proyek raksasa. Apalagi, mencari Pasar Seng. Di mana, ya" Hal itu terjadi karena bangunan dan hotel-hotel besar di sekitarnya, seperti Hotel Sheraton, Riyadh, Reem, Najd, Soraya, dan Rowasi, sudah rata dengan tanah sampai Masjid Kucing. Banyak orang punya kenangan di hotel-hotel tersebut.
Saya tidak tahu, sekarang pemondokan jamaah haji kita yang terdekat di mana. Tapi, yang jelas, mereka bakal melewati hamparan luas sebelum sampai di Masjidilharam. Proyek perluasan Masjidilharam akan menjadi tontonan menarik bagi jamaah. Sebab, mereka pasti melewati dan melihatnya. Ketika jamaah haji rombongan pertama masuk ke Makkah akhir Oktober lalu, para pekerja perluasan Masjidilharam itu masih bekerja.
Perluasan tersebut bertujuan menambah kapasitas hingga 35 persen, yakni bertambah sekitar 500.000 orang. Dengan demikian, daya tampung Masjidilharam menjadi 1,2 juta orang. Masjid itu mempunyai 135 pintu masuk yang dibuka 24 jam. Di setiap pintu besar, ada sinyal lampu hijau atau merah. Kalau sinyal hijau menyala, dalam masjid masih ada tempat. Tapi, kalau sinyal merah menyala, tempat sudah penuh.
Tahun ini jamaah akan melihat pemandangan yang menarik. Yaitu, berdirinya jam raksasa di kota suci Makkah. Meski belum rampung seluruhnya (baru tiga sisi yang sudah dipasangi jam), jam terbesar di dunia itu sudah berdetak dan berfungsi sejak 12 Agustus 2010 atau awal Ramadan lalu. Saya jadi penasaran dan ingin naik untuk melihat dari dekat. Tapi, dari mana" Begitu saya mendekati kawasan hotel yang memiliki akses ke atas jam raksasa itu, seorang petugas sekuriti menegur dengan bahasa Arab,” Mamnuk, mamnuk.” Maksudnya, dilarang masuk.
Dari bawah, saya melihat para bekerja menyelesaikan pembangunan puncak menara yang tingginya nanti 1.970 kaki atau 600,46 meter. Di puncak menara itu, akan dipasang ornamen bulan sabit yang bergaris tengah 23 meter. Konon, nanti dipasang juga 15 lampu sorot di puncak menara tersebut, yang akan menembus langit. Di bawah menara, ada tulisan besar Allahu Akbar dalam huruf Arab.
Tulisan tersebut akan berada di bawah jam raksasa dengan ukuran garis tengah 151 kaki atau 46,02 meter. Di kanan-kirinya, ada menara pendukung. Di tiap-tiap menara tersebut, juga ada tulisan Allahu Akbar dalam huruf Arab, tapi agak lebih kecil. Demikian juga sisi lain. Sebab, menara jam raksasa tersebut mempunyai empat sisi yang sama.
Di bawah jam, ada tulisan Arab berbunyi, ”Waqful Malik Abdul Azis Lilharamain Asysyarifain.” Artinya, wakaf Raja Abdul Azis untuk dua Tanah Suci. Lambang Kerajaan Arab Saudi tetap ada. Yaitu, sepasang pedang bersilang dan pohon palem di tengah jam tersebut. Persis di bawah jam raksasa itu, akan disediakan teras atau balkon agar pengunjung bisa berdiri dan melihat pemandangan kota. Akan disediakan pula elevator bagi pengunjung yang ingin masuk balkon.
Kompleks perhotelan di bawah jam raksasa itu memang jadi sasaran penyelenggara haji khusus untuk menginapkan jamaah. Saya juga memilih salah satu hotel di kompleks tersebut untuk jamaah saya. Kompleks itu dinamakan Abraj Al Bait Tower. Tempat tersebut memiliki tujuh menara. Satu di antaranya merupakan menara tertinggi, yaitu Mecca Royal Clock Tower Hotel. Di puncaknya, ada jam raksasa tersebut.
Ada tiga hotel yang sejak tahun lalu sudah dioperasikan, yaitu Grand Zamzam, Marwa Arryhaan, dan Movenpick. Segera dioperasikan juga hotel papan atas, yaitu Fairmont, Raffles, dan Swiss Hotel, ditambah lagi Royal Mecca Clock Tower. Menurut salah seorang manajer hotel, kompleks perhotelan tersebut bisa menyiapkan 3.000 lebih kamar dan apartemen yang dilengkapi dengan lima gedung pusat perbelanjaan dan 1,5 juta meter lobi.
Saya melihat, di atas pintu gerbang masuk kompleks Abraj Al Bait itu juga ada tulisan ”Waqful Malik Abdul Azis Lilharamain Asysyarifain” dengan huruf Arab. Artinya, wakaf Raja Abdul Azis untuk dua Tanah Suci. Sama dengan yang ditulis di jam raksasa di atasnya.
Salah seorang sopir taksi di Makkah berkata, ”Arah kiblat salat kita akan berubah.” Lho, kenapa berubah? Sebab, kita tidak perlu susah-susah cari arah kiblat. Kan jam raksasa itu dari kejauhan sudah tampak, hadapkan saja salat kita ke sana. Toh, Kakbah berada di bawahnya. Tentu sopir taksi Arab tersebut bercanda. Sebab, orang Islam kalau salat tetap wajib menghadap ke Kakbah. Warga Arab Saudi, terutama penduduk Makkah, pasti bangga, begitu juga dunia Islam.
Mengunjungi Makkah dengan Wajah Baru (2-habis)
Untuk Haji, di Arafah Ada Tiga Stasiun Monorail
Musim haji tahun ini, monorail yang menghubungkan Arafah ke Mina, sudah dioperasikan. Tapi, tak semua jamaah bisa terangkut. Mengapa? Berikut lanjutan laporan ANAS SADARUWAN dari Makkah.
--------------------
Dari kejauhan saya melihat jam raksasa itu memang cantik. Kalau malam berwarna hijau dan jarum jamnya putih. Hal itu karena sekitar 21.000 lampu berwarna hijau dan putih menyala, terutama ketika waktu salat tiba. Kalau siang warnanya menjadi putih, sedangkan jarum jamnya menjadi hitam. Cahayanya terlihat hingga 18 mil atau 25 kilometer. Setiap sisi jam itu ditutupi dengan 98 juta lembar kaca mozaik yang terbuat dari karbon fiber yang sangat kuat yang biasa digunakan pesawat ruang angkasa. Beberapa bagian dilapisi emas. Keempat sisi jam itu akan disorot oleh dua juta lampu LED (light-emitting diode). Jam akan berjalan berdasarkan standar waktu Arabia, tiga jam mendahului GMT.
Dengan berdirinya jam raksasa di Tanah Suci itu, tampaknya, pemerintah Saudi berambisi memindahkan pusat waktu dunia ke Makkah. Sebelumnya, selama 125 tahun, pusat waktu dunia adalah GMT (Greenwich Mean Time), yang terletak di sebuah titik di atas bukit di London. Jam raksasa di Makkah ini diperkirakan bisa menjadi pedoman waktu bagi seluruh umat Islam di dunia. Keinginan pemerintah Saudi memindahkan pusat waktu dunia ke Makkah mendapatkan reaksi positif dunia Islam. Bahkan, dukungan itu muncul juga di jejaring Facebook.
Dengan demikian, Royal Mecca Clock Tower bakal menjadi menara tertinggi kedua di dunia (600 meter) setelah Burj Al Khalifa di Dubai (828 meter). Dan, menjadi menara jam tertinggi sekaligus terbesar di dunia. Big Ben yang bertengger di Menara St Stephen London yang selama ini dianggap tertinggi (96 meter), garis tengah jamnya hanya 23 kaki (7 meter). Sedangkan menara jam Makkah, bergaris tengah 151 kaki atau 46 meter, yang juga mengalahkan jam di Mall Cevahir Istanbul, Turki yang berdiameter 36 meter. "Saya bangga, kalau tahun depan - untuk umrah atau haji" bisa menempatkan jamaah kita di hotel yang punya jam terbesar di dunia ini. Tapi, berapa ya tarifnya?" kata Amiruddin.
Karena hotel ini diklaim sebagai hotel berbintang tujuh, tentu tarifnya lebih mahal. "Yang penting jamaah yang mempunyai keinginan. Kita kan hanya melaksanakan pesanan," tambah Amiruddin, mukimin asal Madura ini, lantas tertawa.
Sementara itu, rencana jamaah haji diangkut dengan monorail dari Arafah ke Muzdalifah kemudian ke Mina, tampaknya, tahun ini bisa dibuktikan. Saya meluncur ke Arafah untuk melihat dari dekat proyek yang memakan biaya SR 6,5 miliar itu. Di Arafah terdapat tiga stasiun. Setiap stasiun besarnya hampir sama dengan Stasiun Gambir, tapi lobinya lebih luas. Stasiunnya berada di atas. Tentu, nanti dilengkapi tangga dan eskalator.
Saat saya ke sana, suasana di bawah stasiun masih hiruk pikuk. Banyak alat bangunan yang masih bertengger. Begitu juga di stasiun lain. Masih tampak gundukan tanah dan pasir serta alat-alat kerja. Para pekerjanya yang berasal dari Tiongkok, Mesir, Bangladesh, dan Pakistan berseliweran untuk menyelesaikan berbagai sarana seperti tangga dan lain lain.
Saya lantas naik ke stasiun. Saya sempat ragu apakah saya bisa naik, karena stasiun ini belum rampung secara keseluruhan. Namun, ternyata tidak ada yang menegur. Di atas banyak pekerja dari Tiongkok membenahi kabel-kabel lampu, mengecat, dan pekerjaan finishing lainnya.
Dalam bayangan saya, relnya hanya tunggal seperti yang dimuat dalam gambar contoh selama ini. Ternyata, relnya ganda, seperti yang ada di Indonesia. Keretanya digerakkan oleh tenaga listrik seperti KRL Jabotabek. Tidak lama kemudian, dari jauh tampak lampu menyorot. Ternyata, ada kereta yang meluncur dari arah stasiun pertama di Arafah menuju Stasiun Mina. Wah, saya harus memotret. Kereta ini berwarna hijau muda. Ada dua garis vertikal warna hijau tua di kanan kiri moncong kereta. Ternyata moncongnya tidak seperti kereta monorail yang sudah ada.
Menurut pekerja dari Pakistan dan Bangladesh, setiap hari kereta diuji coba dari Stasiun Arafah ke Mina. Musim haji ini pasti dioperasikan. Namun, tidak penuh, hanya 35 persen dan penggunanya sebatas jamaah Saudi dan Timur Tengah, yang berjumlah 150.000 hingga 200.000 jamaah. Kereta ini akan bergerak secara shuttle (bolak-balik).
Kalau wukuf tahun ini jatuh pada Senin 9 Zulhijah atau 15 November, berarti dua minggu lagi harus dioperasikan. Melihat para pekerja Tiongkok yang ngebut mengerjakan finishing di stasiun, tampaknya, mereka memburu target tanggal pengoperasian itu.
Dari atas stasiun saya melihat permukiman sementara berbentuk kontainer untuk menampung pekerja dari Tiongkok yang konon berjumlah ribuan orang. Pada musim haji tahun ini ratusan pekerja Tiongkok pulang ke tanah airnya. Saya melihat mereka naik pesawat Garuda. Ini berarti mereka ke Jakarta dulu baru ke Beijing. Kebanyakan tidak bisa berbahasa Inggris, tapi wajah-wajah mereka tampak cerah. Pekerja dari Tiongkok itu masih akan menetap di Saudi sampai proyek perkeretaapian tersebut selesai. Konon di antara mereka ada yang telah masuk Islam.
Di Arafah ada tiga stasiun. Jamaah harus berjalan kaki 300 meter untuk mencapai stasiun. Begitu juga di Muzdalifah ada tiga stasiun. Stasiun terakhir di Mina akan berlokasi di lantai empat jamarat. Nanti memang ada rencana menyambung kereta ini dengan stasiun KA di Makkah yang akan menghubungkan kota suci Makkah dan Madinah. Kereta yang menghabiskan biaya miliaran real ini mungkin hanya digunakan pada musim haji, yakni sekitar 3 sampai 5 hari.
Namun, di luar musim haji, bisa saja jamaah umrah yang setiap tahun meningkat jumlahnya akan menggunakannya untuk city tour, terutama yang belum melihat Arafah maupun Mina.Dengan demikian, jamaah Indonesia harus bersabar dulu. Sebab, kereta ini baru beroperasi penuh pada musim haji 2011. Proyek kereta ini tidak akan mengganggu kemah-kemah jamaah karena dibangun sejajar dengan jalan dan ditopang dengan jembatan layang yang tingginya 6-10 meter.
Kalau kereta sudah beroperasi penuh, sembilan jalan yang menghubungkan Arafah dan Mina itu akan berubah total. Selama ini jarak 8,5 km itu ditempuh ribuan bus dengan tiga juta jamaah haji dari seluruh dunia dalam waktu empat hingga lima jam. Kemacetan fatal yang terjadi di jalur itu tentu segera teratasi. Namun, pada awal pengoperasian kereta akan muncul problem peralihan sistem yang membuat jamaah haji gagap.(*/c2/agm/jpnn.com)
Rabu, 03 November 2010
Wajah Baru Makkah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar