Rabu, 21 September 2011

Kami Laskar Pendayung dari Melebung

Seperti manusia perahu dalam film perang Vietnam, begitulah lima pelajar Melebung menembus kabut pagi. Tangan mungil mereka tak henti merengkuh dayung di perahu kecil, sesekali menerabas rawa rumbai.

Laporan SAIDUL TOMBANG, Melebung

RABU, 15 Juni 2011, pukul 05.20 WIB. Kampung tua ini masih mati. Pagi masih terlalu buta di sini. Purnama me¬rah saga baru saja tenggelam. Kampung Melayu ini masih diam dalam temaram. Deretan puluhan rumah di kiri-kanan jalan berbatu maupun yang berjuntai di bibir Sungai Siak kini tampak muram. Tak ada pendar cahaya yang berarti, sebab listrik tak hidup di sini. Satu-satunya sumber energi listrik hanyalah mesin diesel milik masjid. Itupun hanya dihidupkan bila hari mulai kelam dan dimatikan menjelang tengah malam.

Ketika cahaya masih terang-terang tanah, satu-dua penduduk Melebung mulai turun ke sungai. Meniti pelantar yang basah, berlumut, dan dibungkus kabut. Di sungai inilah mereka menyandarkan kehidupannya. Selain tempat mandi, cuci, dan kakus, Sungai Siak selama ini juga menjadi tempat mencari penghidupan. Ikan hasil tangkapan warga Melebung memang cukup dikenal. Mulai baung, pantau, selais, hingga patin. Sayangnya, penghasilan dari mencari ikan saat ini sudah tidak menggiurkan. Mendapatkan satu kilogram ikan saja dalam satu hari sudah sangat sulit. Abrasi, gelombang kapal, dan pencemaran Sungai Siak yang tidak terkendali dianggap sebagai penyebab mimpi buruk itu.

Kampung Melebung adalah sisi lain kepingan potret miris Kota Pekanbaru. Secara administratif, Melebung berada di RW 13 Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru. Namun secara geografis mereka terasa sangat jauh dari keramaian kota. Pekanbaru Pos yang hunting ke Melebung, harus berangkat pukul 03.15 WIB dari Pekanbaru. Sebenarnya, untuk mencapai Melebung bisa melalui dua ruas jalur darat; lewat Simpang Badak Hangtuah atau lewat Simpang Beringin arah Maredan. Namun bagi yang tak pernah ke Melebung, apalagi kalau perjalanan dilakukan malam hari, biasanya akan tersesat karena harus melalui bentangan perkebunan kelapa sawit.

Melebung adalah kampung tua. Umur kampung ini sebenarnya hanya beda telur itik dengan Senapelan, muasal Kota Pekanbaru. Menurut Ketua RW 13 Kelurahan Sail Muhammad Nasir, Melebung sudah berumur lebih dari 200 tahun. Kalau Pekanbaru merayakan Hari UlangTahun (HUT) Ke-227 pada 23 Juni 2011, itu artinya umur Melebung dan Senapelan masih beradik-kakak.

’’Tapi Senapelan dan Melebung adalah dua kawasan yang nasibnya bertolak belakang. Senapelan sudah jadi kota metropolis, sedangkan kami adalah anak angkat yang kurang perhatian. Selama kampung ini ada, baru dua kali wali kota datang ke sini,’’ kata Nasir.
***

Pagi itu, di saat sebagian penduduk Melebung turun mandi, sesosok perempuan kecil nampak menunggu di bibir sungai. Namanya Yuli. Dia memakai seragam pramuka dengan tas hitam bercorak batik di pangkuannya. Di atas tumpukan kayu bakar yang akan dijual ke pengusaha batu bata di kawasan Badak, Tenayan Raya, dia sempatkan juga membuka buku. Entah dia bisa membaca di tengah temaram ini atau tidak, tapi yang jelas, Yuli sedang berusaha mengulang pelajaran karena pagi itu dia akan mengikuti ujian semester dua untuk kenaikan kelas. Yuli saat ini duduk di kelas 2 SMPN 28 Okura Kelurahan Tebing Tinggi Kecamatan Rumbai Pesisir.

Gadis kecil itu sedang menunggu temannya, Siti Rapiah, yang tinggal di kampung seberang. Saat itu sang teman masih terlihat di tengah sungai; di atas sampan kecil, mengayuh dayung kembar. Yuli dan Siti adalah dwi srikandi dari total 8 pelajar Melebung yang sekolah di Okura. Selain dwi srikandi ini, juga ada Rio, Ridho, dan Rizaldi yang hari itu akan mengikuti ujian kenaikan kelas. Sedangkan tiga pelajar lainnya, M Syafii, M Syahdan, dan M Fikri, baru saja menyelesaikan Ujian Nasional (UN). Trio M ini dinyatakan lulus.

Sambil duduk di bangku sampan, Yuli masih membuka buku. Sedangkan Siti aktif mendayung di belakang. Mereka menembus Sungai Siak yang berkabut lebih duluan dari tiga rekannya. Rizaldi sendiri menyusul kemudian. Karena dia sendirian, seorang fotografer Pekanbaru Pos menumpang di sampannya. Sedangkan Ridho dan Rio menggunakan sampan lain. Dua wartawan Pekanbaru Pos lainnya, menyewa sebuah sampan milik penduduk. Pak Basri (52), sang pemilik sampan, kebetulan pula bersedia menjadi juru kemudi.

Pagi itu, empat sampan kecil dikayuh membelah sungai, menyusuri tebing su¬ngai terdalam di Indonesia ini. Parade ini harus melawan arus sungai. Jadi tenaga pendayung harus berlipat. Inilah sisi lain pertarungan pelajar berperahu dari Melebung. Bila pagi, mereka harus melawan arus karena faktor pasang surut yang menyebabkan arus air Sungai Siak ke hilir. Sedangkan kalau pulang, mereka juga harus melawan arus karena proses pasang naik yang menyebabkan arus Sungai Siak ke hulu.

Sungai Siak memang mengalami proses pasang sebagaimana yang terjadi pada laut.
Bagi Pekanbaru Pos, sungai yang dalam, pepohonan di bibir tebing, serta kabut tipis di permukaan air, cukup sudah memberi kesan horor. Apalagi kiambang, potongan kayu, dan batang tenggelam bisa berfungsi sebagai ranjau yang bisa menenggelamkan perahu. Tapi, rasa horor ini tentunya tidak berlaku bagi lima pelajar SMP ini. Karena mereka memang sangat akrab dengan medan ini.

’’Untuk apa takut? Sudah dua tahun seperti ini. Kami ini laskar pendayung dari Melebung. Kami tak boleh putus sekolah,’’ kata Rizaldi dengan nafas terengah-engah sambil berhenti mendayung sejenak untuk menghela nafas.

Ya, untuk apa takut? Toh sungai ini adalah sungai mereka. Seperti kata Rizaldi, sudah belasan tahun mereka dihidupi sungai ini. Lagi pula, selama dua tahun terakhir, aktivitas melayari Sungai Siak adalah kegiatan rutin. Berangkat sangat pagi, pulang jelang petang. Tak ada jalan lain untuk mencapai sekolah mereka tanpa melalui sungai ini.

’’Kalau orang yang tak biasa memang takut lewat sungai ini. Apalagi kalau hanya menggunakan sampan kecil. Kedalamannya ada yang mencapai 50 meter. Kapal tangker saja tidak kandas,’’ kata Pak Basri, sang juru kemudi Pekanbaru Pos.

Perjalanan dari dermaga Melebung ke destinasi di Okura ditempuh dalam waktu sekitar satu jam. Pagi itu, karena arus cukup deras, perjalanan memakan waktu 1 jam 15 menit. Ketika berangkat, matahari masih belum muncul. Namun baru setengah perjalanan, matahari sudah mulai menyengat. Karena perjalanan ini panjang, beragam aktivitas pun bisa dilakukan pelajar berperahu ini. Selain bercanda, tentu saja aktivitas wajib mereka pagi ini adalah mengulang pelajaran. Maklum, ini adalah hari kedua ujian kenaikan kelas mereka.

Di tengah perjalanan, terjadi pergantian shift. Mereka berganti juru dayung. Ini memang harus dilakukan untuk menjaga tenaga dan sportivitas. Biasanya, kalau tiga orang dalam satu sampan, panjang perjalanan akan dibagi tiga pula. Tapi kadang kala, bagi yang berbadan besar mengambil jatah mendayung lebih jauh. Pelajar berperahu ini, walau berbadan mungil tapi pangkal lengannya keras dan kekar.

Suasana mencekam sebenarnya lebih terasa saat menyeberang sungai. Kampung Okura memang berada di seberang. Saat menyeberang, apapun bisa terjadi. Risiko juga lebih besar. Apalagi bila banjir, arusnya sangat deras. Pagi itu, sampan yang ditumpangi Pekanbaru Pos sempat oleng. Seperti menabrak sesuatu. Kata sang juru mudi, ternyata sampan baru saja melanggar potongan kayu yang hanyut. Hmmm… untung tidak tenggelam.

Suasana Vietnam kembali terasa begitu memasuki muara Sungai Ukai. Empat perahu satu persatu memasuki sungai yang diyakini berbuaya itu. Rerimbunan daun pohon bakau menutup hampir setengah bagian sungai. Di tepi sungai terdapat rawa rumbai. Banyak biawak di sini. Bahkan, sebagian orang percaya di sana juga ada buaya muara.

Pelajar berperahu ini memang harus memasuki Sungai Ukai untuk bisa sampai pada shelter pertama, tempat penyimpanan sepeda. Di sana, memang ada sepeda yang ditinggalkan di belakang rumah penduduk. Begitu menambatkan perahu di pelantar sungai milik penduduk, mereka harus bertukar kendaraan dari perahu menjadi sepeda. Dari dermaga ini, perjalanan masih sejauh tiga kilometer lagi.

Untungnya, jalan yang mereka lalui sudah beraspal hotmix. Jadi perjalanan jadi sedikit lebih mudah.

Pelajar berperahu dari Melebung sebenarnya adalah cerita lama. Potret ini sudah berlangsung sejak tahun 1980-an lalu. Bagi anak-anak Melebung yang ingin melanjutkan sekolah ke Okura, pastilah akan menaiki perahu bertahun-tahun sampai tamat. Di tahun 1985, pemerintah sudah mendirikan SD kelas jauh di Melebung. Tapi selama bertahun-tahun, SD di Melebung hanya menjalani proses pendidikan hingga kelas 4. Begitu naik kelas 5, harus sudah pindah ke Okura. Pada tahun 2011, SDN 045 Melebung baru menamatkan lima angkatan kelas enam. Itu artinya, lebih dari 15 tahun SD Melebung hanya menjalani proses belajar-mengajar hingga kelas 4.

Setelah tamat SD di Melebung, memang tidak semuanya yang menyambung pendidikan SMPN 28 Okura. Ada juga yang pindah ke Kampung Tengah di Maredan, Kabupaten Siak, yang berjarak sekitar 45 menit bersepeda motor. Beberapa keluarga yang memiliki rumah atau sanak keluarga di Pekanbaru, akan me¬nyekolahkan anaknya di kota. Tapi yang jelas, dari tujuh orang yang tamat SDN 045 Melebung tahun 2010, lima orang di antaranya memilih SMP di Okura.

SMP Okura sudah menamatkan puluhan anak dari Melebung. Salah satunya adalah Jondri. Pria lajang ini adalah warga asli Melebung yang kini mengabdikan diri sebagai guru di SDN 045. Jondri mengaku sangat senang bisa mengajar di SD tempatnya belajar dari kelas 1 sampai kelas 4. Walau sudah tujuh tahun sebagai guru honor dan belum diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS), Jondri tidak terlalu mengeluh. Bahkan menurut rekan gurunya, Nur Aisyah, Jondri dianggap guru paling rajin dan tak banyak tingkah.

Jondri adalah pelaku manusia berperahu di tahun 1990-an. Ketika tubuhnya masih ringkih di tahun 1994, dia harus menjadi pelajar berperahu. Dia adalah salah satu murid SD Melebung yang harus melanjutkan kelas 5 hingga tamat di SD Okura. Selanjutnya SMP juga di Okura. Selama lima tahun dia mendayung, bersepeda, dan mendayung lagi. Begitulah saban hari masa lalu Jondri.
’’Waktu itu jalan di Okura belum di aspal. Jalan sungai dan jalan darat sama buruknya,’’ kenang Jondri.
***

Jauhnya rentang kendali Melebung-Okura dan Melebung-kota memang sudah menjadi cerita miris sejak lama. Mereka sangat ingin terlepas dari ma¬salah itu. Berbagai upaya sudah mereka lakukan. Salah satu upaya terakhir yang mereka lakukan adalah menganggarkan pengadaan perahu bermesin tempel kepada pemerintah melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun 2011. Namun sayangnya, sampai hari ini perahu bermesin tempel yang ditunggu tak kunjung tiba.

’’Waktu kami tanya kepada konsultan PNPM mereka bilang perahunya sudah selesai, tapi mesin tempelnya belum. Entah kapan barang tu sampai ke kampung kami,’’ kata Nasir, sang Ketua RW.

Perahu bermesin tempel ini, kata Nasir, adalah obat sementara yang bisa mengobati duka warga Melebung, terutama pelajarnya. Karena, perahu ini nantinya akan bisa mengantar-jemput pelajar setiap hari. Selain itu, juga bisa digunakan untuk keperluan masyarakat, terutama yang terkait dengan kejadian mendadak.

’’Kalau ada orang yang sakit, meninggal, atau ada keperluan mendadak, bisa menggunakan perahu bermesin tempel ini. Kalau ke Pekanbaru, Rumbai atau Tanjung Rhu sebenarnya tak sampai setengah jam dari Melebung,’’ kata Nasir lagi.

Sampai hari ini, Wali Kota Pekanbaru memang baru dua kali datang ke Melebung. Kedua-duanya dilakukan Wako Pekanbaru Drs H Herman Abdullah MM pada tahun 2009. Pertama saat Safari Ramadan, yang kedua bersama Tentara Manunggal Masuk Desa (TMMD). Perhatian Herman ternyata sangat berarti bagi masyarakat Melebung. Saat itu, Herman membangun banyak fasilitas. Ada masjid permanen yang dulunya hanya berfungsi sebagai musalla, ada puskesmas pembantu berikut rumah dokternya, pembangunan SDN 045 permanen berikut rumah gurunya, serta pembuatan badan dan pengerasan jalan sepanjang 3,5 kilometer. Selain itu ada juga proyek air bersih, meskipun sampai hari ini air bersih itu tidak bisa dinikmati masyarakat.

’’Kita sangat peduli dengan Melebung ini. Makanya, miliaran rupiah kita guyurkan untuk melepas Melebung dari ketertinggalannya,’’ kata Herman Abdullah.
Sementara soal perahu bermesin tempel, Lurah Sail Abdul Rahman mengaku akan terealisasi pada tahun 2011 ini juga. Saat ini perahu atau pompong yang berkapasitas 40 orang itu sedang dalam tahap penyelesaian.

’’Insya Allah pompong untuk warga Melebung itu akan selesai tahun ini juga. Pengadaannya sudah dianggarkan pada PNPM Mandiri tahun 2011,’’ kata Abdul Rahman.
***

Beginilah Melebung, negeri duka yang masih berkutat dengan segala nasib tragisnya. Di tengah kepungan kebun kelapa sawit milik investor yang jadi ’’orang lain’’, warga Kampung Melebung tetap menggantungkan hidupnya kepada Sungai Siak, tempat para pelajar berperahu mengejar cita-citanya. Semoga saja bisa cepat berubah.***

* Nomine/Karya Tulis Jurnalistik Pilihan Rida Award 2011

Tidak ada komentar: