Jumat, 12 April 2013

Jangan Biarkan Korupsi Menjadi Wabah

MEDIA massa saat ini begitu gencar memberitakan serta menayangkan terjadinya kasus-kasus korupsi, serta terus mengawal bagaimana penanganannya oleh para penegak hukum, dari pusat hingga ke daerah.

 Karenanya, kita menjadi semakin tahu, ternyata kejahatan korupsi sekarang sudah sedemikian merebaknya sehingga mereka yang terjerat tidak hanya dari kalangan eksekutif, tetapi juga legislatif, bahkan ada pula dari mereka yang berposisi di wilayah yudikatif –yang didalamnya termasuk penegak hukum - institusi yang seharusnya menjadi benteng andalan dalam memberantas korupsi.

 Dari pemberitaan juga kita tahu, bahwa ada kelegaan ketika mereka yang didakwa sebagai koruptor itu, setelah ditangani secara hukum, mendapatkan hukuman yang setimpal. Sebaliknya, isu korupsi sebagai kejahatan mungkin menjadi keprihatinan ketika kasusnya sendiri tidak banyak yang diberantas secara nyata dan tuntas sehingga akhirnya hanya menjadi berita yang menjemukan dan sangat menyakitkan rasa keadilan masyarakat.

Belakangan ini, kasus di beberapa daerah tentang penanganan dugaan korupsi yang melibatkan eksekutif dan legislatif, kerap tampil menyita perhatian publik karena yang didakwa adalah tokoh-tokoh yang populer di tengah masyarakat. Tentu publik ingin tahu seberapa jauh proses peradilan menanganinya. 

 Dalam konteks otonomi daerah, pemberantasan korupsi seharusnya secara kompetitif menjadi kegiatan dari agenda aksi pengadilan di setiap daerah bersama pemerintah daerah yang didukung oleh seluruh rakyat. Tidak melulu bersikap menyalahkan pemerintah yang --oleh sebagian masyarakat-- dianggap sangat lemah di dalam pemberantasan korupsi. 

 Artinya, dengan adanya otonomi daerah, maka pemerintah daerah dan lembaga-lembaga hukum serta pengadilan di daerah harus terpanggil untuk menjawab amanah undang-undang tersebut tanpa harus menunggu komando dari pimpinan nasional. Maksudnya, pemberantasan korupsi dalam segala ukurannya di daerah harus digalakkan untuk menghindari tudingan bahwa desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah hanyalah resentralisasi kekuasaan atau pemusatan kembali kekuasaan di daerah-daerah. Dengan demikian, desentralisasi dapat dipandang atau dituding juga sebagai desentralisasi kejahatan korupsi melalui resentralisasi kekuasaan di daerah-daerah. Seakan-akan otonomi daerah membuka peluang bagi terjadinya korupsi di daerah secara otonom bersamaan dengan proses resentralisasi kekuasaan di daerah.

 Bagaimanapun, justru otonomi daerah harus dijadikan kekuatan dan kehormatan daerah untuk dapat membangun pemerintahan dan masyarakat yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, terutama bersih dari kejahatan korupsi. Jika setiap daerah dipimpin oleh para penyelenggara pemerintahan yang bersih dan yang memimpin, mengayomi, melayani, serta mengabdi masyarakat yang bersih, maka secara desentralistik dan sekaligus secara nasional kejahatan korupsi dapat diminimalisir, kalau memang tidak yakin diberantas. 

Namun, sebaliknya, jika korupsi semakin merajalela dan tak bisa diberantas di daerah-daerah, maka secara nasional kejahatan korupsi akan semakin menjadi wabah penghancur eksistensi bangsa. Itu yang tidak kita inginkan dan karenanya semua pihak, termasuk media pun sekarang terus dalam posisi mengontrol, mengawasi dan mengawal itu semua agar berjalan pada jalurnya. 

 Kita menginginkan, penyelenggara pemerintahan dan pelaksana pembangunan di daerah harus bekerja sama dengan aparat penegak keadilan seperti jaksa, polisi, dan aparat pengadilan serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Sangat terpuji, jika kita di sini dapat menampilkan diri sebagai contoh terdepan sebagai daerah pemberantas korupsi yang efektif. Pada gilirannya akan tercipta pemerintahan yang bersih dan masyarakat madani yang didambakan.

 Sukses dalam pemberantasan KKN, khususnya korupsi, maka kejahatan lain yang punya kaitan mata rantai dengan korupsi akan ikut terseret sebagai sasaran pemberantasan secara tak langsung, baik di dalam tubuh pemerintah, maupun di masyarakat. ***

Tidak ada komentar: