Catatan Perjalanan Ibadah Haji 1427 H (2)
Menyambung Lapar di Muzdalifah, KO di Mina
Cerita lapar belum berakhir kendati Arafah sudah akan ditinggalkan. Ternyata kisah pilu ini masih berlanjut di Muzdalifah, tempat jamaah haji singgah menjelang tengah malam sebelum meneruskan perjalanan ke Mina. Di dua tempat terakhir ini, kesabaran dan ketahanan fisik sebagian jamaah mulai kedodoran.
Laporan AMZAR, Mina
amzartpi62@gmail.com
JAMAAH sibuk berkemas, berpacu dengan datangnya gelap seusai salat magrib dan isya yang dijamak taqdim. Alhamdulillah, kuasa IIlahi terlihat di sini. Situasi yang bikin cemas keluarga di tanah air, saat itu sepertinya tak terasa betul. Jamaah masih bisa sigap mengepak barang, tetap kuat mengangkat beban, masih dapat berjalan tegap menyusuri lorong-lorong di antara tenda-tenda yang sebagian sudah dibongkar begitu dikosongkan jamaah. Kami seakan memiliki tenaga ekstra.
Di dekat bangsal keberangkatan, jamaah harus berbaris sesuai rombongan satu kloter. Satu-dua jamaah masih sempat mencomot botol air minum kemasan, yang kotaknya masih tertumpuk. Siang tadi, minuman ini datang bersama aneka sari buah dalam kotak, yang didistribusikan ke jamaah. Jamaah juga ikut membantu proses pembongkaran agar cepat sampai ke rekan yang memerlukannya.
Antrian panjang sekali, berkelompok sesuai nomor bus yang sudah ditentukan. Ada yang tak terlalu lama menunggu, tapi kebanyakan harus sabar menghitung bus yang melintas sebelum bus yang ditunggu datang. Ketertiban tetap dijaga, yakni mendulukan kaum wanita dan memberinya tempat duduk. Jamaah pria, harus mengalah, naik belakangan dan siap-siap berdiri, terutama yang muda-muda. Apalagi, jarak ke Muzdalifah hanya 9 km dari Arafah.
Bus berjalan melintasi jalan tol. Sesekali terjebak macet, namun lancar lagi. Tapi, saat mendekati Muzdalifah, jalan bus mulai tersendat, merayap karena padat. Di dalam bus, agak hening. Beda jauh dengan saat berangkat ke Arafah Kamis lalu, ketika kumandang Talbiyah, Labbaika..Allahumma labbaik tak henti-hentinya bergema syahdu dari mulut jamaah, terutama ketika mendekati Arafah, ''Aku datang memenuhi panggilanMu, ya Allah!''
Dari perkiraan hanya beberapa menit, ternyata kami sampai di Musdalifah hampir satu jam kemudian. Turun dari bus, jam di tangan menunjukkan pukul 19.50. Kembali tubuh disergap udara dingin. Kali ini plus tiupan angin, kencang dan sejuk. Karena tempat mabit di Muzdalifah ini berada di hamparan luas di pinggang bukit. Sesayup mata memandang, hanya ada warna putih dari kain yang dipakai jamaah haji yang menyemut. Nun di kejauhan, nampak pemandangan elok. Mina yang bertabur tenda permanen, bermandi cahaya lampu.
Kami mabit di Muzdalifah tidak sebentar. Terlebih dengan kondisi fisik yang mulai melemah, waktu terasa berjalan lambat. Tak ada yang dapat dilakukan jamaah setelah memungut kerikil untuk melontar jumrah, selain berdiam diri, menjelang tengah malam.
Jadi, sejak tiba pukul 19.50 tadi, sampai pukul 12 malam! Mana yang masih bawa tikar, itu yang dibentang, sekadar untuk rebahan beratapkan langit. Nyaris tak ada tempat yang tersisa, semua terisi jamaah. Angin dingin tak berhenti berhembus, suhu udara pun semakin sejuk, setara dengan udara saat tengah malam di Arafah, yang ketika itu, menurut jamaah dari Jawa Barat yang punya alat pengukur, menyebut suhu berkisar antara 6-8 derajat Celsius. Ada juga yang coba berselindung di balik dinding toilet, untuk sekadar menghindar dari terpaan langsung angin dingin. Sesekali terdengar ada yang muntah. Suara batuk sahut-menyahut. Soal jatah makan? Ah, coba dibuang dulu dari pikiran!
Lewat tengah malam, siap-siap untuk bertolak ke Mina. Wah, ini yang kembali menguji habis kesabaran jamaah. Sangat lama! Kami sudah diminta bersiap di menit awal setelah tengah malam. Berbaris menurut rombongan satu kloter. Ada antrean untuk naik ke bus. Hanya yang gilirannya tiba baru boleh ''parkir'' di depan pagar kerangkeng menuju pinggir jalan, untuk naik ke bus.
Akibatnya, terpaksa berlama-lama lagi berdiri di alam terbuka, masih mengenakan kain ihram, lewat tengah malam, cuaca sangat dingin plus angin sejuk dan...perut lapar. Ada yang membentang lagi tikar, atau duduk di atas tas tentengan, menekurkan kepala di atas tangan yang disedekapkan di atas kedua lutut yang bertaut. Ada pula yang ''join'' dengan menyandarkan kepala di punggung rekan. Ketika ada yang berinisiatif membakar kertas karton dan menyodorkan tangan untuk juga menghangatkan tubuh, banyak yang ikut melakukan hal serupa.
Penggiliran pengangkutan terasa sangat lama. Alhasil, rombongan kami baru beringsut meninggalkan Muzdalifah ketika bus bergerak sekitar pukul 03.00 dinihari. Berarti ini sudah hari Sabtu. Jadi, malam sampai dinihari itu, ada sekitar delapan jam kami berada di hamparan terbuka padang luas Muzdalifah.
Perjalanan ke Mina juga tidak mulus. Selain macet, pas sampai dekat gerbang maktab, bus berhenti di tempat yang agak berjauhan. Mau mundur, tak dapat karena padat. Terpaksa memutar lagi dan itu yang kemudian membawa bus kembali terjebak macet. Ujung-ujungnya, kaki ini baru bisa menginjak lantai maktab ketika jam menunjukkan pukul 05.25, sesaat kemudian azan Subuh bergema dan setelah itu, terdengar pula kumandang takbir. Ya, Sabtu, 30 Desember 2006 itu, Idul Adha di Saudi Arabia.
Kami melintasi dapur. Yang dijumpai, tungku masih dingin, yang dapat nasi putih doang. Itulah sekadar pengganjal perut, untuk kemudian coba rebahan sejenak usai salat subuh. Nanti, kami akan melontar jumrah Aqabah, tahalul dan barulah ihram boleh dilepas, berganti pakaian biasa. Dianjurkan, kami melakukannya sore, setidaknya berangkat dari maktab sekitar pukul 15.00.
Tak banyak waktu rehat, usai salat zuhur dan asar yang dijamak, kami bersiap untuk berangkat ke jamarat. Ustad Drs H Kawiyun Aziz yang tadi jadi imam, memimpin doa agar rangkaian ibadah penting itu dapat kami jalani dengan lancar. Pas saat bersiap akan berangkat itulah, ustad Drs H Yusriyun, ketua rombongan 1, rubuh.Fisiknya benar-benar drop. Itu sudah terlihat sejak berdingin-dingin di Muzdalifah sampai dini hari tadi.
Kami kaget. Ada yang memijat-mijatnya, mengurut, membantu mengobati. Juga istrinya, yang melakukan sambil tak kuasa menahan deraian air mata. Saat agak segar, beliau malah menolak ditawari agar diwakilkan saja pergi melontar jumrah. Jadilah kami pergi bersama-sama ke jamarat, beliau diapit dua orang yang muda dan tegap di antara rekan serombongan. Kami tetap bersama menempuh jalan sekitar lima kilometer menuju lokasi melontar jumrah (jamarat), melintasi terowongan Almuaisim Haratullisan yang terkenal itu, karena pernah terjadi tragedi di sini yang menewaskan banyak jamaah haji ketika itu. (Insya Allah, secara khusus seputar jamarat ini akan disajikan tersendiri nantinya, pen).
Alhamdulillah, salah satu rangkaian ibadah haji yang termasuk titik rawan ini, berhasil kami lalui tanpa halangan berarti. Sungguh di luar dugaan semula. Puji syukur tak henti-hentinya keluar dari mulut jamaah. Selesai tahalul, jamaah saling berangkulan. Kembali air mata bercucuran. Allah mengabulkan doa kami tadi. ''Kita syukuri ini semua, yang justru kita mencapainya dalam kondisi fisik seperti ini. Alhamdulillah, kini Anda sudah boleh dipanggil Bapak-bapak Haji dan ibu-ibu Hajjah,''kata ketua kloter Drs H Muchtaruddin SH, yang memimpin tahalul dan doa, setelah jamaah berkumpul di tempat yang disepakati tak jauh dari tugu Jumrah Aqabah.
Sungguh, kelancaran pelaksanaan pelontaran jumrah penting ini membuat sebagian besar jamaah seperti mendapat suntikan tenaga baru. Jalan pulang lima kilo ke kemah di Mina, ditempuh dengan penuh semangat, sehingga ada yang sempat terlewat, kembali surut sebelum menemukan simpang yang tepat untuk mengarah ke maktab.
Namun saat melewati gerbang, melintasi dapur umum, kami terkaget-kaget. Rupanya, ada segelintir jamaah yang benteng kesabarannya mulai keteteran. Dapur sudah acak-acakan, ada yang memegang ayam mentah, yang sebenarnya memang sedang disiapkan untuk dimasak. Potongan daging ayam itu pun digoreng sendiri di kuali raksasa, ada yang menyodorkannya ke bawah perapian, sekejap menjadi ayam panggang. Ya, untuk sementara dapur tersebut mereka ambil-alih. Astaghfirullah, mereka lepas kendali. Situasi ini menjadi perbincangan tersendiri dan kami, khususnya jamaah dari Riau bertekad untuk tidak akan melakukan tindakan seperti itu.
Malam itu, kendati belum juga mendapatkan jatah makan, sebenarnya jamaah sudah tidak terlalu risau lagi. Karena di Mina ini, sangat banyak orang berjualan, termasuk makanan. Makanya, setelah mandi dan ganti ihram dengan pakaian biasa, jamaah mulai pengenalan lokasi dan mencari apa yang bisa dibeli untuk mengisi perut.
Ketua kloter yang datang ke tenda kami, selain menjenguk dan membawa dokter untuk mengecek kondisi ustad Yusriyun (yang belakangan mengaku menghabiskan dua tabung infus), sekaligus juga menyampaikan pengumuman yang berasal dari pengelola haji Indonesia tentang kisruh soal katering itu, juga ada salam dan permohonan maaf plus doa dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada seluruh jamaah, serta jaminan bakal adanya uang kompensasi bagi tiap jamaah, pengganti uang konsumsi selama di Arafah dan sehari di Mina. Secara resmi, jamaah baru mendapatkan nasi katering pada Ahad, 31 Desember 2006 siang, saat di mana kerabat dan keluarga di tanah air barangkali sedang menikmati rendang atau dendeng dari daging kurban di Hari Raya Idul Adha.
Itulah secuil dari banyak pengalaman jamaah soal ''Tragedi Arafah.'' Tapi, sekali lagi, secara umum itu semua tidak mengganggu pelaksanaan ibadah secara keseluruhan. Malah ada yang memaklumi itu sebagai bagian dari ujian. Hajinya haji Akbar, tentu ujiannya juga akbar. Namun, percaya atau tidak, dari data kunjungan berobat ke dokter, yang disampaikan ketua kloter, justru ditemui fakta lain. Kalau di Makkah, sewaktu jamaah bebas makan di mana saja, rata-rata per hari 60 sampai 70 orang yang datang ke dokter mengeluh sakit. Namun, angka itu tak sampai separuhnya di saat jamaah ''kelaparan'' selama di Arafah, Muzdalifah, dan di awal ketibaan di Mina. Allahu akbar!(bersambung)
Menyambung Lapar di Muzdalifah, KO di Mina
Cerita lapar belum berakhir kendati Arafah sudah akan ditinggalkan. Ternyata kisah pilu ini masih berlanjut di Muzdalifah, tempat jamaah haji singgah menjelang tengah malam sebelum meneruskan perjalanan ke Mina. Di dua tempat terakhir ini, kesabaran dan ketahanan fisik sebagian jamaah mulai kedodoran.
Laporan AMZAR, Mina
amzartpi62@gmail.com
JAMAAH sibuk berkemas, berpacu dengan datangnya gelap seusai salat magrib dan isya yang dijamak taqdim. Alhamdulillah, kuasa IIlahi terlihat di sini. Situasi yang bikin cemas keluarga di tanah air, saat itu sepertinya tak terasa betul. Jamaah masih bisa sigap mengepak barang, tetap kuat mengangkat beban, masih dapat berjalan tegap menyusuri lorong-lorong di antara tenda-tenda yang sebagian sudah dibongkar begitu dikosongkan jamaah. Kami seakan memiliki tenaga ekstra.
Di dekat bangsal keberangkatan, jamaah harus berbaris sesuai rombongan satu kloter. Satu-dua jamaah masih sempat mencomot botol air minum kemasan, yang kotaknya masih tertumpuk. Siang tadi, minuman ini datang bersama aneka sari buah dalam kotak, yang didistribusikan ke jamaah. Jamaah juga ikut membantu proses pembongkaran agar cepat sampai ke rekan yang memerlukannya.
Antrian panjang sekali, berkelompok sesuai nomor bus yang sudah ditentukan. Ada yang tak terlalu lama menunggu, tapi kebanyakan harus sabar menghitung bus yang melintas sebelum bus yang ditunggu datang. Ketertiban tetap dijaga, yakni mendulukan kaum wanita dan memberinya tempat duduk. Jamaah pria, harus mengalah, naik belakangan dan siap-siap berdiri, terutama yang muda-muda. Apalagi, jarak ke Muzdalifah hanya 9 km dari Arafah.
Bus berjalan melintasi jalan tol. Sesekali terjebak macet, namun lancar lagi. Tapi, saat mendekati Muzdalifah, jalan bus mulai tersendat, merayap karena padat. Di dalam bus, agak hening. Beda jauh dengan saat berangkat ke Arafah Kamis lalu, ketika kumandang Talbiyah, Labbaika..Allahumma labbaik tak henti-hentinya bergema syahdu dari mulut jamaah, terutama ketika mendekati Arafah, ''Aku datang memenuhi panggilanMu, ya Allah!''
Dari perkiraan hanya beberapa menit, ternyata kami sampai di Musdalifah hampir satu jam kemudian. Turun dari bus, jam di tangan menunjukkan pukul 19.50. Kembali tubuh disergap udara dingin. Kali ini plus tiupan angin, kencang dan sejuk. Karena tempat mabit di Muzdalifah ini berada di hamparan luas di pinggang bukit. Sesayup mata memandang, hanya ada warna putih dari kain yang dipakai jamaah haji yang menyemut. Nun di kejauhan, nampak pemandangan elok. Mina yang bertabur tenda permanen, bermandi cahaya lampu.
Kami mabit di Muzdalifah tidak sebentar. Terlebih dengan kondisi fisik yang mulai melemah, waktu terasa berjalan lambat. Tak ada yang dapat dilakukan jamaah setelah memungut kerikil untuk melontar jumrah, selain berdiam diri, menjelang tengah malam.
Jadi, sejak tiba pukul 19.50 tadi, sampai pukul 12 malam! Mana yang masih bawa tikar, itu yang dibentang, sekadar untuk rebahan beratapkan langit. Nyaris tak ada tempat yang tersisa, semua terisi jamaah. Angin dingin tak berhenti berhembus, suhu udara pun semakin sejuk, setara dengan udara saat tengah malam di Arafah, yang ketika itu, menurut jamaah dari Jawa Barat yang punya alat pengukur, menyebut suhu berkisar antara 6-8 derajat Celsius. Ada juga yang coba berselindung di balik dinding toilet, untuk sekadar menghindar dari terpaan langsung angin dingin. Sesekali terdengar ada yang muntah. Suara batuk sahut-menyahut. Soal jatah makan? Ah, coba dibuang dulu dari pikiran!
Lewat tengah malam, siap-siap untuk bertolak ke Mina. Wah, ini yang kembali menguji habis kesabaran jamaah. Sangat lama! Kami sudah diminta bersiap di menit awal setelah tengah malam. Berbaris menurut rombongan satu kloter. Ada antrean untuk naik ke bus. Hanya yang gilirannya tiba baru boleh ''parkir'' di depan pagar kerangkeng menuju pinggir jalan, untuk naik ke bus.
Akibatnya, terpaksa berlama-lama lagi berdiri di alam terbuka, masih mengenakan kain ihram, lewat tengah malam, cuaca sangat dingin plus angin sejuk dan...perut lapar. Ada yang membentang lagi tikar, atau duduk di atas tas tentengan, menekurkan kepala di atas tangan yang disedekapkan di atas kedua lutut yang bertaut. Ada pula yang ''join'' dengan menyandarkan kepala di punggung rekan. Ketika ada yang berinisiatif membakar kertas karton dan menyodorkan tangan untuk juga menghangatkan tubuh, banyak yang ikut melakukan hal serupa.
Penggiliran pengangkutan terasa sangat lama. Alhasil, rombongan kami baru beringsut meninggalkan Muzdalifah ketika bus bergerak sekitar pukul 03.00 dinihari. Berarti ini sudah hari Sabtu. Jadi, malam sampai dinihari itu, ada sekitar delapan jam kami berada di hamparan terbuka padang luas Muzdalifah.
Perjalanan ke Mina juga tidak mulus. Selain macet, pas sampai dekat gerbang maktab, bus berhenti di tempat yang agak berjauhan. Mau mundur, tak dapat karena padat. Terpaksa memutar lagi dan itu yang kemudian membawa bus kembali terjebak macet. Ujung-ujungnya, kaki ini baru bisa menginjak lantai maktab ketika jam menunjukkan pukul 05.25, sesaat kemudian azan Subuh bergema dan setelah itu, terdengar pula kumandang takbir. Ya, Sabtu, 30 Desember 2006 itu, Idul Adha di Saudi Arabia.
Kami melintasi dapur. Yang dijumpai, tungku masih dingin, yang dapat nasi putih doang. Itulah sekadar pengganjal perut, untuk kemudian coba rebahan sejenak usai salat subuh. Nanti, kami akan melontar jumrah Aqabah, tahalul dan barulah ihram boleh dilepas, berganti pakaian biasa. Dianjurkan, kami melakukannya sore, setidaknya berangkat dari maktab sekitar pukul 15.00.
Tak banyak waktu rehat, usai salat zuhur dan asar yang dijamak, kami bersiap untuk berangkat ke jamarat. Ustad Drs H Kawiyun Aziz yang tadi jadi imam, memimpin doa agar rangkaian ibadah penting itu dapat kami jalani dengan lancar. Pas saat bersiap akan berangkat itulah, ustad Drs H Yusriyun, ketua rombongan 1, rubuh.Fisiknya benar-benar drop. Itu sudah terlihat sejak berdingin-dingin di Muzdalifah sampai dini hari tadi.
Kami kaget. Ada yang memijat-mijatnya, mengurut, membantu mengobati. Juga istrinya, yang melakukan sambil tak kuasa menahan deraian air mata. Saat agak segar, beliau malah menolak ditawari agar diwakilkan saja pergi melontar jumrah. Jadilah kami pergi bersama-sama ke jamarat, beliau diapit dua orang yang muda dan tegap di antara rekan serombongan. Kami tetap bersama menempuh jalan sekitar lima kilometer menuju lokasi melontar jumrah (jamarat), melintasi terowongan Almuaisim Haratullisan yang terkenal itu, karena pernah terjadi tragedi di sini yang menewaskan banyak jamaah haji ketika itu. (Insya Allah, secara khusus seputar jamarat ini akan disajikan tersendiri nantinya, pen).
Alhamdulillah, salah satu rangkaian ibadah haji yang termasuk titik rawan ini, berhasil kami lalui tanpa halangan berarti. Sungguh di luar dugaan semula. Puji syukur tak henti-hentinya keluar dari mulut jamaah. Selesai tahalul, jamaah saling berangkulan. Kembali air mata bercucuran. Allah mengabulkan doa kami tadi. ''Kita syukuri ini semua, yang justru kita mencapainya dalam kondisi fisik seperti ini. Alhamdulillah, kini Anda sudah boleh dipanggil Bapak-bapak Haji dan ibu-ibu Hajjah,''kata ketua kloter Drs H Muchtaruddin SH, yang memimpin tahalul dan doa, setelah jamaah berkumpul di tempat yang disepakati tak jauh dari tugu Jumrah Aqabah.
Sungguh, kelancaran pelaksanaan pelontaran jumrah penting ini membuat sebagian besar jamaah seperti mendapat suntikan tenaga baru. Jalan pulang lima kilo ke kemah di Mina, ditempuh dengan penuh semangat, sehingga ada yang sempat terlewat, kembali surut sebelum menemukan simpang yang tepat untuk mengarah ke maktab.
Namun saat melewati gerbang, melintasi dapur umum, kami terkaget-kaget. Rupanya, ada segelintir jamaah yang benteng kesabarannya mulai keteteran. Dapur sudah acak-acakan, ada yang memegang ayam mentah, yang sebenarnya memang sedang disiapkan untuk dimasak. Potongan daging ayam itu pun digoreng sendiri di kuali raksasa, ada yang menyodorkannya ke bawah perapian, sekejap menjadi ayam panggang. Ya, untuk sementara dapur tersebut mereka ambil-alih. Astaghfirullah, mereka lepas kendali. Situasi ini menjadi perbincangan tersendiri dan kami, khususnya jamaah dari Riau bertekad untuk tidak akan melakukan tindakan seperti itu.
Malam itu, kendati belum juga mendapatkan jatah makan, sebenarnya jamaah sudah tidak terlalu risau lagi. Karena di Mina ini, sangat banyak orang berjualan, termasuk makanan. Makanya, setelah mandi dan ganti ihram dengan pakaian biasa, jamaah mulai pengenalan lokasi dan mencari apa yang bisa dibeli untuk mengisi perut.
Ketua kloter yang datang ke tenda kami, selain menjenguk dan membawa dokter untuk mengecek kondisi ustad Yusriyun (yang belakangan mengaku menghabiskan dua tabung infus), sekaligus juga menyampaikan pengumuman yang berasal dari pengelola haji Indonesia tentang kisruh soal katering itu, juga ada salam dan permohonan maaf plus doa dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada seluruh jamaah, serta jaminan bakal adanya uang kompensasi bagi tiap jamaah, pengganti uang konsumsi selama di Arafah dan sehari di Mina. Secara resmi, jamaah baru mendapatkan nasi katering pada Ahad, 31 Desember 2006 siang, saat di mana kerabat dan keluarga di tanah air barangkali sedang menikmati rendang atau dendeng dari daging kurban di Hari Raya Idul Adha.
Itulah secuil dari banyak pengalaman jamaah soal ''Tragedi Arafah.'' Tapi, sekali lagi, secara umum itu semua tidak mengganggu pelaksanaan ibadah secara keseluruhan. Malah ada yang memaklumi itu sebagai bagian dari ujian. Hajinya haji Akbar, tentu ujiannya juga akbar. Namun, percaya atau tidak, dari data kunjungan berobat ke dokter, yang disampaikan ketua kloter, justru ditemui fakta lain. Kalau di Makkah, sewaktu jamaah bebas makan di mana saja, rata-rata per hari 60 sampai 70 orang yang datang ke dokter mengeluh sakit. Namun, angka itu tak sampai separuhnya di saat jamaah ''kelaparan'' selama di Arafah, Muzdalifah, dan di awal ketibaan di Mina. Allahu akbar!(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar