Catatan Perjalanan Ibadah Haji 1427 H (3)
Amannya Makkah, Amboi... Nikmatnya Ibadah
Soal katering di Arafah, hanyalah sepenggal kisah dari sisi lain perjalanan ibadah haji tahun ini. Di luar itu, tiap jamaah punya kisah, kesan dan pengalaman sendiri selama berada di tanah suci. Ada yang mungkin terus disimpan dengan rapi. Banyak pula yang tidak seharusnya dikenang sendiri. Jadi, sebaiknya kita berbagi.
Laporan AMZAR, Makkah
amzartpi62@gmail.com
LANTUNAN talbiyah terus mengiringi perjalanan 100 km dari Jeddah ke Makkah Al Mukarramah. Labbaika... Allahuma Labbaik.., Aku datang memenuhi panggilanMu, ya Allah! Hati tambah bergetar saat melintas di bawah tugu yang dibangun menyilang melintasi ruas jalan tol. Inilah yang kerap dilihat gambarnya di video. Berarti, Makkah sudah di depan sana.
Kami semua sudah mengenakan ihram, sejak dari bandara King Abdul Aziz, Jeddah, yang tadi kami jejaki saat fajar merekah di ujung langit kota pelabuhan ternama di Saudi itu. Niat ibadah sudah dipasang di sana.
Sudah banyak cerita, gambaran, rekaman, catatan yang sebelumnya dipelajari serta menjadi referensi tentang Makkah ini. Tetap saja hati bergetar, karena sebentar lagi akan berada langsung dalam pesona kehangatannya.
Puji syukur spontan meluncur, tatkala sudah sampai di pemondokan. Sebab, hotel Al Jenadria Towers itu ternyata tak terlalu jauh dari Masjidil Haram, kira-kira 900 meter lah. Nama kawasannya Shaib Amir, di Distrik 1 As-Sulaymaniah. Tapi karena sebagian besar dari rombongan kami, ini merupakan kali pertama ke tanah suci, tetap menahan diri untuk menunggu semuanya siap, agar dapat bersama-sama ke sana, Masjidil Haram. Kami harus menunaikan rangkaian ibadah umrah.
Selepas Asar, kami melangkah mantap. Ruas jalan sedikit menurun di bawah jalan layang, lalu belok kiri, berjalan sekitar 300 meter, lihat ke kanan, nampaklah menjulang menara Masjidil Haram. Ya Allah, masjid paling agung itu kini di depan mata. Engkau perkenankan kami sampai ke sini, ya Allah. Tak cukup berucap syukur, sebagian kami menjatuhkan lutut, mempertemukan dahi dengan lantai marmer putih yang menghampar di pelataran masjid. Sujud syukur. Sejuknya lantai menjalar-merambat ke dalam kalbu.
Pengenalan pertama, kami harus puas berada di halaman Masjidil Haram, berdepan-depan dengan Bab As-Salam. Selain karena memang di dalam sudah penuh, juga karena di sinilah yang memungkinkan jamaah masih agak leluasa berkelompok sesamanya dalam jumlah besar, terutama yang baru ke sana untuk kali pertama.
Saat masih terpesona dan berdecak kagum memandang keagungan salah satu sisi Masjidil Haram, waktu magrib tiba. Merinding bulu roma mendengar lengkingan merdu suara azan yang melaung seakan membelah langit. Suara azan memang bukanlah hal yang asing, namun inilah yang pertama dan langsung didengar di masjid teragung ini. Suara muazinnya, iramanya, bagaimana perkasanya sound system yang digunakan, membuat kepala dan hati tertunduk. Ada kenikmatan yang terasakan, tapi tak terkatakan.
Juga saat terdengar suara imam yang syahdu berwibawa. Suara imam besar Masjidil Haram Syaikh Abdelrahman Alsudais yang biasanya terdengar saat siaran langsung salat tarawih dari Masjidil Haram lewat teve, atau dari kaset-kaset yang diputar di masjid di tanah air, kini kami menjadi bagian di antara jutaan makmum yang berada di belakangnya.
Kami baru bersama-sama masuk selepas salat Isya, setelah sebagian jamaah keluar dari Masjidil Haram. Itu bukan berarti di dalam sudah sepi. Meminjam istilah iklan, Masjidil Haram kagak ade sepinye.. Banyak yang keluar, bejibun pula yang masuk. Dada kembali bergetar hebat, jantung berdegup kencang tatkala pandangan mata tertuju ke Kakbah yang berbalut kiswah hitam, terlihat untuk pertama kalinya secara langsung. Ketua rombongan memandu membaca doa saat pertama melihat Kakbah. Juga tadi, saat pertama melihat dan memasuki Masjidil Haram.
Selanjutnya, saat tawaf mengelilingi Kakbah tujuh kali, serta sai antara Safa dan Marwa juga tujuh kali, yang lokasinya masih di Masjidil Haram, diakhiri tahalul, sebagian kami masih melakukannya secara bersama. Tetapi, juga ada yang mengerjakannya dalam kelompok kecil, bahkan terpisah dari kelompok, sendiri-sendiri.
Ya, yang terakhir inilah yang barangkali kemudian banyak dilakukan jamaah, termasuk saya. Melakukannya secara mandiri memang lebih leluasa. Lazim memang, hanya satu kali saja ditunjukkan, setelah itu jamaah akan dengan gampang pergi-pulang untuk beribadah di Masjidil Haram, terutama yang pemondokannya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Begitulah seterusnya dijalani. Di awal-awal, memang, betis terasa tegang saat harus bolak-balik dari hotel ke masjid, dan di masjidnya sendiri, yang teramat luas, apalagi bila menyertainya dengan mengerjakan tawaf. Tapi Alhamdulillah, pada hari ke tiga dan seterusnya, sama sekali tidak ada keluhan di kaki. Juga soal suhu udara, kepadatan jamaah, keamanan perjalanan dan sebagainya.
Jadi terbiasa, pukul 02.30 dinihari sudah terbangun, atau dibangunkan rekan satu kamar untuk bersiap ke masjid. Dianjurkan memang, untuk tidak bepergian sendiri, terutama bagi kaum wanita. Namun, nyatanya, saya lebih sering jalan sendiri, baik dinihari, atau pulang larut malam dari Masjidil Haram ke pemondokan. Alhamdulillah, aman-aman saja. Pokoknya, asal jangan sombong dan takabur, juga mengenal ciri lokasi, tidak bakal pernah nyasar.
Jelas, ada kenikmatan tersendiri dalam menjalani rangkaian ibadah selama di Makkah. Bagaimana kita tidak mengeluh ketika terjaga dinihari pukul dua atau tiga, lalu mandi dan di jalan bertemu dengan ribuan jamaah berbilang bangsa melangkah ke satu tujuan: Masjidil Haram. Jika kala itu sudah musim dingin, ya hangatkan saja dengan pakaian agak dua lapis atau pakaian hangat plus lilitan syal di leher.
Di sini memang tidak berlaku strata-strataan. Terlambat datang, tak akan mendapat tempat yang leluasa. Subuh misalnya, pukul setengah enam. Ketika sampai di sana pukul empat dinihari, siap-siap saja dapat tempat di pekarangan luar masjid. Bagi orang kita memang biasanya segan untuk menerobos terus mencari celah di bagian dalam, apalagi harus melangkahi pundak jamaah yang sudah hadir duluan. Tapi tidak bagi jamaah lain, misalnya dari Turki, Pakistan, dan negara-negara Asia Selatan dan Asia Barat lainnya.
Mereka ringan saja melintas di atas bahu kita. Apalagi yang tubuhnya besar-besar. Satu-dua ada juga yang sekalian memegang bagian atas kepala kita. Di sinilah jamaah mati-matian meredam amarah. Karena, orang kita kan pantang kepalanya dipegang orang. Tapi, nyatanya, hati yang panas cepat sejuk. Apalagi kalau kita bereaksi, misalnya memegang kaki mereka, spontan mereka menghampiri, tersenyum, lalu mendekatkan mulutnya mengecup kepala kita. Itu cara mereka meminta maaf, minta dimaklumi.
Sedikit saja ada celah, mereka akan minta tempat, sekadar untuk meletakkan lututnya saja dulu, jadilah. Maka, tak heran, jika di dalam Masjidil Haram, mulai dari seputaran Kakbah sampai ke pelataran luar, terlihat jamaah duduk dengan bahu yang saling berdempetan. Itu berlaku menjelang muazin membaca iqamat dan saat jamaah berdiri pun, masih begitu.
Namun, lain halnya jika salat sudah dimulai, imam sudah membaca ayat, sesempit apa pun tadi, kini bisa lapang. Sampai tahayat akhir, jamaah mengakhiri salatnya dengan duduk secara sempurna, tak berdesakan. Selalu, dan selalu begitu.
Teriknya matahari juga tidak mencemaskan. Memang ada pengaruh musim dingin, namun tetap saja kalau panas tengah hari, masih menyengat. Namun, jamaah yang tidak berada
di tempat terlindung, baik di pelataran luar, apalagi di sekitar Kakbah, tak beranjak. Dari atas memang panas, namun lantainya, malah sejuk. Memang ada yang bilang, marmernya anti panas. Namun, ini bukan hanya tidak panas, malah dingin sekali. Jadi, di terik matahari pun, ibadah terasa nikmat, nyaman ...entah apa lagi rasanya.
Jika haus pun, kita dapat membasahi tenggorokan dengan air zam-zam yang dengan gampang didapat karena tersebar di banyak tempat di dalam dan sekitar Masjidil Haram. Atau akan ada saja jamaah asing yang datang menghampiri dengan kedua tangan berisi cangkir plastik berisi zam-zam. Sesekali mereka memberi kurma atau makanan kecil yang kerap mereka bawa. Wow, nikmatnya ukhuwah sesama ikhwan seaqidah.
Jangan pula cemas dengan berjubel dan padatnya jamaah yang melaksanakan tawaf atau sai. Kalau nunggu Kakbah sepi di musim haji, tak bakal ada, selama 24 jam. Jangan pula buru-buru mengklaim mereka yang badannya besar-besar dan kulitnya gelap akan berlaku kasar ke kita. Mungkin malah sebaliknya. Setidaknya itu pernah saya alami. Saat terjebak dan terjepit di tengah pusaran arus manusia mengelilingi Kakbah, kami merasa nyaman berselindung di balik tubuh besar mereka.
Juga saat mendapat sedikit tempat di Multazam, atau secuil celah untuk masuk ke Hijir Ismail, adakalanya mereka malah membantu. Kita merasa nyaman untuk sejenak berdoa atau salat sunat dalam sedikit tempat yang mereka ''bebaskan'' dengan rentangan tangan dan kaki. Atau juga, bergelayut pada pundak atau memagut pinggang mereka jika suatu ketika kita terpental di tengah pusaran arus pergerakan umat tadi.
Beruntung saya punya waktu lebih lama berada di Makkah Almukarramah, sejak awal pekan kedua Desember, sampai pekan pertama Januari 2007, diselingi wukuf di Arafah dan tiga hari di Mina. Selama itulah, rangkaian ibadah dapat dijalani dengan sangat nikmat di Masjidil Haram. Seharian tak pulang pun tak masalah. Lapar, di seputaran masjid banyak yang jualan. Atau ingin juga cuci mata sebentar, ada banyak plaza dan mal supermodern di sekelilingnya. Bahkan untuk buang air, atau mandi sekali pun, tempatnya tersedia sangat banyak, di luar masjid.
Ingin berlama-lama di dalam masjid boleh juga. Di tiap beberapa meter, mulai dari basemen sampai ke lantai puncak Masjidil Haram yang beratapkan langit, tersedia kitab suci Alquran, beribu jumlahnya.
Tak kalah nikmatnya melaksanakan tawaf sunat setiap masuk masjid, sambil menjelang masuknya waktu salat fardu. Sulit memang, menerobos lautan umat untuk sampai ke sana dan lingkaran arus manusia mengitari Kakbah akan semakin besar. Namun inilah momen yang bagus untuk mendapatkan tempat terdekat dengan Kakbah saat mengerjakan salat berjamaah di Masjidil Haram. Tak tergambarkan bagaimana rasanya, sama-sama menghadap Kiblat Kakbah yang wujudnya benar-benar nyata di depan mata!.(bersambung)
Jumat, 23 Mei 2008
Catatan Haji 3
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar