Catatan Perjalanan Ibadah Haji 1427 H (4)
Habiskan Sepasang Sandal, Kaki Tak Lagi Pegal
Tak salah petunjuk para senior, bahwa pergi haji juga memerlukan kesiapan fisik. Tidak hanya akan mendukung kegiatan ibadah agar dapat terlaksana secara maksimal, juga amat berarti untuk dapat bergerak leluasa dalam mengenal lebih banyak, juga lebih dekat, aneka objek di sekitar dua tanah haram.
Laporan AMZAR, Makkah
amzartpi62@gmail.com
RUGI rasanya kalau sudah berada di tanah suci Makkah Almukarramah atau Madinah Almunawarah dan sekitarnya selama hampir 40 hari, tidak dapat memanfaatkan waktu secara maksimal, baik untuk beribadah, ziarah maupun aktifitas lainnya. Apalagi jika usia belum uzur dan dikaruniai tubuh sehat.
Dalam hal ibadah, misalnya. Tak pantas untuk mengeluh, apalagi menyerah, jika kita melihat sendiri mereka yang jalannya sudah tertatih-tatih menyeret kakinya dengan tubuh yang membungkuk karena tulang punggungnya tak lurus saja, masih dengan penuh semangat membelah dinginnya subuh, menerabas di terik panas, bolak-balik sepanjang hari dari pemondokan ke Masjidil Haram untuk beribadah.
Mereka, misalnya, tetap aktif melaksanakan tawaf, tujuh kali mengelilingi Kakbah, atau sai. Lintasan yang dipilih pun, bukan yang di altar terdekat ke Kakbah. Mereka melakukannya di lantai dua dan pada lantai puncak Masjidil Haram, yang otomatis ukuran jarak lintasannya beberapa kali lipat dari yang di bawah, dekat Kakbah. Toh mereka melakukannya dengan bersemangat. Apalagi jika mengerjakannya dengan berkelompok, seperti yang kerap diterapkan jamaah dari Turki.
Maka, di satu ketika, saat rasa malas akan menghinggap, spontan teringat keperkasaan para ‘’angkatan 45’’ tadi, semangat jadi terlecut. Apalagi kalau disadari, banyak yang mengidamkan dapat ke sana, namun tidak semua orang dapat kesempatan ‘’diundang’’ ke tanah suci. Ini yang selalu menjadi motivasi bagi Riau Pos untuk tidak banyak berdiam diri selama di sana. Kata orang bijak, jauh berjalan banyak dilihat.
Karenanya, sambil tetap beribadah, jalankan juga aktifitas menjelajah. Kalau dihitung-hitung dalam rentang waktu itu, entah sudah berapa puluh kilo, atau mungkin seratus kilo lebih kaki ini berjalan. Sandal saja, terpaksa berganti saat sudah berangkat ke Madinah, karena sudah menipis dan cekungannya sudah dalam oleh tekanan sekitar tumit. Bolak-balik masjid ke maktab, menyusuri sebagian kota Makkah dan Madinah, serta, tentu saja di dan sekitar Masjidil Haram dan masjid Nabawi.
Mulai dari Masjidil Haram, terasa asyik menelusuri nyaris semua sisi, baik luar maupun dalamnya. Memang tak putus jika dilakukan dalam sehari dan memang tak perlu ditarget seperti itu. Pastinya, makin banyak diketahui, kian tebal rasa takjub akan keagungan Allah di setiap decak kagum.
Mudahnya masuk melalui hampir seratus pintu, menyusuri tangga atau naik elevator ke lantai dua dan pelataran puncak, menyaksikan nun di bawah sana indahnya pergerakan pusaran arus manusia mengelilingi Kakbah, menengadah memandang kokohnya tiang-tiang menara, menambah kecintaan terhadap masjid paling agung ini. Atau bagaimana strategisnya pintu utama, pintu bernomor satu, King Abdul Aziz Gate, yang baru menapak beberapa langkah saja sudah terlihat Kakbah.
Di luaran sekitar masjid pun begitu. Banyak objek menarik, juga bersejarah yang dapat meluaskan khazanah. Bukit Qubays misalnya, yang kini bertengger di atasnya bangunan megah milik kerajaan Saudi yang menjadi tempat tinggal Raja bila ke Makkah. Letaknya di sisi timur laut Masjidil Haram. Ketua kloter kami Drs H Muchtaruddin SH menjelaskan bukit ini bersejarah karena di situlah dulunya junjungan alam Nabi Muhammad SAW dibersihkan hatinya oleh malaikat Jibril sebelum diperjalankan dalam peristiwa Isra’ Mikraj.
Tak jauh dari situ, persis satu tarikan garis lurus dari Bab As-Salam, terdapat bangunan sangat sederhana, yang masih berdiri di antara bangunan lain yang terus menjulang. Orang-orang menyebutnya Rumah Maulid, karena di situlah dulu tercatat sejarah penting, tempat lahirnya Rasulullah SAW. Rumah itu terus dijaga oleh Askar Saudi dan selalu mencegah jamaah yang terkadang tidak sekadar mendekat atau melihat, tapi melakukan tindakan-tindakan yang dianggap berlebih-lebihan.
Berjalan beberapa langkah lagi, itulah dia Pasar Seng yang tak kalah terkenal itu, karena di sinilah sebagian jamaah juga selalu memadatinya untuk menghabiskan uang Riyal, dengan harga yang berpatutan, mulai dari jajanan makanan sampai ke oleh-oleh untuk dibawa ke tanah air. Untuk yang begini, hampir di sekeliling Masjidil Haram tersedia tempatnya, sampai ke kelas mal supermodern juga ada.
Episode penjelajahan yang paling berkesan bagi Riau Pos adalah sewaktu di Mina dalam menjalani rangkaian ibadah melontar jumrah. Memang bukan soal berjalan antara maktab dengan lokasi melontar jumrah (jamarat) sekitar 10 kilometer pulang-pergi. Toh nyaris semua jamaah melakukannya. Kami menelusuri secara berulang rute itu selama empat hari.
Justru, ada penjelajahan ekstra yang Riau Pos lakukan di sini. Ini ada kaitan juga dengan tugas sebagai pewarta. Masih segar betul di ingatan, saat itu adalah hari pertama di tahun baru 2007. Pagi-pagi sekali, sudah bersiap meninggalkan tenda. Tidak sendirian. Ada ketua kloter dan empat orang lagi yang muda-muda dan tegap.
Kami pagi itu berencana pergi ke lokasi penyembelihan hewan kurban di Al Awali, karena memang di kloter sembilan ini ada 162 orang yang ikut kurban. Mestinya ada perwakilan yang melihat langsung ke lokasi penyembelihan, bahwa ke-15 ekor unta mereka memang sudah disembelih. Itu kata H Mosleh yang membantu jamaah melaksanakan kurban ini. ‘’Biar lebih yakin, Riau Pos juga kita ajak, selain perwakilan dari tiap rombongan,’’ kata H Muchtaruddin, malam sebelumnya.
Sebenarnya lokasinya tidak terlalu jauh, karena di awal-awal kedatangan ke Makkah, lokasinya juga sudah disambangi, berombongan dengan bus. Tapi kali ini suasananya lain. Kami bergerak dari tenda di Mina, sementara kendaraan yang akan membawa hanya bisa menunggu di satu tempat di Aziziyah, tak bisa masuk ke kawasan dekat tenda kami karena memang dilarang, selama proses pelontaran jumrah masih berlangsung.
Untuk ke sana itu, kami harus melewati jamarat. Maka, bergeraklah kami pagi itu di tengah dinginnya udara. Sulit juga menyesuaikan langkah dengan rekan lain yang sangat cepat. Kami sudah membayangkan bagaimana padatnya wilayah yang akan dilintasi, karena saat seperti itu adalah waktu yang diperkirakan sangat padat di sekitar jamarat. Sebab, ini adalah puncak pelontaran bagi jamaah yang mengambil nafar awal sebelum bertolak ke Makkah. Jamaah didominasi mereka yang posturnya tinggi besar. Itu sebabnya pihak maktab dengan tegas sudah melarang kami untuk melakukan pelontaran pagi ini, beresiko. Kami diberi waktu sore nanti untuk melontar.
Berjalan berlima, hanya sebentar rasanya sampai ke jamarat. Jamaah memang luar-biasa ramai. Riau Pos melihat sendiri kesiagaan aparat jauh di atas rata-rata saat kami melontar kemarin. Mereka berbaris hampir membentuk pagar betis. Penjagaan sangat ketat. Jamaah yang membawa beban lebih dari sekadar tas pinggang, tanpa ampun diminta meninggalkannya di pos-pos tertentu. Tim medis yang ribuan jumlahnya sudah berbaris rapi untuk menyebar dengan tandu lipat. Ambulans berjejer di sisi lokasi jamarat lantai bawah.
Kami berjalan agak memisah dari jalur mereka, karena kami tidak ikut melontar, hanya melintas saja. Janjinya, penjemput akan menunggu di tempat yang berlokasi di ujung areal Jumrah Aqabah. Itu sudah lebih lima kilometer dari maktab. Untuk bertemu penjemput pun, ketua kloter harus berhalo-halo lewat hp untuk memastikan di mana posisi si penjemput dan keberadaan kami.
Dari ujung areal jamarat itu, ternyata kami harus berjalan kaki lagi ke lokasi di mana mobil si penjemput si diparkir, yang jaraknya ditempuh lebih jauh dari lokasi jamarat ke Maktab. Jadi lebih lima kilometer. Kami harus melewati pasar tumpah dulu. Ketika ada yang mau ke toilet umum dulu, malah urung karena antriannya sangat panjang. Saat melintasi pasar tumpah inilah, salah seorang anggota rombongan terpisah dan ternyata memilih jalur lain saat bertemu jalan bercabang dua. Lama mencari, sampai harus mengontak rekan di maktab dulu menanyakan nomor ponselnya, baru bertemu lagi setelah hampir setengah jam.
Jalur yang sama kami lewati lagi sepulang dari lokasi penyembelihan hewan kurban. Kali ini tengah hari di panas terik. Riau Pos menggunakan potongan karton untuk menutupi wajah dari terpaan langsung sinar matahari.Di kedua lantai areal jamarat sangat padat saat kami melintas, masih di bawah penjagaan yang sangat ketat.
Sampai di maktab, sudah ngos-ngosan. Rekan-rekan lainnya sudah siap-siap untuk nanti melontar jumrah. Rekan lain yang tadi sama berangkat ada yang ‘’nyerah’’ minta diwakilkan melontar. Riau Pos sendiri memilih untuk melontar sendiri, karena masih ada waktu rehat sambil membuat berita. Pas setelah berita terkirim, kami sama-sama bertolak ke jamarat.
Malamnya, iseng-iseng coba dihitung, total hari itu Riau Pos berjalan kaki lebih dari 30 kilometer. Lebih 20 km saat ke lokasi penyembelihan kurban pulang-pergi, plus 10 km ke jamarat PP. Alhamdulillah, terasa ‘’enteng’’ saja saat musim haji itu. Padahal, jika di Pekanbaru, jalan sedikit saja dari ujung jalan ke rumah, sekitar 600 meter, sudah semput dan pegal.
Awalnya pun, memang kaki ini pegal-pegal sewaktu baru saja melakoni jalan kaki bolak-balik ke Masjidil Haram, plus tawaf dan sai. Tapi kini, setelah ‘’long march’’ tadi, balik lagi ke Makkah untuk menjalani hal yang sama sampai menghabiskan sepasang sandal, kaki tak lagi merasakan pegal-pegal. Lagi-lagi, inilah nikmatnya suasana ibadah di tanah suci.(bersambung)
Minggu, 25 Mei 2008
Catatan Haji 4
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar