Catatan Perjalanan Ibadah Haji 1427 H (1)
Wukuf Lancar, Walau Menggigil Berlapar-lapar
Setiap yang pergi haji pasti punya pengalaman pribadi di tanah suci. Tapi untuk musim kali ini, semua jamaah haji reguler Indonesia, termasuk wartawan saya dari ''Riau Pos'', punya catatan yang nyaris serupa untuk satu hal: sama-sama mengalami bagaimana rasanya
tidak makan selama tiga hari di Arafah dan Mina, di tengah dinginnya cuaca, saat tubuh hanya dibalut dua helai kain ihram.
Laporan AMZAR, Pekanbaru
amzartpi62@gmail.com
SEBENARNYA banyak sisi menarik yang ingin didedahkan untuk berbagi rasa tentang banyak pengalaman selama hampir 40 hari perjalanan menunaikan rukun Islam kelima ini. Namun, banyak usulan ke ''Riau Pos'' untuk mendulukan soal yang paling menghebohkan pada
musim haji tahun ini. Cerita dari yang mengalaminya langsung, akan lebih ditunggu.
Kamis (28/12/2006) itu, adalah hari keberangkatan ke Arafah. Di pemondokan Al-Jenadria Towers Hotel di kawasan Shaib Amir, Distrik I As-Sulaymaniah, Makkah, jamaah sudah bersiap-siap sejak pagi sekali. Ada yang pada pukul 10.00 sudah memakai ihram.
Sebelumnya, sesuai anjuran, kami sudah menitipkan barang-barang berharga, khususnya uang, baik Riyal maupun Rupiah, ke maktab, karena akan meninggalkan pemondokan kurang lebih sepekan.
Jadinya, nyaris semua jamaah tidak membawa uang banyak ke Arafah dan Mina karena di sana nanti lebih fokus ke ibadah. Soal konsumsi di Arafah, seperti gambaran sejak dari tanah air, akan cukup tersedia. Tak ada isyarat lain. Hanya memang, sehari sebelumnya, seluruh ketua kloter diundang ketua maktab Syech Jamal Yasin Ashor. Selain menjelaskan teknis keberangkatan, ia juga membeberkan soal katering yang kini tidak lagi dikelola maktab atau muasasah, diambil-alih misi haji Indonesia. Terdengar biasa saja dan tidak terlalu dirinci. Namun penegasan soal katering itu, sudah dituangkan pada secarik kertas seukuran kuarto dan para ketua kloter diminta membubuhkan tanda tangan di bawahnya, mengetahui maklumat itu.
Begitulah, jamaah yang sudah bersiap sejak pagi, akhirnya baru bergerak ke dalam bus untuk meninggalkan pemondokan sekitar pukul 13.00. Ada yang sempat makan siang, tapi kebanyakan hanya terisi perutnya saat sarapan pagi tadi. Perjalanannya, lancar-lancar
saja, karena Alhamdulillah, tidak begitu banyak titik kemacetan yang dijumpai. Di bawah jalan tol yang dilintasi, sejak dari Mina sudah memutih oleh jamaah berbilang bangsa, sibuk memasang tenda seadanya di bawah terik matahari. Mereka jamaah non-kloter yang
baru akan bergerak ke Arafah menjelang wukuf dinihari nanti.
Belum masuk hitungan satu jam, kami sudah sampai di Arafah, menuju kemah yang sudah ditentukan dan saya ikut memandu karena sebelumnya memang ikut survey lokasi yang akan ditempati. Di awal-awal kedatangan memang belum kentara akan ada masalah, karena jamaah masih disibukkan aktifitas mengenal lokasi, menata peralatan yang dibawa, membentang tikar lipat dan sedikit rehat.
Fasilitas memang ala kadarnya. Bergolek-rebah di atas tikar agar tidak bersentuhan langsung dengan alas pertama di atas pasir Padang Arafah, berbantalkan tangan atau tas tentengan. Tak ada pendingin udara. Hanya andalkan AC alam, juga rimbunan pepohonan
yang di sana dikenal dengan ''Pohon Soekarno.''
Hembusan angin dingin kerap menembus celah kemah yang memang tidak seluruhnya tertutup rapat. Lampu neon hanya terpasang pada beberapa sudut pintu masuk kemah. Ini agar malam dapat lebih ''aman'' tidurnya karena antara jamaah pria dan wanita hanya dipisahkan jejeran tas tentengan, sementara jamaah lelaki memakai ihram, yang bisa saja terkuak-tersingkap saat terlelap. Padahal, tak ada sehelai pun pelapis lain di balik kain ihram!
Menjelang petang, masalah mulai dirasakan. Terlebih yang saat berangkat tadi belum sempat mengisi perut. Nasi kotak yang ditunggu tidak kunjung muncul. ''Ah, barangkali masih di perjalanan, ntar juga sampai.'' Itu anggapan sebagian jamaah, sambil terus melakukan rangkaian ibadah, berzikir dan membaca Alquran.
Malam tiba, dingin menyergap. Kabar soal konsumsi tetap belum jelas. Mana yang tadi sempat membawa bekal roti, buah-buahan dan makanan ringan lainnya, coba mengganjal perut dengan itu, berbagi dengan rekan lain. Jamaah pria banyak yang ke luar kemah untuk
mencari tahu soal konsumsi ini. Eh, ternyata bukan hanya kami.
Semua jamaah di tenda sebelah-menyebelah, pada mengeluhkan hal yang sama. Pihak maktab yang dikerubungi tidak dapat berbuat banyak dan sekali lagi menjelaskan bahwa hal itu bukan lagi tanggungjawab mereka. Maklumat tentang itu mereka tempel besar-
besar. Kendati begitu, ada juga gurat kerisauan di wajah Syech Jamal Yasin Ashor yang kafiyehnya tak pernah lepas itu. Bagaimana tidak, ribuan jamaah yang berada di maktab yang ia pimpin dan perwakilannya ada di depannya ini, terancam kelaparan.
Para ketua kloter tak kalah sibuk dan risau. Coba kontak sana-sini, tapi tak ada sinyal-sinyal positif dari pihak-pihak yang dihubungi. Tak jelas lagi kepada siapa mengadu. Melapor ke pejabat Depag yang sama-sama berada di tanah suci, eh ternyata sama-
sama belum mendapatkan jatah nasi. Repotnya lagi, ada pun uang di saku, yang berjualan nasi tak ada. Ini Padang Arafah, Wak!
Ketua kloter kami, Drs H Muchtaruddin SH, sepanjang malam itu, bersama beberapa ketua rombongan dan regu terus mencari peluang bagaimana mengatasi --sementara-- krisis ini. Saat menghubungi sektor, bukan solusi yang didapat. Mereka seakan raib, karena
memang sama-sekali tidak punya solusi dan boleh jadi bakal jadi sasaran emosi jamaah.
Krisis tak teratasi, sementara malam makin larut dan dingin. Sebagian jamaah sudah tertidur dengan posisi tubuh meringkuk. Bukan saja karena dinginnya cuaca, tetapi lebih karena perut belum terisi secara semestinya. Lagi pula, besok akan melaksana
kan puncak ibadah haji, Wukuf di Arafah. Saya yang coba tidur sejenak, terjaga lagi pukul 00.30. Bersama jamaah lain, segera ambil wuduk untuk salat tahajut. ''Brrrr...dinginnya!'' Belum dibasahi air, baru saja bersinggungan dengan udara luar tenda, badan bergetar hebat, menggigil bersentuhan dengan cuaca dingin menusuk. Juga setelah berwuduk, untuk kembali ke tenda rasanya sangat jauh karena kaki yang dilangkahkan reflek merapat satu sama lain sehingga jalan jadi berjingkat. Tangan bersidekap mempertautkan dua ujung kain ihram ke dada. Kepala, memang tidak
boleh ditutup. Dingin betul-betul menusuk ke tulang!
Banyak yang melaksanakan salat tahajut di keheningan larut malam itu. Ada yang masih berzikir dan membaca Alquran. Mungkin suasana serupa juga terjadi di tenda lainnya.
Azan di subuh Jumat, (29/12) bertepatan dengan 9 Zulhijah menurut kalender hijriah di Tanah Suci, berkumandang syahdu dan merindingkan bulu kuduk. Megaphone membantu mengeraskan suara muazin. Usai ibadah salat subuh, jamaah sudah ke luar tenda, mencoba mencari kejelasan status konsumsi, karena sudah hampir 24 jam di lokasi, serba tak jelas. Apalagi hari ini pelaksanaan wukuf. Jamaah sudah berdiri di tepi gerbang maktab, menanti dan menanti. Tiap kendaraan yang melintas, distop kalau-kalau membawa makanan.
Sementara yang mengaktifkan ponsel, sibuk menerima suara-suara cemas dari keluarga di tanah air. Ternyata, sepagi itu (jelang siang di tanah air, red), kabar kelaparan itu sudah menyebar ke negeri tercinta. Dan ternyata bukan hanya kami, tetapi seluruh jamaah reguler Indonesia! Jaringan luar biasa sibuk. Saya yang kali ini coba mengirim berita awal ke kantor, beberapa kali gagal terkirim. Pas pula tenaga batere di ponsel tinggal segaris.
Di Arafah, nyaris tak dijumpai tempat untuk menyambungkan charger. Ada dekat toilet, tapi arusnya diputus. Syukur di detik terakhir berita dapat terkirim: ''Ribuan Jamaah Indonesia Kelaparan!'' Ditulis dengan perasaan, diujung rasa sabar, yang, syukur, masih tersisa.
Saat Wukuf semakin dekat. Tekad sudah bulat bagi semua jamaah, bagaimana pun inilah puncak pelaksanaan ibadah haji dan jangan sampai terusik oleh hal apa pun. Maka, agar jangan timbul hal-hal yang tak diinginkan, segala upaya dilakukan, agar perut tetap
terganjal.
Pagi itu, sudah ada yang menjual mi instan di depan maktab. Hanya satu orang. Tentu jamaah berebutan. Tiga Riyal satu gelas (sekitar Rp7.500), sementara air teh manis dua Riyal secangkir.
Terdengar pula ada yang buka dapur umum. Katanya orang Amerika dan mereka sudah bagi-bagikan nasi serta buah-buahan untuk jamaah yang meminta ke sana. Saya yang coba melihat langsung, ternyata dapur umum itu digagas jamaah Maroko yang kemahnya berdepan-depan dengan maktab kami.
Di sinilah kami melihat sendiri pemandangan yang memiriskan, jamaah haji Indonesia meminta-minta. Menampungkan wadah apa saja untuk mendapatkan seporsi bubur, bukan nasi, yang dimasak di dalam wajan besar oleh jamaah Maroko yang membuka dapur umum. Yang lainnya, membagi-bagikan buah-buahan. Ada yang diserahkan ke tangan-tangan yang berebut menampung, ada yang dilemparkan untuk ditangkap! Ada rasa terhina sebagai bangsa dengan jumlah jamaah hajinya yang konon terbesar ini, mengemis soal makanan. Memilukan, sekaligus memalukan!
Solidaritas memang bermunculan. Seperti diakui ketua kloter 9 H Muchtaruddin, ia menerima satu porsi besar makanan yang dapat dimakan bersama oleh 40 lebih jamaah, yang diberikan oleh jamaah haji Turki. Sempat juga memborong mi gelas, beri air dan dibagikan ke jamaah. Ada juga uluran bantuan yang dibawa langsung oleh H Mosleh, yang memang punya jalinan khusus dengan jamaah asal Pekanbaru, karena dia lah yang membantu menjadi pemandu di Makkah sekaligus membantu pelaksanaan dam dan qurban sebagian jamaah
asal Pekanbaru.
''Saya ditelepon Pak Muchtar. Tapi mobil tak dapat masuk ke sini. Jadi terpaksa jalan kaki sejak dari Jabal Rahmah, memintas dua bukit sejauh tujuh kilo. Jadinya, sedikit yang terbawa,''katanya, sambil memijat kakinya. Sandalnya tak utuh lagi.
Bagaimana pun kritisnya keadaan, toh ketika saat wukuf tiba saat matahari mulai tergelincir siang itu, ibadah penting itu tetap dapat dilaksanakan dengan khusyuk dan lancar. Malah terasa ada nilai lebihnya. Entah apalah itu, yang pasti sajadah di atas
Padang Arafah kala itu basah oleh guyuran air mata jamaah, tanpa dapat dibendung lagi.
Di kelompok kami, salat yang diimami ustad Drs H Yusriyun, ketua rombongan 1 dan kutbah Arafah yang disampaikan ustad Drs H Kawiyun Aziz, benar-benar meresap ke kalbu yang paling dalam. Di situlah, air mata benar-benar tak dapat terbendung. Inilah suasana haji yang paling bikin hati dan nyali ciut. Tak ada yang kering pipinya. Apalagi di tanah air terbetik pula kabar, bencana di mana-mana, musibah tak putus-putus. Maka, kami pun berdoa
untuk itu semua, sekaligus untuk ''musibah'' yang melanda kami.
Sampai wukuf berakhir, magrib menghampiri, rata-rata belum ada jamaah yang mulutnya dihampiri nasi, kecuali makan seadanya. Begitu terus, sampai kami harus bersiap-siap untuk diberangkatkan ke Muzdalifah.(amzar/bersambung)
Wukuf Lancar, Walau Menggigil Berlapar-lapar
Setiap yang pergi haji pasti punya pengalaman pribadi di tanah suci. Tapi untuk musim kali ini, semua jamaah haji reguler Indonesia, termasuk wartawan saya dari ''Riau Pos'', punya catatan yang nyaris serupa untuk satu hal: sama-sama mengalami bagaimana rasanya
tidak makan selama tiga hari di Arafah dan Mina, di tengah dinginnya cuaca, saat tubuh hanya dibalut dua helai kain ihram.
Laporan AMZAR, Pekanbaru
amzartpi62@gmail.com
SEBENARNYA banyak sisi menarik yang ingin didedahkan untuk berbagi rasa tentang banyak pengalaman selama hampir 40 hari perjalanan menunaikan rukun Islam kelima ini. Namun, banyak usulan ke ''Riau Pos'' untuk mendulukan soal yang paling menghebohkan pada
musim haji tahun ini. Cerita dari yang mengalaminya langsung, akan lebih ditunggu.
Kamis (28/12/2006) itu, adalah hari keberangkatan ke Arafah. Di pemondokan Al-Jenadria Towers Hotel di kawasan Shaib Amir, Distrik I As-Sulaymaniah, Makkah, jamaah sudah bersiap-siap sejak pagi sekali. Ada yang pada pukul 10.00 sudah memakai ihram.
Sebelumnya, sesuai anjuran, kami sudah menitipkan barang-barang berharga, khususnya uang, baik Riyal maupun Rupiah, ke maktab, karena akan meninggalkan pemondokan kurang lebih sepekan.
Jadinya, nyaris semua jamaah tidak membawa uang banyak ke Arafah dan Mina karena di sana nanti lebih fokus ke ibadah. Soal konsumsi di Arafah, seperti gambaran sejak dari tanah air, akan cukup tersedia. Tak ada isyarat lain. Hanya memang, sehari sebelumnya, seluruh ketua kloter diundang ketua maktab Syech Jamal Yasin Ashor. Selain menjelaskan teknis keberangkatan, ia juga membeberkan soal katering yang kini tidak lagi dikelola maktab atau muasasah, diambil-alih misi haji Indonesia. Terdengar biasa saja dan tidak terlalu dirinci. Namun penegasan soal katering itu, sudah dituangkan pada secarik kertas seukuran kuarto dan para ketua kloter diminta membubuhkan tanda tangan di bawahnya, mengetahui maklumat itu.
Begitulah, jamaah yang sudah bersiap sejak pagi, akhirnya baru bergerak ke dalam bus untuk meninggalkan pemondokan sekitar pukul 13.00. Ada yang sempat makan siang, tapi kebanyakan hanya terisi perutnya saat sarapan pagi tadi. Perjalanannya, lancar-lancar
saja, karena Alhamdulillah, tidak begitu banyak titik kemacetan yang dijumpai. Di bawah jalan tol yang dilintasi, sejak dari Mina sudah memutih oleh jamaah berbilang bangsa, sibuk memasang tenda seadanya di bawah terik matahari. Mereka jamaah non-kloter yang
baru akan bergerak ke Arafah menjelang wukuf dinihari nanti.
Belum masuk hitungan satu jam, kami sudah sampai di Arafah, menuju kemah yang sudah ditentukan dan saya ikut memandu karena sebelumnya memang ikut survey lokasi yang akan ditempati. Di awal-awal kedatangan memang belum kentara akan ada masalah, karena jamaah masih disibukkan aktifitas mengenal lokasi, menata peralatan yang dibawa, membentang tikar lipat dan sedikit rehat.
Fasilitas memang ala kadarnya. Bergolek-rebah di atas tikar agar tidak bersentuhan langsung dengan alas pertama di atas pasir Padang Arafah, berbantalkan tangan atau tas tentengan. Tak ada pendingin udara. Hanya andalkan AC alam, juga rimbunan pepohonan
yang di sana dikenal dengan ''Pohon Soekarno.''
Hembusan angin dingin kerap menembus celah kemah yang memang tidak seluruhnya tertutup rapat. Lampu neon hanya terpasang pada beberapa sudut pintu masuk kemah. Ini agar malam dapat lebih ''aman'' tidurnya karena antara jamaah pria dan wanita hanya dipisahkan jejeran tas tentengan, sementara jamaah lelaki memakai ihram, yang bisa saja terkuak-tersingkap saat terlelap. Padahal, tak ada sehelai pun pelapis lain di balik kain ihram!
Menjelang petang, masalah mulai dirasakan. Terlebih yang saat berangkat tadi belum sempat mengisi perut. Nasi kotak yang ditunggu tidak kunjung muncul. ''Ah, barangkali masih di perjalanan, ntar juga sampai.'' Itu anggapan sebagian jamaah, sambil terus melakukan rangkaian ibadah, berzikir dan membaca Alquran.
Malam tiba, dingin menyergap. Kabar soal konsumsi tetap belum jelas. Mana yang tadi sempat membawa bekal roti, buah-buahan dan makanan ringan lainnya, coba mengganjal perut dengan itu, berbagi dengan rekan lain. Jamaah pria banyak yang ke luar kemah untuk
mencari tahu soal konsumsi ini. Eh, ternyata bukan hanya kami.
Semua jamaah di tenda sebelah-menyebelah, pada mengeluhkan hal yang sama. Pihak maktab yang dikerubungi tidak dapat berbuat banyak dan sekali lagi menjelaskan bahwa hal itu bukan lagi tanggungjawab mereka. Maklumat tentang itu mereka tempel besar-
besar. Kendati begitu, ada juga gurat kerisauan di wajah Syech Jamal Yasin Ashor yang kafiyehnya tak pernah lepas itu. Bagaimana tidak, ribuan jamaah yang berada di maktab yang ia pimpin dan perwakilannya ada di depannya ini, terancam kelaparan.
Para ketua kloter tak kalah sibuk dan risau. Coba kontak sana-sini, tapi tak ada sinyal-sinyal positif dari pihak-pihak yang dihubungi. Tak jelas lagi kepada siapa mengadu. Melapor ke pejabat Depag yang sama-sama berada di tanah suci, eh ternyata sama-
sama belum mendapatkan jatah nasi. Repotnya lagi, ada pun uang di saku, yang berjualan nasi tak ada. Ini Padang Arafah, Wak!
Ketua kloter kami, Drs H Muchtaruddin SH, sepanjang malam itu, bersama beberapa ketua rombongan dan regu terus mencari peluang bagaimana mengatasi --sementara-- krisis ini. Saat menghubungi sektor, bukan solusi yang didapat. Mereka seakan raib, karena
memang sama-sekali tidak punya solusi dan boleh jadi bakal jadi sasaran emosi jamaah.
Krisis tak teratasi, sementara malam makin larut dan dingin. Sebagian jamaah sudah tertidur dengan posisi tubuh meringkuk. Bukan saja karena dinginnya cuaca, tetapi lebih karena perut belum terisi secara semestinya. Lagi pula, besok akan melaksana
kan puncak ibadah haji, Wukuf di Arafah. Saya yang coba tidur sejenak, terjaga lagi pukul 00.30. Bersama jamaah lain, segera ambil wuduk untuk salat tahajut. ''Brrrr...dinginnya!'' Belum dibasahi air, baru saja bersinggungan dengan udara luar tenda, badan bergetar hebat, menggigil bersentuhan dengan cuaca dingin menusuk. Juga setelah berwuduk, untuk kembali ke tenda rasanya sangat jauh karena kaki yang dilangkahkan reflek merapat satu sama lain sehingga jalan jadi berjingkat. Tangan bersidekap mempertautkan dua ujung kain ihram ke dada. Kepala, memang tidak
boleh ditutup. Dingin betul-betul menusuk ke tulang!
Banyak yang melaksanakan salat tahajut di keheningan larut malam itu. Ada yang masih berzikir dan membaca Alquran. Mungkin suasana serupa juga terjadi di tenda lainnya.
Azan di subuh Jumat, (29/12) bertepatan dengan 9 Zulhijah menurut kalender hijriah di Tanah Suci, berkumandang syahdu dan merindingkan bulu kuduk. Megaphone membantu mengeraskan suara muazin. Usai ibadah salat subuh, jamaah sudah ke luar tenda, mencoba mencari kejelasan status konsumsi, karena sudah hampir 24 jam di lokasi, serba tak jelas. Apalagi hari ini pelaksanaan wukuf. Jamaah sudah berdiri di tepi gerbang maktab, menanti dan menanti. Tiap kendaraan yang melintas, distop kalau-kalau membawa makanan.
Sementara yang mengaktifkan ponsel, sibuk menerima suara-suara cemas dari keluarga di tanah air. Ternyata, sepagi itu (jelang siang di tanah air, red), kabar kelaparan itu sudah menyebar ke negeri tercinta. Dan ternyata bukan hanya kami, tetapi seluruh jamaah reguler Indonesia! Jaringan luar biasa sibuk. Saya yang kali ini coba mengirim berita awal ke kantor, beberapa kali gagal terkirim. Pas pula tenaga batere di ponsel tinggal segaris.
Di Arafah, nyaris tak dijumpai tempat untuk menyambungkan charger. Ada dekat toilet, tapi arusnya diputus. Syukur di detik terakhir berita dapat terkirim: ''Ribuan Jamaah Indonesia Kelaparan!'' Ditulis dengan perasaan, diujung rasa sabar, yang, syukur, masih tersisa.
Saat Wukuf semakin dekat. Tekad sudah bulat bagi semua jamaah, bagaimana pun inilah puncak pelaksanaan ibadah haji dan jangan sampai terusik oleh hal apa pun. Maka, agar jangan timbul hal-hal yang tak diinginkan, segala upaya dilakukan, agar perut tetap
terganjal.
Pagi itu, sudah ada yang menjual mi instan di depan maktab. Hanya satu orang. Tentu jamaah berebutan. Tiga Riyal satu gelas (sekitar Rp7.500), sementara air teh manis dua Riyal secangkir.
Terdengar pula ada yang buka dapur umum. Katanya orang Amerika dan mereka sudah bagi-bagikan nasi serta buah-buahan untuk jamaah yang meminta ke sana. Saya yang coba melihat langsung, ternyata dapur umum itu digagas jamaah Maroko yang kemahnya berdepan-depan dengan maktab kami.
Di sinilah kami melihat sendiri pemandangan yang memiriskan, jamaah haji Indonesia meminta-minta. Menampungkan wadah apa saja untuk mendapatkan seporsi bubur, bukan nasi, yang dimasak di dalam wajan besar oleh jamaah Maroko yang membuka dapur umum. Yang lainnya, membagi-bagikan buah-buahan. Ada yang diserahkan ke tangan-tangan yang berebut menampung, ada yang dilemparkan untuk ditangkap! Ada rasa terhina sebagai bangsa dengan jumlah jamaah hajinya yang konon terbesar ini, mengemis soal makanan. Memilukan, sekaligus memalukan!
Solidaritas memang bermunculan. Seperti diakui ketua kloter 9 H Muchtaruddin, ia menerima satu porsi besar makanan yang dapat dimakan bersama oleh 40 lebih jamaah, yang diberikan oleh jamaah haji Turki. Sempat juga memborong mi gelas, beri air dan dibagikan ke jamaah. Ada juga uluran bantuan yang dibawa langsung oleh H Mosleh, yang memang punya jalinan khusus dengan jamaah asal Pekanbaru, karena dia lah yang membantu menjadi pemandu di Makkah sekaligus membantu pelaksanaan dam dan qurban sebagian jamaah
asal Pekanbaru.
''Saya ditelepon Pak Muchtar. Tapi mobil tak dapat masuk ke sini. Jadi terpaksa jalan kaki sejak dari Jabal Rahmah, memintas dua bukit sejauh tujuh kilo. Jadinya, sedikit yang terbawa,''katanya, sambil memijat kakinya. Sandalnya tak utuh lagi.
Bagaimana pun kritisnya keadaan, toh ketika saat wukuf tiba saat matahari mulai tergelincir siang itu, ibadah penting itu tetap dapat dilaksanakan dengan khusyuk dan lancar. Malah terasa ada nilai lebihnya. Entah apalah itu, yang pasti sajadah di atas
Padang Arafah kala itu basah oleh guyuran air mata jamaah, tanpa dapat dibendung lagi.
Di kelompok kami, salat yang diimami ustad Drs H Yusriyun, ketua rombongan 1 dan kutbah Arafah yang disampaikan ustad Drs H Kawiyun Aziz, benar-benar meresap ke kalbu yang paling dalam. Di situlah, air mata benar-benar tak dapat terbendung. Inilah suasana haji yang paling bikin hati dan nyali ciut. Tak ada yang kering pipinya. Apalagi di tanah air terbetik pula kabar, bencana di mana-mana, musibah tak putus-putus. Maka, kami pun berdoa
untuk itu semua, sekaligus untuk ''musibah'' yang melanda kami.
Sampai wukuf berakhir, magrib menghampiri, rata-rata belum ada jamaah yang mulutnya dihampiri nasi, kecuali makan seadanya. Begitu terus, sampai kami harus bersiap-siap untuk diberangkatkan ke Muzdalifah.(amzar/bersambung)
1 komentar:
ikut sedih pak membacanya....kebetulan rombongan saya tidak mengalami kelaparan karena sebelum ke arafah kami mabit (bermalam) di Mina....sesudah subuh kami baru berangkat ke Arafah...dan kami sudah menyiapkan bekal sendiri untuk di arafah....setiba di Arafah kami heran dengan jamaah sekitar tenda kami yg meminta makanan kepada kami dan sebagian lagi mengais-ngais makanan bekas makan kami di tong sampah....kami baru sadar tentangbencana kelaparan itu setelah menerima sms dari tanah air....semoga kejadian itu tidak terulang lagi
Posting Komentar