Rabu, 18 Juni 2008

Buku1

Kebayang Gak Siapa yang Baca?

oleh AMZAR

PERANGAI yang satu ini jangan sekali-kali kamu tiru jika memang ingin jadi pewarta, kini atau masa depan. Selesai ngetik, lalu di saving, serahkan ke editor, lalu cabut. Tak diedit lagi. Malas ngebaca ulang. Masa bodoh dan enteng saja ngomong: ''Ah, itu kan tugas redaktur!''

Esoknya pun tak mau tahu macam mana tulisan kita tampil. Makin cantik setelah dipoles editor, atau malah jadi belepotan. Atau jangan-jangan tak naik. Syukur kalau lolos tanpa ada cacat.


Padahal, teori yang ada secara manis merumuskan bahwa membaca dan mengedit kembali tulisan/berita yang sudah dibuat adalah keharusan. Ini untuk memastikan apakah berita yang ditulis sudah sesuai penugasan, memenuhi syarat-syarat jurnalistik, tujuan jurnalistik, dan ini nih yang penting: laku dijual.

Memang ada perangai buruk yang --celakanya-- masih ada yang getol memeliharanya. Tak mau becermin diri. Enggan belajar untuk tampil lebih kemas. Tak ngaku bahwa kita belum ada apa-apanya dibanding mereka-mereka di luar sono.

Ya, di luar sana, itulah sebenarnya cermin besarnya. Tempat kita berkaca sekaligus mengukur diri.

Kalau di bilik redaksi, atau mungkin di kamar sendiri, saat mengetik berita, barangkali kamu tak merasa bagaimana kelak jika tulisan ini besok sudah tercetak dan terpublikasi. Bisa jadi yang terpikir hanya, bagaimana cepat selesai. Toh, kemarin-kemarin juga gitu. Aman-aman saja kok.
Celaka kalau pikiran begitu terus dipelihara. Atau kamu meniru perilaku itu dari seniormu? Jangan dong. Yang bagus aja yang diadopsi. Entah kalau kamu pengen nyesal di ending cerita! Kamu mesti ingat bahaya laten ini: Tidak mengedit ulang dan salah dalam penulisan adalah wartawan ceroboh, pemalas dan suka mencelakakan diri sendiri atau malah membuat banyak orang ikut celaka. Wuih, besarnya dosamu.

Bagusnya, saat ngetik berita atau tulisan untuk dipublikasikan, atau malah sebelum diketik, kita sudah berpikir untuk sehari kemudian. Besok, bagaimana ya reaksi pembaca. Eh, siapa saja ya yang membaca koran saya ini, khususnya berita atau tulisan saya ini?

Tahu nggak, sebenarnya filter yang paling utama ada pada kita sendiri. Coba tulisan yang udah selesai kamu bikin itu kamu baca lagi. Tertarik nggak kamu. Paham gak kamu jalan ceritanya. Trus, komplit gak informasinya. Kalau kisahnya sedih, apakah kamu ikut terharu ngebacanya. Kalau storinya horor, merinding gak kamu dibuatnya. Toh, untuk ngukur yang gitu tu, kita semua sama-sama diberi anugerah perangkat yang sama oleh Yang Maha Kuasa.

Kalau ini dibiasakan, pasti asyik lo. Kita akan merasa kurang sreg kalau lagi asyik membaca, eh ada yang salah ketik, apalagi kalau itu sampai mengubah makna. Itu juga yang dirasakan pembaca lain. Tak ada obat lain kecuali perbaiki segera. Atau ada kalimat yang gak nyambung antara satu alinea dengan alinea berikutnya, atau ada pengulangan kata yang akan lebih indah komposisinya jika dicarikan padanannya yang lain. Banyak lo keasyikan yang bakal kamu jumpai dalam proses menyempurnakan tulisan itu.

Tapi, ya tetap harus pegang kunci utamanya juga: patuhi deadline, batas waktu. Itu syarat yang wajib dipatuhi, tapi jangan pula itu jadi kambing hitam. Alasan kejar tayang untuk kemudian tak kemas dalam membuat berita atau tulisan, adalah kuno. Pembaca mana mau tau apa masalah kita. Yang jelas, mereka akan kecewa jika sajian kita tak mengena di hati. Ini akan parah jika sudah berkembang menjadi antipati. Apa gunanya bikin koran jika kita justru gagal membuat pembaca menjadi dekat?

Kamu kan pernah berada di ruang tunggu bandara, terminal bus, pelabuhan laut, atau di pangkalan ojek. Atau lihat bagaimana perilaku orang di lobi hotel? Pasti ada kamu jumpai mereka yang mengisi waktunya dengan membaca koran atau majalah. Gimana perasaan kamu jika yang dibaca mereka itu koran kamu, majalah kamu, atau bahkan berita atau tulisan hasil karya kamu?

Ya itu tu. Hasil karya kamu yang kini dipublikasikan, bakal dibaca oleh banyak orang dengan beragam tingkah laku, strata, tingkat pendidikan, kedudukan dan sebagainya. Koran kamu ada di ruang baca atau kantor gubernur, bupati, wali kota, kepala dinas, guru --mulai guru honor hingga guru besar--, ibu kos, paman tetangga sebelah, manajer hotel, direktur, pengusaha, pedagang, pokoknya seabreg lah.

Atau dipegang oleh Pak menteri yang berkunjung ke sini, artis kondang yang mentas di sini, etc, etc. Belum lagi jika publikasinya juga disebarkan melalui dunia maya, lewat internet. Karyamu bakal tak terbendung, tersebar ke mana-mana, ke tempat yang tak terhingga!

Banggalah kamu jika di antara rubrik yang dibaca itu, salah satu yang menjadi favorit adalah hasil karya kamu, ya berita, ya feature, atau bentuk lain yang bisa kamu hasilkan.

Jadi, sedari dini mestinya disadari bahwa mulai dari kelas kroco sampai ke CEO adalah konsumen koran atau majalah kamu. Mereka adalah raja dan penentu masa depan koranmu, dan kamu juga. Makanya, jangan pernah bikin mereka kecewa. Jangan lagi asal bikin berita atau berita asal bikin.

Walau pendapatan kita berbeda, kamu pasti sependapat bahwa wartawan adalah sebuah profesi. Kamunya boleh busung dada bakal disebut (kaum) profesional. Nah, ini ni, seorang profesional itu dihargai karena karyanya. Seorang wartawan bukan terkenal karena dia pemimpin di sebuah surat kabar, bukan karena pintar melobi, cari muka, atau pintar berpidato. Seorang wartawan akan dikenal, dihargai dan bermartabat di mata masyarakat karena tulisan-tulisannya, berita-beritanya, karya jurnalistiknya, bukan karena hal lain.***

(dimuat di buku Menjadi Wartawan Masa Depan, terbitan Riau Pos, 2007)

Tidak ada komentar: