Jumat, 20 Juni 2008

Pendidikan1

Tahun Ajaran Baru

Oleh
Amzar


SEORANG rekan mengeluh. Ia yang baru pindah tugas ke Pekanbaru, bingung mau mendaftarkan anaknya yang sudah menapak di usia TK. Karena terlambat, banyak sekolah yang sudah penuh. Yang tersisa pun pasang tarif tinggi, tentu saja menurut ukuran rekan ini. Biaya yang harus dipenuhi mulai dari uang bangku, uang baju, dan beragam lagi uang ini-itu.

  Keluhan senada, melaung dari rumah tetangga. Ia masih melenguh, padahal, anaknya diterima di salah satu SMK negeri. Pasalnya, ia tak punya persediaan cukup untuk melengkapi syarat uang ini-itu yang nilainya dalam hitungan juta. Waktu untuk memenuhinya mepet pula.


  Ada lagi berita di koran ini. Seorang anak yang punya reputasi bagus saat ikut olimpiade sains dan matematika tingkat nasional, terpukul hebat saat mengetahui namanya tidak masuk dalam senarai mereka yang diterima di salah satu SMP negeri idamannya. Orang tuanya pun kelimpungan.

  Ya, beragam hal seperti ini kerap terulang, setiap tahun sekitaran bulan Juli, saat hampir semua orang tua menghadapi kesibukan khusus menyangkut pendidikan anak-anaknya. Tak hanya sibuk, tapi juga pusing. Ya, pusing saat mendaftar, juga ketika diterima. Bertambah pening lagi, bila tidak diterima.

  Masalahnya, mendaftar untuk sekolah ternyata tidak segampang diperkirakan. Lebih tidak mudah lagi jika ada orang tua yang tak ingin mendaftarkan anaknya di sembarang sekolah. Terkadang, ada orang tua yang ngotot mendorong anaknya hanya ke sekolah yang dianggap favorit. Entah untuk alasan apa, tetap saja masalahnya semakin rumit.

  Mengapa harus lebih rumit? Karena sekolah yang dianggap unggulan akan menampung pendaftaran yang jauh lebih besar dari kapasitas tampung. Bayangkan saja, jika satu sekolah terpaksa mendaftar ribuan calon siswa sedangkan kapasitas yang harus diterima hanya dua ratus siswa misalnya.

  Dipastikan akan terjadi persaingan sangat tajam serta ketat dan proses seleksi akan semakin membuka peluang yang bisa mencederai pendidikan itu sendiri. Peluang untuk main belakang, lewat jendela, katabelece, telepon-telepon yang menggoda dan potensial menjadi KKN akan ikut memberi suasana kasak-kusuk di antara berbagai pihak.

  Itu akan terjadi hanya untuk suatu obsesi: pendidikan yang lebih baik. Antara kepala sekolah yang memiliki otoritas, pejabat-pejabat yang merasa punya kekuasaan dan para orang tua yang kaya bisa terlibat dalam permainan tahu sama tahu. Begitulah, suasana tahun ajaran baru, selalu seru.

  Dalam pekan-pekan ini, kita harus menerima kenyataan dunia pendidikan kita yang belum juga lebih baik dari tahun sebelumnya. Artinya, pendidikan yang menjadi kebutuhan dan tanggung jawab kita ternyata tetap menjadi masalah serius dari bangsa ini.

   Belum lagi kalau kita berbicara tentang praktik-praktik pendidikan yang tidak adil. Tidak adil karena kadang-kadang anak yang cerdas ternyata belum tertampung oleh sistem dan kebijakan pendidikan yang ada. Dia bahkan punya pilihan lain yang terkesan ironis, yakni tak menyekolahkan anaknya karena tak mampu menyiapkan biaya. Dalam konteks yang seperti ini pendidikan bukan saja menjadi tidak adil, tetapi sekaligus menjadi tragedi.***

(Bahan CATATAN AKHIR PEKAN di Riau Pos Ahad, 16 JULI 2006)

Tidak ada komentar: