Pengakuan Korban Traficking tahun 2003
''Laras Nggak Tahu Mau Dibawa ke Hotel...''
Tidak ada sama sekali upaya menghindari sorot kamera yang mengarah ke mereka, siang itu. Malah sebagian dari sekumpulan wanita muda itu ada yang cekikikan, ada yang asyik dengan kepulan asap rokoknya. Cara duduk, berdandan dan busana yang mereka kenakan sudah bisa menggambarkan apa profesi mereka. Lokasinya, teras lantai dua salah satu bangunan di Batam.
ITU bukan gambaran salah satu penggalan sinetron, tetapi fakta dari bagian sebuah film dokumenter yang mengisahkan tentang ''Perdagangan Perempuan dan Anak Indonesia'' yang diputar perdana secara khusus awal Juni (2003) lalu di sela dialog publik mengupas hal yang sama, di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Batam memang menjadi sorotan dalam film dokumenter yang diproduksi Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) Jakarta, sekaligus pemrakarsa dialog publik tersebut. Memang ada penggalan kisah lain dari praktik perdagangan wanita dalam film dokumenter tersebut, seperti di Singkawang, Kalimantan Barat sampai ke kawasan Malaysia Timur di utara Kalimantan.
Tetapi, Batam tetap menjadi fokus, karena dalam dialog publik ini terungkap bahwa Batam bukan hanya sebagai tempat transit, tetapi juga sebagai tujuan utama para wanita korban trafiking tersebut. Sebagian dari korban itulah, yang ditampilkan dan memberikan pengakuan dalam film dokumenter tersebut.
Suasana di ruang seminar menjadi hening ketika satu per satu pengakuan polos mereka ungkapkan secara langsung dan blak-blakan. Siapa yang tidak akan bergidik mendengar penuturan ABG berusia 14 tahun yang di film dokumenter tersebut hanya terlihat tampilan wajahnya dari hidung dan mulutnya saja. Suaranya sedikit tercekat
ketika menceritakan saat kehilangan kegadisannya, yang ditebus dengan uang Rp700 ribu setelah sebelumnya ditipu oleh teman yang menjanjikan pekerjaan kepadanya.
''Laras dibawa ke hotel. Laras nggak tau mau dibawa ke hotel, terus Laras dipaksa dan dikasi uang. Uang itu diambil oleh teman Laras yang bawa Laras ke Hotel. Laras ditipu, gadisnya Laras diambil, dibayar Rp700 ribu...'' Meluncur saja kalimat-kalimat mengejutkan dari mulut ABG ini.
Pengakuan lainnya yang meluncur dari mulut ABG ini juga membuat suasana di Auditorium Perpustakaan Nasional, kembali senyap. Beberapa peserta terdengar bergumam.
Seakan menumpahkan isi hatinya ke semua yang hadir di ruangan itu, Laras menceritakan pengalaman pahitnya yang sulit untuk menghindar dari keinginan si penikmat, yang ada di antaranya minta dilayani habis-habisan sebanyak delapan kali pada satu kesempatan kencan semalaman. Juga bagaimana ia dengan lugu menceritakan upaya seadanya mengatasi resiko fatal akibat terpaksa melayani beragam lelaki hidung belang, yang di antaranya mengirimkan benih penyakit.
''...Laras pernah kena penyakit jengger ayam itu, ya. Laras jadi nggak kerja-kerja habis sakitnya bukan main. Laras nggak bisa tidur, Laras nangis terus nahan sakit. Jadi, Saras tuh ngobatin sendiri, ya, gimana sih. Ada sih teman Laras namanya si Dita, dia nggak jijikan, jadi sama dia dibersihin itunya Laras, dilapin pake air anget, cuma sakit sekali, lalu pake alat pembakar, ditusuk-tusuk...''
Kenapa sampai terkena penyakit berbahaya di usia semuda itu, tentu bukan hal yang mengherankan mengingat penikmat yang dikencaninya tidaklah menjalani proses selektif. Juga tidak ada kesempatan untuk berkeras meminta proteksi dari si penikmat.
''Habis tamu nggak mau pake kondom. Kalau Laras bilang 'abang pake kondom,' Laras disuruh pulang, terus dimarahin ''mami.''
Kesaksian Laras belum cukup. Ada lagi korban trafiking lain di Batam yang ditampilkan dalam film dokumenter tersebut. Sebut saja namanya Leni, seorang pekerja seks yang baru berusia 16 tahun.
Kalau ''yuniornya'' Laras berkisah tentang penyakit yang dideritanya, Leni bahkan sempat mengalami akibat yang lebih serius, di mana benih yang disemai oleh si penikmat tumbuh bersemi di rahimnya. Ini tidak dikehendakinya dan ia punya cara sendiri untuk mengatasinya. Seperti ini pengakuannya:
''Minum jamunya mami Ati, kan, Kunyit asam. Pas udah minum itu, dua hari ada keluar darah. Darahnya sedikit-sedikit keluar, kirain darahnya lek'an (menstruasi, red )gitu, kan. Senenglah saya kalau lek'an. Tahunya udah jadi dalam perut ini. Kok darahnya
ngerumpul-ngerumpul, gitu, kan. Kecil-kecil darahnya, kan. Saya biarkan saja. Udah lama-lama saya makan mie ayam, pake cuka. Mungkin dari itu kali ya, dia jatuh kali, ya. Keluar semua darahnya tuh, habis darahnya ngerumpul-ngerumpul besar. Jadi, saya baringkan badan. Setelah itu pas saya mau kencing, langsung jatuhlah itu bayinya. Langsunglah saya buang, nggak saya tanam.''
Kisah-kisah yang ditampilkan itu tentu saja bukan dimaksud untuk sekadar memberitahu bagaimana dan apa yang sesungguhnya dialami para korban trafiking ini. Mereka memerlukan hal yang lebih serius dari hanya sekadar rasa prihatin, rasa terkejut dan bentuk simpati lainnya. Lebih dari itu, sebenarnya mereka ingin lepas dari sindikat yang membelenggu mereka dalam ikatan yang cukup kuat itu.
Suara mereka, bukan tidak ada yang mendengar, bukan tidak ada yang tahu, bukan tidak ada yang ingin membantu. Ada memang, upaya ke arah itu, seperti di antaranya yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) Jakarta, yang dengan koordinasi bersama banyak pihak, berhasil membebaskan Adisa (30 tahun), seorang korban trafiking yang dijerumuskan ke komplek prostitusi di Tanjungbalai Karimun.
Kisah Adisa ini, juga termuat di film dokumenter tersebut. Dia bertutur: ''Cara calo memang tergolong lihai, hebat gitu istilahnya. Calo-calo yang dipakai juga teman-teman kita sendiri. Pokoknya mereka menjanjikan macam-macam, gaji segini, jaminan ini-itu.
Tapi ternyata bohong belaka. Aku ditipu, dijual sekitar tiga jutaanlah. Orang yang membeli aku mengurung aku selama satu minggu, tidak dikasih makan dan minum, lalu pada malam harinya aku dimasukin tamu. Minggu depannya aku disuruh tanda tangan
perjanjian dan baru boleh keluar kalau utang-utang sudah lunas. Tapi utang-utang tambah dari yang tiga juta, utang ditambah makan kalau tidak ada tamu atau biaya dokter dan seterusnya. Jadi utang tidak akan bisa selesai. Bagaimana aku bisa lapor polisi? Mereka
bukan bantu kita, anak-anak yang ngadu atau lari diantar lagi ke ''mami'', mereka justru yang ngejar, pokoknya susahlah....''
Adisa mengaku punya tiga orang anak, yang besar berusia 9 tahun. ''Dia sering telepon, kapan mama pulang...'' kata Adissa yang kemudian tak mampu membendung air matanya, menangis terisak-isak.
Kisah Adisa ini memang menarik, karena termasuk salah seorang yang diperjuangkan pembebasannya oleh Yayasan Jurnal Perempuan, seperti yang ditulis sendiri oleh Direktur Eksekutifnya, Dr Gadis Arivia dalam Jurnal Perempuan edisi 29, 2003 yang diedarkan kepada peserta dialog publik tersebut.
Menurut Gadis Arivia, Adisa yang ditipu dan dijual ke Tanjungbalai Karimun itu, pembebasannya memakan waktu yang cukup lama setelah dibantu oleh Kantor Menko Kesra, Mabes Polri dan Polres Tanjungbalai.
Perjalanan Adisa sendiri memang berliku sebelum terdampar di Tanjungbalai Karimun. Tergiur oleh ajakan temannya, ia tidak lagi berpikir panjang saat meninggalkan semua yang dicintainya.
Awalnya, ia memang berharap dapat bekerja di Malaysia seperti tawaran yang ia terima. Apalagi dengar-dengar, gaji di negeri jiran itu cukup besar untuk Adisa yang hanya berijazah SMA. Ditambah lagi keruwetan saat itu, selepas ia bercerai dengan suaminya saat baru 40 hari melahirkan anak ke-tiganya.
Namun keinginannya mengubah nasib sekaligus membantu ibu dan adik lelakinya, menjadi berantakan, karena ternyata ia ditipu, dijual ke ''mami'' di Tanjungbalai dan kemudian dijual lagi ke lokalisasi prostitusi, dengan satu kisah sedih yang petikannya
secara langsung disampaikannya di atas tadi.
Dalam tulisannya, Gadis Arivia menjelaskan bagaimana persoalan Adisa menjadi perhatian serius, bahkan nyaris gagal walau sudah dikomunikasikan ke berbagai pihak. Pesan Adisa diakui sangat menghantui untuk segera mencari jalan keluar. LSM Kaseh Puan yang membantu mendampingi Adisa juga terus mengontak memberitahu
perkembangan Adisa. Baru ada titik terang ketika masalah ini sampai ke Kantor Menko Kesra, di mana Dirjen Kesra Dr Tuning menindaklanjuti laporan YJP
.
Lantas, seperti ditulis Gadis Arivia, pada hari Jumat, tanggal 18 April 2003 atas upaya Mabes Polri, Polres Tanjungbalai menjemput Adisa di rumah maminya. Pada hari Sabtu, tanggal 19 April 2003, Adisa dibawa ke Batam dan akhirnya pada 20 April 2003 pukul 17.00 tim YJP menjemput Adisa di Bandara Soekarno-Hatta.
Wanita malang ini sempat diantar ke Mitra Perempuan, salah satu organisasi women crisis center di Jakarta untuk ci-councelling beberapa hari. Baru pada hari Rabu, 23 April 2003, Adisa diantar ke rumahnya di Jawa Barat menemui keluarganya.
Ibu tiga anak ini memang akhirnya diselamatkan dan dipulangkan ke Cimahi, Bandung. Namun pembebasan ini sendiri telah memakan waktu, tenaga dan melibatkan pihak-pihak berkuasa yang tidak sedikit. Padahal terdapat ratusan perempuan lainnya, banyak Adisa-Adisa yang juga ingin dibebaskan.
Sebab, seperti disampaikan Dra Lola Shirin Wagner, aktivis Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan (YMKK) Batam pada dialog publik tersebut, dari sekitar 230 ribu pekerja seks di Indonesia (mengutip penelitian Jones Lindquist tahun 1995). Diperkirakan yang beroperasi di Kepulauan Riau termasuk Kundur, Karimun dan Bintan pada tahun 1999 berjumlah 10 ribu orang. Separuh dari jumlah tersebut melakukan aktifitasnya di Batam .
Dalam Jurnal Perempuan edisi 29/2003 Lola Wagner juga menulis bahwa dari 300 orang pekerja seks yang didampingi YMKK selama sekitar tiga tahun, menemukan adanya 34 orang anak perempuan berusia di bawah umur yang dilacurkan, dan sekitar 10 persen dari
jumlah total pekerja seks.
Lantas, tidak adakah upaya perlindungan terhadap mereka, para korban trafiking ini? Para aktifis umumnya menyebut masih minim, komitmen pemerintah memberantas perdagangan manusia.
Ironisnya, kata aktivis perempuan Rita Serena Kalibongso, kendati sejumlah instrumen hukum sudah tersedia, ternyata aparat penegak hukum belum bereaksi maksimal. Dicontohkan UU Perlindungan anak hampir-hampir tidak dipakai penyidik untuk menindak para pelaku perdagangan anak. ''Saya tidak mengerti, padahal UU ini sangat berat sanksi hukumannya,'' papar Rita.
Bahkan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Romli Atmasasmita mengkritik sikap pemerintah yang rajin meratifikasi berbagai instrumen internasional, namun minim implementasi. ''Ratifikasi itu lebih pada sekadar cari muka, biar dianggap good boy, anak
baik,'' kata Romli.
Bahkan Gadis Arivia juga menyuarakan kritikan serupa. Menurutnya, apa yang ditayangkan melalui film dokumenter itu sudah tidak lagi bicara sebatas wacana, tetapi sudah fakta yang tidak terbantahkan.
''Masih ada 200 orang lagi yang harus dibebaskan di Batam. Tetapi saat ini baru dua orang, itu pun harus melobi Menko Kesra dan Mabes Polri,''cetusnya.
Namun kesemua rasa pesimis itu ditepis oleh Brigjen Polisi Drs Aryanto Sutadi MSc, Direktur I/Keamanan dan Trans Nasional Mabes Polri. Menurutnya, persoalan tidaklah serumit itu dan apa yang dilakukan selama ini sudah maksimal. ''Lapor saja ke kami, segera akan ada tindakan, seperti yang di Batam itu, ada masukan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan, langsung ditanggapi,'' kata Arianto. Menurutnya, yang diperlukan adalah data awal yang akan digunakan untuk mengambil tindakan, bahkan kalau memungkinkan dapat langsung ditangkap tangan. Aryanto sendiri, bahkan
menawarkan untuk menghubunginya langsung bila ada kasus trafiking untuk dapat ditindak sesegera mungkin.
Sebuah tawaran yang mestinya direspon secara positif. Sebab, persoalan perdagangan manusia sudah menjadi masalah serius. Selain masalah kemanusiaan, juga akan menimbulkan persoalan sosial. Pada tingkat individu korban perdagangan, masalahnya bisa menyangkut masa depan bahkan hidup-mati individu bersangkutan.
Perdagangan perempuan biasanya akan diikuti dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban. Gaji yang tidak dibayar, larangan untuk bergaul dengan dunia di luar tempat kerjanya, gaji yang tidak dibayar, bentakan, makian, sampai
pemukulan secara fisik yang bisa menimbulkan kecacatan fisik atau bahkan kematian, adalah kekerasan yang akan diterima perempuan dan anak korban perdagangan.
Perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi seksual juga akan menyebabkan individu mengalami trauma psikologis, bahkan bila ia akhirnya berhasil keluar dari dunia prostitusi. Perasaan kotor, tak berguna, akan membuat perempuan merasa inferior
sehingga ia dengan mudah dieksploitasi. Tegakah kita?(amzar) ***
Kamis, 20 November 2008
Korban Trafiking
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar