Singapura dalam Kunjungan Pertama Keluarga Saya
''Sekali Berkunjung, Langsung Ketagihan...''
SEJAK kecil, semasa di Tanjungpinang, Kepulauan Riau tahun 70-an, nama Singapura sudah kerap terngiang. Paling sering ialah melalui radio, karena di sana sangat jelas termonitor dan salah satu favorit keluarga kami ketika itu adalah radio Singapura.
Saya sampai sekarang hafal betul ketika ''juruhebahnya'' memperkenalkan: Bahagian Melayu, Perbadanan Penyiaran Singapura, lewat gelombang Warna 94,2.
Dari sana, saya sudah tahu sedikit tentang Singapura. Paling tidak sudah tidak asing dengan nama-nama pejabatnya, serta nama-nama kawasan dan jalan, seperti Tampines, Orchard Road, Arab Street dan sebagainya. Sebuah perkenalan awal yang unik, namun kemudian berlangsung rutin, hampir setiap hari, sehingga akhirnya memancing keinginan lain: kapan ya, bisa melihat langsung, tidak sekadar mendengar? Apakah betul seperti yang digambarkan itu suasananya, negara kota yang bersih, teratur, serba modern?
Banyak pertanyaan yang mengundang rasa penasaran. Apalagi, seiring perjalanan waktu dan perkembangan kehidupan, mengantarkan saya untuk berada di satu tempat yang letaknya sangat dekat dengan Singapura. Itulah Batam. Kata kawan-kawan ketika saya akan pindah tugas dari Pekanbaru, rugi kalau sudah di Batam, tidak menjenguk Singapura, yang untuk ke sana hanya memerlukan waktu 45 menit menggunakan fery. Makin menggoda saja.
Alhamdulillah, akhirnya satu masa di tahun 2002, saya pun berkesempatan mengunjungi Singapura. Beruntungnya, saat itu bersama satu rombongan muhibah kesenian dari Batam yang sekaligus promosi wisata. Beruntung, karena sebagai kunjungan perdana, tentu saya belum akan bisa berbuat banyak sebab sama sekali kurang tahu seluk-beluk Singapura dan berbagai urusan menyangkut izin masuk ke negara lain.
Saya sempat membayangkan alangkah repotnya, apalagi kerap disebut kawan-kawan bahwa untuk komunikasi di Singapura, kebanyakan menggunakan bahasa Inggris, sesuatu yang memang tidaklah begitu penuh saya pahami. Belum lagi membayangkan,
apakah di sana sama seperti ketika kita berkunjung ke kota besar seperti Jakarta, di mana rasa cemas akan ''dikerjai'' di pelabuhan, dipersulit saat menggunakan angkutan umum, dan sebagainya, akan juga dijumpai di Singapura.
Rupanya, semua itu hanya kecemasan saya saja, karena sudah terlanjur membayangkan hal-hal buruk tadi. Nyatanya, sejak kunjungan perdana, sampai beberapa kali kemudian saya berpeluang jalan-jalan ke Singapura, kesan cemas tadi terhapus total.
Memang, agak deg-degan juga ketika masuk antrian untuk diperiksa satu persatu oleh Kastam Singapura di pelabuhan World Trade Centre. Tetapi, setelah diperhatikan, apalah yang mesti dicemaskan, saya kan memiliki dokumen yang diperlukan dan wajar saja segala tindakan berjaga-jaga diterapkan karena memang itulah prosedur yang sudah ditetapkan oleh otoritas yang berwenang di negara ini. Toh, itu dilakukan bukan bermaksud untuk mempersulit.
Lewat pemeriksaan Kastam, masih tersisa sedikit was-was. Bagaimana nanti mau naik taksi. Apa tidak dikerjai? Mau naik MRT, kalau tidak ditemani oleh rekan yang sudah terbiasa, rasanya belum begitu hapal rutenya, kendati memang sangat praktis karena kita tinggal menggunakan kartu khusus. Tidak perlu harus antri membeli karcis, tak perlu cemas oleh calo, tak diganggu oleh teriakan kondektur. Semuanya serba otomatis, all computerized.
Satu waktu, saya membawa keluarga, istri dan dua anak yang masih kecil-kecil. Kebetulan ada tetangga yang akan membawa anaknya berobat ke Singapura, dan bersamanya kami berangkat. Kali ini, dari WTC kami naik taksi ke Glen Eagles Hospital. Tetangga tadi, yang sudah terbiasa, berangkat duluan. Memang, dia sudah pesan ke supir taksi yang kami tumpangi, tempat yang akan dituju.
Kami sekeluarga, sempat cemas juga. Wah, kalau dikerjai oleh si supir taksi ini, macam mana ya? Bisa saja dibawanya putar-putar agar ongkos yang dibayar lebih mahal. Mau protes, jangan-jangan ia tidak paham bahasa yang saya pakai. Banyak lah pikiran miring berkecamuk, sementara taksi yang memang nyaman itu berjalan menelusuri jalan-jalan yang bersih dan teduh.
Salutnya saya, si supir terlebih dahulu memesankan dengan isyarat agar saya mengenakan sabuk pengaman. Eh, rupanya si supir menggunakan bahasa Melayu dan saya paham betul karena memang sudah biasa menggunakannya. Sambil mengendarai, dia bercerita juga tentang seringnya orang Indonesia ia antar ke Glen Eagles.
Ia bilang untuk berobat, Singapura masih tempat favorit kendati Malaysia juga gencar mempromosikan fasilitas sejenis untuk menarik minat orang Indonesia.
Sebenarnya, apa yang ia ceritakan itu, saya sudah mengetahuinya. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa rumah sakit yang ada di Singapura kerap menjadi rujukan bagi sebagian orang Indonesia. Sehingga saya meng-iakan saja cerita sang supir, sambil terus memperhatikan jalan yang dilewati, dan memantau taksi yang ditumpangi tetangga yang berjalan duluan.
Di suatu persimpangan yang terlihat macet, tiba-tiba supir mengalihkan kemudi sehingga kami terpisah jauh dari taksi yang ditumpangi tetangga tadi. Keluarga saya yang duduk di kursi belakang, memberi isyarat cemas. Saya pun sempat berpikir, wah,
jangan-jangan dikerjai juga nih!
Tapi, keterangan yang disampaikan oleh sang supir, menghapus kecemasan tadi. Katanya, ia sengaja mencari jalan alternatif agar tidak terlalu lama terjebak macet. Rupanya, ia tidak sedang membual. Buktinya, kami nyaris beriringan dengan taksi yang ditumpangi tetangga tadi saat memasuki kawasan Glen Eagles. Ongkosnya pun, dalam penilaian kami, masih wajar, tak sampai Sin $7.
Begitulah, ternyata hal yang sekecil ini, tetapi kerap menjadi ganjalan, yakni menanamkan rasa nyaman dan aman bagi pengunjung, benar-benar terperhatikan secara baik. Seakan itu sudah menjadi kesadaran secara menyeluruh sehingga masing-masing pihak tahu menempatkan diri sebagai sikap dari warga Singapura yang ramah dan paham bagaimana menghargai dan melayani tamu.
Kesan nyaman ini membuat kami sekeluarga merasa betah untuk berlama-lama setelah urusan di Glen Eagles selesai. Apalagi yang menjadi pemandu, tetangga tadi, adalah warga Singapura yang kerap bolak-balik ke Batam. Tentu saja kami sekeluarga memperoleh kesempatan menelusuri tempat-tempat terbaik di Singapura.
Maka, terkagum-kagumlah keluarga yang saya bawa karena ini memang kunjungan pertamanya ke Singapura. Bagaimana nyamannya bepergian tanpa dihantui rasa cemas akan berdesak-desakan, karena saat menggunakan MRT maupun bus, semua hanya dengan menyentuhkan kartu di alat khusus sehingga tidak perlu direpotkan harus sering
merogoh saku untuk membayar ongkos.
Dengan layanan serba otomatis tersebut, waktu yang terpakai terasa sangat efisien, sehingga dalam setengah hari kunjungan, kami sekeluarga sudah dapat berkeliling di kawasan Bugis, kemudian ke kawasan bisnis di Orchard Road dan menghabiskan waktu
sambil melepas penat di keelokan Taman Raffles yang berada di jantung kawasan bisnis Singapura, serta bersantai-ria di Taman Merlion.
Puas? Jelas belum. Saya yakin, sekali-dua kali berkunjung ke Singapura ini tentu belumlah cukup untuk mengetahui banyak hal dan beragam tempat serta bermacam keunggulan lain di kawasan maju ini. Tapi, kesan yang ditimbulkan dari lawatan yang sudah dilakukan, begitu hangat dan menimbulkan rasa penasaran serta keinginan untuk kembali lagi. Setidaknya itu tersirat dari nada ucapan istri saya saat berada di atas ferry yang akan menyeberangkan kami kembali ke Batam.
''Bang, besok-besok kita ke Singapura lagi, ya,''katanya sambil memangku si bungsu yang terlelap setelah puas bermain di Taman Merlion tadi. Saya hanya tersenyum. ''Wah, harus nabung dulu nih,'' pikir saya. Dalam hati, tentunya.(amzar)
Kamis, 20 November 2008
Singapura di Kunjungan Pertama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar