Minggu, 25 September 2011

Cukup Kami yang Menikmati Takdir Ini

”Orang-orang Albino” di Nagari Singgalang (1)

Sanny Ardhy • Tanah Datar
(Padang Ekspres, Rabu, 22 Juni 2011)

Enam dari delapan jorong di Nagari Singgalang, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, terdapat urang bulai. Oleh penduduk setempat, sebutan urang bulai, berarti kulit dan rambut serta bulu pada tubuh mereka, seperti orang bule. Sebagian, ada pula yang menyebutnya urang putiah. Dalam bahasa kerennya, dikenal dengan Albino—orang Albus dalam bahasa Yunani, yang artinya, juga (orang) putih. Tapi, orang-orang zaman dulu di nagari tersebut, menamakan si albino dengan umbuik.

MEMANDANG mereka, ada yang khas pada bola matanya. Pergerakan bola mata mereka seperti tidak beraturan, selalu tampak bergerak. Ketika berhadapan dengan cahaya atau matahari, mereka berusaha menghindar. Karena, mata mereka memang peka terhadap cahaya atau matahari. Tersebab itu pulalah, si urang putiah ini, selalu seperti terlihat menjaga agar kelopak matanya setengah tertutup dengan selalu berkedip.

Ketika Padang Ekspres mengarahkan kamera kepada ”si albino” Maris, 26, warga Sikabu, ia langsung berkata, ”Jangan Uda, pedih mata saya nanti kena cahaya kamera. Saya mau bekerja Uda!” Sehari-hari, Maris bekerja sebagai buruh angkut di Pasar Sayur, Bukik Surungan, Padangpanjang.

Di pasar tersebut, Maris dikenal sebagai Dennis Bergkamp, karena sepintas terlihat mirip mantan bintang sepakbola Timnas Belanda itu. Sebutan Dennis Bergkamp, tentulah bukan cemooh untuk diri Maris, yang albinisme. Melainkan, bagi orang pasar, sebagai keakraban. Karena sejak tahun 2005, Maris sudah membaur di pasar, dan menjadi bagian khas di Bukik Sarungan. Karena itu, sebagaimana diakui Barokah, 43, pedagang Lobak, jika Maris tak tampak di pasar, banyak teman pedagang yang bertanya. ”Ke mana si bule Dennis Bergkamp tak tampak…?” Maris, salah seorang, dari sejumlah urang bulai, di Kanagarian Singgalang.

Berjarak Pandang Semeter

Bagi pendatang atau orang luar, di Nagari Singgalang atau pada enam jorong tersebut, dikenal juga sebagai kampungnya para umbuik atau negeri para Albino. Betapa tidak. Di nagari berpenduduk 8.032 jiwa ini, terdapat 34 orang bule seperti Maris. Mereka menyebar di enam jorong. Yang paling banyak, di jorongnya Dennis ”Maris” Bergkamp, yaitu Jorong Sikabu, sebanyak 13 orang. Disusul Jorong Subarang (5 orang), Luhuang (5 orang), Solok (3 orang), Koto (4 orang), Gantiang (4 orang). Pekerjaan mereka kebanyakan petani dan peternak. Beberapa berdagang, menjadi buruh pasar dan tukang ojek

Padang Ekspres yang sengaja menginap dan membaur selama dua hari satu malam di nagari itu, bertemu beberapa urang bulai dan tokoh masyarakat, serta warga biasa. Terhadap pendatang baru, orang bulai ini, cenderung ingin menjauh. Mereka sensitif sekali dengan orang asing. Perlu waktu bisa menyatu dengan orang bukan kampung setempat. Terasa sekali, warna rambut, mata dan kulit mereka, penyebab betapa tak nyamannya didatangi dan dilihat orang karena memiliki perbedaan yang menyolok dibanding manusia normal lainnya.

”Berpandai-pandailah pada mereka. Mereka tak suka ditanya-tanya,” kata Wali Nagari Singgalang, Syaharudin Dt Penghulu Basa, Kamis (9/6) siang. Memang, orang-orang putih di Nagari Singgalang ini, cenderung merasa tidak nyaman hati ketika menjadi pembicaraan atau perhatian orang lain. ”Kalau ditanya-tanya, mereka merasa dihina,” tambah tokoh pemuda, Erizal Sidi Sailan.

Rasa tak nyaman atau malu jika diperhatikan, apalagi ditanya-tanyai orang, membuat sebagian mereka tak betah ke sekolah, atau berkumpul dengan masyarakat lain, terutama di luar jorong atau nagari mereka. Sehingga, umumnya, orang putih, hanya tamat sekolah dasar (SD). Cuma ada satu orang dari ”jenis” mereka, yang bisa meraih gelar sarjana, kemudian menjadi guru di SMAN 3 Padangpanjang. Nita namanya, warga satu jorong dengan Maris, yaitu di Sikabu. Tentu, keberhasilan Nita ini, karena ia mampu menundukkan rasa yang bagi saudara-saudaranya yang lain, tidak mampu dienyahkan.

Hidup sebagai orang putih, tentulah tidak mudah. Sebagaimana diakui Rini, 24, dan Yayat, 14, dua keponakan Erizal. Rini yang baru menikah dua bulan lalu, kandas di kelas II SMP 3 Singgalang. Ketika ia mulai bisa menghilangkan rasa minder di antara teman-temannya, Rini justru tak bisa menolak takdir sebagaimana juga dialami oleh orang-orang albino di dunia. Matanya hanya mampu melihat dalam jarak satu meter. Sehingga, ketika guru menulis di papan tulis, ia tidak bisa membaca dan mencatat. Ia justru menjadi repot, karena harus menyalin atau meminjam catatan teman sebangkunya. ”Padahal, saya sudah duduk di depan, tapi tetap juga tidak nampak,” tukas Rini.

Yayat, sang adik, setelah penuturan Rini menimpali, ”Saya juga mungkin hanya sampai SMP saja nantinya!” Ada kegetiran lain dari getar suara Yayat. Ia seakan telah memastikan, akan sama dengan kakaknya Rini. Sepertinya, ada cita-cita sebagimana anak-anak lain yang normal yang harus dikubur Yayat.

Sebagaimana sang kakak, Yayat pun mengeluhkan penglihatannya. ”Saya tak sanggup terus-terusan menyalin catatan teman,” kata Yayat. Hal itu selain melelahkannya, juga terasa merepotkan teman. Matanya tak bisa melihat sesuatu yang jaraknya melebih satu meter. Ayah Yayat, Syawaludin Indo Sutan, 51, menceritakan kalau Yayat sudah dua kali tinggal kelas. Selain disebabkan keterbatasan penglihatan dan tekanan psikologis, ia juga sering sakit-sakitan. Kulit Yayat terasa tipis, mudah terluka. Sehingga, jika sudah luka, sulit sembuhnya. Sedangkan Rini, rambutnya kalau keramas dan sisiran, selalu rontok.

Syawaludin memiliki enam orang anak. Empat dari enam anaknya, albino. Selain Rini dan Yayat, yang terlahir sebagai urang putiah adalah Budianto, 25, dan Rina, 24. Tiga lainnya, Eva, 28, dan Rio Fernandes, 17, terlahir normal. Sementara, Syawaludin Indo Sutan dan istrinya Nuraida, 49, normal. Syawaludin sendiri, warga Subarang. Istrinya, Nuraida, berasal dari Jorong Sikabu. Syawaludin mengaku, keturunan Albino didapat dari keluarga istrinya. ”Kami syukuri saja, karena sudah keturunan dari kakek buyutnya,” kata Syawaluddin.

Ia, sebagimana juga istrinya, sangat menyayangi anak-anak mereka. Karena, buah hati, sebagaimana dipahami Syawaludin, adalah darah daging dirinya yang harus disayangi. Syukurnya, di Nagari Singgalang, tak ada orang yang mencemooh dan menyakiti hati anak-anaknya. ”Karena itu, kami merasa damai di Singgalang ini,” tutur Syawaluddin.

Apa yang dirasakan empat anak Syawaluddin, terutama problem penglihatan, juga dialami puluhan warga lain yang masuk kategori umbuik. Pergulatan hidup mereka terasa begitu keras, namun harus disikapi dengan ikhlas. Belum lagi olok-olok kawan sekolah dan tatapan aneh yang mereka terima.

Ketika rata-rata dari mereka ini hanya berpendidikan SD, pokok masalahnya adalah pada mata. Karena itu, ketika ada orang berkunjung ingin meneliti keberadaan orang-orang Albino di nagari ini, mereka cenderung menyambut sinis. Sebab, banyak yang berkata akan membantu menyampaikan kepada pemerintah, agar orang-orang seperti mereka yang bermasalah dalam penglihatan dan kehidupan sosial, nantinya akan mendapat perhatian khusus. Bahwa, mereka adalah rakyat, yang akses untuk memperingan beban mereka melalui uluran tangan pemerintah atau para dermawan maupun ahli, hampir tidak punya.

Kepada orang yang datang untuk ”tanya-tanya” tentang orang bulai, Wali Jorong Luhuang, Eman Hadi, agak kurang sreg. ”Cukup kami saja yang menikmati takdir ini. Semua sudah kehendak Tuhan,” tukasnya. Eman punya adik, Aldi, juga terlahir sebagai urang bulai. Ketidaksukaan kedatangan orang untuk meneliti maupun mewawancarai terkait orang-orang bulai di nagari ini, juga diperlihatkan oleh Andria Rajo Endah, tetangga Eman Hadi.

Andria menilai, sudah banyak yang datang dan bertanya. Semua tidak ada memberi manfaat bagi mereka. ”Kami sudah bosan ditanya-tanya soal semua ini,” kata Andria Rajo Endah, 28, yang lebih akrab disapa Pakiah. Pakiah dan adiknya Syafrizal, 21, juga terlahir sebagai Albino.

Baik Pakiah maupun Syafrizal, cukup dikenal di Nagari Luhuang. Pakiah pintar mengaji, dan sering diundang membacakan doa oleh penduduk. Sedangkan Syafrizal, pandai bershalawat. Setidaknya, dengan kepandaian yang dimilikinya, Pakiah dan Syafrizal, tidak minder dan merasa memiliki nilai lebih. (***)

”Orang-orang Albino” di Nagari Singgalang (2/Habis)
Rasa Asing Ditanya soal Keturunan

Puluhan orang memendam asa di Nagari Singgalang, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanahdatar. Mereka terlahir sebagai Albino: bulai, putiah, atau umbuik—sebutan oleh warga sekitar. Mengapa begitu banyak (34 orang) Albino di nagari yang indah pemasok sayur ke Riau itu? Ada yang menyebut, Albino ini berhubungan dengan kompeni Belanda. Atau, akibat faktor keturunan kawin sedarah?

Andria Rajo Endah, 28, satu dari sedikit orang Albino yang mau bicara soal asal-muasal Albino. Di Singgalang, dia biasa dipanggil Pakiah—orang yang tahu banyak tentang ilmu Agama Islam. Tak mudah untuk meyakinkan Pakiah menggali informasi.

Padang Ekspres yang bertamu ke rumah semi permanen Pakiah, ”harus” membawa Wali Jorong Luhuang, Eman Hadi.

Melalui pendekatan wali jorong, barulah Pakiah bersedia menjawab koran ini. Sore awal bulan lalu, saat Padang Ekspres bertamu, Pakiah ditemani adiknya Syafrizal, 21, dan mamaknya (paman, red), Syafril Sidi Rangkai Tigo, 50.

Pakiah dan Syafrizal terlahir dari pasangan Majudin, 55, dan Kamina, 50, yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Pakiah beradik kakak, berempat orang. Kakak pertamanya, bernama Murniati. Kakak keduanya, Effendi.

Dua orang kakaknya, terlahir normal, dan kini tinggal di Padangpanjang bersama anak-anaknya. Pakiah sendiri adalah anak ketiga. Adiknya yang bungsu bernama Syafrizal, juga terlahir sebagai albino. Padahal kedua orangtua mereka, normal. ”Sewaktu kecil, pernah kami tanyakan kepada ayah, di garis keturunannya, tak ada yang putiah. Begitu pula di garis keturunan ibu, juga tak ada yang putiah. Kami pun heran, kenapa kami terlahir putiah,” tutur Pakiah dalam bahasa Minang.

Namun Pakiah sendiri tak menampik, dari garis keturunan keluarganya, ada yang kawin sepersukuan (sedarah, red). Istilah Minangnya, pulang ka bako atau ganti lapiak. ”Ada di garis keturunan ayah dulu, yang kawin dengan etek (bibi, red). Sesuai ranji, hal itu sudah jauh di atas saya,” terang bujang yang hanya tamat SD itu. ”Sebenarnya sudah sering orang datang ke sini nanya-nanya soal kami, tapi ndak pernah ada tindak lanjutnya. Bahkan, ada yang ngaku dari Kedokteran Unand,” imbuh Pakiah.

Sesaat terdiam, Pakiah diperhatikan adiknya Syafrizal. Kemudian terdengar suara berat Pakiah. ”Saya sebenarnya malas membahas silsilah keturunan ini. Hidup ini (kondisi albino) tak juga berubah!” Syafrizal pun serta-merta mengajak mengalihkan pembicaraan ke soal shalawat dulang. Ia lalu meneguk teh manis di hadapannya.

Mungkin, dengan bercerita selain silsilah diri mereka kenapa terlahir Albino, ada hal yang akan membuat beban hidup ini terkurangi bagi Pakiah, juga Syafrizal. Jujur, bertahun-tahun, orang seperti mereka, memiliki perasaan yang asing, karena terlahir sebagai umbuik atau bulai. Makanya, Syafrizal lebih semangat bercerita tentang kemampuannya memainkan beberapa alat musik seperti gitar, keyboard (orgen) dan saluang.

”Semuanya tak ada yang saya pelajari khusus di sekolah. Sedari kecil, saya sudah bisa memainkannya. Saya pun juga heran. Sepertinya seluruh alat musik ini, patuh kepada saya. Saya bersyukur,” tukas remaja yang juga hanya tamat SD itu.

Dengan menceritakan kepandaiannya ini, terlihat binar mata khas Syafrizal. Ia seakan bisa melupakan warna rambut, mata dan kulitnya yang putih. Dengan begitu, ia terlihat betapa hidup ini, adalah bentuk rasa syukur yang bisa dipetik dari sisi lain.

Syafril Sidi Rangkai Tigo, mengakui kehebatan keponakannya ini. Syafrizal terlihat sumringah ketika disebut kalau ada acara nagari, ia sering berduet dengan artis dari Padang dan Padangpanjang. Mendengar itu, ia membuktikan kemampuannya memainkan gitar, sembari menyanyikan lagu ”Merindukanmu” dari D’Massiv.

Namun, apa pun adanya, kehidupan para albino di antara Merapi-Singgalang ini, tetap sebuah realita. Walau mereka enggan dan bosan serta muak ditanya berkali-kali oleh pendatang yang berbeda, namun selalu saja memerlukan jawaban, kemungkinan tentang silsilah, asal mula menjadi demikian. ”Kebanyakan keluarga kami, kawin sedarah. Itu juo inyiaknyo. Sudah sejak dulu hal ini terjadi,” kata Syawaludin ketika kembali ditanya padanya, kenapa empat dari tujuh anaknya, bulai.

”Saya ingin memiliki keturunan yang normal, karena itu saya ingin menikah dengan orang yang tidak bulai,” kata Pakiah. Ada kegelisahan terpendam dari getar suaranya. ”Dan, ketika kemudian kami malah tetap diberikan keturunan urang putiah, itu artinya kehendak Allah yang menitipkan kepada kami. Kami akan tetap bersyukur,” timpalnya lagi.

Ada harapan, di masa depan, orang seperti dirinya, di Nagari Singgalang, makin berkurang. Sehingga, silsilah mencatat, ada perbaikan keturunan setiap masa.

Asal-Muasal
Konon, menurut Wali Nagari Singgalang, Syaharudin Dt Penghulu Basa, asal-muasal orang putiah di Nagari Singgalang, berasal dari perkawinan tentara Belanda dengan warga Singgalang, saat zaman penjajahan, sekitar tahun 1928. Saat itu, kompeni Belanda sebagai penjajah, seenak perutnya saja membawa gadis-gadis Singgalang untuk dijadikan pemuas syahwat.

Asal warga Nagari Singgalang ini dahulunya, kata Syaharudin, dari daerah Batuang Datar (daerah perbukitan, dekat objek wisata Air Terjun Lembah Anai, Jorong Aia Mancua sekarang, red). ”Hingga kini, masih ada benteng-benteng tentara Belanda di perbukitan tersebut. Kondisinya kini sudah lapuk, tak terawat, ditimbun semak-semak belukar,” ulasnya.

Sejarah versi wali nagari itu, dibantah tokoh masyarakat lainnya, Datuak Kayo Nan Kuniang, warga Subarang, Singgalang. Ditemui di kedai kopi Jorong Subarang, Datuak Kayo menyebutkan orang Albino di Nagari Singgalang bukan keturunan Belanda. Sebab, kata dia, mata urang bulai yang tinggal di enam jorong, Nagari Singgalang tersebut, tidak sama dengan orang bule.

”Orang Belanda saja berjemur di tepi pantai, seperti yang kita lihat di televisi. Matanya tak sakit dan kulitnya tahan menghadapi terpaan sinar matahari. Beda dengan warga albino di sini,” tegas Datuak Kayo.

Mamak Pakiah, Syafril Sidi Rangkai Tigo, lebih meyakini, banyaknya orang putiah di Nagari Singgalang, disebabkan karena kawin sedarah. ”Banyak warga di sini, yang kawin antarjorong. Kebetulan, ada warga dulunya di sini, yang membawa gen albino. Makanya, besar kemungkinan keturunan yang dilahirkan, juga Albino,” ulas Syafril.

Bermula dari Angku Saliah

Bicara asal orang putiah di Nagari Singgalang, memang tidak terdapat data yang akurat. Catatan sejarah dan silsilah berawalnya albino di situ, hanya dari mulut ke mulut, dan itu pun penuh dugaan atau perkiraan.

Namun, ada cerita lain juga terterakan. Bahwa, konon kabarnya, sekitar tahun 1940, terbetik cerita telah ada orang putih di Singgalang. Para tetua di situ mengatakan, orang putiah pertama di Singgalang bernama Angku Saliah, warga Sikabu. Angku Saliah telah meninggal sekitar 12 tahun lalu, karena sakit diabetes. Hingga kini, istri Angku Saliah, Ani bersama lima orang anaknya masih tinggal di daerah Sikabu.

Angku Saliah memiliki lima orang anak. Tiga di antaranya, Albino. Termasuk Maris (diceritakan pada bagian pertama tulisan ini), buruh angkut di Pasar Sayur. Maris adalah anak keempat Angku Saliah. Dua lainnya yang Albino, anak kedua, Amal dan anak bungsu, Jaminar. Dua anaknya yang terlahir normal, Nasir (anak pertama) dan Ramai (anak ketiga). Sementara istri Angku Saliah, Ani, normal.

Selain Angku Saliah, ada seorang lagi orang putiah warga Sikabu, yang telah berpulang. Namanya Nurainun. Ia meninggal kena setrum saat memperbaiki trafo listrik di depan rumahnya.

Gen Albino

Dokter spesialis kulit lulusan Universitas Indonesia (UI), dr Widya Sp KK, menjelaskan kawin sedarah memang rentan menyebabkan penyakit kelainan genetik. Salah satunya, bisa Albino. ”Kawin sedarah juga rentan menyebabkan penyakit syndrom down, cebol, kulit bersisik dan penyakit aneh lainnya,” Widya mengingatkan.

Sebaiknya, saran Widya, masyarakat menghindari kawin sedarah. Khusus Albino tidak dapat diobati atau disembuhkan. ”Yang bisa, hanya memperbaiki kualitas hidupnya,” ulas dokter satu anak itu.

Diterangkan Widya, albino adalah penyakit kelainan genetik. Gen albino menyebabkan tubuh tidak dapat membuat pigmen melanin. Sebagian besar bentuk albino adalah hasil dari kelainan biologi dari gen-gen resesif yang diturunkan dari orangtua. Ciri-ciri seorang albino, mempunyai kulit dan rambut secara abnormal putih susu atau putih pucat, dan pada mata memiliki iris merah muda atau biru dengan pupil merah (tidak semua).

Jumlah manusia penderita Albino di seluruh dunia beragam. Albino di Tanzania, Afrika Timur, adalah negara yang memiliki penderita albino terbanyak di dunia, yakni sekitar 200.000 jiwa. Di sebagian besar negara, penderita albino hanya sekitar 1 orang per 20.000 penduduk. ”Karena penderita albino tidak mempunyai pigmen melanin, makanya kulit mereka sangat sensitif. Mereka tak tahan dengan cahaya, khususnya sengatan sinar matahari,” ujar Widya.

Ia mengharapkan pemerintah dan masyarakat, khususnya orang sekitar, membantu memperbaiki kualitas hidup penderita albino. Maksudnya, bagaimana mereka bisa memperbaiki daya lihat, melindungi mata dari sinar terang, dan menghindari kerusakan kulit dari cahaya matahari.

Biasanya, pengobatan untuk kondisi mata melalui rehabilitasi visual. Pembedahan dimungkinkan untuk otot mata, guna menurunkan kesalahan refraksi dan mengurangi perputaran bola mata yang berlebihan. ”Penderita albino juga diharuskan menggunakan sunscreen ketika terkena cahaya matahari untuk melindungi kulit prematur atau kanker kulit,” jelas Widya.

Mereka, urang putiah, penderita albino di Nagari Singgalang, berharap apa yang diungkapkan Widya, bisa menjadi perhatian pemerintah atau para dermawan. Setidaknya, bisa memperbaiki kualitas hidup mereka, juga mata anak-anak mereka, yang ingin sekolah, tapi tak bisa melihat jelas dari jarak lebih dari satu meter. (***)

• Nomine Rida Award 2011





Tidak ada komentar: