Minggu, 25 September 2011

Sepuluh dari Tiga Belas Anak Jamal Lahir di Perahu

Menengok Kampung "Pendaratan" Suku Laut (1)
Poster Harry Azhar Azis di Rumah Jamal

Oleh Ahmadi Sultan, Batam Pos

PENYU sebesar bentangan dua halaman koran itu sesekali masih mendenguskan napasnya. Di punggungnya ada dua luka bekas tombakan. Darah yang mulai menghitam membekas dari luka itu. Dua tungkai depannya terikat jadi satu. Penyu itu teronggok tak berdaya di perahu Melo, nelayan Suku Laut, di Pulau Gara.

"Tolong muat!" kata Melo, lelaki berusia 31 tahun, dalam aksen Suku Laut. Kulit legam yang membalut tubuh dan celana pendek hitam yang dikenakannya, membuat ia nyaris tak kelihatan di remang malam itu. Lelaki berambut ikal kusam bertelanjang dada itu dengan sisa-sisa tenaga menambatkan perahunya.

Mesin tempel sudah dimatikan. Melo yang berdiri tepat di tengah perahunya berteriak kepada dua pemuda tetangganya yang berdiri di pelantar. Melo sudah terlalu lelah mengangkat penyu beratnya lebih dari seratus kilogram. Selasa (21/12) pukul 19.00 malam itu, Pulau Gara sudah senyap. Melo pulang dari melaut sendirian.

Tanpa menjawab, mereka bertiga langsung mengangkat penyu itu ke pelantar rumah panggung, perkampungan di atas laut, di tepi Pulau Gara. Hanya seekor penyu itu yang berhasil ditangkap oleh Melo sejak ia pergi melaut pukul satu siang. Berbekal keterampilannya menggunakan tombak. Tombak bermata seperti busur panah dari besi itu tampak diletakkan membujur di cadik perahu. Panjangnya dua meter.

"Ini saya tangkap dekat Pulau Lima," kata Melo. Pulau yang disebutnya itu terletak di antara Pulau Gara dan Tanjunguncang, kawasan di Pulau Batam yang disesaki industri maritim, di sana banyak galangan kapal.

***

Malam lekas jadi sepi di Pulau Gara. Pulau yang secara administratif termasuk di wilayah Kelurahan Kasu, Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam. Malam itu, saat Melo pulang melaut, seluruh penduduk sudah berada di dalam rumah masing-masing. Perkampungan itu lengang. Empasan ombak angin utara kalah keras oleh suara genset.

Ikan di perairan sekitar Pulau Gara sudah sulit ditemui. Maka penyu tangkapan Melo itu adalah kabar gembira. Penyu itu menghasilkan sekitar 80 kilogram daging yang ia jual ke warga sekitar. Daging sebanyak itu cukup untuk dikonsumsi penghuni satu pulau.

''Dagingnya dijual di sini saja. Satu ekor ini habis untuk semua orang sini. Biasanya dimasak asam manis,'' ungkap Melo. Sedangkan kulit penyu yang punya nilai ekonomi dibuang begitu saja ke laut. "Tak tahu mau dibuat apa," ujar Melo.

Melo tampak lelah. "Dipotongnya besok saja," katanya. Ia lalu masuk rumah beristirahat.

*

Pulau Gara adalah satu di antara dua pulau di Kota Batam yang paling banyak dihuni Suku Laut selain Pulau Bertam. Di Kampung Suku Laut di Pulau Gara terdiri atas 49 rumah.

Dari Pulau Batam, Pulau Gara bisa dicapai dari Pelabuhan Pandan Bahari, Tanjunguncang, 15 menit dengan perahu bermesin. Dari kejauhan rumah warga Suku Laut terlihat berderet seperti deretan gerbong kereta api. Semuanya menghadap ke laut, membelakangi daratan.

Semua rumah modelnya seragam, persegi empat dengan atap asbes. Dindingnya kayu. Ukurannya bujur sangkar dengan sisi-sisi lima meter. Pintu rumah mereka itu tepat di tengah. Di samping kiri pintu ada jendela kaca. Ruang dalam rumah dibagi dua. Satu bagian jadi ruang tamu, ruang keluarga sekaligus tempat makan. Bagian lainnya disekat jadi dua kamar, tanpa pintu.

Bagian belakang rumah dijadikan dapur. Di situ berdiri bangunan kecil berbentuk kotak. Ukurannya kecil, hanya satu meter persegi. Ini adalah kamar mandi sekaligus tempat buang air. Kalau buang air, kotoran mereka langsung jatuh ke laut.

"Rumah kami ini dibangun dan kami tempati tahun 1992. Waktu itu Batam masih masuk wilayah Provinsi Riau," kata Jamaludin. Ketua RT tak tergantikan itu, di dinding rumahnya, masih memajang foto Soeripto dan istrinya, Gubernur Riau 1988-1998. "Kenang-kenangan saja, karena di jaman beliaulah kampung kami ini dibangun," katanya.

Sejak dibangun sebagian besar warga tidak pernah mengganti atap, dinding, maupun lantai rumah pemberian pemerintah itu. Padahal ada yang dinding dan lantai rumah sudah lapuk dan berlubang.

Jumlah rumah di pulau ini 49 unit dengan 57 kepala keluarga. Awalnya hanya 20 unit rumah yang dihuni 20 kepala keluarga. Pada tahun yang sama, rumah bertambah karena penduduknya berkembang dan masuknya warga di luar Suku Laut ke pulau itu.

Jarak satu rumah dengan rumah lainnya satu setengah meter, dihubungkan pelantar. Dari ujung barat hingga timur, panjang pelantar mencapai 900 meter.

Di ujung barat pelantar, ada satu rumah yang berbeda. Rumah itu milik warga pendatang, Ahi namanya. Ia lelaki Tionghoa dari Batam yang menikah dengan perempuan Suku Laut bernama Ida dan kini sudah beranak dua orang. Rumah itu sekaligus kedai. Di belakangnya ada tempat mengumpulkan ikan hasil tangkapan nelayan setempat dan nelayan sekitar Pulau Gara. Tempat itu sekaligus tempat menjemur ikan asin.

Selain di ujung barat itu, di bagian tengah perkampungan ada dua kedai lainnya. Semuanya milik pendatang yang membaur dan hidup bersama Suku Laut. Di kedai-kedai itu Suku Laut berbelanja sehari-hari. Harganya lebih mahal sedikit dibanding di Batam karena barang-barangnya dibawa dari Batam dengan transportasi laut. Mie instan Indomie misalnya Rp1500 per bungkus sementara di Batam Rp1300.

Di belakang rumah, tepatnya di daratan, ada satu masjid yang baru saja dibangun. Namanya Masjid An-Nur. Di plang nama masjid kecil itu tertulis Program Bedah Rumah Al-Azhar Peduli Ummat. Halaman masjid dijadikan lapangan sepak takraw. Lelaki Suku Laut, gemar sekali dengan olahraga ini.

Tak jauh dari masjid ada sumur bor bantuan PT Epson Batam. "Itu bantuan tahun lalu," kata Jamal. Sumur umum itu mengalirkan air ke bak besar di samping masjid. Airnya hanya bisa untuk mandi, cuci, dan wudhu, tidak layak dipakai untuk masak.

Untuk keperluan masak, warga menampung air hujan atau pergi ke perigi yang berada di Pulau Bertam dan Pulau Kasu. Mereka membawa jeriken banyak-banyak dalam perahu untuk mengambil air. Untuk minum, sebagian warga yang terbilang mampu membeli air galon yang dijual di kedai.

***

Rumah Jamaluddin bin Tawo (67) termasuk yang sudah sedikit berubah. Rumahnya diberi beranda beratap. Kemudian satu bangunan di belakang rumah utama. Bangunan yang hampir sama ukurannya dengan rumah itu adalah dapur.

''Sebelum ada rumah ini kami ditempatkan di rumah terapung tahun 1991. Karena berbahaya jadi pemerintah membangunkan rumah ini,'' kata pria yang biasa disapa Jamal ini.

Jamal adalah Ketua RT 22 RW 06. Pulau Gara. Genset yang malam itu terdengar bisingnya, ada di rumah Jamal. Ia menjadi ketua RT sejak 1991 hingga sekarang. Tidak ada warganya yang bersedia menggantikannya karena hanya Jamal yang paling berani meski ia juga buta huruf. Sama seperti warga lainnya.

''Sudah berkali-kali saya usulkan untuk diganti, tapi tidak ada yang mau menggantikan,'' ungkap Jamal, Selasa (21/12) lalu.

Rumah Jamal terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Satu kamar untuk ia bersama istrinya, Gaya (49). Satu kamar lagi untuk anaknya, bungsu dari tiga belas anak Jamal. Anak-anak Jamal yang sudah berkeluarga punya rumah sendiri. Di kamar tidur rumah Jamal tidak ada tempat tidur. Mereka biasa tidur beralas tikar plastik.

Di sudut kanan ruang tamu, ada lemari pendek tanpa penutup. Pakaian yang terlipat di dalamnya terlihat jelas. Di atas lemari diletakkan televisi ukuran 14 inci yang sudah kusam. Tidak jelas lagi apa mereknya. Ketika Batam Pos berada di rumah itu, televisi tak dinyalakan.

Di atasnya, foto Jamal dan anak-anaknya terpajang di dinding. Di dinding kiri ada gambar Gubernur Riau Soeripto bersama istrinya tadi. Di atasnya ada gambar Garuda Pancasila yang sudah kusam dan berdebu.

Di dinding penyekat kamar terpasang poster-poster calon DPR RI Pemilihan Umum 2009 lalu. Ada poster Harry Azhar Azis, sekarang Wakil Ketua Komisi XI DPR RI. Di sebelahnya poster Insyah Fauzi yang mencalonkan diri jadi anggota DPD RI, tapi gagal, dan baru saja mencalokan diri sebagai Wali Kota Batam lewat jalur independen, dan gagal juga. Poster itu didapat Jamal dari tim sukses para calon itu.

''Orangnya tidak pernah datang ke sini. Kami hanya disuruh memilih, tapi tidak tahu orangnya yang mana. Janjinya kalau kami pilih, rumah kami akan diperbaiki. Nasib kami diperhatikan,'' ujarnya.

Jamal lalu mengambil kantong yang berisi spanduk. Setelah dibentangkan, tampak gambar salah satu kandidat Wali Kota Batam Periode 2011-2016. Spanduk itu diperoleh Jamal dari tim sukses kandidat tersebut. Ia disuruh memasang spanduk itu di Pulau Gara. ''Kami hanya disuruh, tapi tak tahu Wali Kota orangnya yang mana karena tak pernah ke sini,'' kata Jamal sembari menatap gambar si kandidat tepat di bawah lampu.

Rumah Jamal diterangi lampu 25 watt. Lampu itu hanya terpasang di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga. Sinarnya menerangi sebagian kamar yang tak berpintu. Lampu juga menyala di bangunan belakang yang menjadi dapur. Rumah Jamal termasuk yang paling mewah dan paling besar. Ada televisi dan radio. Diterangi lampu dari genset milik sendiri. Genset itu digunakan mulai pukul 18.00 atau saat mulai malam hingga pukul 22.00.

Genset itu hanya mampu untuk menerangi sedikit rumah. Itupun hanya rumah anak-anak Jamal. Sementara rumah warga lainnya hanya diterangi lampu petromak.

''Yang ada lampu hanya lima rumah di sini. Kemudian rumah orang Cina di ujung itu. Di tengah ada juga yang punya genset,'' ungkap ayah 13 anak dan 16 cucu ini.

Depan rumah Jamal tak dipasangi lampu karena cahaya lampu dari galangan kapal di Tanjunguncang, cukup terang. Dari pelantar depan rumah Jamal, galangan kapal yang bertebaran di sisi selatan terlihat jelas. Kapal-kapal besar yang sedang dibuat maupun dirawat bersandar di sekitar galangan. Tonggak-tonggak dan crane galangan berdiri menjulang tinggi.

Lampu-lampu galangan yang menyala berpendar di air laut. Cahaya lampu yang sangat terang terlihat gemerlap. Seperti melihat gemerlap Singapura dari Batam. Sangat kontras dengan keadaan Suku laut yang hampir gelap gulita.

Malam itu, seperti warga lainnya, Jamal hanya berdiam di dalam rumah. Pukul 20.00 istrinya sudah masuk kamar dan tidur. Enal (18) anak bungsunya pergi ke rumah saudaranya, tepat di sebelah kiri rumah Jamal.

Pukul 22.30, genset di rumah Jamal dimatikan. Pemadaman itu agak telat satu jam karena kami banyak mengobrol dengan Jamal. Jamal tidur di depan pintu kamarnya. Pintu rumahnya dibiarkan terbuka hingga embusan angin laut yang kencang menyerbu masuk. Bias sinar lampu galangan kapal di Tanjunguncang yang memantul dari laut menorobos ke dalam rumah yang sudah gelap.

Memasuki waktu subuh, terdengar sayup-sayup suara azan dari masjid. Jamal dan istrinya terbangun. Keduanya menyibukkan diri di belakang rumah. Dari depan rumah Jamal gemerlap lampu galangan kapal masih terlihat. Sinarnya mulai redup saat matahari muncul. Pagi itu, Jamal berangkat ke Batam mengurus bantuan untuk rukun nelayan yang diketuainya.

Di pelantar, anak-anak bersiap berangkat ke sekolah. Mereka berdiri di pelantar menunggu perahu yang akan membawa ke SD 06 Kasu di Pulau Bertam. Sekolah itu satu-satunya yang terdekat. Itu pun kelas jauh SD 06 Kasu, jadi yang ada hanya ruang kelas dengan bangku, meja, dan papan tulis. Anak Suku Laut di Pulau Gara yang bersekolah bisa dihitung jari. Hanya 15 orang. Mereka pintar-pintar. Cucu Jamal, Mirna (11) kelas tiga SD rangking tiga di sekolahnya. Ninin (11), juga cucu Jamal yang kelas dua SD rangking tiga.

''Yang rangking satu teman saya, anak Pulau Gara juga,'' ungkap Mirna yang berambut mirip ayah dan ibunya, Melo dan Suriah.

Pukul 06.30, anak-anak SD itu berangkat. Enal yang membawa anak-anak itu dengan perahu mesin. Itu tak makan waktu lama, sekitar lima menit saja. Di belakang perahu mesin yang melaju, tiga anak perempuan berangkat ke sekolah dengan perahu dayung. Satu berdiri mendayung dan dua lainnya duduk tenang.

Belasan ibu-ibu duduk bergerombol bersama anak-anaknya di dekat rumah Melo. Melo yang sudah melaut lagi subuh itu, baru saja pulang lagi mendapat tujuh ekor ikan hiu kecil. Pagi itu, Melo menyembelih penyu yang didapat semalam di depan rumahnya. Ibu-ibu itu duduk menunggu sembari mengobrol dan menyaksikan Melo memotong penyu. Mereka berbincang dengan bahasa Suku Laut. Bahasanya sangat berbeda dengan bahasa Melayu. Ada yang menyebutnya bahasa Mapur. Ada juga yang menyebut bahasa Tambus.

Bahasa tiap kelompok Suku Laut di satu tempat berbeda dengan Suku Laut di tempat lain. Bahasa Suku Laut di Pulau Gara, misalnya, tidak sama dengan bahasa Suku Laut di Pulau Bertam. Padahal jarak kedua pulau itu hanya lima menit perjalanan dengan perahu bermesin. Interaksi antara mereka pun masih intens. Bahasa Suku Laut ini tetap dipertahankan dan juga digunakan anak-anak Suku Laut.

Itu terdengar ketika anak-anak Suku Laut berbicara sambil bermain-main di depan rumah Melo. Kebanyakan anak-anak itu sudah masuk usia sekolah. Jumlahnya puluhan anak. Lebih banyak dari anak-anak yang bersekolah. Anak-anak yang sekolah pun belum tentu melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi. Paling tinggi hingga sekolah menengah pertama. SMP hanya ada di Pulau Kasu dan di Belakangpadang yang ditempuh 30 menit dengan menggunakan perahu mesin.

''Banyak anak-anak yang tidak bersekolah dan putus sekolah karena letak sekolahnya yang di pulau seberang dan tidak mampu. Ada juga yang orang tuanya belum punya kesadaran menyekolahkan anaknya. Malah diajak melaut,'' ungkap Jamal.

Seperti Jamal dan Melo, semua Suku Laut di Pulau Gara bekerja sebagai nelayan. Tidak ada pekerjaan lain. Ketika musim utara seperti saat Batam Pos datang ke pulau itu, nelayan hanya melaut sekitar perairan Pulau Gara. Angin kencang membuat mereka takut melaut jauh-jauh. ''Hanya laut ini lahan kami (mencari makan),'' kata Melo.

Biasanya saat laut bersahabat atau pada musim timur, mereka bisa melaut hingga ke Moro, Kabupaten Karimun dan Kabupaten Lingga, Kepri. Mereka menyebutnya bertandang. Mereka bisa bertandang sebulan atau seminggu. Hasil tangkapan mereka untuk konsumsi sendiri. Jika tangkapan ikan banyak barulah mereka jual. Hasil penjualan ikan kemudian mereka bawa pulang. ''Tapi tidak banyak yang biasa dibawa pulang karena boros. Kalau dapat uang hari ini, langsung mau dihabiskan,'' kata Jamal.

Karena melaut, tidak banyak laki-laki yang terlihat pagi itu. Hanya Melo yang sudah pulang melaut dan memotong penyu. Daging penyu yang sudah dipisahkan dari batoknya kemudian dipotong kecil-kecil oleh Suriah, istri Melo, lalu dibersihkan. Ibu-ibu yang sudah menunggu sejak penyu itu dipotong, berkumpul di dekat tumpukan daging penyu yang sudah bersih. Istri Melo menimbangnya sesuai permintaan. Satu kilogram, Melo menjualnya Rp6 ribu.

''Suku Laut sudah biasa makan penyu. Rasanya seperti daging. Kalau mau tau rasanya, coba sendiri,'' ujar seorang perempuan Suku Laut sembari tersenyum kepada Batam Pos.

Ketika tengah membeli daging penyu, penjual kue dari Pulau Kasu muncul. Penjual kue yang suami istri itu datang dengan perahu bermesin. Sebagian ibu-ibu membeli kue khas Melayu itu. Setelah membeli daging penyu dan kue untuk sarapan, ibu-ibu Suku Laut berangsur pulang ke rumah masing-masing untuk memasak. Pelantarpun kembali sepi.

Tidak banyak aktivitas yang mereka lakukan, karena tidak ada pekerjaan lain. Ibu-ibu hanya menunggu suami pulang melaut, mengurus anak, dan memasak. Sementara pria yang tinggal di rumah banyak berdiam diri dalam rumah, memperbaiki alat-alat tangkap.

Sebenarnya, upaya memukimkan Suku Laut, memberi pilihan lain bagi mereka untuk bertani. Tapi, lahan yang disediakan belum banyak mereka manfaatkan. Saat didaratkan, pemerintah membagikan lahan ukuran 30 meter x 60 meter di belakang perkampungan mereka. Selain belum pintar berkebun, hama babi juga jadi penghalang. ''Padahal kalau di darat kami bisa berkebun dan beternak ayam, tapi tak pandai berkebun. Babi juga banyak. Sementara rumah kami di sini (di atas laut), tak bisa jaga di sana.'' kata Jamal.

***

PULAU Bertam adalah pulau pertama yang dijadikan tempat pendaratan Suku Laut oleh Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Batam tahun 1988. Di pulau kecil ini berdiri 37 rumah dan dihuni 40 KK. Rumah mereka berdiri di atas laut dan berhadap-hadapan. Bentuknya tidak seragam lagi seperti di Pulau Gara.

''Kami lebih dulu dari Suku Laut yang ada di Pulau Gara. Sejak dibangun, rumah kami ini tidak banyak diperbaiki. Hasil melaut tidak cukup untuk perbaiki rumah,'' kata Nur (47), yang tinggal bersama dua anaknya yang juga sudah berkeluarga.

Kondisi rumah Suku Laut di Pulau Bertam lebih parah lagi. Banyak yang sudah reyot karena tiang penyangganya sudah lapuk. Dinding-dindingnya ada yang lapuk. Tidak layak ditempati lagi sehingga ada yang ditinggalkan penghuninya. Pelantar yang menghubungkan antara satu rumah dengan rumah lainnya sudah keropos dan banyak yang copot papannya. Kalau tak hati-hati melangkah bisa terperosok. Pelantar ini berujung di daratan tempat sekolah, masjid, dan posyandu berdiri. Sejumlah fasilitas umum itu rusak.

Seluruh penduduk Pulau Bertam adalah Suku Laut. Tidak ada warga pendatang. Melaut adalah satu-satunya pekerjaan warga. Sekarang, mereka kesulitan dapat ikan baik untuk dimakan sendiri maupun dijual kembali. Aktivitas galangan kapal di perairan sekitar tempat tinggal mereka membuat ikan sulit dicari.

''Cari ikan belum tentu dapat dalam satu hari. Kalaupun dapat paling hanya Rp20 ribu. Susah cari ikan sekarang kalau tak jauh-jauh,'' kata Mukhtar (55), Ketua RT 20 RW 06, Kelurahan Kasu.

Ketika tak melaut, mereka hanya memperbaiki alat tangkap dan merawat mesin perahu. Saat Batam Pos berkunjung ke Pulau Bertam, Rabu (22/12), Mukhtar merawat mesin perahunya. Dua anaknya sedang memotong rambut di samping rumah. Istrinya hanya duduk-duduk di dalam rumah.

Lahan di daratan di belakang perkampungan Suku Laut tidak bisa dimanfaatkan lagi. Tanahnya tidak cocok untuk menanam sayuran atau palawija. Mereka juga tidak banyak ilmu cara bercocok tanam. ''Jadi ya tergantung laut saja,'' ujar Mukhtar lagi.

Pendidikan yang tidak tinggi bahkan banyak yang tidak sekolah membuat mereka hanya bisa menjadi nelayan. Suku Laut sangat banyak yang buta huruf. Hanya anak-anak sekolah dan remaja yang sudah bisa membaca. Kebanyakan hanya bersekolah hingga sekolah dasar karena hanya ada SD di pulau ini. Seperti Suku Laut di Pulau Gara, Suku Laut di Bertam juga harus menyeberang laut untuk sekolah lebih tinggi. Ke Pulau Kasu, Belakangpadang, atau ke Batam.

''Tak banyak yang sekolah. Ada yang mau sekolah, tapi uang susah,'' ucap Mukhtar.

Tidak hanya fasilitas pendidikan yang kurang, fasilitas kesehatan juga sangat minim. Hanya ada posyandu yang tak terawat. Atapnya sudah rusak. Untuk berobat kala sakit mereka harus berlayar ke Belakangpadang atau ke Pulau Kasu. Kalau parah mereka ke Batam. Mereka berobat di Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK). Di rumah sakit swasta itu mereka berobat gratis.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Batam, drg Chandra Rizal, posyandu di Pulau Bertam tetap aktif. Petugasnya masih datang secara berkala. Untuk berobat, lanjutnya, memang warga di Pulau Bertam maupun Pulau Gara harus ke puskesmas pembantu di Pulau Kasu atau ke puskesmas induk di Belakangpadang.

"Petugas kesehatan datang sesuai jadwal. Petugas yang di sana Pak Sadri,'' jelas drg Chandra Rizal kepada Batam Pos, Senin (27/12).

***

Pada tahun 1988 Pulau Bertam ini dirintis sebagai perkampungan Suku Laut. Awalnya hanya 14 rumah dan 14 KK. Suku Laut di pulau ini dibina Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Batam yang diketuai Sri Soedarsono. Adik kandung mantan Presiden BJ Habibie.

''Sebelumnya mereka ditempatkan di Pulau Paku. Tapi makin lama pulau itu makin kecil jadi direlokasi ke Pulau Bertam,'' ujar Sri Soedarsono di Kantor KKKS di Sekupang, Senin (27/12).

Di pulau itu dibangun posyandu, klinik kesehatan, sekolah, dan masjid. Warganya diberi lahan dan diajarkan cara bercocok tanam, mengolah hasil kebun dan cara memasak.

Dulu, setiap bulan Sri Soedarsono selalu memasok sembako untuk semua Suku Laut. Ia selalu berkunjung bersama tamu–tamunya. Bahkan ada yang dari Belanda. Suku Laut menganggap Sri Soedarsono sebagai Ibu Suku Laut karena perhatiannya yang lebih.

Tahun 2000, Pemerintah Kota Batam mengambil alih pembinaan Suku Laut. Tapi pembinaan itu tidak berjalan. Tidak ada lagi yang mengajari mereka cara bertanam, mengolah hasil kebun dan memasak. Mereka pun tidak mau berkebun lagi.

''Kami tidak mendapat perhatian. Kami hanya didatangi saat pemilihan dan banyak janji. Janji-janji itu tidak pernah dipenuhi,'' ujar Nur, warga Suku Laut Pulau Bertam, dengan wajah merengut.

Janjinya, lanjut Nur, rumah mereka akan diperbaiki, diberikan bantuan perahu dan alat tangkap. Tapi itu tidak pernah terwujud. Setelah pemilihan, tidak ada lagi yang pernah datang. Wali Kota Batam pun tidak pernah mengunjungi mereka.

''Dulu Wali Kota (Nyat Kadir), sering berkunjung. Tapi Wali Kota sekarang (Ahmad Dahlan) tidak pernah datang. Kami tak tahu yang mana,'' kata Nur.

Sri Soedarsono menyebutkan pemerintah sama sekali tidak ada perhatiannya padahal pembinaan sudah diambilalih. ''Tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah. Sebal saya. Wali Kota tidak pernah bantu, tidak pernah ke sana,'' ujar Sri Soedarsono yang saat ini meskipun secara resmi tak lagi mengurusi program bantuan untuk Suku Laut, ia masih sering mengunjungi Suku Laut Pulau Bertam.

''Kami hanya bisa mengeluh ke lurah, ke camat, tapi jarang ada tanggapan,'' ucap Mukhtar, Ketua RT di Pulau Bertam.

Kepala Dinas Sosial Kota Batam M Sahir mengatakan, Pemko Batam melalui Dinas Sosial tetap punya program pembinaan terhadap masyarakat terpencil termasuk Suku Laut. Program pembinaan tersebut berupa pelatihan, penyuluhan kebersihan lingkungan, peningkatan kesehatan, dan pemahaman tentang kesatuan bangsa.

''Petugas kita turun ke lapangan secara berkala bersama KKKS yang dipimpin Ibu Sri Soedarsono,'' jelasnya M Sahir, Selasa (28/12),

Sahir mengakui program fisik untuk masyarakat di Pulau Gara dan Pulau Bertam belum ada hingga akhir tahun ini. Padahal itu yang diharapkan Suku Laut di kedua pulau itu. Tahun ini, ungkap Sahir, program bedah rumah hanya daerah pesisir Pulau Batam, misalnya di Tanjungriau.

''Program itu tidak khusus untuk masyarakat Suku Laut, tapi semua masyarakat terpencil seperti suku darat yang di hutan dan orang-orang tempatan di hinterland. Tahun ini memang belum ada di pulau itu,'' katanya.

Namun tahun 2011, kata Sahir lagi, program bedah rumah akan menyentuh masyarakat di Pulau Gara dan Pulau Bertam. Program itu dari Pemerintah Kota Batam dan Provinsi Kepulauan Riau. Masing-masing 100 rumah akan dibantu Pemko Batam dan 200 rumah oleh Provinsi Kepri.

Berdasarkan data Dinas Sosial dan Permakaman, jumlah masyarakat Suku Laut kurang lebih 300 KK. Mereka menyebar di Pulau Gara, Pulau Bertam, Pulau Lingka, Pulau Todak, dan Pulau Ngenang. (bersambung)

Menengok Kampung "Pendaratan" Suku Laut (2)

Sepuluh dari Tiga Belas
Anak Jamal Lahir di Perahu


Gaya, 49, istri Jamal bin Tawo, 67, sudah bangun sejak subuh. Ia menjerang air di dapur sambil memasak mi goreng instan. Setelah air mendidih, Gaya bergegas ke dekat kompor dan mengangkat panci berisi air panas. Air itu dituangkan ke dalam tiga gelas yang berisi bubuk Milo. Ia dibantu, Enal, anak bungsunya. Sisa air panas ditaruh dalam teko untuk air minum.

Enal kemudian membawa tiga piring mi goreng dan tiga gelas Milo dengan nampan ke ruang tamu. Ia meletakkanya begitu saja di hadapan kami tanpa bicara, lalu kembali ke dapur. Setelah membuat sarapan itu, Gaya mencuci pakaian. Ia mencuci di pelantar yang menghubungkan dapur dan rumah utama.

''Hanya itu kerje di rumah. Habis itu tak ade kerje lagi,'' kata Gaya dengan aksen Suku Laut, Rabu (22/12) lalu.

Setelah memasak dan mencuci, wanita bertubuh agak gempal dan berkulit legam ini seperti kebingungan. Ia tak tahu harus mengerjakan apalagi. Gaya pun akhinya tidur-tiduran saja. '' Kalau tak ada kerje, ya membersihkan pancung (perahu mesin) saje, menimba air (menguras air yang masuk ke perahu,'' ungkapnya.

Tinggal menetap di rumah sudah dinikmati Gaya dan Suku Laut lainnya. Ada listrik dan bisa menonton televisi. Pukul 11.30 WIB, Rabu (29/12), Gaya menonton tayangan sinetron di salah satu televisi swasta. Gaya bisa menonton setelah memasak dan mencuci. Ia ditemani cucunya, Mirna (11).

''Suka nonton sinetron. Biasanya nonton Indosiar atau SCTV. Nonton Cinta Fitri, tapi tadi malam saya tak nonton,'' kata Mirna, Rabu (29/12) siang lalu.

Tengah hari, Gaya meninggalkan tayangan di televisi itu. Ia keluar rumah dan menuruni tangga pelantar menuju perahu yang ditambatkan di depan rumah. Ia menguras air yang masuk ke perahu. Kata Gaya, ia lebih senang tinggal di perahu dari pada di rumah. Meski sudah menikmati tayangan di televisi dan penerangan dari listrik. Ia merasa tak sebebas ketika masih tinggal di atas perahu.

''Lebih senang di perahu karena bisa dapat ikan terus. Kalau tak ada ikan, udang, kepiting, bisa pindah ke tempat lain. Sekarang sudah susah dapat ikan, udang dan kepiting pun susah,'' ujarnya.

***

Gaya dan Jamal lahir di perahu yang mereka sebut kajang. Perahu yang di atasnya diberi sirap atau atap dari daun kelapa. Jamal menikahi Gaya tahun 1955. Proses lamarannya, keluarga Jamal dan Gaya bermusyawarah. Setelah sepakat mas kawinnya ditentukan. Mas kawinnya harus emas. Ada ketentuannya.

''Emas harus harganya 44 dolar (Singapura) kalau yang gadis. Janda satu kali 22 dolar, kalau janda dua kali 88 dolar. Tidak tahu kenapa lebih banyak yang janda dua kali,'' ungkap Jamal.

Emasnya dibeli dengan dolar karena Suku Laut dulu masih bebas masuk Singapura. Saat pesta seluruh kerabat Jamal dan Gaya diundang. Mereka berdatangan dengan perahu masing-masing. Jamal dan Gaya menikah menurut kepercayaan mereka saat itu. Mereka menyebutnya agama keturunan. Tidak ada pencatatan di kantor urusan agama atau di pengadilan.

''Menikahnya ada semacam ijab kabul juga. Mirip ijab kabul dalam agama Islam,'' ungkap Jamal yang sempat memeluk agama Kristen sebelum masuk Islam.

Sesudah menikah Jamal dan Gaya dibuatkan kajang baru. Gaya masih ingat betul ketika masih tinggal di perahu. Ia beraktivitas seperti layaknya manusia di daratan. Memasak, makan, mencuci, dan tidur. Dalam satu kajang, mereka menyisakan satu bagian tempat di ujung untuk memasak. Api mereka dapatkan dengan menggunakan gesekan batu atau kayu.

Malam hari, mereka tidur di satu bagian kajang yang diberi atap sirap. Di atas perahu ini, mereka juga melakukan hubungan suami istri. Setelah hamil, seorang dukun beranak terus mengikuti ke mana mereka berkelana dengan perahu kajang sampai melahirkan. Anak-anak Jamal sebagian besar lahir di atas perahu. Sepuluh dari 13 anaknya lahir di perahu. Setelah anak-anaknya mulai beranjak remaja, anak-anak perempuan dibuatkan kajang tersendiri.

''Anak perempuan yang sudah besar dibuatkan perahu sendiri, supaya tak silap mata (tidak menggauli anak sendiri),'' kata Jamal.

Kajang untuk anak perempuan itu tetap diikat pada perahu induk. Anak-anak perempuan itu tak boleh banyak bergaul dengan laki-laki. Anak-anak perempuan tidak boleh berdua-duan dengan laki-laki. Kalau ada, keduanya dihukum. Dicambuk dengan ranting. Sampai sekarang, anak laki-laki dan perempuan tidak boleh banyak bergaul.

''Tak boleh berbual-bual lelaki dan perempuan meski tak melakukan apa-apa. Tak boleh memalukan keluarga. Kalau jodoh, tanya langsung ke orang tua,'' bebernya.

***

Kehidupan di atas perahu kini sangat jarang ditemui di Batam. Sejak didaratkan, kehidupan suku laut mulai berubah. Namun masih banyak tradisi-tradisi yang masih tetap dijaga. Anak-anak, laki-laki maupun perempuan sejak kecil sudah pintar mendayung perahu, menangkap ikan, dan bermain dalam laut. Lihatlah Ninin (11), cucu Jamal.

Ninin, putri Ahad dan Farah turun dari perahu mesin kakeknya, Jamal, yang baru saja tiba dari Batam, Rabu sore. Perahu yang membawa dua penumpang lainnya itu kandas karena air laut belum pasang. Siswa kelas dua sekolah dasar ini, mengangkat sedikit bajunya setelah masuk ke dalam air. Air laut setinggi paha Ninin saat itu.

Ninin bergegas lincah menuju pelantar yang berjarak sekitar 20 meter. Di depan rumahnya ada perahu dayung. Ia naik ke atas perahu itu lantas mendayungnya mendekati perahu mesin kakeknya. Satu penumpang di perahu mesin itu berpindah ke perahu dayung. Ninin lantas mendayung perahu membawa penumpang yang sudah dewasa.

Penumpangnya naik ke pelantar, Ninin mendayung perahu lagi mendekati perahu kakeknya. Menjemput penumpang lainnya. ''Sejak kecil sudah bisa mendayung sendiri. Kadang ke sekolah mendayung perahu juga,'' kata anak tertua Ahad dan Farah ini.

Tidak hanya Ninin yang pintar mendayung, sepupunya, Mirna (11) juga lincah mendayung. Bahkan Mirna biasa pergi melaut. Ia memancing ikan tak jauh dari rumahnya. ''Biasanya memancing ikan kalau hari Minggu. Dapatnya ikan sembilang,'' ungkap Mirna.

Tapi Ninin dan Mirna tak ingin seperti kakek-neneknya atau kedua orang tuanya. Ninin dan Mirna ingin sekolah setinggi-tingginya. Ninin yang ramah, pintar di sekolahnya. Ia rangking tiga. Begitu juga Mirna yang lebih kalem masuk tiga besar di sekolahnya. Cita-citanya? ''Tak tahu,'' katanya.

Menurut Kepala Dinas Kota Batam, Muslim Bidin, Pemko Batam menganggarkan dana untuk biaya transportasi laut siswa di hinterland, termasuk anak-anak yang di pulau-pulau. Biaya transportasi laut ini diberikan kepada pelajar di Kecamatan Belakang Padang, Kecamatan Galang dan Kecamatan Bulang. Pulau Gara dan Pulau Bertam masuk wilayah Kecamatan Belakangpadang.

''Dengan begitu anak-anak di pulau bisa sekolah tanpa harus memikirkan biaya transportasi lagi,'' katanya.

Anak-anak hinterland itu mendapatkan bantuan transportasi Rp3 ribu per hari atau Rp78 ribu per bulan dari pemerintah. Bantuan itu diserahkan ke sekolah dan kemudian diberikan kepada masing-masing siswa. Di Kecamatan Belakang Padang, jumlah pelajar yang menerima biaya transportasi dari SD hingga SMA berjumlah 392 orang. Di Kecamatan Bulang berjumlah 512 anak dan di Kecamatan Galang berjumlah 316 anak. Dengan demikian total keseluruhan pelajar hinterland yang menerima biaya transportasi laut berjumlah 1.220 anak.

Adanya bantuan ini banyak orang tua di pulau-pulau kembali bersemangat untuk menyekolahkan anak-anaknya agar tidak melaut seperti mereka. Namun Ninin dan Mirna tidak tahu ada biaya transportasi dari pemerintah. Kedua cucu Jamal ini berangkat ke sekolah dengan perahu mesin milik kakeknya itu.

''Tak tahu om (ada bantuan biaya transportasi dari Pemko Batam). Dari sekolah tak ada, tak tahu juga,'' kata Mirna.

Selain biaya transportasi, anak-anak hinterland juga diberikan beasiswa oleh Pemko Batam, tiap tahun. Misalnya, pada tahun 2008, jumlah 58 orang dengan jumlah peserta yang ikut seleksi 118 orang. Tahun 2009, sebanyak 80 orang anak hinterland diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi.

Mirna yang masih sekolah dasar belum pernah mendapat beasiswa. Padahal prestasinya membanggakan. Saat kelas satu dan kelas dua ia rangking satu dan saat kelas tiga ia rangking tiga.''Tak dapat om,'' katanya.(habis).

* Nomine Rida Award 2011

Tidak ada komentar: