Kamis, 29 September 2011

Makyong Bernafas di Ujung Tanduk

Nasib Teater Tradisional yang Diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia

Siang itu, Rika (24) baru saja selesai menyantap nasi bungkus di rumah orang tuanya, Gang Selar, Kampung Keke, Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Bintan. Sejak beberapa bulan lalu, ia memutuskan meninggalkan Sanggar Seni Teater Makyong Warisan. Padahal, ia sudah jatuh cinta dengan Makyong sejak usia 14 tahun.

NURALI MAHMUDI - Bintan

KEPUTUSAN mundur dari panggung teater tradisional yang sudah membesarkan bakatnya selama puluhan tahun tampaknya tak disesali ibu satu anak ini. Menurutnya, semakin ke depan Makyong semakin dilupakan. Ia mengatakan hal itu berdasarkan semakin jarangnya ia bersama teman-temannya satu sanggar mendapatkan undangan untuk mementaskan cerita Makyong. Padahal seringkali ia latihan setiap malam. Butuh bensin untuk bahan bakar sepeda motornya. Apalagi ia tak memiliki pekerjaan tetap, sehingga undangan main Makyong merupakan rezeki baginya.

"Adik saya (Yanawati) juga keluar dan sekarang bekerja. Susah sekarang main Makyong. Kalau hanya latihan-latihan terus, saya tidak bisa," tutur Rika.
Mengaku mencintai Makyong sejak usianya belasan tahun, Rika sebenarnya sangat mencintai budaya ini. Selain honor yang diterimanya sehabis undangan pentas, ia bisa memenuhi kepuasan batinnya. Menjadi pemain Makyong pada waktu itu merupakan keputusannya sendiri, demikian juga dengan adiknya.

Beberapa kali kakak adik ini tampil bersama di atas panggung. Ketika tepuk tangan terdengar di tengah kursi penonton, Rika mendapatkan kebehagiaan tiada tara.

Senada dengan Rika, Sariyah yang kini usianya sudah kepala tujuh juga tengah sedih. Ditemui di rumahnya, Kampung Keke, pekan lalu, istri almarhum Tengku Muhammad Atan Rahman ini belum bisa melupakan kejayaan Makyong. Berkat Makyonglah ia pernah datang ke Jakarta atas undangan sebuah lembaga kebudayaan. "Pertama naik kapal, kedua naik pesawat terbang," tutur Sariyah yang siang itu tengah termenung di teras rumahnya. Ia begitu bersemangat saat diajak bicara tentang Makyong. Tengku Muhammad Atan Rahman atau biasa dipanggil Pak Atan adalah pewaris utama Makyong kelahiran sebuah kampung di Tanjung Kurau, Singapura sekarang ini. Sedangkan Sariyah asli kelahiran Kampung Mantang.

Bersama Pak Atan lah ia turut serta mengembangkan Makyong. Ia menceritakan bagaimana dulu Makyong selalu ditunggu kehadirannya oleh warga. Bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau sekitar Bintan, Makyong adalah hiburan saat ada keramaian warga. Kejayaan Makyong juga kejayaan secara ekonomi. Selain Jakarta, Singapura adalah negara tetangga yang pernah dipijak Sariyah juga karena Makyong. Dari lima anaknya, hanya anak keempatnya, Satar dan anak kelima, Muhtar yang masih tetap mencoba mempertahankan Makyong meski semakin sulit.

Satar adalah Ketua Sanggar Seni Teater Makyong Warisan, Keke yang piawai memukul gendang pengibu, sedangkan Muhtar lihai memukul gendang penganak. Selain mereka, masih ada seorang anak Satar bernama Tengku Sakdiyah dan Tengku Saputra yang memiliki bakat seni warisan leluhurnya dan senang senang hati mempelajari Makyong dari ayah dan neneknya.

Bagi Sariyah, semakin lama memendam kerinduan untuk bisa main Makyong lagi justru menimbulkan kesedihan mendalam. Ia tahu kampungnya semakin maju, semakin banyak kebudayaan baru yang lahir, semakin banyak anak-anak muda yang sekolah, namun ia seakan tak rela Makyong dilupakan begitu saja. Anak-anak muda lebih suka tarian modern dibandingkan ikut Makyong. Makyong sudah dianggap kuno. Padahal di dalamnya terkandung begitu banyak nilai-nilai moral serta kebajikan yang semakin luntur di zaman ini.

Jika Sariyah dua kali ke Jakarta main Makyong, Rohayah (67) sudah empat kali. Rohayah yang juga anggota teatar yang sekarang diketuai Satar masih ingat kepergiannya ke Jakarta untuk main Makyong. "Tahun 1975 ke istana negara, lalu ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan mana lagi saya lupa. Saya hanya ingat kami main Makyong di gedung bulat. Kami main di tengah, tempatnya di panggung bawah, lalu penonton di atas mengelilingi kami. Senang sangat kalau mengingat masa itu," tutur wanita kelahiran Jawa Barat namun merantau ke Bintan sejak kecil dan jatuh cinta kepada Makyong.

Rohayah menceritakan, penampilan terbaru Makyong ialah saat mendapatkan undangan Pemkab Bintan untuk mengisi acara peresmian Monumen Antam di Kijang beberapa minggu lalu. Seperti main karena undangan lainnya, pementasan teater Makyong selalu dibatasi waktu. Zaman dahulu, tutur Rohayah, satu episode Makyong bisa dua atau tiga hari. Dimulai habis isya sampai tengah malam. Jika ceritanya belum usai, akan diteruskan besok malam. Namun sekarang hanya diberikan waktu belasan menit. Mau tak mau, pemainnya tak selengkap jika bermain utuh.

"Dulu bisa saja peran inang ada dua orang, atau awang juga dua orang. Sekarang satu satu saja. Jika Inang keluar, jangankan mendengar ia bercakap, keluar di panggung dengan gerakannya yang kocak saja sudah membuat penonton terpingkal-pingkal. Sekarang tak bisa banyak bergaya dengan tarian karena waktunya sedikit," kata Rohayah sambil memperagakan tarian inang selama sekian detik.

Wanita yang kini tinggal bersama Sariyah ini lama terdiam. Jemari tangannya bergerak-gerak. Sesekali ia menatap wajah Sariyah yang juga terdiam. Lalu Sariyah meneruskan cerita Rohayah. Peralatan makyong yang dulu sering mengiringi ia bermain Makyong bersama suaminya sebelum meninggal kini masih tersimpan rapi di gudang. Jika ia bisa bicara, lanjutnya lirih, gendang pengibu, gendang penganak, gendang gedombak, kenong, gong, breng-breng, crek dari bambu, biola dan rebab itu akan mengutarakan kesedihannya begitu lama disimpan di kamar.

"Orang yang sudah menyatu dengan Makyong itu merasakan sesuatu yang mendalam. Ada keterikatan yang tak bisa dikatakan dengan ucapan," kata Sariyah. Peralatan Makyong juga tak boleh diperlakukan sembarang.

Di usianya yang sudah senja, Sariyah dan Rohayah semakin resah. Jika suatu hari nanti mereka dipanggil Tuhan, siapa yang akan meneruskan tradisi Makyong ini, begitu pikirnya. Memang ada beberapa anak muda di Keke dan Kijang yang bersedia diajari Makyong. Tetapi itu belum mampu menghilangkan keresahan tadi.

Seperti sifat anak-anak muda lainnya, mereka sedang di masa pencarian jati diri. Jika tidak diperlakukan dengan sungguh-sungguh dan pendekatan yang bagus, bisa saja mereka akan beralih ke tarian modern yang lebih sering dilombakan daripada Makyong yang belum tentu tiga bulan main sekali. Padahal untuk pementasan Makyong tak perlu panggung segemerlap panggung hiburan lain, seperti festival band misalnya yang butuh dana banyak untuk menyewa peralatan.

Seperti juga teater rakyat lainnya, pementasan Makyong tidak menuntut set properti, dekorasi, atau layar untuk pergantian babak. Bila Makyong dipentaskan di lapangan terbuka, tempat pentas harus diberi atap yang menggunakan bubungan dengan enam buah tiang penyangga. Pada kayu yang melintang dihiasi daun kelapa muda. Bila dimainkan di istana, Makyong dipentaskan di panggung beton berbentuk segi enam.

Keprihatinan akan masa depan Makyong turut dirasakan Aswandi Syahri, sejarawan Kepri. Sebagai sebuah warisan budaya yang diakui UNESCO, Makyong seharusnya dipertahankan. Pemerintah memiliki peranan yang penting untuk melestarikannya. Terasa lucu jika Makyong yang sudah diajukan ke PBB sebagai warisan budaya Indonesia khususnya dari Bintan dan akhirnya diakui ternyata sudah sulit ditemui di tengah-tengah masyarakat Melayu Kepri.

"Saya pernah menyaksikan penampilan Makyong di Jakarta. Begitu pemain keluar, rasanya seperti tersihir. Bagus. Sekarang tak mudah untuk melihat para pemain Makyong berperan di atas panggung. Sayang kalau warisan budaya tradisional yang diakui UNESCO hilang begitu saja," kata sejarawan yang baru-baru ini menyelenggarakan pameran sejarah di Gedung daerah, Tanjungpinang.

Machzumi Dawood, budayawan yang tinggal di Tanjungpinang pada kiriman artikelnya Februari kemarin menuliskan: Pulau Bintan merupakan salah satu pulau utama di Kepulauan Riau. Di pulau inilah terletak Tanjungpinang, salah satu kota di Pulau Bintan, yang dahulunya merupakan ibukota Kabupaten Kepulauan Riau (ketika itu masih dalam wilayah Provinsi Riau).

Sebagai ibukota kabupaten ketika itu, tentu banyak aktivitas yang berlangsung di kota Tanjung Pinang, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun oleh pihak non pemerintah. Di antara berbagai kegiatan itu, salah satunya adalah kegiatan seni-budaya. Kegiatan seni-budaya di Tanjung Pinang - menurut catatan saya - telah berlangsung sejak pertengahan tahun 50-an.

Saya selalu menyaksikan kegiatan seni-budaya pada periode masa kecil saya. Saya saksikan pertunjukan tari-menari dan drama dalam acara-acara sekolah, saya saksikan Makyong dari Pulau Mantang; saya menyaksikan Wayang China/Opera China dari Singapura, dan saya juga menyaksikan pertunjukan Joget alias Dancers bayaran dari Singapura. Ketika dewasa, banyak hal yang saya saksikan pada periode masa kecil saya, menjadi bahagian dari aktivitas kehidupan saya.

Saya pernah menyanyi, menari, main drama, dan membaca puisi. Pada akhirnya, pilihan saya jatuh pada sastera.

Bila saya sebut Wayang China/Opera China dan Joget alias Dancers bayaran dari Singapura, maka memanglah kedua jenis kesenian itu datang dari Singapura. Yang saya tahu, Wayang China/Opera China masih eksis di Singapura. Ada sebuah akademi yang khusus mempelajari hal tersebut di Singapura. Saya tak tahu, bagaimana dengan Joget atau Dancers bayaran dari Singapura itu.

Mengenai Makyong, kelompok teater tradisi ini masih ada sampai ke hari ini. Masih tetap ada di Pulau Mantang. Bahkan ada sebuah lagi kelompok Makyong di daerah Keke, Kijang, Bintan Timur.

Kekhawatiran saya ialah, bahwa seni tradisi yang telah saya sebutkan itu, dianggap ketinggalan zaman dan kolot, lalu hanya akan menjadi sebutan saja, bagaikan artefak budaya, yang hanya dikaji dan dikaji, namun tak pernah dapat ditampilkan.

Di Kepulauan Riau atau Provinsi Riau, hanya tinggal dua grup teater Makyong, tetapi hidupnya tertatih-tatih. Pertama, teater Makyong yang bertempat di Mantang Arang, pimpinan Chalid Kasim. Dan kedua, teater Makyong di Keke, yang dulu dipimpin Atan. Setelah Atan meninggal digantikan oleh anaknya Satar. Keduanya di Kabupaten Bintan, dan merekalah yang sampai sekarang punya semangat untuk mempertahankan seni tradisi makyong, tetapi lemah apresiasi.

Sebenarnya, saat masih berjaya di tahun 50-an, Makyong menyebar ke berbagai tempat, selain di Mantang Arang dan Keke, Kijang, teater Makyong juga ditemukan di Rempang/Sembulang, Dompak, Kasu, Pulau Buluh, dan Cate (daerah pinggiran Pulau Batam).

"Hingga kini di Kepri yang masih bertahan adalah Makyong di Keke Kijang dan Mantang Arang," kata Ketua Dewan Kesenian Kepri, Husnizar Hood usai pementasan Makyong di Tanjungpinang, beberapa waktu lalu.

Yang paling merasa sedih tentu saja Satar. Ketua Sanggar Seni Teater Makyong Warisan ini tahu betul sejarah Makyong di Kepri, karena nenak moyangnya memang pelaku Makyong. Tahun 1975 dikatakan nyaris tak ada lagi Makyong di Riau. Baru pada tahun 1993 Makyong mulai dibangkitkan kembali. "Itu juga bukan oleh orang Riau atau Kepri, melainkan oleh Ibu Pudentia, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dari Jakarta. Dosen Sastra Universitas Indonesia ini memperjuangkan Makyong tiada henti. Kalau bukan karena amanah, sudah saya tinggalkan Makyong dan memilih bekerja formal," kata Satar saat menceritakan kisah hidup Makyong di Hotel Sadap, Tepi Laut, Minggu (26/6) siang.

Jika hanya pesan yang disampaikan almarhum ayahnya, mungkin Satar bisa melupakannya. Namun karena Makyong diamanahkan kepadanya, ia memilih meninggalkan pekerjaannya sebagai mandor sebuah perusahaan di Galang, Batam dan juga mengistirahatkan jaring dan pompongnya. Ia sadar, hidup dari Makyong di zaman seperti sekarang ini serba susah. Hanya kecintaannya terhadap warisan leluhur ini membuatnya bertahan.

Sejak usia 10 tahun, Satar sudah diajak pentas Makyong oleh orang tuanya, Atan dan Sariyah. Pulau Dendun, Karas, Senayang, Lingga, Dabo Singkep, Bangka Belitung bahkan Kalimantan pernah disinggahi teater Makyong yang waktu itu dipimpin almarhun Atan. Bakatnya mengkreasikan naskah cerita Makyong, menciptakan tarian, melatih dan memainkan peralatan Makyong lahir dari seringnya ia ikut orangtuanya. "Kami dulu mengamen. Panggungnya dihiasi dengan daun kelapa di semua sudut, yang masuk pakai karcis. Waktu dulu saya ingat bayarnya Rp50. Senang bukan main," tutur Satar.

Peralatan Makyong yang tersimpan di gudang rumahnya bahkan pernah ditawar kolektor dari Belanda Rp500 juta, namun tak dilepas Satar. Berapa pun orang mau bayar, kata dia, tak akan diserahkan.

Sama seperti Sariyah yang sedikit terhibur karena ada Satar yang tetap melestarikan budaya Makyong, Satar juga berharap dua anaknya, Tengku Sakdiyah dan Tengku Saputra yang akan meneruskan darah Makyong.

***


TAK ada catatan tertulis yang secara jelas menyebutkan asal usul Makyong. Ada berbagai pendapat. Pertama dari hasil diskusi Teater Tradisional yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, Direktorat Pembinaan Kesenian tanggal 13 Desember 1975. Juga ada pendapat dari Ediruslan PE Amanriza dan Hasan Junus tahun 1993 serta BM Syamsuddin tahun 1995. Namun yang dianggap mendekati kebenaran hasil penelusuran yang dilakukan oleh Pudentia MPSS, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) ketika melakukan penelitian sejak awal 1990-an tentang Makyong untuk disertasi doktornya di Universitas Indonesia, terungkap bahwa teater tradisi sejenis Makyong di Melayu-Riau pertama kali dikenal oleh orang- orang Eropa pada abad ke-18 di Thailand selatan. Tepatnya di daerah Narathiwat, Patani.

Oleh karena itu, tidak aneh bila Makyong-juga disebut-sebut sebagai opera Melayu-punya banyak kemiripan dengan teater (tradisional) Manora dari Thailand selatan. Dari Patani, teater-opera ini diperkirakan masuk ke Kepulauan Riau melalui Kelantan di Tanah Semenanjung dan Tajung Kurau di Teluk Selabim, Singapura.

Dalam berbagai tulisannya yang masih bisa ditelusuri, termasuk di internet, Pudentia mengatakan Makyong sempat mengalami masa ketiadaannya, yakni pada sekitar tahun 1990-an, saat ia mencoba menemukan jejaknya. Sebelumnya, Makyong setelah mencapai masa puncak kejayaan pada tahun 1950-an. Selama lebih dari dua dekade tak pernah terdengar ada pentas Makyong. Padahal, kata Pudentia, saat itu masih ada beberapa tokoh yang dapat bermain Makyong. Pak Atan dan Pak Khalid adalah dua tokoh pewaris utama Makyong yang sempat menikmati masa kejayaan salah satu seni tradisi Melayu ini. Jika Pak Atan meninggal dunia, toh masih memiliki anak yaitu Satar yang bisa bercerita tentang teater tradisional ini.

Sedangkan menurut Aswandi yang ditemui di Jalan Bintan, dua pekan lalu, kisah Makyong bermula pada 1780, di mana dua pemuda asal Mantang, Encik Awang Keladi dan Encik Awang Durte pergi ke Kelantan untuk mencari jodoh. Takdir mempertemukan jodoh mereka dengan gadis Kelantan. Selepas nikah, mereka menetap di Pulau Tekong, perbatasan Johor dengan Singapura. Mereka bercerita kepada penduduk bahwa ada kesenian Makyong di Kelantan. Penduduk Pulau Tekong yang tertarik, pun kemudian sepakat belajar Makyong ke Kelantan pada 1781.

Menjelang 10 tahun kemudian, penduduk Pulau Tekong berhasil menggelar pementasan pertama Makyong. Setelah itu, Makyong pun semakin berkembang, hingga kabar pun terdengar oleh telinga Sultan dari Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, Sultan Mahmud Syah III (1757-1811). Ia mengundang pemain Makyong untuk tampil di Pulau Penyengat. Dari titik itulah, Makyong kemudian masuk ke Kepri.

Makyong di Indonesia mengalami kejayaannya pada masa keemasan kesultanan Riau-Lingga dan pada masa sekitar tahun 1950-an. Pada masa kejayaannya ini Makyong pernah dianggap sebagai kesenian istana. Hal ini juga dituliskan Aswandi dalam bukunya Makyong, Teater Tradisional Kabupaten Kepulauan Riau yang diterbitkan atas kerja sama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kepulauan Riau dengan Yayasan Khasanah Melayu tahun 2005.

Penggalian informasi dari Sariyah dan Rohayah, pemain Makyong terdiri dari berbagai peran, yaitu awang dan inang pengasuh (sebagai pesuruh raja), mamak (rakyat), Pakyong (raja), dan Wak Perambun (panglima). Pertunjukan dimulai dengan upacara ritual yang dilakukan oleh bomoh (pembaca mantra). Setelah acara ritual selesai, bomoh membuka upacara "buka tanah", minta izin kepada leluhur. Pada akhir pertunjukan, bomoh mengakhirinya dengan ritual "tutup panggung".

"Tetapi sekarang saya tidak melakukan buka tanah secara lengkap. Karena zaman sekarang hal-hal demikian sering disebut tahayul. Saya ambil beberapa bagian saja, intinya meminta kepada Allah agar permainan Makyong berjalan sukses, tak ada yang mengganggu," kata Satar.

***


Upaya menghidupkan kembali Makyong bukan hanya dilakukan baru-baru ini. Pada kegiatan Revitalisasi Budaya Melayu tahun 2004 sudah dicuatkan agenda untuk melakukan upaya pelestarian. Bukan yanya oleh tokoh budaya yang ada di Kepri. Bahkan mulai tahun 1975 dan tahun 1982 sudah ada usaha untuk menghidupkan Makyong lewat semacam kegiatan revitalisasi pada para pelajar sekolah pendidikan guru atau SPG (sekarang SMAN 5 Tanjungpinang). Hanya saja, pementasan Makyong dalam arti yang sesungguhnya tak kunjung muncul.

Sebuah kejadian penting akhirnya muncul, pada bulan Agustus 1991. Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama Pudentia memelopori pementasan Makyong di Mantang Arang, kampung asal Makyong Riau. Masyarakat Bintan seakan bangkit. Ingatan pada kegemilangan Makyong pada era 1950-an seolah dihidupkan kembali. "Tentu saja mereka merasa dihibur dan dihargai karena orang 'kota' pun mau nonton seni tradisi leluhur mereka. Euforia ini terus berlanjut sampai tahun 1993, yakni ketika Makyong Riau berpentas di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dalam Seminar dan Festival Tradisi Lisan Nusantara I," jelas Pudentia.

Kedekatan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Indonesia ini dengan Makyong, kata Sariyah dan Rohayah memang terasa sampai sekarang. "Pokoknya kalau beliau datang ke Kepri pasti mampir ke rumah. Kecuali sibuk sekali, beliau meminta kami yang datang menemuinya. Salah satu perlengkapan Makyong juga dibelikan oleh Ibu Pudentia dari Thailand," ujar Rohayah.

Sejak itu kegiatan pendampingan terus dilakukan. Selain ATL, Ford Foundation dan pemerintah daerah juga mulai menoleh pada Makyong. Dalam catatan seorang Soemantri Sastrosuwondho yang ikut workshop Makyong di Tanjungpinang pada tahun 1980 dan dituliskannya dalam sebuah website, panitia mengajukan proposal kepada Gubernur Kepala Daerah Riau dan mendapatkan persetujuan untuk dilaksanakan dengan dukungan biaya dari APBD Provinsi Riau tahun anggaran 1979/1980.

Semula Proyek Revitalisasi Teater Makyong ini akan dibiayai oleh pihak Pemerintah Daerah Provinsi Riau dan pihak LPKJ sebagai pelaksana proyek, yang akan mengumpulkan dana dari beberapa sponsor. Sampai menjelang pelaksanaan workshop, dana yang diharapkan dari pihak sponsor tidak berhasil dikumpulkan. Akhirnya pihak pelaksana tetap melaksanakan kegiatan tersebut dengan dana yang disediakan oleh Pemerintah Daerah Riau.

Workshop dimulai tanggal 17 Februari 1980 dan berakhir pada tanggal 14 Maret 1980 dengan pementasan Makyong hasil garapan workshop, bertempat di SPG Negeri Tanjungpinang. Sehari kemudian, seluruh peserta workshop berangkat ke Mantang Arang dengan menggunakan kapal motor milik Pemda Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang Kabupaten Bintan). Malam harinya seluruh peserta workshop menyaksikan pementasan Makyong, agar mereka mendapat gambaran yang jelas tentang Makyong.

Ketua Lembaga Kemajuan Makyong Kepulauan Riau, Said Parman mengatakan Pemerintah Indonesia dan Malaysia bersama-sama mengajukan kesenian Makyong sebagai catatan sejarah dunia (Memorial of The World) kepada Unesco. "Pengajuan ke Unesco sudah dimulai dari bulan Mei tahun 2008 bersama Pemerintah Malaysia, karena Malaysia juga mempunyai kesenian Makyong," Kata Said Parman di Tanjungpinang, waktu itu.

Pengajuan Makyong ke UNESCO tak lepas dari penelitian Pudentia yang sudah tertarik mempelajari budaya Melayu sejak 18 tahun silam. Sebelum mengajukan Makyong sebagai warisan budaya ke UNESCO, ia membuat film dokumenter selama enam hari di Pulau Bintan.

Hasil rekaman ini sampai sekarang masih bisa disaksikan di youtube. Selain Makyong, seni-seni tradisi lain di Indonesia yang turut diajukan ATL ke UNESCO diantaranya adalah Mamanda di Kalimantan, Lenong di Jakarta, Bangsawan di Lingga serta Gambang Kromong di Jawa. ATL sendiri merupakan lembaga yang konsen terhadap seni-seni tradisi lisan di Indonesia.

Namun klaim atas Malaysia akhirnya terbantahkan ketika dilakukan Seminar Makyong di Hotel Comfort tahun 2010. Seminar ini dihadiri tokok-tokoh sejarawan Melayu, termasuk dari Malaysia dan negara lain. Malaysia akhirnya bisa mengerti karena Satar waktu itu bisa menunjukkan dokumen tertulis yang diwariskan nenek moyangnya.

"Jadi Makyong itu milik Indonesia," kata Satar. Dalam waktu dekat, Satar dan rombongan akan berangkat ke Parid - Perancis untuk penetapan Makyong sebagai salah satu warisan budaya dunia. Menurut Satar, piagamnya sudah berada di Jakarta. Kabar keberangkatannya ke Paris diperolehnya dari Pudentia.

Pudentia sendiri yang dikonfirmasi, Minggu (26/6) mengatakan pada hari Rabu (29/6) akan datang ke Tanjungpinang. "Kita ketemu saja di Tanjungpinang agar lebih lengkap informasinya," katanya.

Pada bulan April 2011, Bupati Bintan Ansar Ahmad menyampaikan kabar kalau Makyong akan ditetapkan UNESCO sebagai milik Negara Republik Indonesia. "Penetapan seni dan tari Makyong oleh UNESCO ini akan berlangsung di Paris-Perancis. Makyong merupakan seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional. Di zaman dulu, pertunjukan Makyong diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen padi," kata Bupati di sela-sela Festival Tari se- Kabupaten Bintan yang diadakan di Gedung Nasional, Tanjunguban.

Melestarikan Makyong sepertinya harus segera dimulai oleh pemerintah bekerja sama dengan pelaku Makyong. Seperti dikatakan Kadis Pariwisata Provinsi Kepri, Guntur Sakti, tiga hari lalu. "Satu yang perlu dipahami oleh semua pihak, pariwisata bukanlah penunjang pelestarian kebudayaan. Akan tetapi, kebudayaan merupakan fondasi utama dalam membangun pariwisata di Kepri," tegasnya.

Guntur mencontohkan Bali, daerah ini sukses membangun kebudayaan dan pariwisatanya maju dengan pesat, karena, budaya menjadi fondasi dan memiliki nilai jual tinggi di bidang pariwisata. Sekarang ia melihat pariwisata di Kepri terkesan lebih menonjol ketimbang budayanya. "Jangan sampai, pariwisata digesa, budaya terlupakan. Kalau suduh bagus pengembangan budayanya, itulah yang menjadi produk pariwisata kita. Contoh nyatanya adalah Makyong di Bintan, semakin lama semakin tergerus zaman dan terlupakan. Padahal, ini bisa menjadi jajanan pariwisata di Kepri, sebagai wilayah yang sangat menghormati nilai-nilai luhur kebudayaan," pesan Guntur.

UNESCO boleh mengakui Makyong, Kadis Pariwisata Kepri boleh menginginkan terjaganya budaya yang maju bersama dunia pariwisata. Namun kegelisahan Sariyah tetap ada. Saat Makyong tengah berada di sebuah lorong waktu, apakah ia masih bisa menyaksikan generasi penerusnya memainkannya untuknya. Bersama Rohayah ia menitipkan pesan, "Kalau ada anak muda yang ingin belajar Makyong kami dengan senang hati akan mengajari mereka." ***

Tidak ada komentar: