Jumat, 21 Maret 2014

Dag Dig Dug Dengar Digdo

Di area Cagar Biosfer Giam Siak Kecil yang rusak berasap pekat, jantung warga dagdigdug mendengar nama Digdo. Apa kaitan sosok penciut nyali ini dengan illegal logging?

  KAWASAN Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) sebagai wilayah yang dilindungi, ternyata tak luput dari aksi perambahan, pembakaran dan mengubah hutan menjadi kebun. Lebih menjadi sorotan ketika dari sini justru membubung jerebu pemicu bencana kabut asap yang menghebohkan itu.

 Pekan lalu, tepatnya Kamis (12/3), kami berada di sekitar wilayah tersebut, tepatnya di Desa Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Tak ada Kepala Desa. Kami hanya menjumpai Sekretaris Desanya Eko Sarwono yang terlihat sibuk. Ketika itu baru saja mengumpulkan seluruh aparat dan perwakilan desa yang dihuni sekitar 1.300 orang tersebut.

 Dibantu aparat Koramil Mandau-Pinggir, ia menyosialisasikan soal larangan membuka lahan dengan cara membakar dan membuka hutan Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil. Hanya saja, kehadiran mengubah suasana. Sebab, pertemuan terlihat buru-buru dibubarkan. Puluhan peserta sosialisasi juga secepatnya meninggalkan kantor desa, seakan menghindar.

Memang, sejak kabut asap menggila dan sejak itu pula aksi pembalakan liar di kejar habis, warga desa tersebut selalu cemas dengan aparat, termasuk media massa. Hanya Sekretaris Desa Eko Sarwono, Ketua BPD Jumeri dan seorang warga lagi Hasanudin yang mau berbincang. Itupun tetap dengan sorot mata was-was dan hati-hati di setiap tutur katanya.

 ‘’Kepala desa kami, Supendi sudah tiga bulan lalu ditangkap Polres Bengkalis. Sedang proses hukum sekarang. Tuduhannya memfasilitasi dan menyediakan alat berat untuk membuka hutan lindung. Dua orang warga sini baru-baru ini juga ditangkap, dituduh bakar lahan,’’ ucap Ketua BPD Jumeri. Ini jawaban penjelas tentang ke mana kepala desanya. 

 Mendengar itu, wajar saja was-was dan hati-hati tersirat dalam sorot mata, gerak badan warga desa tersebut, termasuk Sekdes Eko Sarwono. Apalagi, Eko, sejak Kepala Desa ditangkap dan desa mereka menjadi sorotan media tempat terjadinya perambahan hutan alias illegal logging dan kebakaran hutan dan lahan, selalu disibukkan dengan berbagai panggilan. 

‘’Dari wajah Pak Eko seperti kelihatan lelah sekali ya?’’ tanya kami mencoba mencairkan suasana. ‘’Bukan lelah lagi pak. Sudah keluar air mata saya ini, menangis. Kemarin pukul empat subuh saya harus berangkat ke Pekanbaru mendampingi Camat karena dipanggil Gubernur diminta jelaskan soal illegal logging dan kebakaran lahan. 

Sorenya, saya kembali ke desa karena TNI katanya mau masuk memburu pelaku illegal logging. Saya juga sudah sering diperiksa untuk kasus-kasus illegal logging ini,’’ ucap Eko, yang mulai kurang was-wasnya. Diungkapkannya, warga desa tidak tahu menahu soal illegal logging. Begitu pula soal kebakaran hutan dan lahan, diyakininya tidak ada warga mereka yang membuka lahan dengan cara itu. 

Juga soal Hutan Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil yang Ia sendiri sebagai perangkat desa, tidak mengetahui persis mana batas-batasnya. Yang ada, kata dia, petugas dari Dinas Kehutanan pernah datang dan bilang kalau desa mereka masuk dalam hutan lindung itu. Tapi yang terjadi, keluh dia, nama desa mereka menjadi buruk. 

 ‘’Nama desa kami ini selalu buruk karena illegal logging, kebakaran hutan dan hutan lindung itu. Entah mana batas hutan lindung itu, kami tidak tahu. Petanya tidak ada. Sosialisasi tidak pernah. Kalau illegal logging itu, bukan kami yang melakukan. Desa kami ini hanya numpang lewat kayu yang sudah diolah menggunakan truk-truk. Imbasnya, ya, dikira warga kami yang mengerjakan,’’ jelas Eko.

 Lantas soal Kepala Desa yang tersangkut kasus illegal logging di hutan lindung tersebut? Eko kembali menata kata-kata. Ia menjawab, itu sudah menjadi urusan pribadinya dan ia tidak tahu menahu persisnya. ‘’Itu urusan hukum Kades lah,’’ kilahnya. Tapi nada pembelaan datang dari Ketua BPD Jumeri. Katanya, Kepala Desa hanya sebagai korban dan ada pemodal besar yang bermain. Ditanya apakah oknum dimaksud adalah anggota TNI yang salah satunya kini sudah menjadi tersangka yaitu Serma Digdo? Jumeri langsung mengiyakan. 

 Rupanya, Digdo memang dikenal luas oleh warga desa tersebut sebagai pemain lama pembalakan liar. Tak ada nada gentar saat menyebut nama itu. ‘’Sekarang kenapa takut lagi. Kalau memang itu kebenaran dan kita tidak salah, kenapa harus takut,’’ ucap Jumeri, lancar. 

 Serma Digdo sendiri diungkap Komandan Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Bencana Asap Riau yang juga Danrem 031/Wirabima, Brigjen TNI Prihadi Agus Irianto sebagai pemodal perambahan hutan lindung Cagar Biosfer Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Tidak diungkap berapa banyak pembalakan liar yang sudah dilakukan. Serma Digdo dikatakan sudah ditangkap di Medan, Senin (10/3). 

‘’Digdo sudah ditangkap di Medan,’’ ujar Danrem Agus Irianto kepada wartawan di Posko Satgas Penanggulangan Bencana Asap Riau, Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Selasa (11/3). Bagaimana Jumeri dan warga desa bisa mengenali Digdo, apakah selalu menampakkan wajahnya di Desa? Jumeri dan Hasanuddin kompak menyebut tidak pernah bertemu langsung yang namanya Digdo. Nama itu menyebar dari mulut ke mulut dan tidak satupun yang akan berani menganggu aktivitas mereka. 

Salah satu ciri aktivitas Digdo, dikenali pada nomor kendaraan BM atau BK 88. Ditenggarai pula, Serma Digdo selama ini memiliki jaringan yang kuat dalam memback-up aksi pembalakan liar. ‘’Semua mobil Digdo itu plat nomornya 88. Mulai dari kendaraan pribadi, truk atau kendaraan lainnya, semuanya memakai nomor plat seri 88. Jadi kalau ada mobil bernomor 88, masyarakat sudah tahu kalau itu Digdo dan tidak ada yang berani mengganggunya. Dibiarkan saja, takut,’’ ujar Jumeri, dibenarkan Hasanudin. 

 Keduanya juga heran, kenapa baru sekarang pembalakan liar diburu dan ditangkap. Yang mereka tahu, pembalakan liar dan illegal logging sudah terjadi bertahun-tahun lamanya melintasi desa mereka dan sudah menjadi rahasia umum masyarakat Duri-Dumai. Apakah sejak tahun 2009 lalu atau sejak SM GSK-BB diresmikan menjadi cagar biosfer oleh Unesco tidak lagi terjadi perambahan hutan? 

‘’Dua tahun terakhir ini menjadi-jadi malah. Dan sudah sejak tahun 2000-an. Desa ini sudah ada sejak 1996 dan saya yang pertama ikut buka lahan disini, jadi tahu persis,’’ ucap Jumeri. Hasil pembalakan liar diangkut melintasi desa Bukit Kerikil ketika sudah menjadi kayu log atau chip. Diboyong menggunakan truk menuju lintas Duri-Dumai dan ditenggarai dilego di jalur internasional laut Dumai. 

Kayu-kayu yang diambil dari hutan Giam Siak Kecil bernilai tinggi seperti Meranti, Balam dan Mahang. Harga perkubiknya bisa mencapai delapan jutaan. Setelah kayu diolah dan dijual, lahan semak yang tersisa lalu dibakar dan beberapa bulan kemudian ditanami sawit. Serma Digdo yang diduga membalak liar kayu itu, juga disebut warga desa memiliki ratusan hektare kebun sawit di lahan yang dulu diambil kayunya.

 ‘’Kalau mau melihat kayu gelondongan, sisiri saja kanal-kanal di dalam. Kanal-kanal itu berbatasan dengan HTI Sinar Mas atau HTI Sakato Pratama Makmur. Di situ juga katanya hutan lindung. Kami juga sering berkonflik dengan Sakato Pratama Makmur ini dimana kami dituduh menyerobot lahan. Di dalam juga masih ada 75 anggota TNI, katanya mengejar pembalak liar. Tapi hati-hati kalau ke dalam. Kami tidak mendampingi, di samping jalannya rusak,’’ kata Jumeri didampingi Eko.

 Dari penelusuran kami, letak pusat Desa Bukit Kerikil berada sekitar 25 kilometer dari jalan lintas Duri-Dumai. Memasuki desa ini, terhampar rimbunnya hutan perkebunan sawit dan sebagian hutan tanaman industri akasia. Petunjuk jalan yang diberikan sekitar 11 kilometer dari pusat desa. Lebih jauh ke dalam, kiri dan kanan pemandangan hutan akasia yang berjejer rapi. Aktivitas truk pengangkut kayu akasia juga hilir-mudik. 

 Jauh kedalam dan berbelok ke kanan menuju barat, sampailah di kanal besar yang lebarnya sekitar 15 meter. Kanal itu dikesankan memisahkan antara HTI dan lahan yang sebagian kosong dan sebagian lagi sudah ditanami sawit yang belum lama ditanam. ‘’Ini masuk umur 5 tahun pak. Yang punya lagi dinas,’’ ucap Geri, salah seorang pekerja di kebun sawit pertama yang kami temui. Dinas yang dimaksud Geri, adalah berdinas di kepolisian. 

 Beranjak lebih jauh ke dalam, juga belum tampak kayu-kayu gelondongan yang dimaksud. Hanya beberapa sisa kayu berukuran besar dan terlihat sudah lama ditinggalkan di pinggir jalan dan kanal. Jalan yang ditempuh pun kian sulit, terhambat potongan atau serat kayu yang banyak melintang di tengah jalan. Pemandangan lahan-lahan bekas terpanggang, juga terlihat menghampar luas. Dari kejauhan, dari balik hutan Akasia, terlihat asap putih menggumpal cukup luas membumbung tinggi. 

Kedatangan kami rupanya juga disambut api yang kembali membara dan asap yang dihasilkannya tertiup angin arah ke Barat. Di ujung jalan, bertemu bangunan bertuliskan Masjid Al Hidayah, RT03/RW05, Dusun Bagan Benio, Tasik Serai, Kampung Sidodadi KM8. Di balik bangunan yang terlihat tidak terawat dan sepi aktivitas ini, tampak tiga rumah yaitu kedai, satu rumah warga dan satu lagi rumah bertuliskan Ketua RT. ‘’Di dalam ada sekitar 60 KK lagi tinggal pak,’’ ujar seorang perempuan penjaga kedai. 

 Di kedai itu, sebuah mobil toyota Avanza tampak sedang menunggu. Penasaran, kami menyambangi pengendaranya. Rupanya hanya tinggal supirnya saja yang menyebut nama panggilannya Hutabarat. Ditanya siapa yang punya kebun sawit, Hutabarat menyebut salah seorang perwira di Kepolisian dan pernah menjabat Kapolres di Riau. ‘’Adik dia yang punya menengok lahan karena katanya ikut terbakar bang,’’ kata Hutabarat sambil menyeruput kopi pesanannya. 

Berapa luas lahan sawit itu? Hutabarat hanya tersenyum, enggan menjawab. Beranjak ke salah satu rumah warga, kami bertemu Titem sedang menanam pohon jambu di pekarangannya. Titem menyebutkan, dua hektare lahannya itu sudah ditanami sawit setahun lalu. Ia membeli lahan kepada pihak pertama bernama Sunardi, ditandai dengan surat kepemilikan dari Desa Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu, ditanda tangani Kades Sunardi yang kini sudah menjadi tersangka ikut merambah hutan SM GSK-BB.

 ‘’Saya beli dua tahun lalu Rp7 juta,’’ sembari menunjukkan surat desa yang dimilikinya ditandatangani menggunakan materai. Di surat tersebut, tertulis dikeluarkan 28 Maret 2007. Titem tak tahu persis areal itu masuk atau tidak dalam kawasan Hutan SM GSK-BB. Kami juga bertemu Ketua RT, Ali Hartono. Ia mengakui aktivitas illegal logging terjadi tidak jauh dari kampung itu. Ia membenarkan kalau dua hari sebelumnya puluhan anggota TNI mendirikan posko di tempatnya. Tujuannya, memburu pembalak kayu. 

Tapi, sehari sebelum kedatangan kami, puluhan TNI sudah keluar karena tidak sanggup menarik kayu hasil pembalakan liar sekitar 4 kilometer dari rumahnya. ‘’Kayaknya tidak bisa ditarik keluar. Sekitar 100 kubik lebih ada ditemukan disana. Disini bukan masuk hutan lindung,’’ kilah Ali. Saat ditanya kepemilikan salah seorang perwira polisi ditempatnya itu, Ali membenarkan. 

Kata dia, seluas 100 hektare kebun sawit di bangun oleh perwira polisi yang dibenarkannya juga pernah menjabat sebagai Kapolres di Riau itu. ‘’Itu punya mantan Kapolres. Seratus hektare. Kabarnya sebagian ikut terbakar. Lahan disini hanya ada surat dari desa,’’ ucap Ali. Kawasan Sidodadi yang sudah menjadi perkampungan itu, ditenggarai masuk dalam kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu. 

Walau tidak ada penanda atau plang nama, dari posisi kawasan yang dikepung HTI Akasia dan dari kejauhan nampak tegakan hutan alam yang sebagiannya terbakar, bisa diartikan itu masuk dalam Kawasan Inti atau penyangga Cagar Biosfer GSK-BB. Kepala Bidang 2, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau Supartono SHut MP mengatakan, Kampung Sidodadi itu kalau tidak masuk zona inti, hanya zona penyangga. Soal pendudukan lahan, termasuk oknum anggota kepolisian, ia menyebut juga mendengar tapi mengaku belum turun ke lapangan untuk memastikannya. 

 ‘’Wah, kalau (termasuk perwira kepolisian memiliki lahan dan kebun disana), itu yang membuat masyarakat semakin berani. Seandainya tidak masuk zona inti, pasti masuk zona penyangga cagar biosfer. Tetap tidak boleh. Nanti kami akan cek khusus di Bukit Kerikil ini. Sebelumnya kami hanya melakukan pengejaran di Mandau-Pinggir,’’ terang Supartono.

 Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu itu sendiri berada di dua Kabupaten Bengkalis dan Siak yang awalnya diinisiasi pengusulannnya kepada Unesco oleh Sinar Mas Forestry. Ditetapkan Unesco sebagai salah satu warisan ekologi dunia sejak 26 Mei 2009 di Korea Selatan, sejatinya Cagar Biosfer GSK-BB akan menjadi penopang ekosistem, ekologi dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. 

 Cagar biosfer dibaratkan tiga bentuk melingkar dalam lingkaran. Lingkaran paling dalam disebut zona inti, kemudian zona penyangga dan zona transisi. Zona inti inilah yang menjadi pusat dari kelestarian lingkungan hidup dunia dimana hidup dan berkembang satwa sertan fauna yang dilindungi sehingga menjadi pusat penelitian alami tanpa rekayasa. Zona inti juga bisa menghasilkan nilai positif secara materil terhadap perdagangan karbon dunia. 

 Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu itu sendiri terdiri dari zona inti seluas 178.722 hektare, zona penyangga 222,425 hektare, dan zona transisi 304.123 hektare. Hak pengelolaan Cagar Biosfer itu sendiri diberikan kepada Sinar Mas Forestry dan Pemerintah RI dalam hal ini BKSDA. Sinar Mas diberikan hak untuk mengelola zona penyangga yang memang kawasan hutan tanaman industri dan BKSDA mengelola dan mengawasi hutan Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil-Bukit Batu. 

 Penetapan cagar biosfer itu melengkapi enam cagar biosfer Indonesia lainnya, yaitu cagar biosfer Gunung Leuser, Pulau Siberut, Cibodas, Tanjung Puting, Pulau Komodo, dan Lore Lindu. Dan menjadi bagian World Network of Biosphere (WNBR) UNESCO yang terdiri dari 553 lokasi cagar biosfer di 107 negara pada 2009. Sejatinya pula, didalam zona inti tidak boleh ada aktivitas manusia. Tapi karena sudah sejak dahulu ada perkampungan di dalamnya, yaitu Desa Tasik Betung (Siak) dan Tasik Serai, Bagan Benio (Bengkalis), maka tetap dibiarkan dengan diberikan pemahaman untuk tidak melakukan aktivitas pembukaan dan perusakan hutan. 

 Nyatanya, kerusakan di Cagar Biosfer GSK-BB itu makin tak terkendali. Puncaknya menguak ketika malapetapa kabut asap melanda Riau sejak sebulan terakhir ini. Dimana terungkap, kebakaran yang meluas di Zona Inti Giam Siak Kecil dimulakan pembalakan liar. 

 ‘’Sekitar 1.800 hektare zona inti sudah terbakar. Kalau yang sudah menjadi perkebunan, kami belum hitung. Terakhir kami mengejar pelaku pembalakan dan memang belum berhasil. Kita sudah musnahkan kira-kira 13-15 kubik kayu dan mengamankan 1 buah sepeda motor dan 3 buah sepeda modifikasi yang digunakan untuk mengangkut kayu dari lokasi pinggi kanal,’’ ucap Supartono. 

 Luas lahan yang terbakar yang disebutkan Supartono itu masih lebih kecil dari yang dikemukakan Satgas nasional bencana kabut asap. Hampir 3.000 hektare lahan di Cagar Biosfer yang dikatakan sudah terbakar dan kondisi terakhir api masih terus hidup. Tidak dipastikan dari luasan itu, berapa bagian zona inti yang terbakar, sebab zona penyangga juga ikut terbakar. 

 *** 

SUASANA tenteram terekam di tasik yang cukup luas ditengah Hutan Cagar Biosfer Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil, tepatnya di Dusun II, Desa Tasik Betung, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak. Suasana tenang, asri dan harmonisasi alam itu kami rasakan berbeda jauh dengan Desa Bukit Kerikil atau sebagian dusun di Bagan Benio yang juga masuk Cagar Biosfer SM GSK tapi kini terbakar hebat, berawal dari pembalakan liar. 

 Tapi langit berkabut itu bukan menandakan pagi yang biasa diselimuti embun pagi. Walau tidak terjadi perambahan dan Karhutla secara masif di pangkal SM GSK itu, mereka juga mendapat imbas kabut asap pekat, sama halnya dengan jutaan warga Riau lainnya. Tapi masyarakat Tasik Betung tetap beraktivitas seperti biasa, berkebun karet dan mencari ikan. Mereka tidak tahu soal status tanggap darurat yang hari itu diperpanjang untuk kedua kalinya.

 ‘’Kemarin ada dipadamkan pakai helikopter. Tidak banyak, tapi langsung dipadamkan. Kalau terbakar banyak, tidak ada di kampung kami ini. Kalau terbakar sedikit, sedikit ada. Sekarang ini dimana-mana ada asap,’’ ujar Kalub (48), yang membawa kami mengitari Danau atau Tasik Betung hingga ke Sungai Siak Kecil menggunakan sampan bermesinnya. 

 Kami bertandang ke dusun itu didampingi Kasi Trantib Kecamatan Sungai Mandau Yaumil Azwan SH dan Muslim, anggota Satpol PP. Yaumil menyebutkan, semenjak malapetaka kabut asap menimpa Riau, ia semakin disibukkan untuk mengecek ke lapangan, memastikan titik-titik api. 

‘’Kalau di Sungai Mandau ini dan Tasik Betung, tidak banyak yang terbakar. Ada memang, tapi tidak sampai ratusan hektare. Kita sudah menghimbau agar masyarakat tak hanya membakar lahan, tapi juga ikut mengawasi lahan masing-masing,’’ ucap Yaumil. Kepala Dusun II Tasik Betung, Ayun, mengatakan, kabut asap tidak terlalu menganggu aktivitas mereka. Warga desa, sebut dia, tetap beraktivitas seperti biasa, berkebun dan mencari ikan. Berkebun apa dan dimana? Ayun menjawab lugu. 

‘’Memang dilarang berkebun sawit disini. Tapi saya bilang, kalau hanya berkebun karet, tak kaya-kaya,’’ ucap Ayun yang mengaku tidak tahu persis tata batas SM GSK, walaupun dirinya ikut menandatangani pengusulan SM GSK menjadi salah satu Cagar Biosfer dunia. Godaan terbesar bagi masyarakat asli dan pendatang di Tasik Betung itu memang berkebun sawit. Walau dilarang, beberapa warga nampak nekat membuka lahan, dipinggir-pinggir sungai. 

Saat kami berkeliling tasik menggunakan sampan bermesin atau pompong, beberapa hektare lahan tampak sudah dibuka dan terlihat habis dibakar. ‘’Itu buat kebun sawit. Sudah dilarang, tapi buat juga. Bagaimanalah, sekarang ini kebun sawit yang menjanjikan. Kalau karet, murah,’’ kata Kalub Tapi kalau untuk membuka kebun karet atau untuk berkebun sebagai bertahan hidup, Kalub berani mempertahankan argumennya. 

Satu ketika, ucapnya, ia pernah didatangi petugas Dinas Kehutanan dan melarang membuka lahan untuk apapun. Mendengar itu, ia bercerita serta merta menjawab dengan nada tinggi. ‘’Sejak nenek moyang kami berada disini, kenapa dilarang. Itu lihat pokok mangga sudah tidak bisa dipeluk lagi, besarnya. Kalau kami mau nanam karet atau ubi disini, mau apa,’’ ujar Kalub menceritakan. 

 Ia juga berpendapat soal pelarangan dan rusaknya alam itu terjadi semenjak kedatangan perusahaan yaitu Sinar Mas. Banyak kayu-kayu besar diambil dan kini ditanami akasia. ‘’Karena di rawa saja mereka tidak mau mengambil kayunya, payah. Dulu tasik ini, kayu balak semua isinya. Sampai-sampai kami tidak bisa pasang lukah untuk mencari ikan. Sekarang, kami pulak yang dilarang,’’ paparnya. 

 Terkait kondisi ini, Profesor Yohannes Purwanto, Direktur Man and Biosphere (MAB) Indonesia yang kami hubungi menilai, ketidaktahuan masyarakat disebabkan ketidak mau tahuan masyarakat itu sendiri. ‘’Karena sewaktu pengajuan nominasi cagar biosfer, kami juga minta rekomendasi dari masyarakat di cagar biosfer. Sebenarnya penetapan cagar biosfer bukan utk membatasi aktivitas masyarakat, justru memacu untuk giat bekerja membangun kawasan ini secara lestari, bukan merambah kawasan konservasi. Ya kalau kegiatan illegal ya pasti dibatasi. Masak kegiatan berkebun di kawasan konservasi, ya tidak boleh,’’ ujarnya.

 Terkait kegiatan pembalakan liar yang mengarah pembakaran lahan untuk pembukaan kebun, ia berujar kegiatan illegal sudah ada sebelum ditetapkan menjadi cagar biosfer. Nah, kata dia, seharusnya kegiatan illegal ini berhenti setelah menjadi cagar bisofer. ‘’Artinya apa? Artinya bahwa pengamanan di kawasan ini belum berhasil dan sosialisasi belum berhasil, penegakan hukum belum berhasil, sehingga perlu kerja keras lagi,’’ ucapnya.(amzar) 

 Majalah Riaupos.co edisi 20-26 Maret 2014-03-21 Reporter: MUHAMMAD HAPIZ ( Bengkalis-Siak) MARIO KISAZ, ADRIAN EKO (Pekanbaru) dan Tim Riau Pos

Tidak ada komentar: