Jumat, 21 Maret 2014

Hentikan Aksi Perusak Hutan




Presiden SBY berikan pengarahan kepada prajurit gabungan dalam operasi tanggap darurat kabut asap, di Rimbopanjang, Kampar Riau

Kabut asap dan banjir hadir bergantian. Biangnya, aksi perusak hutan yang diberi keleluasaan. Juga pembiaran pembakaran hutan gambut dan lahan. Ini harus dihentikan!

  NAMUN itu saja belum cukup. Selain penghentian semua izin pemanfaatan hutan yang salah dalam penerapan, juga mengadili dan menjatuhkan hukuman yang pantas kepada pelaku perusak rimba dan lahan, yang oleh Presiden bahkan dicap sebagai penjahat kemanusiaan.

 Silih berganti, setidaknya di dua dekade terakhir, masyarakat Riau rutin merasakan dampak perilaku penjahat kemanusiaan itu. Banjir dan longsor ketika musim penghujan, asap dan jerebu saat terik musim kemarau, yang kali ini bahkan begitu dahsyat dampaknya sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberlakukan tanggap darurat serta terbang ke Riau memimpin langsung operasi militer di lapangan.

 Instruksinya tegas: padamkan karhutla sumber asap, beri layanan kesehatan gratis kepada para korban terutama di kalangan masyarakat, serta ambil tindakan hukum yang tegas, keras dan cepat terhadap siapa pun yang terbukti sebagai pelakunya.

  ‘’Kita tuntaskan dan dapatkan betul apa yang menjadi penyebabnya. Penegakan hukum harus tegas. Bisa kita bayangkan bahwa sekian juta saudara kita terkena dampak asap. Ini kejahatan," tegas Presiden SBY di Pekanbaru, Riau, Sabtu (15/3/2014). SBY mengeluhkan kebakaran hutan yang kerap kali terjadi meski pemerintah sudah mewanti-wanti pemilik dan pembuka lahan agar tidak melakukannya dengan cara membakar. Sebab, asap pekat berbau arang yang ditimbulkannya membuat warga Riau menjadi korban.

 "Di Indonesia tidak ada orang kuat. Tidak ada orang yang tidak tersentuh hukum. Saya ingin betul penyelesaian sampai akarnya. Jadi, jangan ada orang yang melakukan terus menerus dan ini dijadikan biasa. Business as usual," tegas presiden. 

 Bahkan di tengah para prajurit gabungan yang memang dikerahkan ke Riau, Presiden menyebutkan misi kali ini adalah Operasi Militer. Artinya, seperti halnya perang, militer telah memiliki manajemen krisis terhadap berbagai kejahatan kemanusiaan yang terjadi di lapangan. Langkah seperti itu pula yang harus dilakukan para penegak hukum di seluruh Indonesia, utamanya di Riau. 

 Presiden SBY berjanji akan terus memantau perkembangan yang terjadi selama proses penanggulangan kebakaran hutan Riau. Termasuk proses penegakan hukum terhadap para pelaku yang melakukan pembakaran untuk membuka lahan-lahan baru. 

 Ya, pembukaan besar-besaran hutan dan lahan gambut Riau yang sembarangan telah menunjukkan dampak buruknya. Bisa dikatakan, ini adalah bencana terparah sepanjang sejarah Riau. Merespon ajakan presiden, semua elemen harus memastikan bencana ini tidak terulang lagi dengan mendesak produsen kelapa sawit besar multi-nasional untuk membersihkan rantai pasokan mereka dari praktik deforestasi dan pembakaran hutan, serta mendorong penegakan hukum kepada pelaku dan perusahaan yang melakukan pembakaran lahan, dan menyerukan penguatan kebijakan moratorium untuk lebih melindungi kekayaan hutan Indonesia. 

Soal penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan, kita sempat menangkap sinyal harapan ketika Januari lalu ada babak baru di mana untuk pertama kalinya pemerintah berhasil menang di pengadilan melawan pembakar hutan. Momen bersejarah itu terukir di Aceh. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menang melawan PT Kallista Alam. Tak hanya terkena hukum pidana, perusahaan kelapa sawit yang membuka usaha di Meulaboh itu harus membayar ganti rugi Rp300 miliar. 

 Namun sebaliknya, sinyal itu justru meredup di Riau. Tepatnya awal Maret lalu, ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menolak gugatan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendenda PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL) sebesar Rp16 triliun terkait tuduhan merusak ekologi hutan. Padahal empat saksi ahli yang dihadirkan KLH –dari Tim Verifikasi KLH dan Institut Pertanian Bogor (IPB)- semuanya menguatkan gugatan KLH. 

 Perbuatan melawan hukum yang dituding dilakukan PT MPL adalah menebang hutan di luar lokasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dalam periode 2004 hingga 2006. Selisihnya dengan IUPHHK-HT mencapai 1.873 hektare. Tudingan lainnya, mereka menggasak 5.190 hektare hutan alam dan menebang kayu ramin. Entah seperti apa pula nanti kelanjutan tujuh perusahaan di Riau yang kini sedang diproses hukum terkait kasus kebakaran hutan gambut pada Juni 2013 dengan 10 tersangka. 

Sepatutnya, selain hukum perdata yang menuntut ganti rugi, hukum pidananya juga harus membuat jera dan tidak seenaknya. Perusahaan yang terbukti bersalah harusnya masuk daftar hitam. Presiden sendiri, untuk kasus seperti ini sudah tegas.  ‘’Mereka harus dibangkrutkan,’’ katanya di Pekanbaru. Tak cukup hanya aset dan keuntungannya yang disita dan pemiliknya dibangkrutkan, tapi izinnya juga harus dihentikan.

 Presiden bahkan tidak terima jika ada yang berpendapat karena kemarau, hutan dan lahan itu terbakar begitu saja. Kalau pun pelakunya peladang tradisional dan perorangan yang lahannya tak seberapa, tidaklah menimbulkan bencana besar seperti yang kini terjadi. Pelaku yang tertangkap pun, sebagiannya pun tak punya keberanian untuk mengungkap siapa cukong atau pemodal yang membiayainya.

 Izinnya Harus Dicabut

Suara yang terarah kepada tindakan penghentian pembakaran hutan dan lahan juga datang dari pegiat lingkungan Greenpeace, yang mendesak pemerintah Indonesia menghentikan pembakaran hutan untuk menanam pohon sawit. Mereka juga meminta Singapura dan Malaysia menekan Jakarta agar menegakkan larangan perusakan hutan.

 ‘’Hutan Indonesia paling banyak menyimpan cadangan karbon dunia,” demikian pernyataan pers Greenpeace. “Pengrusakan hutan jadi penyumbang pemanasan global yang paling sembrono dan (sebetulnya) bisa dicegah."

 Greenpeace juga meminta perusahaan makanan dan kosmetik dunia memboikot minyak sawit asal Indonesia, terutama yang berasal dari perkebunan yang dibuat dengan merusak hutan. "Sejumlah merek ternama didunia secara harfiah ikut memanggang iklim," kata Emmy Hafild, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara.

 Lantas, di mana saja lokasi titik api yang menjadi biang asap itu? Cukup banyak. Bahkan jika mengacu data yang dirilis World Resources Institute (WRI) lewat proyek Global Forest Map dengan memetakan lokasi titik api Riau selama 20 Februari - 12 Maret 2014 dengan bantuan Active Fire Data milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA).Global Forest Watch, terjawab kenapa kabut asap di Riau kali ini lebih parah dari tahun 2013 lalu.

 Sejak 20 Februari hingga 11 Maret 2014, Global Forest Watch menemukan 3.101 titik api di Pulau Sumatera. Jumlah tersebut melebihi periode 13 Juni hingga 30 Juni 2013 lalu yang sebanyak 2.643 titik api.Dari sejumlah tersebut, pada periode 4 - 11 Maret 2014, 87 persen titik api di Sumatera ditemukan di Riau.

 Di Riau sendiri, terdapat wilayah dengan densitas titik api tinggi dan rendah. Terdeteksi, titik api terdapat di wilayah konsesi hutan tanaman industri seperti pulp dan kertas, kelapa sawit, HPH, dan di luar konsesi. Global Forest Watch memetakan wilayah-wilayah konsesi yang memiliki konsentrasi "peringatan titik api" paling besar. Menurut Global Forest Watch, di HTI, titik api paling banyak ditemukan di wilayah konsesi Sinar Mas dan APRIL. Untuk kelapa sawit, titik api terkonsentrasi di 8 perusahaan seperti grup Panca Eka dan Sambu. Untuk HPH, paling banyak ditemukan di PT Teluk Nauli dan PT Duta Indah Wood. WRI merekomendasikan perlunya investigasi lapangan untuk konsesi itu sekaligus kemungkinan pelanggaran hukumnya.

 Ditindak Secara Luar Biasa 

 Dari Jakarta dilaporkan, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan telah melayangkan somasi terhadap 117 perusahaan skala besar dan kecil di Sumatera atas kebakaran hutan dan lahan sejak 2013 lalu. Sebagian di antaranya beroperasi di Riau.

 Manajer Pembelaan dan Kebijakan Hukum Walhi, M Nur menyebutkan, dari sekian perusahaan yang sudah disomasi itu hanya beberapa saja yang sudah diproses hukum. "Somasi juga kita sampaikan ke pemerintah karena telah lalai dan mengakibatkan kejahatan lingkungan ini terjadi setiap tahun," katanya menjawab JPNN, Minggu (16/3).

 Saat ini, kata M Nur ketika itu, ada sekitar 6 juta rakyat Riau yang terancam kehidupannya akibat asap yang menyelimuti daerah itu dalam sebulan terakhir. Kondisi ini dinilai Walhi sebagai pembunuhan pelan-pelan yang dilakukan pemerintah dan perusahaan terhadap masyarakat. "Sampai hari ini tidak ada kebijakan luar biasa atas kejadian luar biasa ini. Sebetulnya kita melihat, karena problem ini masuk kejahatan luar biasa maka tindakannya juga harus dengan cara-cara luar biasa," sebutnya.

 Apa saja cara-cara luar biasa itu? Menurut M Nur, kebijakan luar biasa yang harus diambil pemerintah adalah menghentikan pemberian izin terhadap pengusaha yang sedang berproses. Kemudian, bagi perusahaan, baik perkebunan maupun hutan tanaman industri (HTI) yang areal konsesinya ditemukan titik api, izinnya harus dicabut tanpa harus menunggu proses pengadilan. Cara-cara ini harus ditempuh pemerintah, karena perusahaan yang terlibat pembakaran hutan merupakan perusahaan yang memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

 "Artinya Amdal yang mereka buat gagal memprediksi kerusakan lingkungan, potensi lingkungan yang ada, itu catatan bagi pemerintah. Harusnya kalau sudah mengantongi Amdal, tidak ada lagi pencemaran, kerusakan," jelas M Nur. Dia menekankan bahwa perusahaan-perusahaan yang terlibat aksi pembakaran hutan dan lahan di Riau merupakan perusahaan yang sama dan tergabung dalam holding company. "Seperti (anak perusahaan) Sampoerna, RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper), itu yang besar, company holding," sebutnya.

 Sebelumnya, Ketua Incident Commander (IC) kebakaran hutan dan lahan Riau, yang juga Danrem 031/Wira Bima Brigjen TNI Prihadi Agus Irianto mengatakan, sudah mengusulkan lima perusahaan yang terbukti ditemukan kebakaran lahan di arealnya agar ditindak tegas. Kelima perusahaan itu di antaranya PT RAPP, PT Sakato Makmur Pratama, PT Tobe Indah, PT Rimba Rokan Lestari, dan PT Arara Abadi (PT AA).

 Di sisi lain ada perusahaan yang terindikasi terlibat seperti PT Langgam Inti Hibrida, PT Bumi Reksa Nusa Sejati, PT Tunggal Mitra Plantation, PT Udaya Loh Danawi, PT AD Plantation, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Multi Gambut Industri dan PT Mustika Agro Lestari. Periksa Pemberi Izin Banyak kalangan menyebut bahwa kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau merupakan kejahatan terencana. Faktor terbesarnya adalah pemberian izin perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) pengusaha. 

Karena itu, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Zenzi Suhadi meminta penyidik kepolisian maupun penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan Hidup (LH) harus segera memeriksa pejabat yang mengeluarkan perizinan perkebunan dan HTI. Dikatakan, dalam upaya penegakan hukum atas kasus pembakaran hutan dan lahan di Riau harus ada dua pihak yang bertanggungjawab. Selain perusahaan, juga pihak yang bertanggungjawab penuh dalam pemberian izin.

 "Kenapa dia harus diperiksa, karena di dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, pemberi izin wajib memastikan dan mengontrol keselamatan lingkungan atas izin yang dikeluarkan," kata Zenzi, seperti dikutip JPNN, Jumat (14/3). Nah, ketika terjadi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, berarti pemerintah telah gagal melakukan kontrol dan pengawasan terhadap pelaku usaha yang diberikan izin. Sehingga penyidik Polri dan PPNS sudah harus mulai memeriksa pejabat pemberi izin ini.

 Selain itu, Walhi juga meminta kepolisian maupun PPNS Kementerian LH mulai menelisik para konsultan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Sebab, kerusakan lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan tidak bisa lepas dari maraknya praktik Amdal bodong oleh konsultan. "Polisi harus melakukan penyelidikan dan penyidikan pada konsultan Andal, termasuk konsultan RKL (rencana pengelolaan lingkungan), yang harus ikut bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan," pintanya.

 Kejahatan Terencana 

 Zenzi Suhadi juga menyatakan, kabut asap yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau bukan bencana, tapi kejahatan terencana akibat pemerintah kebablasan mengeluarkan izin perkebunan skala besar dan Hutan Tanaman Industri (HTI). "Ini kejahatan terencana, kenapa Karena faktor penyebab terbesarnya adalah pemberian perizinan perkebunan skala besar dan HTI," kata Zenzi.

Menurutnya, Undang-undang perkebunan dan kehutanan di Indonesia jelas mengatur bahwa setiap usaha tertentu wajib mempunyai Amdal serta perencanaan. Nyatanya, setelah banyaknya perkebunan yang mendapat izin operasi yang terjadi justru kebakaran hutan dan lahan. Artinya, resiko ini sudah diketahui pemerintah jauh-jauh hari.

‘’Ketika kebakaran hutan dan lahan ini tidak diantisipasi, kejahatan ini direncanakan. Kebakaran ini efeknya bukan hanya di Riau saja, tapi juga menjalar ke Sumatera Utara, Jambi bahkan Bengkulu," jelasnya. Terkait persoalan ini, Walhi mendesak pemerintah segera mengambil tindakna jangka pendek dengan mengoptimalkan segala cara memadamkan titik api. Kemudian pemerintah harus menyelematkan sumber daya kehidupan masyarakat agar tidak hilang dilalap api.

 "Jangan seperti yang terjadi di Kepulauan Meranti, ketika konsesi PT NSP terbakar, menjalar ke perkebunan masyarakat tapi tidak ada yang tanggungjawab, sehingga 500 lebih kepala keluarga kehilangan mata pencaharian," tegasnya.

Dalam menyikapi persoalan seperti ini, tambahnya, pemerintah mestinya tidak hanya menghentikan kebakaran yang terjadi, tapi juga menuntut pelaku usaha perkebunan skala besar dan HTI mengganti kerugian warga.

 Minta Presiden Bertindak 

 Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Riko Kurniawan, terjadinya bencana kabut asap beserta dampaknya yang luas, akibat pemerintah dan aparat penegak hukum lainnya –mulai dari tingkat daerah, propinsi maupun pusat, melakukan pembiaran terhadap perusahaan-perusahaan pembabat hutan dan pembakar hutan-lahan melakukan praktik-praktik buruknya, tanpa ada penegakan hukum yang mampu menjawab rasa keadilan masyarakat.

 Akar persoalannya adalah buruknya tata kelola sumber daya alam di negeri ini yang dibuktikan dengan banyaknya izin diberikan melalui cara-cara kotor seperti korupsi, dengan menggadaikan keseimbangan lingkungan hidup --terutama lahan gambut. Faktanya, hampir seluruh titik api yang terjadi di tahun 2013 dan 2014 ini berada di areal gambut.

Secara alami, mustahil terbakar, karena gambut itu termasuk kategori ekosistem lahan basah. Namun, kata Riko, perusahaan-perusahaan dengan izin konsesi luas yang diberikan pemerintah membabat habis hutan dan meluluhlantakkan keseimbangan ekosistem gambut yang unik ini. Perusahaan-perusahaan perkebunan skala besar baik di sektor kelapa sawit maupun sektor pulp dan kertas, menurutnya, merupakan penyebab utama terbakarnya lahan dalam skala yang masif setiap tahunnya.

 ‘’Kebakaran yang tak terkendali dan terus terulang, menunjukan bahwa luas konsesi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah telah berada di luar kemampuan pengusaha untuk mengelola dan di atas ambang batas kemampuan Pemerintah untuk melakukan pengawasan dan pengendalian,’’ katanya.

 Pihaknya berharap Presiden mengambil tindakan konkret untuk menghentikan bencana asap tahunan ini. Walhi Riau, kata dia, meminta Presiden menghentikan pembiaran dan berlanjut terusnya bencana asap tahunan yang diakibatkan pembakaran hutan-lahan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Riau. Juga meminta segera mencabut izin perusahaan-perusahaan yang terbukti terlibat. 

Presiden Pimpin Operasi 

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak tinggal diam. Sabtu (15/3) siang langsung terbang ke Riau memimpin operasi tanggap darurat kabut asap. Presiden juga menetapkan tahap kebijakan dan program aksi dalam mengatasi bencana asap Riau. Pertama, melakukan operasi tanggap darurat terpadu, dan kedua adalah penertiban kawasan dan pencegahan bahaya asap.

 "Tujuan jangka pendeknya api padam dan asap hilang. Jangka menengahnya tak ada lagi kebakaran ladang dan asap di Riau secara terus-menerus," ujar Presiden SBY pada apel pagi satuan tugas penanganan bencana asap, di Pangkalan TNI-AU Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, Riau, sebelum bertolak ke Yogyakarta, Senin (17/3).

 Untuk operasi tanggap darurat sendiri, waktu pelaksanaannya dalam tiga pekan, terhitung sejak Sabtu (15/3) lalu, ketika presiden baru tiba di Pekanbaru. Presiden berharap maksimal dalam tiga pekan api di seluruh Riau dapat dipadamkan dan asap benar-benar bisa hilang. "Saya instruksikan kepada satgas untuk menggunakan segala peralatan dan lakukan segala cara" kata SBY.

 Upaya tersebut harus tetap berlandaskan tiga pilar. Yaitu, aksi pemadaman api oleh TNI, Polri dan BNPB; pelayanan kesehatan bagi mereka yang terdampak asap ini; dan penegakan hukum yang harus dilaksanakan secara tegas, keras, dan cepat.

 "Kita harus memberikan efek jera kepada mereka yang tidak bertanggung jawab yang mengganggu kehidupan masyarakat sehari-hari, melumpuhkan transportasi, dan banyak sekali kerugian material akibat tindakan yang tak bertanggung jawab itu." Presiden menegaskan. "Penegak hukum saya harap tidak lunak terhadap tindakan yang tidak bertanggung jawab itu," tambahnya.

 Menurut presiden, jika ada pihak yang berusaha membelokkan isu, tidak jujur, dan tidak terbuka, sampai kapanpun bencana asap ini tidak akan bisa diatasi. ‘’Kalau yang membakar ini bebas merdeka, tidak mendapat sanksi setimpal, maka berapa ratus miliar pun uang yang dikeluarkan, tetap akan datang lagi bencana serupa. Ingat, ratusan miliar bisa kita gunakan untuk anggaran pendidikan, kesehatan, dan lainnya," ujar SBY.

 Sementara itu, untuk tahap kedua yaitu penertiban kawasan dan pencegahan bencana asap di masa mendatang, akan segera dilaksanakan mulai bulan April hingga September 2014, sebelum berakhirnya masa jabatan Presiden SBY. Sasaran dari penertiban kawasan dan pencegahan bencana mencakup tiga hal.

Pertama, harus menertibkan perkebunan-perkebunan ilegal dimana mungkin mendapat izin dari kepala desa namun bertabrakan dengan UU. Kedua, harus dihentikannya prakik-praktik ilegal logging. Pesiden melihat sendiri melalui foto udara ada titik-titik yang terjadi pembalakan liar. Ketiga, harus memiliki sistem sekaligus protap (prosedur tetap) dan aksi nyata di lapangan untuk pencegahan dan tindakan dini manakala tetap ada kebakaran.

 "Kita harus bisa memberikan perlindungan. Banyak masyarakat yang tidak berdosa menjadi korban akibat ulah mereka yang tidak bertanggung jawab. Kalau masih ada kebakaran, kita harus memastikan warga punya peralatan untuk memadamkan," SBY menegaskan. Agar penduduk tidak membakar lahan untuk membuka ladang, juga diberi bantuan peralatan.

 Kepada perusahaan pemegang HPH, Presiden meminta ikut berkontribusi menyediakan peralatan untuk memadamkan api, melalui program CSR, sekaligus untuk membantu penduduk. "Pemerintah pusat dan daerah juga akan siapkan anggaran untuk memadamkan api dan menghilangkan asap," ujar Presiden, sembari menjanjikan sanksi hukum dan tindakan yang tegas untuk pihak-pihak yang sengaja lakukan pembakaran.

 Tekad yang sama disampaikan Gubernur Riau Annas Maamun. Ia meminta seluruh pihak menghimpun semua persoalan kebakaran lahan untuk dituntaskan dan pelaku ditindak tegas sampai ke akar-akarnya. Kata Gubri lagi, tidak hanya oknum satu dua orang yang ditindak, tapi kalau terbukti sampai ke pemilik modal pun harus dihukum seberat-beratnya sesuai dengan aturan. ‘’Tindakan tegas harus dilakukan kepada pemodal, bukan hanya kepada pembakar dan pemilik saja,’’ kata Annas Maamun.

Selain itu, lanjutnya kini sedang disiapkan upaya-upaya terkait pencegahan supaya karhutla tidak terjadi lagi di seluruh wilayah Riau. Dalam 10 hari ke depan, penegakan hukum atas pelaku pembakar lahan dan juga ilegal logging bisa terlaksana. ‘’Target penuntasan akan cepat diusahakan, 10 hari ke depan diharapkan semuanya bergerak,’’ tegasnya. (amzar) 

 Majalah Riaupos.co edisi 20-26 Maret 2014-03-21 Reporter: MUHAMMAD HAPIZ ( Bengkalis-Siak) MARIO KISAZ, ADRIAN EKO (Pekanbaru) dan Tim Riau Pos

Tidak ada komentar: