Senin, 26 Mei 2008

Ke Cina 2

Catatan Perjalanan ke China (2)

Shanghai, Dikebut tapi Tetap Aduhai



Sejak menginjakkan kaki di Pudong Internasional Airport, penasaran rasanya untuk membuktikan kejutan serta pesona apa yang akan dijumpai di Shanghai, yang gencar dipromosikan pemandu sejak dari Guangzhou. Yang pasti, koran hari itu menulis suhu udara di Shanghai 11-17 derajat Celsius, cukup dingin, hujan lagi.



---------------------

AMZAR, Shanghai-China

---------------------

KEBANYAKAN penumpang terlihat bergegas keluar dari perut pesawat Boeing 777-700 yang baru tiba dari Guangzhou, tergesa-gesa menyalip penumpang lain yang jalannya rada lambat. Mungkin ada yang dikejar. Maklum, jarak ke terminal kedatangan cukup jauh, belum lagi ke pusat kota yang jaraknya lebih 30 km.


Tak aneh memang, kesibukan seperti itu di kota bisnis ini. Penampilan mereka yang necis dan sibuk berhalo-ria lewat ponsel, juga bukan barang baru. Tapi, hei, apa itu? Ada perangkat lain di dekat deretan mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Persis seperti terlihat pada gambar di lembaran majalah di atas pesawat tadi. Sekilas seperti telepon umum biasa. Tapi ini ada layarnya, dengan posisi persis sejajar dengan kepala si penelepon.


Saat ada yang memakainya, terbukti apa yang tadi saya duga. Ya, itulah perangkat videophone, yang diinformasikan di majalah dalam pesawat tadi. Sesuai dengan informasinya, melalui perangkat ini lawan bicara terlihat parasnya di layar monitor. Ehm, boleh jadi belum banyak kawasan maju lain yang sudah mengoperasionalkannya. Keterkejutan sudah dimulai di Shanghai.



Suryani, gadis Shanghai yang menjadi pemandu, banyak bercerita sejak bus tadi meninggalkan bandara yang terkesan asri dengan taman terawat di sana-sini, serta bentangan telaga buatan yang memantulkan kemilau.


Melintas di jalan tol yang mulus, ke arah kanan, pandangan mata tersergap pada tiang-tiang beton yang kokoh menopang bentangan beton plus metal, seakan ikut berlari bersama bus yang membawa kami. ''Kalau di Jepang ada kereta api super-cepat Shinkanzen, kami di sini juga punya, itu relnya,''kata Suryani.


Yang dia maksud, tentu kereta api magnet, Maglev, singkatan dari Magnetic Levitation. Kalau yang ini, saya sudah tahu karena memang sebelumnya sudah diberitakan di koran ini tentang pengoperasiannya yang belum lama berselang. Betul kata Suryani, bahwa Maglev ini hanya dimiliki sedikit negara, tak sampai bilangan jari sebelah tangan: China sendiri, Jepang, Jerman dan Prancis.


Perjalanan belum sampai ke pusat kota, hujan sudah turun dengan derasnya dan terus begitu saat mengitari pusat kota menuju Oriental Pearl Radio and Television Tower, bangunan tertinggi di Shanghai (468 meter). Cuaca begini memang bukan waktu yang bagus untuk melihat bagaimana cantiknya penataan kota yang dilihat dari
ketinggian tower.


Namun hembusan angin yang sesekali menyingkirkan kabut, sudah memberi ruang pandang yang cukup untuk memaksa mulut berdecak kagum dengan penataan kawasan baru, Pudong serta eloknya kedua sisi sungai Huang Pu yang melengkung membelah Shanghai, di mana nun bagian lainnya dari sungai ini bergabung dengan Sungai Yang Tse, yang sudah tersohor dengan panggilan Sungai Kuning itu.


Juga rapinya kawasan The Bund, terlihat jelas dari ketinggian tower. Nampak sekali, bangunan-bangunan lama dan modern yang berjejer menggapai langit, menjadi lebih manis dipadu dengan kawasan di seberangnya yang dibiarkan sebagai area terbuka yang ditata menjadi taman-taman asri.


''Ya, di sisi kanan umumnya dibebaskan dari bangunan dan dijadikan ruang terbuka plus taman. Sudah begitu aturannya,'' kata Suryani, si gadis pemandu.


Petang begitu cepat datang, sementara kami terjebak macet di bawah renyai gerimis. Maklum, saat itu jam pulang kerja di kota berpenduduk hampir 20 juta dengan luas 6.000 km persegi itu. Cukup lama kendaraan harus beringsut persis di depan Jinmao Tower (420 meter), gedung tertinggi di Shanghai yang kerap dibanggakan sebagai gedung tertinggi nomor tiga di dunia.


***


Hari kedua di Shanghai, barulah bisa terlihat kota ini memang aduhai. Udara begitu cerahnya. Masih dalam balutan cuaca pagi, kami sudah menginjakkan kaki di kawasan The Bund. ''Ini tempat yang tepat untuk melihat kemegahan kota,'' kata Benny, pemuda Shanghai yang menjadi pemandu menggantikan Suryani kemarin.


Seperti ketika terlihat dari menara televisi, kawasan ini membentang persis di sisi sungai Huangpu. Sepagi itu, kawasan taman dan pedestrian yang dirancang khusus tersebut sudah ramai oleh pengunjung berbilang bangsa, ras Mongolid terutama. Hampir semua anggota rombongan memanfaatkan tempat ini untuk berfoto-ria persis di tepi sungai Huangpu dengan latar belakang gedung-gedung modern yang berlomba menggapai langit dengan Oriental Pearl Radio and Television Tower sebagai ''komandannya.'' Huangpu sendiri,
terus saja disibukkan dengan aktifitas pelayaran kapal-kapal dagang mancanegara, juga kapal yang dijejali wisatawan.


Sisi satunya lagi, berjejer bangunan megah dengan sentuhan arsitektur Eropa. Seperti kata Benny, Shanghai tempo dulu begitu menggiurkan bagi Eropa untuk masuk ke sini, yang hingga kini menyisakan warisan kolonialisme mereka, terutama dari Prancis dan Jerman, termasuk AS.


''Yang dibelakang itu, yang nampak puncaknya, itu gedung yang baru, selebihnya bangunan lama, yang berdiri sejak abad ke 18 dan 19,'' kata Benny, mengarahkan telunjuknya ke arah deretan bangunan eksotis tersebut. Umumnya kini dijadikan kantor oleh bank-bank kenamaan dunia, konsulat, perusahaan multinasional, dan sebagainya. Semua terawat baik dan siapa pun tidak boleh mengubah bentuk bangunan itu, seperti juga di kawasan Nanjing Road.


Kesemua ini menjadi objek yang menarik bagi pengunjung asing dan domestik. Bermacam gaya mereka mengabadikan kehadiran diri di salah satu wilayah nadi bisnis Shanghai ini. Kenyamanan pengunjung memang dijaga betul, sehingga ketika ada penjaja mainan yang mencoba menggelar dagangannya, langsung disemprit oleh penjaga taman yang rajin mengontrol dengan sepedanya. Ya, seperti biasa lah, sering main kucing-kucingan. Juga penjual asongan, mulai dari cendera mata hingga jam tangan, yang gigih menjajakan ''Rolex'' sampai ke harga di bawah 100 Yuan.


Penduduk Shanghai, paling tidak itu diwakili oleh pemandu kami, begitu antusias bercerita tentang cepatnya geliat pertumbuhan megapolitan yang terus bersaing dengan kota niaga kesohor lainnya di dunia. Belum sekelas New York memang, tapi tak kalah dengan Tokyo, Frankfurt atau Amsterdam.


Pudong, nama ini yang kerap mereka sebut dengan rasa bangga. Hanya dalam tempo 14 tahun, sudah disulap menjadi kawasan megapolis yang dirancang dan dibangun dengan semangat tinggi, penuh kesungguhan. Sudah ditata kawasan mana yang diperuntukkan bagi area pusat bisnis dengan gedung jangkungnya dan wilayah mana yang dikhususkan bagi kawasan permukiman dan perbelanjaan. Buktinya, ya itu tadi, segala simbol kemoderenan terdapat di sini, termasuk tower dan gedung pencakar langit tadi. Ada juga
pusat kesenian, arena balap F1 pun ada. Dipadu dengan bangunan lama yang terawat baik, menambah elok dan ramahnya kota berstandar dunia ini.


Kemajuan tidak hanya tergambar dalam ukuran fisik saja. Sisi lain yang secara positif mengikuti kemajuan gesit yang dicapai Shanghai bisa diukur dari kontribusinya terhadap perekonomian warganya. Pemandu kami sudah begitu hapal untuk menyampaikan bahwa pendapatan per kapita di Shanghai di atas 6.000 dolar AS, Terpaut jauh dengan rata-rata nasional China yang hanya seperenamnya. UMK atau upah minimum di sini adalah 650 Yuan (sekitar Rp650.000).




Nanjing Road, Tak Ada Matinya


Jika ke Shanghai, tak ke Nanjing Road, bisa kepunan. Pernah ke Orchard Road di Singapura, pernah baca atau melihat langsung sibuknya kawasan Fifth Avenue New York. Kira-kira begitulah suasananya di Nanjing Road ini.


Sebenarnya dari The Bund tadi, lokasinya tidak terlalu jauh. Menyeberang lewat terowongan, berjalan kaki sekitar 300 meter, belok kanan, sebenarnya kita sudah berada di mulut jalan Nanjing. Tapi, akan melelahkan kalau dimulai dari mulut jalan itu. Makanya, kami naik ke bus dulu, di antar ke tengah Nanjing Road.


''Dari sini, mau ke timur atau ke barat, jaraknya sama-sama tiga kilometer,'' kata Benny, saat kami turun. Di sini, sudah tidak boleh lagi ada kendaraan umum yang seliweran. Inilah ciri
khas pusat bisnis paling terkenal dan termahal di Shanghai ini, wilayah pedestriannya, surga bagi pejalan kaki.


Kawasan ini dikunjungi bukan saja karena masih merawat gedung-gedung lama bersejarah, tetapi juga karena di sinilah berdiri pusat perbelanjaan, hotel dan sentra bisnis terkemuka lainnya. Kendati puncak ramainya pengunjung biasanya hari Sabtu dan Ahad, namun Selasa siang itu, kami yang ikut meramaikan kawasan ini, terus saja berpapasan dengan jubelan manusia, ribuan jumlahnya, beraneka suku-bangsanya. Sejuknya cuaca membuat pejalan kaki seakan betah mengukur jalan. Tersedia banyak tempat mengaso bagi yang keletihan. Atau naik trem khusus dengan tiket seharga satu Yuan, yang menyapa dengan klakson khasnya.


Reputasi kawasan ini tentu berimbang dengan barang-barang yang dijual di sini. Sebut saja merek terkenal untuk busana, parfum, tas, jam tangan, dan sebagainya, semua ada. Jam tangan, misalnya, salah satu yang saya dan rekan dari Pekanbaru coba telusuri. Satu toko, dibagi beberapa stand untuk tampilan merek berbeda. Mulai dari Rado, Sincere, Cartier, Frank Muller, Gucci, Tag Heuer, Longines, Chopard, sampai Rolex dan seabreg merek kenamaan lainnya, nongkrong dengan anggun, berjejer di balik etalase. Berminat memindahkannya ke pergelangan tangan atau menambah koleksi? Boleh saja, asal punya segepok fulus. Satu jam Rolex berlapis emas 24 karat, bisa ditebus dengan harga 278
ribu Yuan. Dengan uang kita, yah ''cuma'' Rp278 juta. Pasti, beda sangat-sangat jauh dengan yang dijajakan di pedestrian The Bund tadi.(bersambung).

Tidak ada komentar: