Catatan Perjalanan ke China (3-Habis)
Jadi Hero di Dua Keajaiban Dunia
Akhirnya berangkat juga ke Beijing setelah hampir satu setengah jam keberangkatan dari Shanghai tertunda. Tapi ada hikmahnya, karena sempat baca-baca referensi tentang Beijing dengan lapangan Tiananmen-nya, Forbidden City-nya, Tembok Besar-nya, apa lagi ya?
--------------------
AMZAR, Beijing-China
--------------------
BEIJING sudah gelap saat pesawat yang kami tumpangi mendarat. Bandaranya memang tidak semegah Pudong Shanghai International Airport. Tapi dalam satu-dua tahun ke depan, mungkin sudah lain ceritanya. Karena sedang ada kerja besar mempercantik sekaligus memperluas gerbang udara di ibukota China ini.
''Beijing memang sedang mempersiapkan banyak hal karena akan menjadi tuan rumah Olimpiade pada tahun 2008 nanti,'' kata Halim, pemandu yang menjemput kami. Gemanya sendiri sudah terasa, karena di banyak lokasi strategis, sudah terpasang billboard bertuliskan Olympic Projects.
Untuk even yang juga bakal menjadi arena promosi sekaligus mengangkat gengsi ini, China menyiapkan fasilitas fisik dengan nilai investasi sebesar 1,5 triliun Yuan atau sekitar Rp1.500 Triliun. Untuk arena saja, bakal dibangun 26 stadion, termasuk infrastruktur pendukungnya, serta merenovasi yang sudah ada.
Berarti, akan bertambah lagi kebanggaan warga Beijing yang selama ini dikenal sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan, pusat sejarah serta kebudayaan dan nanti sebagai kota dengan fasilitas olahraga yang lengkap dan modern. Padahal, dengan yang ada sekarang saja, sudah menjadi ''jualan'' yang sangat laku bagi mengalirnya jutaan pelancong asing dan domestik ke Beijing .
Saya lihat sendiri ketika paginya rombongan kami sampai di Lapangan Tiananmen, yang menurut Halim merupakan alun-alun terbesar di dunia. Terkenal tidak hanya karena di sekitar inilah lokasi pusat pemerintahan China, tempo dulu dan masa kini, tetapi juga dunia menyaksikan apa yang disebut Tragedi Tiananmen beberapa tahun lalu.
Pagi itu, lapangan yang luasnya sekitar 800 x 600 meter ini masih tersungkup kabut tipis pada suhu udara paling tinggi 11 derajat Celsius. Namun, pengunjung sudah berbondong-bondong memasukinya. Hampir semua ada pemandunya, yang berjalan di depan dengan bendera kecil warna tertentu di tangan.
Lokasi di padang datar itu yang paling banyak dipakai untuk berfoto adalah sekitar Tugu Peringatan Pahlawan Rakyat di tengah-tengah lapangan, atau dengan latar belakang gerbang besar menuju ke arah Forbidden City, yang kesohor ke mana-mana dengan simbol khas gambar pemimpin besar Cina Maozedong di atas bentangan tembok berwarna merah. Satu lagi gambar yang ada di dekat tugu, adalah potret besar wajah Dr Sun Yat Sen (1866-1925), tokoh dan pemimpin gerakan nasionalisme di China.
Jubelan pengunjung dari bermacam kebangsaan ini, harus melewati terowongan bawah tanah dari lapangan Tiananmen menuju kawasan Forbidden City, yang dulunya adalah kota terlarang dan menyimpan sejarah China Kuno, tapi kini setiap hari tidak pernah sepi dikunjungi.
***
KOTA Beijing luasnya hampir tiga kali Shanghai, namun penduduknya hanya 14 juta, tidak sepadat Shanghai yang dihuni sekitar 20 juta jiwa. Lalu lintasnya pun tidak seramai di Shanghai. Apalagi di sini, tidak diperbolehkan bersepeda motor, sementara pengguna sepeda tetap banyak, seperti juga kota lain di China. Implikasinya, udara di sini tidak terlalu dikotori oleh polusi kendaraan dan berjalan kaki pun terasa nyaman.
Kendati begitu, lumayan pegal juga berjalan dari Lapangan Tiananmen terus menelusuri Forbidden City yang luasnya 72 hektare. Ini sudah diperhitungkan oleh pemandu, karena trayek berikutnya adalah ke tempat pemijatan. Panti pijat? Oo, bukan!
''Ini pijat kesehatan. Apalagi kita besok akan ke Great Wall, biar Anda semua bisa jadi hero di sana,''kata Halim, sang pemandu. Pijat kaki atau pijat refleksi, dalam pengobatan China memang sudah terkenal. Karena dari kaki berkumpul semua titik yang ada kaitannya dengan penyakit dalam tubuh.
Kita diminta duduk di atas kursi khusus, dengan posisi kedua kaki direndamkan sebatas mata kaki di dalam wadah berisi air suam-suam kuku bercampur ramuan rempah khas. Setelah itu baru dipijat. Namun, usai dipijat, tidak berarti kita sudah bisa beranjak. Reaksi-reaksi gerakan yang muncul ketika dipijat, membuat shinshe, yang mereka sebut sebagai profesor datang melakukan pemeriksaan.
Dimulai dengan mengukur denyut nadi dengan ujung jarinya, lantas memeriksa lidah, juga kondisi penampilan dan keceriaan wajah. Akhirnya keluarlah resep untuk membeli obat. Wah, kalau seperti ini, sama seperti yang di Guangzhou beberapa hari lalu. Periksa-periksa begini juga, lalu disarankan beli obat ini-itu. Makanya, ada yang tidak bersedia lagi, hanya minta dipijat saja. ''Sudah beli di Guangzhou kemarin,''kilahnya.
Memang ada rekan sepertinya tidak bisa mengelak lagi, karena cara pembayarannya juga ada kompromi. Bisa bayar dengan yuan, bisa dengan dolar atau dengan kartu kredit. Rupiah tidak bisa.
Rumah pengobatan tradisional China ini memang dibuat untuk keperluan pelancong. Sebelum dan setelah kami saja, ada rombongan bule yang dibawa ke sana. Mereka juga menyiapkan juru bahasa berbagai bangsa. Tenaga pijatnya yang terlatih ada 45 orang. Seragamnya putih-putih, muda dengan penampilan lumayan. Klinik pengobatan tradisional ini mempromosikan obat kuno dengan penanganan yang modern. Pabriknya memproduksi obat tradisionil Mongolia Tian Tjiao yang dikemas tidak kalah dengan obat-obat farmasi, dibungkus lagi layaknya seperti kemasan perhiasan.
Rekan yang di sebelah mengakui sebenarnya senang dengan pelayanan pengobatan tradisional China. ''Tapi rasanya terpaksa karena ditakut-takuti dengan penyakit yang bakal datang,'' ujarnya. Padahal ia sudah menjelaskan bahwa sebulan sebelum ke sini telah melakukan general chek up. Semua tidak ada masalah. Namun shinshe mengatakan ia akan menghadapi penyakit di bagian lambung kalau tidak berobat.
''Yah, kalau berbicara tentang penyakit yang akan datang, menyerahlah saya, dan kredit card pun digesek lagi. Resepnya saya tebus senilai 2000 yuan atau sekitar Rp 2 juta,- untuk pengobatan 3 bulan,''paparnya. Tak apalah, katanya, demi kesehatan.
***
Dipijat kemarin, tubuh terasa lebih segar saat bertolak menuju Great Wall, tembok besar yang sudah menjadi simbol China itu. Untuk menuju ke sana, memerlukan waktu sekitar 100 menit dengan bus melintasi jalan tol yang mulus.
Arah ke luar kota, bangunan komplek-komplek industri lebih mendominasi, juga rumah-rumah pemukiman. Memang, menurut Halim, warga Beijing yang ingin membangun rumah, hanya boleh di luar kota. Di dalam kota, untuk tempat tinggal, pilihan yang memungkinkan adalah flat dan apartemen.
Setengah perjalanan ke Great Wall, masih ada persinggahan komersial lagi yang ditawarkan, yakni pusat kerajinan batu Giok, yang dikemas menjadi berbagai bentuk perhiasan, berwarna hijau, aslinya berasal dari pegunungan Mongolia yang tinggi.
Pengelola sentra kerajinan Giok pun bercerita bahwa batu giok, memiliki kualitas yang keras dan tak mudah pecah. Tapi yang palsu, banyak juga dijual di China. Karena itu, batu Giok asli bagi pembuatnya disertai sertifikat bergaransi. Di tempat penjualan, pengunjung diperlihatkan bagaimana mengetes batu giok asli dan palsu. Sebuah kaca berwarna merah, apabila didekatkan ke batu giok palsu, warna hijaunya menjadi merah.
Sedang batu giok asli, kendatipun kacanya warna merah, batu gioknya tetap kelihatan berwarna hijau. Batu giok asli, memang bervariasi harganya. Warna yang hijau muda dihargai lebih mahal. Sebuah batu permata untuk cincin ada 600 yuan atau Rp600.000,-. Bahkan ada yang sampai 2.000 yuan (Rp2 juta). Tapi ada juga yang sedikit murah seharga 100 yuan. Terserah, mau beli atau tidak.
Dari sini, hanya sekitar 30 menit, kami telah tiba di Tembok Besar. Lazim juga disebut Tembok Cina, yang panjangnya 6750 kilometer, melintasi pegunungan di delapan provinsi. Usianya lebih dari 2300 tahun.
''Sebagian memang sudah direnovasi, sampai ke tingkat tujuh dan pengunjung hanya dimungkinkan naik sampai ke tingkat tujuh itu. Tapi, Anda boleh bangga karena dengan telah menginjakkan kaki di Great Wall ini, kepalkan tangan ke atas, karena Anda telah menjadi hero,'' kata Halim, saat kami berada di ujung terbawah tembok yang termasuk satu dari Tujuh Keajaiban Dunia itu.
Cuaca di sini cukup dingin. Silih berganti ribuan pengunjung turun-naik mencoba setinggi mungkin menapakkan kaki. Tingkat satu-dua memang tidak terlalu menanjak. Tapi menjelang tingkat tiga yang sudah nyaris tegak lurus, sudah banyak yang ngos-ngosan, ngaso sejenak, atau berfoto-ria sambil menyandarkan tangan di pegangan besi yang dijadikan alat bantu untuk turun nanti. Menoleh ke belakang arah bawah, terasa gamang.
Kebanyakan pengunjung, hanya bisa sampai ke tingkat ke tiga lalu turun lagi. Ada juga yang memang sampai ke tingkat empat sampai tujuh, tapi memang benar-benar fit lah. Katanya, di atas medannya lebih datar. Ada yang coba memaksa diri, eh ternyata semaput. Ya, terpaksa digotong ke bawah dengan tandu oleh sekuriti khusus yang ditugaskan di sana. ''Jangan dipaksa, di sini pun, Tembok Cina juga namanya. Tolong foto satu lah,''ujar teman dari Pekanbaru, sambil tersandar ngos-ngosan, di pertengahan tingkat tiga.
Tiba-tiba saya teringat, persis sebelum ke China ini, saya bersama dua rekan dari Pekanbaru sempat-sempatnya ke Yogyakarta, sekalian ke Candi Borobudur. Sebenarnya tidak direncanakan, kebetulan saja ketika itu keberangkatan rombongan kami dari Jakarta ke China tertunda dari jadwal semula, dan disuruh tunggu dua-tiga hari. Di saat menunggu itulah kami melancong ke Borobudur, kebanggaan sejarah kita, yang juga termasuk di antara apa yang diistilahkan sebagai Tujuh Keajaiban Dunia.
Kendati itu bukan kunjungan yang pertama ke Borobudur, tetapi ternyata kesannya beda. Sebab, beberapa hari kemudian, kami sampai juga di Keajaiban Dunia satunya lagi, yakni Tembok Cina. Tak disangka memang, sekali melancong, dua Keajaiban Dunia tersinggahi.***
Senin, 26 Mei 2008
Ke Cina 3
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar