Senin, 26 Mei 2008

Ke Cina 4

Bersilaturrahmi dengan Kaum Muslim China
''Assalamualaikum, Kami dari Indonesia...''

Mengunjungi masjid, memang tidak tercantum dalam jadwal yang disenaraikan saat lawatan ke Cina belum lama ini. Namun, saya dan rekan-rekan serombongan dari Jawa Pos Grup menyepakatinya sebagai jadwal tak tertulis. Bersilaturahmi dengan sesama muslim nun jauh di sana, memang pengalaman rohani yang berkesan.

Laporan AMZAR, Beijing, Cina

SALAM diucap, tangan diulur. Bibir tersenyum tulus, membuat wajahnya tambah berseri, tanpa sakwasangka sedikit pun. Itulah kesan yang nyaris seragam ketika kami bersilaturahmi dengan kaum muslim China, baik di Guangzhou, Shanghai, maupun Beijing.

''Assalamualaikum, kami dari Indonesia.'' Sengaja disebutkan begitu karena sewaktu di Guangzhou, ihwan di sana sempat menerka-nerka bahwa kami rombongan dari Malaysia, yang mungkin lebih mereka kenal.


Salah seorang pengurus Masjid Niujie di pusat kota Beijing, dengan hangat membalas salam kami satu per satu. Tubuhnya sudah agak sedikit membungkuk, tapi masih cukup cekatan menunjukkan kepada kami di mana tempat bersuci dan mengambil wuduk. Kopiah putihnya nyaris sewarna dengan rambutnya. Ia memelihara janggut, yang juga memutih. Nama muslimnya Haji Ayus.

Siang itu, jamaah salat Zuhur sudah berdatangan ke tempat berwuduk. Cukup luas karena puluhan jamaah bisa sekaligus bersuci di sana. Tersedia sederet ceret plastik yang digunakan untuk mengambil air suam-suam kuku dari kran, di bawa ke tempat duduk khusus untuk berwuduk. Setiap orang mendapat satu kran yang mengalirkan air sejuk. Air hangat tadi digunakan untuk membersihkan tangan dan kaki sebelum berwuduk.

Haji Ayus menunjukkan arah pintu masuk ke masjid. Kalau dari luar, bentuknya memang berbeda dengan masjid umumnya di Indonesia. Di sana, tentulah dengan sentuhan arsitektur khas China. Namun di dalamnya, tidak berbeda jauh. Yang pasti, tetap membuat hati merasa teduh saat beribadah dan bertafakur di dalamnya.

Hiasan kaligrafi mewarnai tembok melengkung di bagian atas, juga di samping. Warna merah, memang mendominasi. Yang agak beda adalah pada sajadah. Berjejer rapi, khusus tempat duduk dan bersujud, dialas sebentuk matras berlapis kain putih. Empuk dan sejuk, persis selimut sutra yang kami kunjungi pabriknya di Shanghai dan juga Beijing sebelumnya. Di sisi kiri dan kanan, disediakan kursi khusus untuk jamaah yang karena kondisi fisiknya, harus menunaikan salat dengan posisi duduk.

Waktu Zuhur tiba. Muazin mengumandangkan azan, dengan irama dan intonasi agak berbeda dibanding yang lazim didengar di negeri kita. Ini juga khas. Tempat muazin mengumandangkan ajakan melaksanakan salat itu, persis di depan pintu masuk masjid, satu tarikan garis lurus dengan posisi imam.

Imam masjid, masuk berikut empat ulama lain, yang sama-sama mengenakan baju dan jubah khusus, dengan kopiah putih berbalut sorban. Alhamdulillah, Allahu akbar, kami dapat melaksanakan salat zuhur secara berjamaah dengan saudara sesama muslim di masjid Niujie, Beijing. Saat bersalaman, kental sekali suasana persaudaraan, padahal baru saja saling kenal.

Imam Masjid Niujie sedikit ''surprise'' ketika tahu tamunya datang dari negeri jauh, Indonesia. "Sekali-kali saya ingin ke sana, saya tahu negeri tuan sebagian besar penduduknya beragama Islam," katanya bersemangat. Tentu setelah diterjemahkan.

Masjid Niujie, berada di pusat kota Beijing, terletak di jalan Niujie, yang artinya Jalan Lembu. Bentuk bangunannya bisa mengindikasikan bahwa Islam di sana sudah ada sejak beratus tahun silam. Menariknya, sejak 13 Januari 1988, pemerintah RRC menyatakan masjid ini sebagai warisan sejarah nasional China.

Masjid ini sendiri, berdiri pada masa kekuasaan Tonghe, kaisar dari Dinasti Liao pada tahun 996 Masehi, dibangun oleh Nasurutan, seorang sarjana Arab. Saat itu merupakan tahun kedua Zhidao berkuasa di Dinasti Song Utara.

Pada tahun kesepuluh kekuasaan Chenghua dari Dinasti Ming (1474), kaisar menyebut nama masjid tersebut sebagai "Libaisi". Di zaman Yuan, masjid ini diperbesar dan direnovasi. Di era Qing dan Ming bentuknya dibangun simetris dan padu sedemikian rupa. Sejumlah ruangan baru dibangun. Dengan luas 6.000 meter persegi, selain ruang induk untuk salat, juga terdapat minaret (menara), ruang kuliah, ruang prasasti, ruang pertemuan, dan tempat wudu.

Masjid Niujie menghadap ke barat, seperti masjid di seluruh dunia, yaitu menghadap ke kiblat (Makkah) dan dibangun dengan menggabungkan keindahan istana klasik China dengan arsitektur Arab yang simetris.

Masjid Niujie adalah warisan berharga sejarah China. Di masjid ini juga terdapat makam Shaihai yang pertama kali menyebarkan Islam di zaman Dinasti Yuan. Pada nisannya tertulis kaligrafi yang menunjukkan ketinggian seni dan menandakan kehadiran Islam yang mantap.

Di masjid ini juga dapat ditemukan peninggalan sejarah yang lain berasal dari tahun ke-33 kekuasaan Kaisar Kangxi (1694) yaitu sebuah papan titah kaisar, porselen dari Dinasti Ming, dan sejumlah prasasti, termasuk sebuah Alquran tulisan tangan yang berusia lebih dari 300 tahun. Masih ada lagi dari benda-benda perunggu dan besi dari zaman Dinasti Qing.

Tahun 1979, Masjid Niujie selesai direnovasi sehingga tampak lebih cemerlang. Hingga sekarang masjid ini tetap berfungsi sebagai tempat ibadah. Selain itu ia menjadi tempat wisata yang ramai dikunjungi kaum muslimin dari pelbagai penjuru dunia.

Wilayah Niujie sendiri, dihuni komunitas muslim. Pusat pertokoan yang berderet, menyediakan berbagai keperluan bagi kaum muslim, termasuk restorannya.

Masjid Niujie, memang lebih khas dibanding masjid Hu Xie di Shanghai, yang sebelumnya juga kami masuki. Kesamaannya, keduanya terletak di tengah kota. Masjid Hu Xie didominasi warna putih,lengkap dengan mihrab, dengan kondisi lebih ''baru'' ketimbang yang sebelumnya kami kunjungi di Guangzhou yang komunitas muslimnya berjumlah sekitar 300.000 jiwa.

Sedangkan di Guangzhou sendiri, kami sempat salat di Masjid Khuangta Tse yang artinya Pagoda Putih, diambil dari simbol yang sampai kini masih ada yakni sebuah menara suar berwarna putih yang sudah berusia 900 tahun dan fisiknya terlihat miring. Nama lainnya Huaisan Tse, Sang Pelindung.

Masjid yang diperkirakan berusia 1.600 tahun ini lokasinya agak jauh dari keramaian lalu lintas. Di sini, yang khas adalah kopiahnya, yang dibuat khusus dari anyaman pandan, warna putih. Disediakan khusus bagi setiap jamaah yang berkesempatan salat di sana, seperti yang kami lakukan secara berjamaah siang itu, bersama warga muslim tempatan, yang relatif masih muda-muda ketimbang yang kami temui di masjid Niujie, Beijing.

***

Komunitas muslim China memang termasuk kelompok minoritas dari populasi penduduk negeri Tirai Bambu itu yang berjumlah lebih dari 1,3 miliar jiwa. Namun mereka punya akar sejarah yang �panjang dan hingga kini tetap terpelihara dan tetap mendapatkan kebebasan melaksanakan ajaran agamanya. Di kota Kunming yang kental nuansa Islaminya, tercatat 40 ribu orang beragama Islam, umumnya dari suku Hui.

Statistik China menyebutkan, populasi suku Hui ini sekitar 8.612.000 jiwa, tersebar di sejumlah provinsi dan kota seperti Ningxia, Gansu, Henan, Hebei, Qinghai, Shandong, Yunnan, Xinjiang, Anhui, Liaoning, Heilongjiang, Jilin, Shanxi, Beijing dan Tianjin. Seluruhnya beragama Islam. Sejumlah suku lainnya juga memiliki komunitas muslim, termasuk di perbatasan negara-negara bekas pecahan Rusia.

Di Kunming, bertebaran toko-toko yang memajang lukisan kaligrafi petikan ayat-ayat Alquran. Di sini kita akan kerap berpapasan dengan beberapa lelaki berkopiah haji, di antaranya ada juga yang memelihara janggut lebat. Beberapa wanita juga tampak berjilbab putih. Tempat tinggal mereka dikenal sebagai kawasan Sun Chen Chie, tapi mereka lebih senang menyebutnya Jamaatul Islamiyah Madinatul Kunming. Dalam bahasa Arab? Tentu saja, karena cukup banyak kaum muda di sini pernah mengenyam pendidikan di Makkah atau Madinah, dua kota suci umat Islam di Arab Saudi.(amzar)

Tidak ada komentar: