Senin, 26 Mei 2008

Ke Singapura 1

Sisi Lain dari Perjalanan Jurnalistik ke Singapura (1)
Terkesan Kaum Mudanya, Gembira Jumpa ''Urang Awak''

Memenuhi undangan pemerintah Singapura, saya berkesempatan mengunjungi negara pulau tersebut, bersama 16 jurnalis lainnya dari Jakarta, 3-7 Januari 2006. Sedikit saya coba berbagi kesan dari banyak hal menarik menerusi lawatan hampir sepekan tersebut, di luar materi penting diskusi yang sempat dilakukan.

AMZAR, Singapura
amzartpi62@gmail.com

SINGAPURA, selalu memberi kesan mendalam, kendati bukan sekali ini saya kunjungi. Apalagi kali ini resmi atas undangan pemerintah di sana. Kesempatan pun menjadi sangat luas dan leluasa untuk bertemu dengan para petinggi negara Singa tersebut di sejumlah kementerian, selain para profesional muda di posisi-posisi strategis, yang memang paling banyak kami temu-ramahi.

Satu kesan sangat membekas, bahwa mereka, para profesional muda ini benar-benar sudah menempatkan diri di posisi yang bersesuaian dengan tuntutan negeri yang terus menapak maju ini.


Ini bukan penilaian mengada-ada. Dari sekian tempat, institusi dan lembaga yang kami kunjungi, yang dijumpai ialah para birokrat dan profesional muda yang energik, cerdas dan sangat siap dengan posisinya sebagai bagian dari sebuah mesin kemajuan yang terus dan terus bergerak melakukan terobosan dan inovasi cemerlang. Satu-satunya orang yang tidak lagi muda yang kami temui dalam lawatan ini adalah seorang profesor yang berkhidmat di Nanyang Technological University.

Selebihnya, adalah para kaum muda, termasuk para menteri. Hebatnya lagi, hampir kesemua mereka ini, sederhana dalam penampilan, dengan sosok yang selalu terkesan segar dan cerdas. Nyaris tidak ada yang berpostur tubuh kelewat subur dan gembrot, apalagi tambun. Geraknya tangkas, bicaranya lugas dan tentu saja, amat fasih dengan bahasa pergaulan internasional, bahasa Inggris.

Orang muda pada posisi strategis pertama yang kami temui adalah Brigadir Jenderal Bernard Tan, Director Joint Intelligence pada Angkatan Bersenjata Singapura (SAF). Dia didampingi sejumlah perwira muda lainnya, yang hampir semuanya pernah mengenyam pendidikan militer di Indonesia melalui SESKO.

Wajar saja, jika dalam beberapa penjelasan yang mereka sampaikan, sesekali diselingi istilah-istilah dalam bahasa Indonesia. Pertemuan ini diatur dan mengambil tempat di gedung unik dengan tampilan luar artistik dengan ratusan jendela kaca warna-warni dengan corak berani dan ngejreng milik Ministry of Information, Communication and Arts (MICA) di 140 Hill Street.

Usai itu, pergi lagi ke kompleks the Malay Heritage Museum, Museum Warisan Melayu, yang venuenya terletak di Sultan Gate. Di sini mendapat penjelasan dari Marah Hoessein Salim. Dia ini General Manager the Malay Heritage Foundation, yang belakangan dari bincang-bincang dengan kami, terungkap sebenarnya ia masih berdarah Minang.

Wah, gembira juga jumpa ''urang awak'' setelah dari tadi lidah terasa kaku karena harus ber-yes-no ria mengimbangi hujan informasi dari pihak Singapura yang ditemui.

Biasa lah, basa-basi pertama yang ditanyakan, tentu saja negeri leluhur asal Pak Marah Hoessein itu tadi. Di ma tu, Pak,''tanya saya dalam bahasa Minang. ''Keluarga ambo barasa dari Painan, di Pasisie Salatan, Sumbar,''jawabnya, dalam dialek Minang yang masih fasih. Apa lagi. Kami pun terlibat perbincangan akrab.

Soal museum ini sendiri, kami mendapat penjelasan ringkas dari Zainul Abidin Rasheed, Chairman Malay Heritage Foundation. Anggota parlemen yang juga salah satu menteri negara ini, awalnya menjelaskan tentang langkah-langkah yang diambil pemerintah Singapura dalam mempertahankan warisan budaya tempatan, baik Melayu, Cina maupun India, tiga etnis utama yang menghuni negeri Temasek ini.

Juga ketika bertandang ke The URA Centre, di 45 Maxwell Road. Di markas Urban Redevelopment Authority ini, tidak hanya bertemu dengan profesional muda semisal David Tay, yang lugas dan pantas menjelaskan tentang bagaimana konsep pengembangan kawasan Marina Bay untuk lebih sophisticated lagi lima tahun ke depan. Lebih dari itu, penjelasan dengan kombinasi penguasaan teknologi terkini juga menyiratkan betapa mereka dalam beberapa hal lebih di depan dibanding rekan serumpunnya di kawasan ini.

Mereka berusaha dengan cara yang praktis untuk menjelaskan bagaimana konsep ''Singapore as a Global City.'' Maka selain melengkapi penjelasan dengan slide, kami dibawa ke sebuah ruangan khusus yang didisain sedemikian rupa sehingga dari lantai dua dapat melihat bagaimana maket besar pengembangan sejumlah kawasan di Singapura.

Penerapan teknologi terkini di sini juga amat membantu sehingga penjelasan menjadi lebih gampang dimengerti. Pengelola tinggal menyentuh layar monitor yang terpasang beberapa unit di lobi atas. Begitu disentuh, panel di layar monitor yang menunjukan satu item yang akan dijabarkan, tersambung langsung dengan layar screen sangat lebar yang turun secara otomatis dari dinding kaca yang melingkup ruangan di sekitar maket besar tadi, sekaligus menghambat cahaya dari luar yang tadinya menembus dinding kaca itu.

Maka jadilah kami seperti menonton di studio twenty one. Bagi yang ingin secara pribadi memperoleh informasi itu tadi, juga dapat memanfaatkan monitor di lobi. Untuk melihat lebih dekat maket pengembangan kawasan Singapura, juga dapat menggunakan teropong khusus di lobi lantai dua itu, selain memang dapat turun ke lantai bawah untuk melihat lebih
jelas lagi maket raksasa tersebut.

Jelas dari maket raksasa itu tergambar bagaimana konsep pengembangan kawasan Marina Bay misalnya, yang akan dilengkapi satu lagi jembatan, teater terapung di Singapore River, dan sejumlah fasilitas hiburan lain, melengkapi kawasan yang indah dengan gedung Esplanade serta Taman Merlion sebagai maskotnya ini. Juga tergambar jelas bagaimana kawasan bisnis terkemuka, Orchard Road, yang akan terus dimatangkan dengan penambahan beberapa fasilitas dengan gedung jangkung modern.

URA sendiri adalah sebuah lembaga yang secara khusus melakukan kajian pengembangan daratan negeri pulau ini secara fisik, untuk bagaimana Singapura lebih punya daya saing, dan terus diperbarui, sebagai kota kosmopolitan yang disegani. Dan seperti dijelaskan tadi, di sini kita akan selalu dilayani oleh petugas Singapore City Gallery yang akan menjelaskan segala sesuatunya kepada pengunjung, baik itu masyarakat awam, para pelajar termasuk rombongan seperti kami para wartawan dari Indonesia, tentang apa dan bagaimana negara-kota itu dikelola, dikembangkan melalui perencanaan yang matang.

Suguhan penjelasan dengan kemasan teknologi terkini oleh orang-orang muda Singapura, juga tersaji di PSA Building, pusat pengendalian aktifitas pelabuhan laut Singapura, di 460, Alexandra Road. Dari puncak tower, di ruang pengendalian, teknik penyajian dan penjelasan informasi mirip seperti yang ditemui di URA Centre tadi, ada layar screen raksasa dan beberapa monitor layar-sentuh.

Selebihnya, kita bisa saksikan sendiri bagaimana kesibukan di pelabuhan peti kemas yang terhampar luas nun di bawah sana, yang sudah diakui sebagai salah satu yang terbaik dan tersibuk di dunia, setidaknya di kawasan Asia. Dari puncak ruang pengendali ini, juga terlihat jelas kesibukan di Harbour Front, pelabuhan di mana saya mendarat dari Batam beberapa hari sebelumnya. Beda dengan rekan-rekan jurnalis lainnya, yang terbang langsung dari Jakarta. Malah, saya ikut menjemputnya di Bandara Changi, karena memang duluan tiba di sana.(bersambung)

Tidak ada komentar: