Minggu, 25 Mei 2008

Thai, Sin, M'sia

Tur Wisata Melintas Tiga Negara Bersama Patria Batam
Katanya Tiger Show, Harimaunya Mana?

Oleh A M Z A R

Perjalanan wisata selama sepekan ke Thailand dan Malaysia serta melintasi Singapura bersama Patria Tour & Travel Batam, memberi kesan yang membekas lama. Terutama ke negara Siam, negeri serantau namun agak berlainan rumpunnya dibanding Malaysia yang tak jauh beda dengan kita. Di balik kesan kunjungan, sebenarnya banyak pelajaran yang dapat dipetik dari bagaimana kedua tetangga kita ini mengelola pariwisatanya secara serius dan karenanya mampu meraup kunjungan jutaan wisatawan. Berikut catatan AMZAR yang ikut dalam lawatan ini.

THAILAND, negeri merdeka dengan latar belakang sejarah berbilang abad, semakin dekat. Pada peta elektronik yang terpampang di layar besar pada kabin penumpang Boeing 747-400 Singapore Airlines, tergambar rute penerbangan membentuk garis yang terus mendekat ke arah kota Bangkok, setelah hampir dua jam meninggalkan Changi, bandara Singapura.


''Selamat datang di Bangkok,'' sapa Somchai Chokchaimongkolkij, lelaki separuh baya yang cukup fasih berbahasa Indonesia. Senang juga ditemani pemandu wisata ini. Sebab, bagi yang pertama kali ke Thailand --rata-rata memang semua anggota rombongan, inilah kunjungan perdana ke negeri Siam-- akan sangat rumit untuk memahami berbagai hal di sana. Sudahlah aksaranya tak bisa dibaca, pun tidak banyak orang tempatan yang dijumpai, paham dengan bahasa selain bahasa ibunya.

Somchai lah yang menjadi jembatan penghubung untuk meminta penjelasan apa yang terlihat dan ingin diketahui selama tur ke Thailand ini, sampai ke hal-hal kecil tetapi penting. Contohnya saja ketika memasuki persinggahan pertama di Bangkok, yakni di restoran D'jit Potchana, yang pertama dicari adalah toilet. ''Orang di sini menyebutnya Hong Nam,'' itu kata Somchai, tadi.

Beberapa teman sibuk menghafal kata-kata ''penting'' yang diajarkan Somchai agar tidak keliru menyebutkannya, sebab ada kata lain yang juga disertai kata Nam, seperti Nam Yen (air minum dingin) dan Nam Ron (air hangat). Apalagi ini di restoran, ''bisa-bisa kita maunya air hangat untuk minum, tapi yang diminta Hong Nam, kan bingung tu pelayannya,''kata seorang teman.

Memang ada beberapa anggota rombongan yang perutnya kurang menerima masakan khas Thailand. Tom Yum misalnya. Sup khas ini sudah terhidang di D'jit Potchana. Banyak mungkin yang tidak terbiasa dengan aroma yang terhirup dari bumbu asam khas Thailand yang mengandung kaffir lime ini. ''Selera makan saya langsung hilang,''celetuk teman dari Padang. Padahal, menurut Somchai, asam tersebut dipercaya berkhasiat sebagai bahan obat awet muda dan dipakai dalam tradisi pengobatan tradisional Thailand.

Tapi bukan berarti masakan yang dihidangkan tidak menyelera. Buktinya, hampir semua menyantap dengan lahap, apalagi bila yang hadir itu adalah telur dadar, selalu jadi favorit. Apalagi baru saja menempuh penerbangan dan perjalanan jauh sejak dari Singapura tadi. Jadinya, semua seakan melupakan aroma Tom Yum tadi. Yang terdengar adalah suara sendok yang beradu dengan piring atau mangkuk, sesekali menyodorkan gelas kosong ke pelayan. ''Mas, Nam Yen nya satu.'' ''Nam Ron ciek, Uda.'' Terisilah gelas dengan air minum sejuk atau air hangat, disertai senyum si pelayan yang mau saja disapa Mas, Uda, Aa dan panggilan lainnya. Si pelayan tersenyum kecut, rombongan lainnya tergelak ngakak mendengar bahasa gado-gado dan asal bunyi itu.

Malam tiba, Bangkok pun gemerlap. Beda jauh dengan siang tadi yang panas menyengat, nyaris sama dengan di Indonesia yang beriklim tropis. Tapi ademnya udara malam di Bangkok, itu bagi yang berjalan-jalan menghirup udara bebas. Di tempat-tempat tertentu, udara di Bangkok justru lebih ''panas'' oleh beragam sajian hiburan malam, sesuatu yang selalu ada di banyak kota Metropolis yang ramai dikunjungi turis.

Kata Somchai, sang pemandu wisata, gemerlapnya kehidupan malam di Bangkok, Pattaya dan kota wisata lainnya di Thailand memang sudah terlanjur menyebar dari mulut ke mulut. ''Ada bagusnya juga, karena yang sudah sampai ke sini akan penasaran dan ingin membuktikannya,''kata Somchai. Ia pun menyebut beberapa atraksi yang bikin penasaran itu, seperti Kabaret Show, Russian Show, keduanya di Pattaya dan yang Bangkok di antaranya adalah Thai Girl Show. Tapi, di telinga kami, lebih terdengar sebagai Tiger Show. Makanya muncul pertanyaan.

''Ada harimau tu, Pak Somchai?'' Yang ditanya malah tertawa karena menganggap si penanya itu ''kura-kura dalam perahu.'' Dalam pemaparan di bus tadi, Somchai ada menyinggung tentang Tiger , eh Thai Girl Show tersebut, yang bisa dipersepsikan sebenarnya lebih kepada upaya mengeksploitir sedemikian rupa ''potensi alami '' yang dimiliki beberapa gadis Thailand untuk menyajikan sejumlah atraksi khusus ke publik yang menonton dengan bayaran sekitar 500 Baht (sekitar Rp100 ribu). Unik memang, namanya ‘’Tiger Show’’, tapi tak ada kerangkeng yang membatasi penampil dengan penonton. Bahkan tak ada seekorpun harimau pun yang tampil!

Ini, pertunjukan dengan mengeksploitasi para gadis ini, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai hal yang biasa sebagai ekses dari perkembangan sebuah metropolis sekelas Bangkok ini. Tapi, tetap saja ada sudut lain di ruang hati yang menyisakan emosi yang lain, ''Ah, kasihan si gadis Thai...'' Namun tetap saja, malam ini, esok, dan esoknya lagi, dia tetap saja beraksi dan tetap saja ada yang menonton. Macam mana lagi? Ya sudah, lupakan saja...


Pagi Pertama, Dari Istana ke Sungai Chao Phraya

Pagi itu hari Senin. Bagi kota metropolis Bangkok yang berpenduduk 10 juta jiwa, tak ubahnya seperti Jakarta, macet di mana-mana, karena hari kerja. Beruntung, sebagai rombongan wisatawan, bus yang membawa kami diperkenankan melewati sejumlah kawasan jalan protokol. Sibuklah Somchai menjawab pertanyaan dari rombongan dari apa yang dilihat pada sepanjang jalan.

Maklum saja, tidak ada hal lain yang dapat menjelaskan kepada kami bangunan apa itu karena hampir semuanya menggunakan aksara Thailand. Hanya tempat-tempat tertentu saja dan itu yang berkaitan dengan predikat yang disandang bangunan itu, yang menggunakan juga keterangan dalam bahasa Inggris, seperti misalnya gedung perwakilan PBB (United Nations). Selebihnya, berhiaskan huruf keriting, bikin pusing.

Jalan protokol yang dilalui, banyak dihiasi foto besar Raja Bhumibol Adulyadej, baik sendirian, bersama Ratu Sirikit, pada sebuah acara dan berbagai pose lainnya. Ada juga foto tamu kerajaan dari Eropa yang bisa diartikan bakal atau telah ada kunjungan tamu kerajaan dalam waktu yang tidak berjauhan dari kedatangan kami.

Beberapa tempat penting memang sempat kami lintasi karena memang diperkenankan bagi bus wisata. Ada Monas-nya Bangkok (Victory Monument), Istana Suan Phakkad, Villa Chitralada sebagai tempat kediaman Raja, gedung Parlemen yang bercorak bangunan gothik, monumen King Rama V sebagai raja kebanggaan Thailand, sekolah kerajaan, Monumen Demokrasi yang kerap dijadikan ajang tempat unjuk rasa, dan sebagainya. Terbanyak berada di sisi jalan empat jalur yang berpapasan dengan gedung parlemen.

''Bila kendaraan yang membawa Raja lewat, yang lain tak ada yang melintas. Juga kalau ada tamu negara atau tamu kerajaan, juga lewat jalan ini,'' kata Somchai. Memang, dari berbagai monumen dan penampilan gambar Raja di berbagai sudut kota, menyiratkan betapa Raja Thailand menempati posisi istimewa bagi merata rakyat Thailand.

Menurut Somchai, tradisi ini sudah berjalan berabad-abad silam, jauh sebelum berkuasanya Raja Chulalongkorn yang bergelar Rama V (1869-1910), Raja Vajiravudh atau Rama VI (1910-1925), Raja Prajadhiphok (1925-1935), saat Thailand berubah dari sistem Monarki Absolut ke Monarki Konstitusional. Pada masa Raja Ananda Mahidol (1935-1946) nama negara ini berganti dari Siam menjadi Thailand sekaligus membentuk pemerintahan demokratis tahun 1939.

Raja Bhumibol Adulyadej yang berkuasa sekarang, bergelar Rama IX, dari dinasti Chakry, merupakan keturunan dari Raja Chulalongkorn. Ia memang unik karena raja sebelumnya (Rama VIII) adalah abang kandungnya sendiri. Raja Bhumibol lahir pada Desember tahun 1927 di Cambridge, Massachusetts (AS), tempat ayahnya Pangeran Mahidol dari Songkhla yang ketika itu sedang menuntut ilmu kesehatan di Harvard University.

Raja Bhumibol Adulyadej termasuk yang lama bertahta, sejak dinobatkan tahun 1946. Menurut Somchai, sang raja yang didampingi permaisuri Ratu Sirikit, sangat merakyat dan dicintai masyarakatnya. Ada saat-saat tertentu wakil-wakil dari seluruh wilayah negeri dipanggil untuk bertemu guna mengetahui permasalahan yang dihadapi. Tak jarang juga pelaksana pemerintahan melakukan hal serupa dengan Raja.

Begitulah, selama perjalanan melihat-lihat berbagai tempat bersejarah tersebut, sejarah singkat yang disampaikan Somchai tadi sedikit membantu untuk memahami kenapa begitu tingginya penghargaan diberikan terhadap raja dari simbol-simbol yang terlihat jelas sepanjang perjalanan lebih satu jam itu, sebelum sampai di pinggir sungai Chao Phraya.

Menyusuri Sungai
Selain masalah bahasa dan beberapa makanan, sepertinya tak ada yang menjadi kendala selama di Thailand. Sebab, apa yang terpampang dan dipampangkan, bisa dinikmati tanpa harus menerima penjelasan panjang lebar. Di sungai Chao Phraya misalnya. Pengelola pariwisata Thailand memang menempatkan sungai ini sebagai salah satu tempat wajib untuk ditelusuri. Buktinya, siang itu, selain rombongan yang dibawa Patria Tour dari Batam, banyak turis asing, baik bule, kulit sawo matang atau yang bermata sipit, sibuk hilir-mudik dengan perahu mesin. Suara pemandu pun terdengar ganti-berganti bahasa, dari tiap pengeras suara pada masing-masing perahu yang menyusuri Chao Phraya.

Sungai yang membelah kota Bangkok dan panjangnya ratusan kilometer ini, airnya memang rada keruh, tetapi tidak kotor. Kedua sisi sungai nyaris sudah dipagar beton dan dipenuhi banyak tempat bersejarah dan diagungkan. Kalau di Eropa yang terkenal adalah Venesia sebagai kawasan wisata sungai yang ditelusuri dengan Gondola, maka di Bangkok, mereka dengan percaya diri menyebut Chao Phraya ini sebagai Venesia dari Timur. ''Ketika Bangkok menjadi ibukota negara tahun 1782, para turis dari Eropa sudah menjulukinya seperti itu,'' kata Somchai.

Mungkin kalau dibilang sama dengan Venesia, itu terlalu berlebihan. Tapi, upaya memaksimalkan potensi sungai Chao Phraya ini oleh Tourism Authority of Thailand memang patut diacungi jempol.Sejarah kejayaan yang diukir sejak masa lampau dan menyisakan bukti yang tersebar di sepanjang sisi Chao Phraya, itu menjadi kebanggaan bagi setiap orang Thailand untuk membeberkannya ke publik mancanegara yang wajib dibawa singgah ke sana oleh setiap pemandu wisata.

Itulah yang dilakukan Somchai, sang pemandu kami. Ia dengan bangganya menceritakan sejumlah kelebihan potensi di sepanjang sungai ini, serta peninggalan sejarah yang telah menjadi monumen atau yang masih berfungsi sampai saat ini.
Sebentar saja menyusuri sungai ini ke arah utara dari dermaga dekat kawasan Sanam Luang, sudah terlihat beberapa bangunan bersejarah seperti dokyard milik Angkatan Laut Kerajaan Thailand, the Thai Maritime Navigation Company, the Old Customs House, the First Presbyterian Church dan sebagainya.

Satu yang khas di Thailand adalah banyaknya dijumpai kuil dan pagoda, sehingga ada yang menggambarkannya dengan istilah Negara Seribu Pagoda. Khusus di sungai Chao Phraya ini, ada yang istimewa. Pada pinggiran sungai yang ada kuilnya, muncul ratusan atau mungkin ribuan ekor ikan yang umumnya jenis Patin, ke atas permukaan sungai. Akan lebih keras suara kecipak air bila disebarkan potongan roti ke arah populasi ikan ini.

Lho, tak ada yang menangkap? Kata Somchai, ini semacam ikan larangan dan sudah diyakini sejak turun temurun, bahwa jika melanggar pantangan itu, bisa kualat. Kita bisa saja tidak percaya, tetapi masyarakat Thailand masih mematuhi ketentuan tersebut.

Pagoda dan candi memang banyak tersebar di sepanjang pinggiran Chao Phraya. Ada yang namanya Wat Prayunrawong, Wat Rakhang Khositaram, Wat Phra Kaeo Grand Palace sebagai salah satu istana raja, the Royal Boat House, tempat tambatnya perahu kerajaan dan Wat Arun.

Kami sempat singgah di kawasan Wat Arun ini, setelah beberapa kali berpapasan dengan para pedagang cenderamata yang menggunakan perahu dayung atau perahu mesin menjajakan aneka souvenir. Di dermaga Wat Arun, silih berganti perahu wisata tambat. Ratusan turis turun dan naik. Ada yang mendaulat untuk foto bersama dengan latar belakang candi Wat Arun. Tukang fotonya pun pakai rebahan segala untuk mengambil gambar terbaik.

Nama lengkap candi ini Wat Arun Rajwararam (The Temple of Dawn). Sepintas mirip Candi Prambanan di Pulau Jawa sana. Pengunjung hanya dapat menaiki beberapa jenjang di pelatarannya saja, karena untuk ke puncaknya yang berketinggian sekitar 100 meter, sangat beresiko karena susunan tangganya sangat rapat dan curam. Itu sebabnya tangga untuk naik ini diberi pagar dan ada papan peringatan. Pengunjung pun tidak boleh sembarangan duduk pada pelataran stupa di sudut candi. Ada yang mencoba untuk mengambil foto, tetapi langsung saja bunyi peluit dari penjaga pertanda hal itu dilarang.

Kata Somchai, konon candi Wat Arun ini diambil dari nama salah satu dewa India bernama Aruna, yang dibangun dengan berbagai ornamen yang umumnya terbuat dari susunan pecahan porselen dari kapal asal Cina yang karam di kawasan tersebut tempo doeloe.

Cerdiknya pengelola pariwisata Thailand, semua perjalanan turis selalu diarahkan ke tempat-tempat pasar wisata. Di sekitar Wat Arun misalnya, beragam souvenir tersedia, dari baju sampai patung Budha. Eh, penjualnya pun bisa berbahasa Indonesia. Maka, miriplah suasananya seperti di Pasar Nagoya, Batam.

Mau tak mau, kita tetap tertarik ingin membeli sesuatu untuk jadi tanda mata. Kalau ada yang belum sempat menukarkan duitnya dengan mata uang Baht, maka di sini sang pemandu wisata, bung Somchai pun berubah fungsi menjadi ''money changer berjalan.'' Maka ketika naik ke perahu lagi, hampir semua anggota rombongan menenteng tas kresek berisi bungkusan belanjaan. Bahkan itu masih dikejutkan dengan disodorkannya piring porselen yang sudah berisi foto kita sendiri secara close-up. Lho kapan ngambilnya. Ternyata sewaktu foto bersama saat datang tadi, yang tukang fotonya pakai acara rebahan segala. Berminat dengan foto ini, bisa ditebus seharga 150 baht (sekitar Rp30 ribu). Rata-rata semua pun mengambil!

Siangnya, pemandu membawa rombongan ke kawasan Dusit, masih di dalam kota Bangkok. Kali ini yang dikunjungi adalah Dusit Leather Company Limited di Rachasima Road. Inilah pusat pengolahan sekaligus galeri beragam produk yang terbuat dari kulit. Ada tas, ikat pinggang, dompet dan perlengkapan lainnya yang terbuat dari kulit buaya, kulit ikan pari, kulit gajah, dan sebagainya.

Wah, pintar sekali mereka menguras isi saku turis. Buktinya, banyak anggota rombongan yang kembali menenteng tas belanjaan ketika keluar dari galery tersebut. Sebelum berangkat ke Pattaya, masih ada satu tempat yang disinggahi, yakni pusat penangkaran King Cobra. Di sini selain melihat beragam jenis ular termasuk King Cobra yang paling ganas, juga sempat dibawa satu tempat khusus, masih di kompleks tersebut.

Di sini, ada beberapa ruangan mirip kelas. Beberapa ruang sudah terisi oleh pengunjung dari negara lain seperti Korea, Cina dan Malaysia. Rupanya, di kelas-kelas yang tersedia inilah, para ahli dari pusat penangkaran ular ini mempresentasikan bagaimana ular-ular itu diperlakukan sedemikian rupa sampai menjadi kemasan obat dan suplemen untuk beberapa tindakan. Ada yang berupa ekstrak, kapsul, tonik, tepung dan minyak ular. Tentunya dengan beragam khasiat dan manfaat, yang kesemuanya diterangkan dalam bahasa Indonesia, dari untuk pegal linu sampai obat kuat. Ujung-ujungnya, ya jualan lagi. Tapi, di sini, tak banyak yang merogoh saku. Entah tak berminat, entah malu-malu.

Ke Pattaya Lewat Tol

Sebenarnya, sebelum berangkat, sudah banyak yang mengetahui serba ringkas tentang Pattaya. Lewat jalan tol, kota yang berjarak147 km arah tenggara Bangkok ini ditempuh dalam waktu dua jam.

Pukul 16.00 saat tiba di sana, suasananya biasa-biasa saja. ''Seperti di Bangkinang saja,'' celetuk rekan dari Pekanbaru, membandingkan suasana yang tidak terlalu ramai kota ini saat sore itu dengan yang pernah dilihatnya di Bangkinang, Kampar. ''Beginilah suasananya kalau siang. Nanti malam lah lihat, baru hidup kota ini,'' terang Somchai.

Benar saja. Kegelapan yang semestinya menyergap, berubah menjadi semarak oleh gemerlapnya lampu aneka warna. Dari buklet yang gampang didapat di Pattaya, nyaris yang banyak dijelaskan adalah dunia hiburan malamnya, sesuatu yang memang menjadi andalan Pattaya, selain pantainya.

Ada bar dan kafe di udara terbuka yang dipenuhi bule, ada klab malam, diskotik dan tempat hiburan dengan aneka pertunjukan. Di sini, satu paket yang sejak awal digembar-gemborkan sang pemandu adalah Cabaret Show. ''Apa bendanya ni, Somchai?'' Dia bilang, nyesal kalau tak nonton. Sebuah garansi yang bikin penasaran.

Dengan membayar uang masuk 500 Baht, penonton sudah antre jauh sebelum waktu pertunjukan dimulai. Tempat pementasannya pun berkelas, sebuah bangunan eksotik mirip gedung opera yang diberi nama Alcazar. Jadwal pertunjukannya tepat waktu, sehingga ketika kami sampai beberapa menit sebelum show digelar, semua kursi baik di lantai pertama maupun di balkon nyaris tak ada yang tersisa. Tapi memang, kalau sudah pegang tiket, pasti dapat tempat duduk.

Gemuruh suara sound sistem disambut oleh tepukan gemuruh dari pengunjung ketika show dimulai. Layar terangkat secara bergelombang dan di pentas yang melengkung muncul sederet penari dengan aneka kostum yang terkesan kolosal. Maka, satu persatu pertunjukan pun dimulai, apakah itu tarian kolosal, nyanyian tunggal baik lip sync maupun live, opera singkat dan sebagainya, yang bergulir lancar dengan bentuk serta ornamen pentas yang berubah dalam sekejap, disesuaikan dengan setting dari apa yang dipertunjukkan.

Para penari, penyanyi, pemain drama dan umumnya penampil di kabaret show ini, dalam tatawarna pentas yang gemerlap, tampak glamor dibalut kostum yang dirancang memberikan kesah mewah. Dari tempat duduk penonton, terlihat cantik-cantik, seksi dan aduhai. Siapa sangka, mereka semua ini adalah waria! Ini yang bikin kagum, di mana mereka bisa diarahkan sedemikian rupa sehingga bisa menampilkan sesuatu yang malah membanggakan Pattaya.

Waktu satu jam untuk pertunjukkan Cabaret Show ini terasa cepat berlalu. Penonton yang penasaran, di luar gedung dapat melihat dari dekat para penampil masih dengan pakaian show mereka. Ada yang berkostum mirip merak, ada yang mengenakan rajutan yang hanya menutupi beberapa bagian tubuh saja. Nyaris tak percaya mereka ini semua adalah waria. Mau pose dengan mereka? Memang, inilah yang ditawarkan, asal bersedia merogoh saku untuk imbalan 150-200 Baht. Wah, Baht lagi, Baht lagi, semuanya mereka jadikan duit!

Ini adalah satu dari bagian hiburan yang terkelola secara baik oleh kalangan pengelola pariwisata di Pattaya. Belum lagi tempat hiburan lain, baik yang umum maupun eksklusif, baik yang diisi oleh penampil lokal, pribumi maupun oleh orang asing, seperti Russian Show. Malam terasa sangat panjang di Pattaya!


Pagi, sebelum menuju ke kawasan Segitiga Emas, masih sempat menelusuri pantai Pattaya sepanjang 4 kilometer yang sebenarnya harus diakui tidak terlalu istimewa dibanding apa yang dimiliki Indonesia. Di sini pengunjungnya tetap ramai.

Hanya dalam hitungan menit, rombongan sampai di kawasan Segitiga Emas, mengunjungi Golden Triangle Park. Banyak yang tahu, kawasan segitiga emas adalah suatu tempat yang subur di antara tiga negara: Laos, Myanmar dan Thailand, yang cocok untuk tanaman candu.

Namun pada taman seluas 40 acre yang terletak di Chiang Rai ini, pengelolaan ladang candu ini sepenuhnya dibawah pengawasan kerajaan dan dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Yang kami tinjau adalah bagaimana mereka memanfaatkan tanaman candu untuk menjadi tempat lebah mendapatkan sari untuk diambil madunya, royal jelinya, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, ya jualan lagi, lengkap dengan berbagai penjelasan serta brosur tentang khasiat dari produk madu lebah yang mengkonsumsi tanaman candu tersebut.

Setelah di sini, objek berikut yang dituju adalah sebuah kawasan Taman Safari dan cagar alam yang diberi nama Nong Nooch Garden. Ada taman anggrek dan beraneka tanaman tropis lainnya, ada aneka satwa yang untuk berfoto dengannya pun juga harus bayar, serta show gajah. Di tengah taman ini juga terdapat gedung pertunjukkan dan setiap hari menggelar aneka seni khas Thailand, termasuk Thai Boxing. Semuanya dipadu dalam satu paket pementasan dan selalu dijubeli penonton yang umumnya turis asing.

Dari gedung pertunjukkan ini, penonton digiring ke lapangan khusus tempat pertunjukan aneka atraksi gajah, apakah gajah berhitung, gajah main bola, naik sepeda, main basket, sampai ada gajah yang bisa mengurut pengunjung yang bersedia rebahan di lapangan. Untuk memberi makan si gajah, pengunjung pun harus rela merogoh saku untuk membeli pisang yang dijajakan di pinggir lapangan.

Pertunjukan gajah ini sebenarnya hampir ada di semerata tempat di Thailand, karena hewan raksasa tersebut sudah terlanjur akrab dengan orang Thailand. Bahkan, mereka mempunyai Hari Gajah (Elephant Day) yang diperingati 13 Maret lalu.

Dalam perjalanan kembali ke Bangkok, masih ada dua tempat yang masuk dalam paket persinggahan, yakni di Gems Galery, sebuah pusat pengolahan batu permata yang dikembangkan secara modern dengan ruang pamer yang sangat luas. Sebelum ke galeri, pengunjung dibawa berpetualang ke dalam lorong khusus yang dimanfaatkan untuk secara ringkas memberi penjelasan melalui beberapa adegan, gambar, relief dan gambar virtual serta diorama tentang bagaimana permata itu tercipta di alam, ditambang dan dimanfaatkan.

Di galery inilah, pengunjung benar-benar diperlakukan sedemikian rupa, dikuntit terus, diberikan penjelasan terus, dipromosikan terus tentang aneka perhiasan yang dilengkapi permata. Wah, mangkus juga cara orang Thailand ini. Entah berapa ribu Baht yang terbelanjakan di sini, yang jelas tentengan belanjaan bertambah lagi.

Tempat terakhir yang disinggahi adalah Tiger Zoo di Sriracha, satu lagi taman yang menyediakan aneka satwa, terutama harimau dan buaya. Di sini ada pertunjukan buaya dengan sepasang pawang yang sempat menyorongkan kepalanya ke dalam rongga mulut buaya yang disuruh menganga.

Banyak sebenarnya pertunjukan lain yang bisa dinikmati di sini, namun agenda yang padat dan kondisi fisik yang lelah membuat rombongan enggan berlama-lama di sini. Rombongan kembali ke Bangkok setelah melihat museum buaya dan macan yang menggambarkan bagaimana buaya diternakkan. Di sini ada slide besar yang mengabadikan Putri Raja, Mahachakri Sirindorn saat berkunjung ke sana melihat dan berfoto bersama anak buaya yang diternakkan. Bagi yang juga punya minat berfoto dengan sang buaya, harus bayar lagi.

Paginya, sebelum meninggalkan Thailand, khususnya Bangkok, masih ada satu tempat yang ditawarkan untuk dikunjungi yakni Dream World, yang lokasinya searah untuk perjalanan ke Bandara Don Muang. Seperti di Dunia Fantasi, aneka permainan dan hiburan juga tersedia di sini. Pengelolaannya yang bagus menyebabkan lokasi ini pun selalu ramai dikunjungi. Sama saat memasuki Wat Arun, di sini pun kita diincar pemotret amatir yang juga menawarkan foto kita yang sudah tercetak di atas piring porselen, saat akan meninggalkan lokasi itu.

Waktu setengah hari dihabiskan di sini. Lepas tengah hari, kami berangkat menuju bandara Don Muang untuk berangkat menuju Singapura. Apa yang terkesan dan seperti yang disampaikan oleh Somchai adalah bahwa Thailand tidak memiliki alam seindah dan seluas Indonesia. Namun, potensi yang tidak terlalu banyak itu sepenuhnya dikelola secara terpadu dan profesional. Buktinya, Thailand yang berpenduduk 60 juta jiwa itu, setiap tahunnya dikunjungi rata-rata 10,8 juta wisatawan mancanegara. Ada banyak hal yang kita mesti belajar dari mereka tentang bagaimana wisata itu dikelola secara terpadu dan profesional.(amzar)




Malaysia, dari Genting Hingga Melaka

PESAWAT Singapore Airlines yang menerbangkan rombongan yang dibawa Patria Tour & Travel terlambat dua jam dari jadwal penerbangan semula pukul 16.00. Jadinya, kami tiba di Singapura ketika hari sudah gelap.

Seperti sudah dimaklumi, di sini pemeriksaan selalu saja ketat. Rombongan baru meninggalkan bandara Changi pukul 20.35, dengan bus meneruskan perjalanan ke Malaysia melalui Johor. Tak sampai dua jam, kami sudah memasuki Johor setelah melewati perbatasan dan diperiksa oleh petugas imigrasi Malaysia.

Karena sudah malam, selepas makan, rombongan langsung ke salah satu hotel untuk beristirahat. Sejak di sempadan tadi, kami sudah mendapat pemandu baru, yakni Encik M Syafei, yang kental logat Melayunya, khas Malaysia.

Esok paginya, sehabis sarapan, perjalanan dilanjutkan lagi. Kawasan yang dituju adalah Genting Highland, melintasi jalan tol yang mulus dengan pengaturan kecepatan memandu kendaraan oleh pemerintah Malaysia, sehingga perjalanan terasa selesa. Apalagi, di negeri serumpun ini, perut kembali mau menerima maakanan yang masuk, karena tidak terlalu asing seperti di Thailand.

Banyak hal diceritakan Encik Pi'i, sapaan M Syafe'i selama dalam perjalanan. Sesekali, ada tempat yang khusus dibangun untuk tempat beristirahat bagi pengemudi dan penumpang, atau hanya sekadar ''tandas'' tempat buang air kecil dan cuci muka. Pokoknya, kalau ada rombongan yang merasa ingin buang air kecil, lapor ke Encik Pi'i. ''Kejap lagi ye Pak Profesor, paling seperempat jam lagi kat depan ade tandas,'' gurau Pi'i kepada salah seorang anggota rombongan yang sebagian kepalanya gagal ditumbuhi rambut.

Menjelang sore, setelah melintasi beberapa kota termasuk sebagian wilayah Kuala Lumpur, rombongan sudah memasuki kawasan Genting Highland. Sesuai namanya, kawasan ini berada di atas ketinggian, sehingga udaranya sejuk, mirip di kawasan Puncak.

Perjalanan diteruskan dengan Sky Way, yang menurut penuturan Syafe'i merupakan kereta kabel terpanjang di kawasan Asia Tenggara. Bayangan yang selalu ada selama ini, bahwa Genting Highland adalah semata kawasan untuk berjudi, perlahan sirna manakala melihat para pengunjung yang kebanyakan juga datang bersama keluarga.

Memang, sesampai di kawasan tersebut, yang terlihat adalah sebuah tempat yang mengundang decak kagum. Sebuah kawasan yang berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut, dipenuhi oleh berbagai bangunan megah, aneka permainan, pusat perbelanjaan dan beragam hiburan lainnya. Termasuk juga beberapa hotel megah dan sejumlah pusat perbelanjaan.

Ada memang tempat berjudi kasino di kompleks ini. Namun tempatnya sangat eksklusif dan menerapkan aturan serta seleksi yang ketat bagi pengunjungnya. Kata Pi'i, warga muslim Malaysia tidak dibenarkan masuk ke arena kasino. Warga negara lain yang ingin masuk, harus berpakaian rapi, bersepatu dan membawa paspor.

Malam di Genting Highland yang gemerlap, memang berkesan. Di sini memang tak ada jadwal acara berombongan. Makanya, ada yang memilih jalan-jalan, belanja, melihat bagaimana pengunjung memanfaatkan aneka permainan, dan ada juga yang ingin tahu bagaimana sebenarnya di dalam kasino Monte Carlo, yang suasananya mirip seperti apa yang kita lihat pada film Hongkong, Taiwan atau Hollywood yang berlatarbelakang kegiatan di kasino.

Lebih dari itu, Genting Highland sebenarnya adalah ''kota ajaib'' di puncak bukit yang berjarak 50 kilometer dari Kuala Lumpur. Suhu udara di sini berkisar 16 hingga 25 derajat Celsius, sehingga tidak terlalu memerlukan pendingin udara, cukup dari alam. Semua fasilitas yang dibangun di sini memang berstandar internasional, baik itu yang berada di dalam ruangan maupun di alam terbuka. Semua tersedia, tinggal bagaimana kita bisa mengatur rencana, tentu sesuai dengan keperluan dan ketersediaan anggaran.

Setelah semalam di Genting Highland, perjalanan diteruskan ke Kuala Lumpur. Namun, sama seperti di Thailand, di Malaysia pun, pemandu wisata punya kewajiban untuk membawa singgah rombongannya ke tempat tempat tertentu. Contohnya, beberapa jam dari kaawasan Genting Highland, bus harus berhenti untuk sedikit pemulihan setelah dipaksa merayap menuruni bukit.

Tempat berhentinya bus pun ternyata adalah di sebuah kedai serba ada. Rombongan lain sudah terlebih dahulu singgah di sini dan di belakang kami pun ada rombongan lain yang singgah di sini. Adaa bermacam makanan kering khas tempatan yang dijual di sini. Juga beberapa jenis obat tradisional, seperti Tongkat Ali, baik dalam bentuk asli dari serutan kayu, maupun yang telah mengalami pengolahan berbentuk kapsul, dan aneka obat serta penganan tradisional lainnya. Di sini, ringgit pun tertinggal sebagai pengganti belanjaan yang dibawa ke atas bus.

Menjelang siang, kami sudah memasuki Kuala Lumpur (KL). Dari kejauhan sudah terlihat menara kembar Petronas dan menara KL. Namun sebelum menuju ke pusat kota, rupanya ada dua tempat wajib singgah, yakni tempat yang disucikan umat Hindu di Batu Caves, Selangor, yang mempunyai ratusan susunan anak tangga menuju ke ruang khusus di dalam gua di atas bukit cadas, serta beberapa tempat prosesi keagamaan yang bagi wisatawan cukup menarik untuk dijadikan latar belakang pengambilan gambar. Apalagi ratusan burung merpati yang nampak jinak, selalu berada di dekat pengunjung.

Di sini hanya sebentar, lalu rombongan dibawa ke suatu galeri yang khusus menjual aneka jenis jam asli dari Swiss yang dengan kerja sama resmi dapat dijual dengan harga yang pantas. Letaknya di kawasan Taman Sri Batu Caves. Nama galerinya, Geneve Timepiece. Sudah ada rombongan lain yang telah lebih dulu diboyong ke sini, dan seperti mereka, tidak sedikit anggota rombongan kami yang keluar dengan menenteng tas berlogo Geneve Timepiece. Yah, beli jam lah tu, yang ketika dicoba memang anti gores dan waterproof.

Memasuki pusat kota KL, rombongan berhenti sebentar di Dataran Merdeka, sebuah alun-alun di pusat kota yang kerap menjadi sentral berhimpunnya massa untuk satu kegiatan kolosal. Di bawahnya, ada ruang bawah tanah yang berisi toko dan restoran.

Sebelum menuju menara kembar Petronas, singgah dulu di depan Istana Raja di kawasan Shah Alam. Kebetulan sampai di sana, rombongan raja dan kerabat istana baru saja tiba dan akan memasuki gerbang istana. Di sini, pengunjung diperkenankan berfoto sepuasnnya, baik sendiri, bersama-sama, atau malah dengan pasukan kerajaan yang mengawal istana dengan pakaian khasnya. Ada juga pasukan berkuda.

Menara Kembar Petronas, adalah tujuan berikutnya. Inilah salah satu kebanggaan Malaysia karena termasuk sebagai salah satu bangunan tertinggi di dunia. Sayangnya, rombongan tidak naik sampai ke tingkat tertinggi yang diperkenankan untuk melihat ke segala penjuru Kuala Lumpur. Pasalnya, untuk ke situ harus mendaftar jauh-jauh hari. Jadinya, hanya mengunjungi pusat bisnis yang ada di lantai satu sampai enam yang bernuansa modern dan sangat luas, sehingga Encik Pi'i berulang-ulang menjelaskan tentang tempat di mana nanti harus kumpul lagi. Sebenarnya, ada juga dirancang untuk menaiki KL Tower, tapi dibatalkan karena sebagian rombongan merasa letih.

Setelah istirahat sejenak di hotel yang berada tak jauh dari kawasan Chow Kit, rombongan berkesempatan melihat suasana malam di Kuala Lumpur. Ya, kalau seperti ini, paling-paling yang dilihat dan dikunjungi adalah pusat perbelanjaan. Tidak pun berbelanja, ada kesempatan melihat beragam komoditi dan bagaimana mereka melakukan berbagai cara untuk menarik minat pembeli.

Esok paginya, hari terakhir tur, perjalanan dilanjutkan ke Melaka, Bandaraya Bersejarah. Beberapa tempat yang punya kaitan dengan sejarah Melayu, menjadi objek kunjungan di kawasan ini. Ada Perigi Hangtuah, yang diyakini sebagai sumur yang dulu digali Laksamana Hangtuah saat menjejakkan kakinya ke Malaka. Di sini juga ada lukisan imaji yang menggambarkan bagaimana dua bersaudara Hangtuah dan Hangjebat saling bertarung habis-habisan.

Satu tempat lagi yang juga ramai dikunjungi di sini adalah Perigi Raja, yang letaknya di kawasan kuburan Cina, yang konon kuburan kuno terluas di luar negara Cina. Ada yang istimewa dari air sumur ini, yakni ketika dituangkan ke cangkir sampai penuh, permukaannya akan cembung. Ditambah dengan memasukkan beberapa potong koin, permukaan air akan makin jelas cembungnya, jauh di atas permukaan cangkir. Mau diminum? ''Silakan saja, dan biasanya mereka yang meminumnya, satu saat nanti akan datang lagi ke Melaka ini,''kata Encik Syafe'i

Ada banyak lagi tempat bersejarah di sini, termasuk museum bahari, museum sejarah dan bangunan tua seperti gereja Christ Church Melaka yang dibangun pada tahun 1753. Beberapa bangunan tua yang masih mencirikan arsitektur Inggris, Belanda dan Portugis, masih banyak bertebaran di bandar yang mempunyai trayek pelayaran langsung ke Dumai, Riau ini.

Inilah kota terakhir yang disinggahi rombongan tur yang dibawa oleh Patria Tour & Travel dari Batam ini. Masih ada satu pusat perbelanjaan yang disinggahi sebelum bertolak menuju Johor, selanjutnya memasuki Singapura kembali, untuk kemudian naik fery yang akan mengantarkan rombongan kembali ke Batam. Sepanjang perjalanan pulang sejak meninggalkan Melaka, hingga menginjakkan kaki ke Batam kembali, hujan terus saja mengguyur. Butiran air terlihat menghapus jejak debu yang sedikit menempel di kaca bus. Namun, jejak perjalanan ini masih kuat membekas di hati, belum akan terhapus seperti debu di kaca tadi.(amzar)

Tidak ada komentar: