Kamis, 29 Mei 2008

Tips haji 5


Ke Masjidil Haram, Ya Siang, Ya Malam

SEPERTI sebelumnya disinggung, memang lebih asyik dan nikmat manakala kita mampu melaksanakan semua rangkaian ibadah di taah suci secara mandiri. Itu sebabnya, para
pembimbing sejak dari tanah air sudah mewanti-wanti para jamaah untuk terus memperdalam ilmu manasik, terus dan terus dipelajari, terus dipraktikkan.

Kalau sudah lumayan rasanya bekal pengetahuan yang dimiliki, insya Allah rasa percaya diri akan muncul nanti di sana, bahwa kita mampu melaksanakan secara baik. Dan situasi di
sana akan mendorong rasa optimis lagi, melihat jamaah dari segala penjuru dunia, ikhwan seagama dan seakidah.


Di Masjidil Haram misalnya, banyak amaliah yang dikerjakan di sana, baik yang berkaitan langsung dengan ibadah haji dan umrah, maupun amaliah lainnya, seperti diurai berikut ini.

Tawaf

Tawaf, ibadah yang hanya bisa dilakukan di tanah suci karena harus mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali. Ibadah lainnya seperti khatam Quran, tahajud, iktikaf, bisa dilakukan di tempat lain. Sehingga ada sebagian orang yang lebih menyarankan untuk memperbanyak tawaf dari pada ibadah lainnya. Tawaf hitungannya seperti salat tahiyatul masjid. Jadi kalau ke Masjidil Haram, lakukan tawaf sebagai pengganti salat tahiyatul masjid baru kemudian melakukan ibadah lainnya. Namun tawaf juga bisa dilakukan setelah kita melakukan ibadah lainnya.

Waktu pertama kali tawaf, wajar jika ada perasaan kaget, berdebar atau entah apalah lagi namanya. Maklum, kini kita berada dekat sekali dengan Kakbah yang selama ini menjadi
arah kiblat dalam beribadah dan hanya tahu lewat gambar dan video saja, kini nyata di depan mata. Juga karena langsung berdesakan dengan orang-orang banyak. Wajar juga kalau
dalam kondisi begini Anda akan senantiasa memastikan diri tidak tertinggal dari rombongan.

Setelah melakukan 2-3 kali, insya Allah kita memahami bahwa tidak perlu ragu untuk melakukan tawaf sendiri. Lakukanlah dengan tenang sambil membaca doa dengan khusuk,
namun usahakan untuk tetap berjalan dengan kecepatan yang tidak terlalu jauh dengan orang-orang sekitar, karena kalau tidak akan mengganggu. Jangan lupa bawa karet gelang
tujuh buah, untuk membantu menghitung bilangan tawaf yang kita lakukan. Supaya jangan ragu saja.

Tawaf yang paling singkat dan paling tidak melelahkan bila dilakukan sedekat mungkin dengan Kakbah. Resikonya, akan berada di tengah desakan jamaah yang penuh dan terus
bergerak, terus begitu, jam berapa pun. Di waktu-waktu jauh sebelum maupun sesudah waktu haji, tawaf di sekitar Kakbah masih nyaman karena belum sangat padat dan bisa
diselesaikan 30 sampai 45 menit.

Tawaf yang juga nyaman namun lebih memakan waktu dan tenaga adalah di lantai dua atau tiga Masjidil Haram. Apalagi di lantai tiganya. Wajar, karena lintasannya lebih di luar
sehingga jauh lebih lebar dan tentu saja akan semakin jauh. Rasanya perlu sekitar 1-1,5 jam untuk selesai tergantung ramai tidaknya situasi saat itu. Di tempat ini pula jamaah yang uzur atau sakit mempunyai lintasan khusus untuk tawaf, dengan bantuan kursi roda dan orang lain yang mendorongnya.

Soal bacaan-bacaan selama tawaf, dalam buku manasik haji yang dikeluarkan Departemen Agama sudah disusun sedemikian rupa. Dalam praktiknya, yang lazim dilakukan adalah
dengan doa dan bacaan yang pendek-pendek saja.

Perlu diingat tawaf itu seperti salat, kita harus dalam keadaan berwudhuk pada saat menjalaninya. Kalau kita batal di tengah jalan, keluarlah dari lingkaran, berwudhuk lalu kembali melanjutkan dari titik yang kita tinggalkan tadi. Tetapi kemungkinan senggolan dengan orang yang bukan muhrim sangat besar, namun karena tidak dilakukan dengan sengaja, tidak membatalkan wudhuk.

Saat tawaf, sangat mungkin kita berdekatan dengan Kakbah, dan sangat berpeluang pula berada di Multazam, secuil tempat yang terletak antara Hajar Aswad dengan pintu Kakbah.

Memang memerlukan perjuangan untuk dapat tempat di sana, namun bukan pekerjaan yang sulit sebenarnya. Kalau bisa mengatur ritme pergerakan tawaf, pada putaran terakhir
usahakan makin mendekat ke Kakbah sehingga saat merampungkan tujuh kali putaran, insya Allah kita bisa berada di Multazam.

Inilah tempat yang istimewa, dan jika sudah berada di sana, air mata nyaris tak akan terbendung, di saat tangan menadah dan mulut melafazkan doa. Ya, inilah salah satu tempat
istimewa di mana doa diijabah, dikabulkan, insya Allah. Hanya patut diingat, bermunajat di sana seharusnya setelah merampungkan putaran tawaf.

Begitu pula niat untuk salat sunat di Hijir Ismail. Sama seperti keinginan mencium Hajar Aswad, untuk masuk ke Hijir Ismail memang memerlukan perjuangan ekstra. Namun
yakinlah, jika sudah berserah diri pada Allah, rasanya akan ada kemudahan untuk mendapat ''fasilitas'' di tempat sempit itu di antara jutaan umat yang terus dan terus saja bergerak, tanpa henti. Perhitungan tetap perlu juga dan jangan terlalu memaksa diri.

Sa'i

Sa'i ialah berjalan mulai dari bukit Safa ke bukit Marwa dan sebaliknya sebanyak tujuh kali yang berakhir di bukit Marwa (perjalanan dari bukit Safa ke bukit Marwa dihitung satu kali, dan dari Marwa ke Safa juga dihitung satu kali pula). Lokasinya kini berada dan menyatu dengan Masjidil Haram.

Naik ke atas bukit Safa/Marwa waktu sa'i tidak disyaratkan. Jika keadaan memungkinkan sebaiknya naik ke atas bukit Safa/Marwa, akan tetapi jika sulit karena berdesakan cukup
sampai di kaki bukit saja.

Salat Tahajud, Dhuha, dan salat lainnya

Tentu saja anjuran untuk melakukan salat lain sering didapat. Salat Tahajud adalah salah satunya. Salat ini baik dilakukan, selain karena paling dianjurkan, salat Tahajud membuat kita berkesempatan untuk berada di masjid sampai lewat malam.

Dalam perjalanan berombongan, mungkin akan lebih lengkap manakala disepakati ada malam-malam untuk melaksanakan salat Tahajud bersama. Bersama ini tidak dimaksudkan
untuk dilakukan secara berjamaah melainkan agar siapa yang ingin dapat pergi ke masjid bersama. Bagi para ibu atau wanita yang pergi ke Masjidil Haram tanpa muhrim atau teman
pria tentu hal ini sangat membantu karena ada yang mengantar pergi ke masjid di malam hari.

Sesampai di masjid kita bersama-sama tawaf yang dilanjutkan dengan salat Tahajud. Selesai salat boleh saja kita masih di masjid menunggu salat Subuh dan baru pulang setelah selesai salat Subuh.

Hanya saja, untuk melakukan ibadah-ibadah malam ini, pastikan kondisi badan dalam keadaan sehat. Dalam keadaan kurang sehat, lebih baik salat di penginapan saja. Di dalam
masjid pun sebaiknya melihat kondisi terlebih dahulu. Setelah selesai tawaf di pelataran dekat Kakbah (biasanya di malam hari ''agak sedikit longgar'' sehingga bertawaf disini tidak terlalu berdesakan), kalau terlalu dingin lakukanlah salat di dalam bangunan masjid (jangan di lantai Kakbah). Bulan Desember dan Januari udara Makkah sudah cukup dingin di
malam dan pagi hari. Kebalikan dari salat Tahajud, salat Dhuha diselenggarakan agar kita punya alasan mengunjungi masjid di pagi hari.

Memandang Kakbah

Salah satu alasan kenapa disarankan untuk menjalankan banyak ibadah di Masjdil Haram adalah karena fakta bahwa agungnya masjid ini disebbkan keberadaan Kakbah di dalamnya. Pengalaman penulis sendiri, sangat damai rasanya memandang ke Kakbah, di saat apapun, kapanpun ketika kita berada di Masjidil Haram. Konon hanya dengan memandang Kakbah sudah merupakan amalan yang baik. Karenanya disela-sela ibadah yang akan dilakukan di dalam masjid, kalau anda merasa lelah, duduklah dengan tenang di manapun di dalam masjid dimana Kakbah terlihat dengan jelas, pandanglah, renungkanlah, dan simpanlah pemandangan tersebut dalam ingatan Anda, akan menjadi oleh-oleh yang sangat indah bagi diri sendiri.

Sewaktu di sana, penulis sering ketika malam seusai salat Isya, naik ke lantai paling atas dan memandang Kakbah di bawah sana juga mengasyikkan. Melihat pusaran manusia yang
tak putus-putusnya mengelilingi Kakbah membawa kita dalam perenungan kepasrahan para jamaah terhadap ibadah tawaf yang diperintahkan. Membawa kita dalam perenungan
putaran hidup yang selalu berpusat pada penciptaNya.

Bahkan, ini yang penulis masih ingat betul, bagaimana mengalami hujan lebat di negeri gurun tersebut. Peristiwa langka itu terjadi pada hari Jumat, 5 Januari 2007, saat Makkah diguyur hujan sejak menjelang Isya. Penulis yang berada di lantai paling atas yang beratapkan langit, melihat sendiri bagaimana jamaah di bawah sana masih terus melaksanakan tawaf seakan tak terusik sedikitpun oleh guyuran hujan. Inilah pengalaman tak terlupakan salat Isya berjamaah di puncak Masjidil Haram, dibawah guyuran hujan, yang alhamdulillah, sama sekali tidak berdampak pada kesehatan penulis. Padahal, kalau di sini, di tanah air, kena hujan sedikit saja, sudah bersin-bersin, pertanda awal bakal terkena flu. Allahu Akbar!

Memandang Kakbah dari lantai yang teratas juga memungkinkan kita untuk melihat persiapan menjelang salat wajib berjamaah. Seperti dimaklumi Kakbah tidak henti-hentinya
dikelilingi jamaah untuk tawaf 365 hari dalam setahun, 24 jam setiap harinya, dan hanya berhenti pada saat dilaksanakan salat berjamaah. Salat yang dilakukan adalah salat yang lima waktu, salat Jumat, shalat Tarawaih dan salat-salat di hari besar seperti salat Ied baik di Iedul Fitri dan Iedul Adha. Kecuali di waktu-waktu itu, nyaris tidak pernah bisa dilihat lantai di sekeliling Kakbah, selalu penuh orang.

Menjelang salat wajib, tempat disekitar Kakbah dibersihkan dari kerumunan orang. Orang-orang diminta berhenti dari tawaf di sekitar Kakbah (askar atau polisi masjid yang melakukan ini). Mula-mula yang ditutup adalah daerah di dalam lengkung Hijir Ismail. Setelah tempat ini kosong, mulailah berdatangan diangkut jenazah-jenazah yang akan
disalatkan setelah salat wajib. Segera setelah iqamah berkumandang, tempat di sekitar Kakbah bersih dari orang-orang, imam segera berdiri di depan mikrofon dan dimulailah salat.

Pada saat itu berhentilah segala keriuh-rendahan akibat tawaf, sa'i, atau ibadah lain, ribuan orang yang memenuhi masjid semua salat mengikuti pergerakan imam.

Salat Jenazah

Hampir di setiap akhir salat wajib dilakukan salat jenazah, bahkan setelah salat Subuh sekalipun, baik di Masjidil Haram Makkah maupun di Masjid Nabawi, Madinah. Jenazah yang
disalatkan kebanyakan adalah para jamaah yang wafat di tanah suci dan jenazahnya diletakan di lingkaran Hijir Ismail atau dekat Multazam. Nama mereka tidak pernah diumumkan, hanya beberapa saat setelah salat wajib selesai akan ada panggilan untuk melakukan salat jenazah. Kendati ini sunat, namun sebaiknya dan sepatutnya kita mengikuti salat jenazah ini. Insya Allah, kita akan terbiasa, langsung berdiri seusai salat fardhu berjamaah, karena akan ada salat jenazah. Tausiyah yang disampaikan ketua kloter ketika itu, bahwa sangat dianjurkan untuk mengikuti salat jenazah, karena pahalanya sebesar Jabal Uhud! Jadi ada baiknya bagi yang mungkin lupa tata cara salat jenazah, diperdalam lagi agar di sana nanti lebih mantap.

Hajar Aswad

Hajar Aswad diyakini sebagai batu yang berasal dari Surga dan pertama kali diletakkan oleh nabi Ibrahim ketika beliau mendirikan Kakbah. Mencium Hajar Aswad adalah impian
semua orang. Namun, kalau tidak yakin dan berketetapan hati, ada rasa takut, tahan diri dulu untuk mencoba mencium Hajar Aswad. Mendekati Hajar Aswad saja, memerlukan perjuangan karena sangat penuh sehingga kalau kita takut atau ragu-ragu akan berbahaya. Namun dari pengalaman jamaah yang pernah menciumnya, selalu ada jalan dan kemudahan yang tak terduga bagi yang sungguh-sungguh, tulus dan ikhlas bermohon kepada Allah untuk dapat mencium Hajar Aswad.

Hijir Ismail

Hijir Ismail adalah bagian bangunan dari Kakbah yang terletak antara Rukun Yamani dan Rukun Iraqi yang ditandai dengan tembok berbentuk setengah lingkaran.

Ibadah yang dapat dilaksanakan di dalam Hijir ismail ialah melakukan salat sunat berdoa dan zikir. Salat sunat di hijir Ismail tidak ada kaitannya dengan Tawaf. Keutamaan salat di Hijir Ismail itu sama dengan salat di dalam Kakbah. Karena keistimewaannya, tempat ini selalu penuh. (amzar)

Tidak ada komentar: