Jumat, 21 Maret 2014

APBD Harus Terbuka, Transparan dan Terkawal

MENTERI Dalam Negeri Gamawan Fauzi ketika melantik pasangan Annas Maamun dan Arsyadjuliandi Rachman sebagai Gubri dan Wagubri Rabu (19/2) lalu, kembali mengingatkan seluruh pemerintahan daerah terkait APBD. Bahwa APBD sebagai dokumen publik harus bersifat transparan, termasuk dalam pembahasannya. Artinya, APBD bukanlah dokumen tertutup yang harus ditutup-tutupi. Karenanya, proses pembahasannya dilakukan dengan juga mengundang pihak-pihak terkait yang mewakili elemen masyarakat. 

Kita memberi perhatian penuh tentang hal ini mengingat masih adanya daerah di Riau, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)nya belum disahkan. Ada yang masih dibahas, diutak-atik, dipoles dan dicermati. APBD Pekanbaru misalnya, baru Jumat (21/2) malam lalu ditandatangani nota kesepakatan KUA-PPAS dan akan dibahas bersama untuk disahkan sebagai APBD sepekan kemudian. Penandatanganannya sendiri dilakukan di salah satu tempat, bukan di kantor eksekutif, tidak pula di gedung legislatif.

 Boleh jadi kita tak terkejut dengan pernyataan Mendagri. Namun harus diakui, tidak banyak yang tahu tentang isi APBD yang dibahas pihak legislatif dan eksekutif. Tak tahu untuk apa saja uang itu digunakan, bahkan setelah APBD disahkan. Lebih kerap mengemuka adalah, porsi belanja pe¬gawai selalu lebih besar dari belanja publik, yang juga disindir Mendagri. 

 Selain transparan, kita juga menginginkan penyusunan draf dan pembahasan APBD tidak dilakukan di tempat yang jauh dari akses publik. Kita khawatir, pembahasan yang tidak transparan, rawan terhadap potensi konspirasi yang merugikan rakyat kecil, jauh dari harapan ideal di mana semestinya anggaran pemerintah menjadi alat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

 Karena itu, kita garisbawahi pernyataan Mendagri tentang pembahasan APBD yang patut melibatkan perwakilan elemen masyarakat. Sebab, dengan dikawal publik, lebih memungkinkan pembahasan dan penggunaan anggaran tetap di jalurnya. Bahwa, partisipasi dan kepedulian publik terhadap arah pembangunan daerahnya, mendorong penggunaan anggaran lebih efektif dan berkualitas. 

 Kini APBD sudah melewati tahap pembahasan dan boleh jadi masyarakat luput mengawasi penyusunan drafnya. Karenanya, langkah lanjutan yang dapat kita lakukan bersama adalah memantau dan mengawal aliran penggunaan dananya. Jangan ada yang melenceng, atau malah tak tahu cara menggunakannya. ***

Selengkapnya..

Dag Dig Dug Dengar Digdo

Di area Cagar Biosfer Giam Siak Kecil yang rusak berasap pekat, jantung warga dagdigdug mendengar nama Digdo. Apa kaitan sosok penciut nyali ini dengan illegal logging?

  KAWASAN Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) sebagai wilayah yang dilindungi, ternyata tak luput dari aksi perambahan, pembakaran dan mengubah hutan menjadi kebun. Lebih menjadi sorotan ketika dari sini justru membubung jerebu pemicu bencana kabut asap yang menghebohkan itu.

 Pekan lalu, tepatnya Kamis (12/3), kami berada di sekitar wilayah tersebut, tepatnya di Desa Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Tak ada Kepala Desa. Kami hanya menjumpai Sekretaris Desanya Eko Sarwono yang terlihat sibuk. Ketika itu baru saja mengumpulkan seluruh aparat dan perwakilan desa yang dihuni sekitar 1.300 orang tersebut.

 Dibantu aparat Koramil Mandau-Pinggir, ia menyosialisasikan soal larangan membuka lahan dengan cara membakar dan membuka hutan Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil. Hanya saja, kehadiran mengubah suasana. Sebab, pertemuan terlihat buru-buru dibubarkan. Puluhan peserta sosialisasi juga secepatnya meninggalkan kantor desa, seakan menghindar.

Memang, sejak kabut asap menggila dan sejak itu pula aksi pembalakan liar di kejar habis, warga desa tersebut selalu cemas dengan aparat, termasuk media massa. Hanya Sekretaris Desa Eko Sarwono, Ketua BPD Jumeri dan seorang warga lagi Hasanudin yang mau berbincang. Itupun tetap dengan sorot mata was-was dan hati-hati di setiap tutur katanya.

 ‘’Kepala desa kami, Supendi sudah tiga bulan lalu ditangkap Polres Bengkalis. Sedang proses hukum sekarang. Tuduhannya memfasilitasi dan menyediakan alat berat untuk membuka hutan lindung. Dua orang warga sini baru-baru ini juga ditangkap, dituduh bakar lahan,’’ ucap Ketua BPD Jumeri. Ini jawaban penjelas tentang ke mana kepala desanya. 

 Mendengar itu, wajar saja was-was dan hati-hati tersirat dalam sorot mata, gerak badan warga desa tersebut, termasuk Sekdes Eko Sarwono. Apalagi, Eko, sejak Kepala Desa ditangkap dan desa mereka menjadi sorotan media tempat terjadinya perambahan hutan alias illegal logging dan kebakaran hutan dan lahan, selalu disibukkan dengan berbagai panggilan. 

‘’Dari wajah Pak Eko seperti kelihatan lelah sekali ya?’’ tanya kami mencoba mencairkan suasana. ‘’Bukan lelah lagi pak. Sudah keluar air mata saya ini, menangis. Kemarin pukul empat subuh saya harus berangkat ke Pekanbaru mendampingi Camat karena dipanggil Gubernur diminta jelaskan soal illegal logging dan kebakaran lahan. 

Sorenya, saya kembali ke desa karena TNI katanya mau masuk memburu pelaku illegal logging. Saya juga sudah sering diperiksa untuk kasus-kasus illegal logging ini,’’ ucap Eko, yang mulai kurang was-wasnya. Diungkapkannya, warga desa tidak tahu menahu soal illegal logging. Begitu pula soal kebakaran hutan dan lahan, diyakininya tidak ada warga mereka yang membuka lahan dengan cara itu. 

Juga soal Hutan Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil yang Ia sendiri sebagai perangkat desa, tidak mengetahui persis mana batas-batasnya. Yang ada, kata dia, petugas dari Dinas Kehutanan pernah datang dan bilang kalau desa mereka masuk dalam hutan lindung itu. Tapi yang terjadi, keluh dia, nama desa mereka menjadi buruk. 

 ‘’Nama desa kami ini selalu buruk karena illegal logging, kebakaran hutan dan hutan lindung itu. Entah mana batas hutan lindung itu, kami tidak tahu. Petanya tidak ada. Sosialisasi tidak pernah. Kalau illegal logging itu, bukan kami yang melakukan. Desa kami ini hanya numpang lewat kayu yang sudah diolah menggunakan truk-truk. Imbasnya, ya, dikira warga kami yang mengerjakan,’’ jelas Eko.

 Lantas soal Kepala Desa yang tersangkut kasus illegal logging di hutan lindung tersebut? Eko kembali menata kata-kata. Ia menjawab, itu sudah menjadi urusan pribadinya dan ia tidak tahu menahu persisnya. ‘’Itu urusan hukum Kades lah,’’ kilahnya. Tapi nada pembelaan datang dari Ketua BPD Jumeri. Katanya, Kepala Desa hanya sebagai korban dan ada pemodal besar yang bermain. Ditanya apakah oknum dimaksud adalah anggota TNI yang salah satunya kini sudah menjadi tersangka yaitu Serma Digdo? Jumeri langsung mengiyakan. 

 Rupanya, Digdo memang dikenal luas oleh warga desa tersebut sebagai pemain lama pembalakan liar. Tak ada nada gentar saat menyebut nama itu. ‘’Sekarang kenapa takut lagi. Kalau memang itu kebenaran dan kita tidak salah, kenapa harus takut,’’ ucap Jumeri, lancar. 

 Serma Digdo sendiri diungkap Komandan Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Bencana Asap Riau yang juga Danrem 031/Wirabima, Brigjen TNI Prihadi Agus Irianto sebagai pemodal perambahan hutan lindung Cagar Biosfer Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Tidak diungkap berapa banyak pembalakan liar yang sudah dilakukan. Serma Digdo dikatakan sudah ditangkap di Medan, Senin (10/3). 

‘’Digdo sudah ditangkap di Medan,’’ ujar Danrem Agus Irianto kepada wartawan di Posko Satgas Penanggulangan Bencana Asap Riau, Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Selasa (11/3). Bagaimana Jumeri dan warga desa bisa mengenali Digdo, apakah selalu menampakkan wajahnya di Desa? Jumeri dan Hasanuddin kompak menyebut tidak pernah bertemu langsung yang namanya Digdo. Nama itu menyebar dari mulut ke mulut dan tidak satupun yang akan berani menganggu aktivitas mereka. 

Salah satu ciri aktivitas Digdo, dikenali pada nomor kendaraan BM atau BK 88. Ditenggarai pula, Serma Digdo selama ini memiliki jaringan yang kuat dalam memback-up aksi pembalakan liar. ‘’Semua mobil Digdo itu plat nomornya 88. Mulai dari kendaraan pribadi, truk atau kendaraan lainnya, semuanya memakai nomor plat seri 88. Jadi kalau ada mobil bernomor 88, masyarakat sudah tahu kalau itu Digdo dan tidak ada yang berani mengganggunya. Dibiarkan saja, takut,’’ ujar Jumeri, dibenarkan Hasanudin. 

 Keduanya juga heran, kenapa baru sekarang pembalakan liar diburu dan ditangkap. Yang mereka tahu, pembalakan liar dan illegal logging sudah terjadi bertahun-tahun lamanya melintasi desa mereka dan sudah menjadi rahasia umum masyarakat Duri-Dumai. Apakah sejak tahun 2009 lalu atau sejak SM GSK-BB diresmikan menjadi cagar biosfer oleh Unesco tidak lagi terjadi perambahan hutan? 

‘’Dua tahun terakhir ini menjadi-jadi malah. Dan sudah sejak tahun 2000-an. Desa ini sudah ada sejak 1996 dan saya yang pertama ikut buka lahan disini, jadi tahu persis,’’ ucap Jumeri. Hasil pembalakan liar diangkut melintasi desa Bukit Kerikil ketika sudah menjadi kayu log atau chip. Diboyong menggunakan truk menuju lintas Duri-Dumai dan ditenggarai dilego di jalur internasional laut Dumai. 

Kayu-kayu yang diambil dari hutan Giam Siak Kecil bernilai tinggi seperti Meranti, Balam dan Mahang. Harga perkubiknya bisa mencapai delapan jutaan. Setelah kayu diolah dan dijual, lahan semak yang tersisa lalu dibakar dan beberapa bulan kemudian ditanami sawit. Serma Digdo yang diduga membalak liar kayu itu, juga disebut warga desa memiliki ratusan hektare kebun sawit di lahan yang dulu diambil kayunya.

 ‘’Kalau mau melihat kayu gelondongan, sisiri saja kanal-kanal di dalam. Kanal-kanal itu berbatasan dengan HTI Sinar Mas atau HTI Sakato Pratama Makmur. Di situ juga katanya hutan lindung. Kami juga sering berkonflik dengan Sakato Pratama Makmur ini dimana kami dituduh menyerobot lahan. Di dalam juga masih ada 75 anggota TNI, katanya mengejar pembalak liar. Tapi hati-hati kalau ke dalam. Kami tidak mendampingi, di samping jalannya rusak,’’ kata Jumeri didampingi Eko.

 Dari penelusuran kami, letak pusat Desa Bukit Kerikil berada sekitar 25 kilometer dari jalan lintas Duri-Dumai. Memasuki desa ini, terhampar rimbunnya hutan perkebunan sawit dan sebagian hutan tanaman industri akasia. Petunjuk jalan yang diberikan sekitar 11 kilometer dari pusat desa. Lebih jauh ke dalam, kiri dan kanan pemandangan hutan akasia yang berjejer rapi. Aktivitas truk pengangkut kayu akasia juga hilir-mudik. 

 Jauh kedalam dan berbelok ke kanan menuju barat, sampailah di kanal besar yang lebarnya sekitar 15 meter. Kanal itu dikesankan memisahkan antara HTI dan lahan yang sebagian kosong dan sebagian lagi sudah ditanami sawit yang belum lama ditanam. ‘’Ini masuk umur 5 tahun pak. Yang punya lagi dinas,’’ ucap Geri, salah seorang pekerja di kebun sawit pertama yang kami temui. Dinas yang dimaksud Geri, adalah berdinas di kepolisian. 

 Beranjak lebih jauh ke dalam, juga belum tampak kayu-kayu gelondongan yang dimaksud. Hanya beberapa sisa kayu berukuran besar dan terlihat sudah lama ditinggalkan di pinggir jalan dan kanal. Jalan yang ditempuh pun kian sulit, terhambat potongan atau serat kayu yang banyak melintang di tengah jalan. Pemandangan lahan-lahan bekas terpanggang, juga terlihat menghampar luas. Dari kejauhan, dari balik hutan Akasia, terlihat asap putih menggumpal cukup luas membumbung tinggi. 

Kedatangan kami rupanya juga disambut api yang kembali membara dan asap yang dihasilkannya tertiup angin arah ke Barat. Di ujung jalan, bertemu bangunan bertuliskan Masjid Al Hidayah, RT03/RW05, Dusun Bagan Benio, Tasik Serai, Kampung Sidodadi KM8. Di balik bangunan yang terlihat tidak terawat dan sepi aktivitas ini, tampak tiga rumah yaitu kedai, satu rumah warga dan satu lagi rumah bertuliskan Ketua RT. ‘’Di dalam ada sekitar 60 KK lagi tinggal pak,’’ ujar seorang perempuan penjaga kedai. 

 Di kedai itu, sebuah mobil toyota Avanza tampak sedang menunggu. Penasaran, kami menyambangi pengendaranya. Rupanya hanya tinggal supirnya saja yang menyebut nama panggilannya Hutabarat. Ditanya siapa yang punya kebun sawit, Hutabarat menyebut salah seorang perwira di Kepolisian dan pernah menjabat Kapolres di Riau. ‘’Adik dia yang punya menengok lahan karena katanya ikut terbakar bang,’’ kata Hutabarat sambil menyeruput kopi pesanannya. 

Berapa luas lahan sawit itu? Hutabarat hanya tersenyum, enggan menjawab. Beranjak ke salah satu rumah warga, kami bertemu Titem sedang menanam pohon jambu di pekarangannya. Titem menyebutkan, dua hektare lahannya itu sudah ditanami sawit setahun lalu. Ia membeli lahan kepada pihak pertama bernama Sunardi, ditandai dengan surat kepemilikan dari Desa Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu, ditanda tangani Kades Sunardi yang kini sudah menjadi tersangka ikut merambah hutan SM GSK-BB.

 ‘’Saya beli dua tahun lalu Rp7 juta,’’ sembari menunjukkan surat desa yang dimilikinya ditandatangani menggunakan materai. Di surat tersebut, tertulis dikeluarkan 28 Maret 2007. Titem tak tahu persis areal itu masuk atau tidak dalam kawasan Hutan SM GSK-BB. Kami juga bertemu Ketua RT, Ali Hartono. Ia mengakui aktivitas illegal logging terjadi tidak jauh dari kampung itu. Ia membenarkan kalau dua hari sebelumnya puluhan anggota TNI mendirikan posko di tempatnya. Tujuannya, memburu pembalak kayu. 

Tapi, sehari sebelum kedatangan kami, puluhan TNI sudah keluar karena tidak sanggup menarik kayu hasil pembalakan liar sekitar 4 kilometer dari rumahnya. ‘’Kayaknya tidak bisa ditarik keluar. Sekitar 100 kubik lebih ada ditemukan disana. Disini bukan masuk hutan lindung,’’ kilah Ali. Saat ditanya kepemilikan salah seorang perwira polisi ditempatnya itu, Ali membenarkan. 

Kata dia, seluas 100 hektare kebun sawit di bangun oleh perwira polisi yang dibenarkannya juga pernah menjabat sebagai Kapolres di Riau itu. ‘’Itu punya mantan Kapolres. Seratus hektare. Kabarnya sebagian ikut terbakar. Lahan disini hanya ada surat dari desa,’’ ucap Ali. Kawasan Sidodadi yang sudah menjadi perkampungan itu, ditenggarai masuk dalam kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu. 

Walau tidak ada penanda atau plang nama, dari posisi kawasan yang dikepung HTI Akasia dan dari kejauhan nampak tegakan hutan alam yang sebagiannya terbakar, bisa diartikan itu masuk dalam Kawasan Inti atau penyangga Cagar Biosfer GSK-BB. Kepala Bidang 2, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau Supartono SHut MP mengatakan, Kampung Sidodadi itu kalau tidak masuk zona inti, hanya zona penyangga. Soal pendudukan lahan, termasuk oknum anggota kepolisian, ia menyebut juga mendengar tapi mengaku belum turun ke lapangan untuk memastikannya. 

 ‘’Wah, kalau (termasuk perwira kepolisian memiliki lahan dan kebun disana), itu yang membuat masyarakat semakin berani. Seandainya tidak masuk zona inti, pasti masuk zona penyangga cagar biosfer. Tetap tidak boleh. Nanti kami akan cek khusus di Bukit Kerikil ini. Sebelumnya kami hanya melakukan pengejaran di Mandau-Pinggir,’’ terang Supartono.

 Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu itu sendiri berada di dua Kabupaten Bengkalis dan Siak yang awalnya diinisiasi pengusulannnya kepada Unesco oleh Sinar Mas Forestry. Ditetapkan Unesco sebagai salah satu warisan ekologi dunia sejak 26 Mei 2009 di Korea Selatan, sejatinya Cagar Biosfer GSK-BB akan menjadi penopang ekosistem, ekologi dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. 

 Cagar biosfer dibaratkan tiga bentuk melingkar dalam lingkaran. Lingkaran paling dalam disebut zona inti, kemudian zona penyangga dan zona transisi. Zona inti inilah yang menjadi pusat dari kelestarian lingkungan hidup dunia dimana hidup dan berkembang satwa sertan fauna yang dilindungi sehingga menjadi pusat penelitian alami tanpa rekayasa. Zona inti juga bisa menghasilkan nilai positif secara materil terhadap perdagangan karbon dunia. 

 Cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu itu sendiri terdiri dari zona inti seluas 178.722 hektare, zona penyangga 222,425 hektare, dan zona transisi 304.123 hektare. Hak pengelolaan Cagar Biosfer itu sendiri diberikan kepada Sinar Mas Forestry dan Pemerintah RI dalam hal ini BKSDA. Sinar Mas diberikan hak untuk mengelola zona penyangga yang memang kawasan hutan tanaman industri dan BKSDA mengelola dan mengawasi hutan Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil-Bukit Batu. 

 Penetapan cagar biosfer itu melengkapi enam cagar biosfer Indonesia lainnya, yaitu cagar biosfer Gunung Leuser, Pulau Siberut, Cibodas, Tanjung Puting, Pulau Komodo, dan Lore Lindu. Dan menjadi bagian World Network of Biosphere (WNBR) UNESCO yang terdiri dari 553 lokasi cagar biosfer di 107 negara pada 2009. Sejatinya pula, didalam zona inti tidak boleh ada aktivitas manusia. Tapi karena sudah sejak dahulu ada perkampungan di dalamnya, yaitu Desa Tasik Betung (Siak) dan Tasik Serai, Bagan Benio (Bengkalis), maka tetap dibiarkan dengan diberikan pemahaman untuk tidak melakukan aktivitas pembukaan dan perusakan hutan. 

 Nyatanya, kerusakan di Cagar Biosfer GSK-BB itu makin tak terkendali. Puncaknya menguak ketika malapetapa kabut asap melanda Riau sejak sebulan terakhir ini. Dimana terungkap, kebakaran yang meluas di Zona Inti Giam Siak Kecil dimulakan pembalakan liar. 

 ‘’Sekitar 1.800 hektare zona inti sudah terbakar. Kalau yang sudah menjadi perkebunan, kami belum hitung. Terakhir kami mengejar pelaku pembalakan dan memang belum berhasil. Kita sudah musnahkan kira-kira 13-15 kubik kayu dan mengamankan 1 buah sepeda motor dan 3 buah sepeda modifikasi yang digunakan untuk mengangkut kayu dari lokasi pinggi kanal,’’ ucap Supartono. 

 Luas lahan yang terbakar yang disebutkan Supartono itu masih lebih kecil dari yang dikemukakan Satgas nasional bencana kabut asap. Hampir 3.000 hektare lahan di Cagar Biosfer yang dikatakan sudah terbakar dan kondisi terakhir api masih terus hidup. Tidak dipastikan dari luasan itu, berapa bagian zona inti yang terbakar, sebab zona penyangga juga ikut terbakar. 

 *** 

SUASANA tenteram terekam di tasik yang cukup luas ditengah Hutan Cagar Biosfer Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil, tepatnya di Dusun II, Desa Tasik Betung, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak. Suasana tenang, asri dan harmonisasi alam itu kami rasakan berbeda jauh dengan Desa Bukit Kerikil atau sebagian dusun di Bagan Benio yang juga masuk Cagar Biosfer SM GSK tapi kini terbakar hebat, berawal dari pembalakan liar. 

 Tapi langit berkabut itu bukan menandakan pagi yang biasa diselimuti embun pagi. Walau tidak terjadi perambahan dan Karhutla secara masif di pangkal SM GSK itu, mereka juga mendapat imbas kabut asap pekat, sama halnya dengan jutaan warga Riau lainnya. Tapi masyarakat Tasik Betung tetap beraktivitas seperti biasa, berkebun karet dan mencari ikan. Mereka tidak tahu soal status tanggap darurat yang hari itu diperpanjang untuk kedua kalinya.

 ‘’Kemarin ada dipadamkan pakai helikopter. Tidak banyak, tapi langsung dipadamkan. Kalau terbakar banyak, tidak ada di kampung kami ini. Kalau terbakar sedikit, sedikit ada. Sekarang ini dimana-mana ada asap,’’ ujar Kalub (48), yang membawa kami mengitari Danau atau Tasik Betung hingga ke Sungai Siak Kecil menggunakan sampan bermesinnya. 

 Kami bertandang ke dusun itu didampingi Kasi Trantib Kecamatan Sungai Mandau Yaumil Azwan SH dan Muslim, anggota Satpol PP. Yaumil menyebutkan, semenjak malapetaka kabut asap menimpa Riau, ia semakin disibukkan untuk mengecek ke lapangan, memastikan titik-titik api. 

‘’Kalau di Sungai Mandau ini dan Tasik Betung, tidak banyak yang terbakar. Ada memang, tapi tidak sampai ratusan hektare. Kita sudah menghimbau agar masyarakat tak hanya membakar lahan, tapi juga ikut mengawasi lahan masing-masing,’’ ucap Yaumil. Kepala Dusun II Tasik Betung, Ayun, mengatakan, kabut asap tidak terlalu menganggu aktivitas mereka. Warga desa, sebut dia, tetap beraktivitas seperti biasa, berkebun dan mencari ikan. Berkebun apa dan dimana? Ayun menjawab lugu. 

‘’Memang dilarang berkebun sawit disini. Tapi saya bilang, kalau hanya berkebun karet, tak kaya-kaya,’’ ucap Ayun yang mengaku tidak tahu persis tata batas SM GSK, walaupun dirinya ikut menandatangani pengusulan SM GSK menjadi salah satu Cagar Biosfer dunia. Godaan terbesar bagi masyarakat asli dan pendatang di Tasik Betung itu memang berkebun sawit. Walau dilarang, beberapa warga nampak nekat membuka lahan, dipinggir-pinggir sungai. 

Saat kami berkeliling tasik menggunakan sampan bermesin atau pompong, beberapa hektare lahan tampak sudah dibuka dan terlihat habis dibakar. ‘’Itu buat kebun sawit. Sudah dilarang, tapi buat juga. Bagaimanalah, sekarang ini kebun sawit yang menjanjikan. Kalau karet, murah,’’ kata Kalub Tapi kalau untuk membuka kebun karet atau untuk berkebun sebagai bertahan hidup, Kalub berani mempertahankan argumennya. 

Satu ketika, ucapnya, ia pernah didatangi petugas Dinas Kehutanan dan melarang membuka lahan untuk apapun. Mendengar itu, ia bercerita serta merta menjawab dengan nada tinggi. ‘’Sejak nenek moyang kami berada disini, kenapa dilarang. Itu lihat pokok mangga sudah tidak bisa dipeluk lagi, besarnya. Kalau kami mau nanam karet atau ubi disini, mau apa,’’ ujar Kalub menceritakan. 

 Ia juga berpendapat soal pelarangan dan rusaknya alam itu terjadi semenjak kedatangan perusahaan yaitu Sinar Mas. Banyak kayu-kayu besar diambil dan kini ditanami akasia. ‘’Karena di rawa saja mereka tidak mau mengambil kayunya, payah. Dulu tasik ini, kayu balak semua isinya. Sampai-sampai kami tidak bisa pasang lukah untuk mencari ikan. Sekarang, kami pulak yang dilarang,’’ paparnya. 

 Terkait kondisi ini, Profesor Yohannes Purwanto, Direktur Man and Biosphere (MAB) Indonesia yang kami hubungi menilai, ketidaktahuan masyarakat disebabkan ketidak mau tahuan masyarakat itu sendiri. ‘’Karena sewaktu pengajuan nominasi cagar biosfer, kami juga minta rekomendasi dari masyarakat di cagar biosfer. Sebenarnya penetapan cagar biosfer bukan utk membatasi aktivitas masyarakat, justru memacu untuk giat bekerja membangun kawasan ini secara lestari, bukan merambah kawasan konservasi. Ya kalau kegiatan illegal ya pasti dibatasi. Masak kegiatan berkebun di kawasan konservasi, ya tidak boleh,’’ ujarnya.

 Terkait kegiatan pembalakan liar yang mengarah pembakaran lahan untuk pembukaan kebun, ia berujar kegiatan illegal sudah ada sebelum ditetapkan menjadi cagar biosfer. Nah, kata dia, seharusnya kegiatan illegal ini berhenti setelah menjadi cagar bisofer. ‘’Artinya apa? Artinya bahwa pengamanan di kawasan ini belum berhasil dan sosialisasi belum berhasil, penegakan hukum belum berhasil, sehingga perlu kerja keras lagi,’’ ucapnya.(amzar) 

 Majalah Riaupos.co edisi 20-26 Maret 2014-03-21 Reporter: MUHAMMAD HAPIZ ( Bengkalis-Siak) MARIO KISAZ, ADRIAN EKO (Pekanbaru) dan Tim Riau Pos

Selengkapnya..

Hentikan Aksi Perusak Hutan




Presiden SBY berikan pengarahan kepada prajurit gabungan dalam operasi tanggap darurat kabut asap, di Rimbopanjang, Kampar Riau

Kabut asap dan banjir hadir bergantian. Biangnya, aksi perusak hutan yang diberi keleluasaan. Juga pembiaran pembakaran hutan gambut dan lahan. Ini harus dihentikan!

  NAMUN itu saja belum cukup. Selain penghentian semua izin pemanfaatan hutan yang salah dalam penerapan, juga mengadili dan menjatuhkan hukuman yang pantas kepada pelaku perusak rimba dan lahan, yang oleh Presiden bahkan dicap sebagai penjahat kemanusiaan.

 Silih berganti, setidaknya di dua dekade terakhir, masyarakat Riau rutin merasakan dampak perilaku penjahat kemanusiaan itu. Banjir dan longsor ketika musim penghujan, asap dan jerebu saat terik musim kemarau, yang kali ini bahkan begitu dahsyat dampaknya sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberlakukan tanggap darurat serta terbang ke Riau memimpin langsung operasi militer di lapangan.

 Instruksinya tegas: padamkan karhutla sumber asap, beri layanan kesehatan gratis kepada para korban terutama di kalangan masyarakat, serta ambil tindakan hukum yang tegas, keras dan cepat terhadap siapa pun yang terbukti sebagai pelakunya.

  ‘’Kita tuntaskan dan dapatkan betul apa yang menjadi penyebabnya. Penegakan hukum harus tegas. Bisa kita bayangkan bahwa sekian juta saudara kita terkena dampak asap. Ini kejahatan," tegas Presiden SBY di Pekanbaru, Riau, Sabtu (15/3/2014). SBY mengeluhkan kebakaran hutan yang kerap kali terjadi meski pemerintah sudah mewanti-wanti pemilik dan pembuka lahan agar tidak melakukannya dengan cara membakar. Sebab, asap pekat berbau arang yang ditimbulkannya membuat warga Riau menjadi korban.

 "Di Indonesia tidak ada orang kuat. Tidak ada orang yang tidak tersentuh hukum. Saya ingin betul penyelesaian sampai akarnya. Jadi, jangan ada orang yang melakukan terus menerus dan ini dijadikan biasa. Business as usual," tegas presiden. 

 Bahkan di tengah para prajurit gabungan yang memang dikerahkan ke Riau, Presiden menyebutkan misi kali ini adalah Operasi Militer. Artinya, seperti halnya perang, militer telah memiliki manajemen krisis terhadap berbagai kejahatan kemanusiaan yang terjadi di lapangan. Langkah seperti itu pula yang harus dilakukan para penegak hukum di seluruh Indonesia, utamanya di Riau. 

 Presiden SBY berjanji akan terus memantau perkembangan yang terjadi selama proses penanggulangan kebakaran hutan Riau. Termasuk proses penegakan hukum terhadap para pelaku yang melakukan pembakaran untuk membuka lahan-lahan baru. 

 Ya, pembukaan besar-besaran hutan dan lahan gambut Riau yang sembarangan telah menunjukkan dampak buruknya. Bisa dikatakan, ini adalah bencana terparah sepanjang sejarah Riau. Merespon ajakan presiden, semua elemen harus memastikan bencana ini tidak terulang lagi dengan mendesak produsen kelapa sawit besar multi-nasional untuk membersihkan rantai pasokan mereka dari praktik deforestasi dan pembakaran hutan, serta mendorong penegakan hukum kepada pelaku dan perusahaan yang melakukan pembakaran lahan, dan menyerukan penguatan kebijakan moratorium untuk lebih melindungi kekayaan hutan Indonesia. 

Soal penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan, kita sempat menangkap sinyal harapan ketika Januari lalu ada babak baru di mana untuk pertama kalinya pemerintah berhasil menang di pengadilan melawan pembakar hutan. Momen bersejarah itu terukir di Aceh. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menang melawan PT Kallista Alam. Tak hanya terkena hukum pidana, perusahaan kelapa sawit yang membuka usaha di Meulaboh itu harus membayar ganti rugi Rp300 miliar. 

 Namun sebaliknya, sinyal itu justru meredup di Riau. Tepatnya awal Maret lalu, ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menolak gugatan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendenda PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL) sebesar Rp16 triliun terkait tuduhan merusak ekologi hutan. Padahal empat saksi ahli yang dihadirkan KLH –dari Tim Verifikasi KLH dan Institut Pertanian Bogor (IPB)- semuanya menguatkan gugatan KLH. 

 Perbuatan melawan hukum yang dituding dilakukan PT MPL adalah menebang hutan di luar lokasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dalam periode 2004 hingga 2006. Selisihnya dengan IUPHHK-HT mencapai 1.873 hektare. Tudingan lainnya, mereka menggasak 5.190 hektare hutan alam dan menebang kayu ramin. Entah seperti apa pula nanti kelanjutan tujuh perusahaan di Riau yang kini sedang diproses hukum terkait kasus kebakaran hutan gambut pada Juni 2013 dengan 10 tersangka. 

Sepatutnya, selain hukum perdata yang menuntut ganti rugi, hukum pidananya juga harus membuat jera dan tidak seenaknya. Perusahaan yang terbukti bersalah harusnya masuk daftar hitam. Presiden sendiri, untuk kasus seperti ini sudah tegas.  ‘’Mereka harus dibangkrutkan,’’ katanya di Pekanbaru. Tak cukup hanya aset dan keuntungannya yang disita dan pemiliknya dibangkrutkan, tapi izinnya juga harus dihentikan.

 Presiden bahkan tidak terima jika ada yang berpendapat karena kemarau, hutan dan lahan itu terbakar begitu saja. Kalau pun pelakunya peladang tradisional dan perorangan yang lahannya tak seberapa, tidaklah menimbulkan bencana besar seperti yang kini terjadi. Pelaku yang tertangkap pun, sebagiannya pun tak punya keberanian untuk mengungkap siapa cukong atau pemodal yang membiayainya.

 Izinnya Harus Dicabut

Suara yang terarah kepada tindakan penghentian pembakaran hutan dan lahan juga datang dari pegiat lingkungan Greenpeace, yang mendesak pemerintah Indonesia menghentikan pembakaran hutan untuk menanam pohon sawit. Mereka juga meminta Singapura dan Malaysia menekan Jakarta agar menegakkan larangan perusakan hutan.

 ‘’Hutan Indonesia paling banyak menyimpan cadangan karbon dunia,” demikian pernyataan pers Greenpeace. “Pengrusakan hutan jadi penyumbang pemanasan global yang paling sembrono dan (sebetulnya) bisa dicegah."

 Greenpeace juga meminta perusahaan makanan dan kosmetik dunia memboikot minyak sawit asal Indonesia, terutama yang berasal dari perkebunan yang dibuat dengan merusak hutan. "Sejumlah merek ternama didunia secara harfiah ikut memanggang iklim," kata Emmy Hafild, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara.

 Lantas, di mana saja lokasi titik api yang menjadi biang asap itu? Cukup banyak. Bahkan jika mengacu data yang dirilis World Resources Institute (WRI) lewat proyek Global Forest Map dengan memetakan lokasi titik api Riau selama 20 Februari - 12 Maret 2014 dengan bantuan Active Fire Data milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA).Global Forest Watch, terjawab kenapa kabut asap di Riau kali ini lebih parah dari tahun 2013 lalu.

 Sejak 20 Februari hingga 11 Maret 2014, Global Forest Watch menemukan 3.101 titik api di Pulau Sumatera. Jumlah tersebut melebihi periode 13 Juni hingga 30 Juni 2013 lalu yang sebanyak 2.643 titik api.Dari sejumlah tersebut, pada periode 4 - 11 Maret 2014, 87 persen titik api di Sumatera ditemukan di Riau.

 Di Riau sendiri, terdapat wilayah dengan densitas titik api tinggi dan rendah. Terdeteksi, titik api terdapat di wilayah konsesi hutan tanaman industri seperti pulp dan kertas, kelapa sawit, HPH, dan di luar konsesi. Global Forest Watch memetakan wilayah-wilayah konsesi yang memiliki konsentrasi "peringatan titik api" paling besar. Menurut Global Forest Watch, di HTI, titik api paling banyak ditemukan di wilayah konsesi Sinar Mas dan APRIL. Untuk kelapa sawit, titik api terkonsentrasi di 8 perusahaan seperti grup Panca Eka dan Sambu. Untuk HPH, paling banyak ditemukan di PT Teluk Nauli dan PT Duta Indah Wood. WRI merekomendasikan perlunya investigasi lapangan untuk konsesi itu sekaligus kemungkinan pelanggaran hukumnya.

 Ditindak Secara Luar Biasa 

 Dari Jakarta dilaporkan, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan telah melayangkan somasi terhadap 117 perusahaan skala besar dan kecil di Sumatera atas kebakaran hutan dan lahan sejak 2013 lalu. Sebagian di antaranya beroperasi di Riau.

 Manajer Pembelaan dan Kebijakan Hukum Walhi, M Nur menyebutkan, dari sekian perusahaan yang sudah disomasi itu hanya beberapa saja yang sudah diproses hukum. "Somasi juga kita sampaikan ke pemerintah karena telah lalai dan mengakibatkan kejahatan lingkungan ini terjadi setiap tahun," katanya menjawab JPNN, Minggu (16/3).

 Saat ini, kata M Nur ketika itu, ada sekitar 6 juta rakyat Riau yang terancam kehidupannya akibat asap yang menyelimuti daerah itu dalam sebulan terakhir. Kondisi ini dinilai Walhi sebagai pembunuhan pelan-pelan yang dilakukan pemerintah dan perusahaan terhadap masyarakat. "Sampai hari ini tidak ada kebijakan luar biasa atas kejadian luar biasa ini. Sebetulnya kita melihat, karena problem ini masuk kejahatan luar biasa maka tindakannya juga harus dengan cara-cara luar biasa," sebutnya.

 Apa saja cara-cara luar biasa itu? Menurut M Nur, kebijakan luar biasa yang harus diambil pemerintah adalah menghentikan pemberian izin terhadap pengusaha yang sedang berproses. Kemudian, bagi perusahaan, baik perkebunan maupun hutan tanaman industri (HTI) yang areal konsesinya ditemukan titik api, izinnya harus dicabut tanpa harus menunggu proses pengadilan. Cara-cara ini harus ditempuh pemerintah, karena perusahaan yang terlibat pembakaran hutan merupakan perusahaan yang memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

 "Artinya Amdal yang mereka buat gagal memprediksi kerusakan lingkungan, potensi lingkungan yang ada, itu catatan bagi pemerintah. Harusnya kalau sudah mengantongi Amdal, tidak ada lagi pencemaran, kerusakan," jelas M Nur. Dia menekankan bahwa perusahaan-perusahaan yang terlibat aksi pembakaran hutan dan lahan di Riau merupakan perusahaan yang sama dan tergabung dalam holding company. "Seperti (anak perusahaan) Sampoerna, RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper), itu yang besar, company holding," sebutnya.

 Sebelumnya, Ketua Incident Commander (IC) kebakaran hutan dan lahan Riau, yang juga Danrem 031/Wira Bima Brigjen TNI Prihadi Agus Irianto mengatakan, sudah mengusulkan lima perusahaan yang terbukti ditemukan kebakaran lahan di arealnya agar ditindak tegas. Kelima perusahaan itu di antaranya PT RAPP, PT Sakato Makmur Pratama, PT Tobe Indah, PT Rimba Rokan Lestari, dan PT Arara Abadi (PT AA).

 Di sisi lain ada perusahaan yang terindikasi terlibat seperti PT Langgam Inti Hibrida, PT Bumi Reksa Nusa Sejati, PT Tunggal Mitra Plantation, PT Udaya Loh Danawi, PT AD Plantation, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Multi Gambut Industri dan PT Mustika Agro Lestari. Periksa Pemberi Izin Banyak kalangan menyebut bahwa kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau merupakan kejahatan terencana. Faktor terbesarnya adalah pemberian izin perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) pengusaha. 

Karena itu, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Zenzi Suhadi meminta penyidik kepolisian maupun penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan Hidup (LH) harus segera memeriksa pejabat yang mengeluarkan perizinan perkebunan dan HTI. Dikatakan, dalam upaya penegakan hukum atas kasus pembakaran hutan dan lahan di Riau harus ada dua pihak yang bertanggungjawab. Selain perusahaan, juga pihak yang bertanggungjawab penuh dalam pemberian izin.

 "Kenapa dia harus diperiksa, karena di dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, pemberi izin wajib memastikan dan mengontrol keselamatan lingkungan atas izin yang dikeluarkan," kata Zenzi, seperti dikutip JPNN, Jumat (14/3). Nah, ketika terjadi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, berarti pemerintah telah gagal melakukan kontrol dan pengawasan terhadap pelaku usaha yang diberikan izin. Sehingga penyidik Polri dan PPNS sudah harus mulai memeriksa pejabat pemberi izin ini.

 Selain itu, Walhi juga meminta kepolisian maupun PPNS Kementerian LH mulai menelisik para konsultan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Sebab, kerusakan lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan tidak bisa lepas dari maraknya praktik Amdal bodong oleh konsultan. "Polisi harus melakukan penyelidikan dan penyidikan pada konsultan Andal, termasuk konsultan RKL (rencana pengelolaan lingkungan), yang harus ikut bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan," pintanya.

 Kejahatan Terencana 

 Zenzi Suhadi juga menyatakan, kabut asap yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau bukan bencana, tapi kejahatan terencana akibat pemerintah kebablasan mengeluarkan izin perkebunan skala besar dan Hutan Tanaman Industri (HTI). "Ini kejahatan terencana, kenapa Karena faktor penyebab terbesarnya adalah pemberian perizinan perkebunan skala besar dan HTI," kata Zenzi.

Menurutnya, Undang-undang perkebunan dan kehutanan di Indonesia jelas mengatur bahwa setiap usaha tertentu wajib mempunyai Amdal serta perencanaan. Nyatanya, setelah banyaknya perkebunan yang mendapat izin operasi yang terjadi justru kebakaran hutan dan lahan. Artinya, resiko ini sudah diketahui pemerintah jauh-jauh hari.

‘’Ketika kebakaran hutan dan lahan ini tidak diantisipasi, kejahatan ini direncanakan. Kebakaran ini efeknya bukan hanya di Riau saja, tapi juga menjalar ke Sumatera Utara, Jambi bahkan Bengkulu," jelasnya. Terkait persoalan ini, Walhi mendesak pemerintah segera mengambil tindakna jangka pendek dengan mengoptimalkan segala cara memadamkan titik api. Kemudian pemerintah harus menyelematkan sumber daya kehidupan masyarakat agar tidak hilang dilalap api.

 "Jangan seperti yang terjadi di Kepulauan Meranti, ketika konsesi PT NSP terbakar, menjalar ke perkebunan masyarakat tapi tidak ada yang tanggungjawab, sehingga 500 lebih kepala keluarga kehilangan mata pencaharian," tegasnya.

Dalam menyikapi persoalan seperti ini, tambahnya, pemerintah mestinya tidak hanya menghentikan kebakaran yang terjadi, tapi juga menuntut pelaku usaha perkebunan skala besar dan HTI mengganti kerugian warga.

 Minta Presiden Bertindak 

 Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Riko Kurniawan, terjadinya bencana kabut asap beserta dampaknya yang luas, akibat pemerintah dan aparat penegak hukum lainnya –mulai dari tingkat daerah, propinsi maupun pusat, melakukan pembiaran terhadap perusahaan-perusahaan pembabat hutan dan pembakar hutan-lahan melakukan praktik-praktik buruknya, tanpa ada penegakan hukum yang mampu menjawab rasa keadilan masyarakat.

 Akar persoalannya adalah buruknya tata kelola sumber daya alam di negeri ini yang dibuktikan dengan banyaknya izin diberikan melalui cara-cara kotor seperti korupsi, dengan menggadaikan keseimbangan lingkungan hidup --terutama lahan gambut. Faktanya, hampir seluruh titik api yang terjadi di tahun 2013 dan 2014 ini berada di areal gambut.

Secara alami, mustahil terbakar, karena gambut itu termasuk kategori ekosistem lahan basah. Namun, kata Riko, perusahaan-perusahaan dengan izin konsesi luas yang diberikan pemerintah membabat habis hutan dan meluluhlantakkan keseimbangan ekosistem gambut yang unik ini. Perusahaan-perusahaan perkebunan skala besar baik di sektor kelapa sawit maupun sektor pulp dan kertas, menurutnya, merupakan penyebab utama terbakarnya lahan dalam skala yang masif setiap tahunnya.

 ‘’Kebakaran yang tak terkendali dan terus terulang, menunjukan bahwa luas konsesi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah telah berada di luar kemampuan pengusaha untuk mengelola dan di atas ambang batas kemampuan Pemerintah untuk melakukan pengawasan dan pengendalian,’’ katanya.

 Pihaknya berharap Presiden mengambil tindakan konkret untuk menghentikan bencana asap tahunan ini. Walhi Riau, kata dia, meminta Presiden menghentikan pembiaran dan berlanjut terusnya bencana asap tahunan yang diakibatkan pembakaran hutan-lahan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Riau. Juga meminta segera mencabut izin perusahaan-perusahaan yang terbukti terlibat. 

Presiden Pimpin Operasi 

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak tinggal diam. Sabtu (15/3) siang langsung terbang ke Riau memimpin operasi tanggap darurat kabut asap. Presiden juga menetapkan tahap kebijakan dan program aksi dalam mengatasi bencana asap Riau. Pertama, melakukan operasi tanggap darurat terpadu, dan kedua adalah penertiban kawasan dan pencegahan bahaya asap.

 "Tujuan jangka pendeknya api padam dan asap hilang. Jangka menengahnya tak ada lagi kebakaran ladang dan asap di Riau secara terus-menerus," ujar Presiden SBY pada apel pagi satuan tugas penanganan bencana asap, di Pangkalan TNI-AU Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, Riau, sebelum bertolak ke Yogyakarta, Senin (17/3).

 Untuk operasi tanggap darurat sendiri, waktu pelaksanaannya dalam tiga pekan, terhitung sejak Sabtu (15/3) lalu, ketika presiden baru tiba di Pekanbaru. Presiden berharap maksimal dalam tiga pekan api di seluruh Riau dapat dipadamkan dan asap benar-benar bisa hilang. "Saya instruksikan kepada satgas untuk menggunakan segala peralatan dan lakukan segala cara" kata SBY.

 Upaya tersebut harus tetap berlandaskan tiga pilar. Yaitu, aksi pemadaman api oleh TNI, Polri dan BNPB; pelayanan kesehatan bagi mereka yang terdampak asap ini; dan penegakan hukum yang harus dilaksanakan secara tegas, keras, dan cepat.

 "Kita harus memberikan efek jera kepada mereka yang tidak bertanggung jawab yang mengganggu kehidupan masyarakat sehari-hari, melumpuhkan transportasi, dan banyak sekali kerugian material akibat tindakan yang tak bertanggung jawab itu." Presiden menegaskan. "Penegak hukum saya harap tidak lunak terhadap tindakan yang tidak bertanggung jawab itu," tambahnya.

 Menurut presiden, jika ada pihak yang berusaha membelokkan isu, tidak jujur, dan tidak terbuka, sampai kapanpun bencana asap ini tidak akan bisa diatasi. ‘’Kalau yang membakar ini bebas merdeka, tidak mendapat sanksi setimpal, maka berapa ratus miliar pun uang yang dikeluarkan, tetap akan datang lagi bencana serupa. Ingat, ratusan miliar bisa kita gunakan untuk anggaran pendidikan, kesehatan, dan lainnya," ujar SBY.

 Sementara itu, untuk tahap kedua yaitu penertiban kawasan dan pencegahan bencana asap di masa mendatang, akan segera dilaksanakan mulai bulan April hingga September 2014, sebelum berakhirnya masa jabatan Presiden SBY. Sasaran dari penertiban kawasan dan pencegahan bencana mencakup tiga hal.

Pertama, harus menertibkan perkebunan-perkebunan ilegal dimana mungkin mendapat izin dari kepala desa namun bertabrakan dengan UU. Kedua, harus dihentikannya prakik-praktik ilegal logging. Pesiden melihat sendiri melalui foto udara ada titik-titik yang terjadi pembalakan liar. Ketiga, harus memiliki sistem sekaligus protap (prosedur tetap) dan aksi nyata di lapangan untuk pencegahan dan tindakan dini manakala tetap ada kebakaran.

 "Kita harus bisa memberikan perlindungan. Banyak masyarakat yang tidak berdosa menjadi korban akibat ulah mereka yang tidak bertanggung jawab. Kalau masih ada kebakaran, kita harus memastikan warga punya peralatan untuk memadamkan," SBY menegaskan. Agar penduduk tidak membakar lahan untuk membuka ladang, juga diberi bantuan peralatan.

 Kepada perusahaan pemegang HPH, Presiden meminta ikut berkontribusi menyediakan peralatan untuk memadamkan api, melalui program CSR, sekaligus untuk membantu penduduk. "Pemerintah pusat dan daerah juga akan siapkan anggaran untuk memadamkan api dan menghilangkan asap," ujar Presiden, sembari menjanjikan sanksi hukum dan tindakan yang tegas untuk pihak-pihak yang sengaja lakukan pembakaran.

 Tekad yang sama disampaikan Gubernur Riau Annas Maamun. Ia meminta seluruh pihak menghimpun semua persoalan kebakaran lahan untuk dituntaskan dan pelaku ditindak tegas sampai ke akar-akarnya. Kata Gubri lagi, tidak hanya oknum satu dua orang yang ditindak, tapi kalau terbukti sampai ke pemilik modal pun harus dihukum seberat-beratnya sesuai dengan aturan. ‘’Tindakan tegas harus dilakukan kepada pemodal, bukan hanya kepada pembakar dan pemilik saja,’’ kata Annas Maamun.

Selain itu, lanjutnya kini sedang disiapkan upaya-upaya terkait pencegahan supaya karhutla tidak terjadi lagi di seluruh wilayah Riau. Dalam 10 hari ke depan, penegakan hukum atas pelaku pembakar lahan dan juga ilegal logging bisa terlaksana. ‘’Target penuntasan akan cepat diusahakan, 10 hari ke depan diharapkan semuanya bergerak,’’ tegasnya. (amzar) 

 Majalah Riaupos.co edisi 20-26 Maret 2014-03-21 Reporter: MUHAMMAD HAPIZ ( Bengkalis-Siak) MARIO KISAZ, ADRIAN EKO (Pekanbaru) dan Tim Riau Pos

Selengkapnya..

Menunggu Kebijakan Tegas Setelah Perangi Kabut Asap

PRESIDEN Soesilo Bambang Yudhoyono akhirnya turun langsung ke Riau, memimpin operasi tanggap darurat yang masif , menyusul semakin hebat, luas dan kompleksnya dampak yang timbul akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau.

 Kita mengapresiasinya, termasuk semua upaya yang dilakukan tim terpadu sebelum dan setelah Presiden SBY turun langsung ke Riau. Sebab sudah lebih sebulan, masyarakat, tak hanya di Riau, kembali merasakan langsung parahnya dampak karhutla. Terutama ruang udara yang terkontaminasi kabut asap pada level sangat berbahaya dan melumpuhkan nyaris semua segi kehidupan di wilayah terdampak yang begitu luas.

Kita juga mencatat, apa yang diinstruksikan presiden sebagai langkah serius yang patut didukung, yakni memadamkan secara tuntas karhutla dalam tiga pekan, memberikan pelayanan kesehatan gratis ke masyarakat terdampak kabut asap. Serta satu hal yang juga tak kalah penting, lakukan penegakan hukum kepada seluruh yang terlibat. 

 Dengan tidak mengesampingkan dua poin instruksi lainnya yang begitu penting, kita memberi penekanan pada aspek penegakan hukum. Artinya, siapa pun pelaku, perorangan atau korporasi, yang menjadi penyebab bencana ini terjadi, harus ditindak tegas dan mempertanggungjawabkannya secara hukum. Kita semua perlu menggiring dan mengawal prosesnya agar aparat penegak hukum berada di garis terdepan untuk menegakkannya. 

 Kita juga kini menunggu apa yang dijanjikan Presiden SBY di Pekanbaru, yakni mengeluarkan kebijakan penting terkait karhutla. Kita berharap, ada penegasan yang benar-benar tegas, terutama kebijakan yang sasarannya terfokus ke arah penghentian perambahan hutan, pembalakan liar, serta eksploitasi tak terkendali hutan dan lahan gambut. Juga ada penekanan agar semua level, terutama pimpinan perusahaan yang beroperasi di Riau untuk sama bertanggungjawab terhadap kebakaran atau pembakaran hutan dan lahan, terutama mencegahnya. 

 Di atas itu semua, kita begitu berharap agar bencana yang kini tercipta karena ulah manusia itu, menjadi catatan sangat penting bagi para pengambil kebijakan hingga ke penegak hukum untuk betul-betul tegas dan serius dalam mencegah, mengusut, menindak dan menghukum para perambah serta pembakar hutan dan lahan tanpa pandang bulu. Cukup sudah penderitaan dan kerugian yang ditimbulkannya. Tindakan merugikan ini harus dihentikan. Jika tidak, serbuan kabut asap dan juga bencana lainnya jika musim berganti, akan selalu terjadi.***

Selengkapnya..

Kamis, 13 Maret 2014

Semangat Rasionalisasi Anggaran yang Pro-Rakyat

SEJAK awal menjabat sebagai pemimpin Riau 19 Februari lalu, Gubernur dan Wakil Gubernur Annas Maamun-Arsyadjuliandi Rachman terus mengisyaratkan melakukan rasionalisasi anggaran untuk dimaksimalkan kepada program pro-rakyat yang sebelumnya dijanjikan saat kampanye.

 Di antara yang kerap disampaikan adalah mengurangi anggaran perjalanan dinas, yang semula tercatat Rp238 miliar dari Rp8,2 triliun total APBD 2014, akan dipangkas separuhnya pada APBD Perubahan, April nanti. Juga akan dipangkas anggaran yang dinilai tidak perlu, mubazir serta terkesan bermewah-mewah pada anggaran rutin, yang persentasenya mencapai 53 persen.

Terindikasi, APBD murni Rp8,2 triliun, nantinya akan diubahsuaikan pada mata anggaran tertentu. Di antaranya, bagaimana mengalihkan hasil rasionalisasi anggaran tersebut ke kegiatan yang menyentuh langsung kepada masyarakat, seperti pembangunan rumah layak huni, sekolah di pedesaan, fasilitas publik dan kesehatan serta memperbesar alokasi anggaran bagi kabupaten/kota.

 Kita tentu menyambut baik adanya program pro-rakyat. Sebab, salah satu masalah yang berulang setiap tahun ialah membengkaknya anggaran rutin, yang tahun ini mencapai 53 persen. Angka yang seakan menegaskan bahwa belum ada upaya efisiensi pemerintah. Padahal, ada opsi lain yang wajib dan layak dilakukan yakni disiplin belanja untuk efisiensi APBD.

 Sepatutnyalah, belanja modal yang semestinya dialokasikan untuk infrastruktur atau proyek yang bernilai ekonomis tidak justru digunakan untuk kegiatan yang konsumtif. Misalnya, membeli mobil dinas baru hingga mempermewah gedung pemerintahan dan perkantoran. Padahal, hal-hal seperti itu tidak memiliki fungsi ekonomis dan malah membebani anggaran.

 Itu belum lagi penyerapan belanja yang relatif rendah dan biasanya menumpuk pada kuartal ketiga serta keempat. Sesuatu yang akhirnya membuat APBD tak kunjung menyentuh dan menjawab masalah krusial, yaitu pengangguran. Padahal, semestinya APBD bisa menjadi instrumen penguat stimulus dan memacu perekonomian sehingga menciptakan lapangan pekerjaan. Harus diakui, rasionalisasi anggaran ini tidak serta-merta mampu mengatasi semua persoalan negeri ini. Kemiskinan, pengangguran, lemahnya infrastruktur, dan lainnya, tidak bisa langsung habis.

Namun, kita berharap dengan semangat yang kelak direalisasikan secara patut, setidaknya bisa memberi rasa optimisme kepada rakyat, bahwa ke depan ada pemerintah yang bekerja keras. Bukan pemerintahan yang menjual mimpi. ***

Selengkapnya..

Jumat, 12 April 2013

Kerja Berat Mengambil Kembali Hati Rakyat

MUSIM merayu tiba lagi. Ya, di tahun politik 2013 ini, ajang rayu-merayu rakyat ini akan kian gencar. Kontestan di Riau bahkan sudah memulai jauh sebelumnya, karena puncak tahapan suksesi menuju Riau-1 digelar tahun ini. Sementara, arena besar politik lainnya yang juga terbentang di depan mata adalah Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014.

Partai-partai pun, saat ini sedang sibuk menggerakkan mesin politiknya sambil terus memikirkan cara terbaik yang bisa ditempuh untuk menarik hati dan suara rakyat. Aroma yang ditimbulkan oleh semua pergerakan politik itu, kini sudah menyebar luas, menyeruak, bahkan kadang menyentak memunculkan dinamika politik yang tak terduga.

 Kesemuanya --upaya mengambil kembali hati rakyat-- ini, memerlukan kerja terencana, terukur dan penuh pertimbangan. Sebab, fenomena yang terjadi belakangan ini mengantarkan rakyat pada situasi yang tidak mudah untuk dibujuk dan dirayu. Kita sebut upaya mengambil kembali hati rakyat, karena begitulah adanya. 

Rakyat kini tidak sedikit yang terlukai hatinya, oleh mereka yang dulunya dipilih dan dipercaya, tempat mereka menitipkan amanah. Walau kita akui masih ada para wakil rakyat yang bekerja on the track, namun rakyat terlanjur kecewa, merasa terlukai ketika ada oknum-oknum legislator yang terpilih kemudian bertindak seolah tak mewakili pemilihnya lagi, terjebak dalam berbagai perilaku yang kurang patut, mulai dari seringnya bolos rapat, sampai pada terkuaknya aksi korupsi, baik individu maupun berjamaah. 

 Mereka yang kini memilih bertarung di kancah politik, semestinya memahami, bahwa tetaplah rakyat yang menentukan eksistensi bangsa dan negara. Karena itu, di musim rayu-merayu ini, sebaiknya mereka yang berkepentingan dengan perebutan porsi kekuasaan melalui pemilu harus tahu diri.

 Sikap tahu diri mengharuskan mereka mempersiapkan berbagai program nyata yang harus dilaksanakan, tidak semata slogan. Sudah harus dijauhi sikap munafik dan tak jujur serta mengobral janji. Kendati rakyat menderita dalam kemiskinan karena berbagai kekurangan, namun masih punya harga diri sehingga tidak gampang termakan oleh rayuan dan godaan. 

 Para petarung politik harus berusaha membangun kembali kepercayaan dan harapan rakyat pada pemerintah, pada semua lembaga pemerintahan serta parpol dan orang-orangnya, yang seharusnya diberdayakan untuk mengabdi rakyat, tidak terus-menerus mencederai amanah yang diberikan. Inilah salah satu sasaran yang jika berhasil dicapai dapat mengundang kepercayaan dan harapan rakyat pada masa depan negeri dan bangsa ini, Syukur-syukur dapat menyenangkan hati rakyat yang selama ini gundah dengan bebannya yang kian berat. 

 Percayalah, rakyat akan menarik dukungannya jika mereka tahu bahwa sikap dan perilaku eksekutif dan legislatif serta kontestan partai ternyata munafik dan khianat. Boleh jadi mereka akan memilih opsi lain, termasuk memilih diam dan apatis, hanya jadi penonton pasif. Ayo, jangan biarkan hal itu terjadi.***

Selengkapnya..

Jangan Biarkan Korupsi Menjadi Wabah

MEDIA massa saat ini begitu gencar memberitakan serta menayangkan terjadinya kasus-kasus korupsi, serta terus mengawal bagaimana penanganannya oleh para penegak hukum, dari pusat hingga ke daerah.

 Karenanya, kita menjadi semakin tahu, ternyata kejahatan korupsi sekarang sudah sedemikian merebaknya sehingga mereka yang terjerat tidak hanya dari kalangan eksekutif, tetapi juga legislatif, bahkan ada pula dari mereka yang berposisi di wilayah yudikatif –yang didalamnya termasuk penegak hukum - institusi yang seharusnya menjadi benteng andalan dalam memberantas korupsi.

 Dari pemberitaan juga kita tahu, bahwa ada kelegaan ketika mereka yang didakwa sebagai koruptor itu, setelah ditangani secara hukum, mendapatkan hukuman yang setimpal. Sebaliknya, isu korupsi sebagai kejahatan mungkin menjadi keprihatinan ketika kasusnya sendiri tidak banyak yang diberantas secara nyata dan tuntas sehingga akhirnya hanya menjadi berita yang menjemukan dan sangat menyakitkan rasa keadilan masyarakat.

Belakangan ini, kasus di beberapa daerah tentang penanganan dugaan korupsi yang melibatkan eksekutif dan legislatif, kerap tampil menyita perhatian publik karena yang didakwa adalah tokoh-tokoh yang populer di tengah masyarakat. Tentu publik ingin tahu seberapa jauh proses peradilan menanganinya. 

 Dalam konteks otonomi daerah, pemberantasan korupsi seharusnya secara kompetitif menjadi kegiatan dari agenda aksi pengadilan di setiap daerah bersama pemerintah daerah yang didukung oleh seluruh rakyat. Tidak melulu bersikap menyalahkan pemerintah yang --oleh sebagian masyarakat-- dianggap sangat lemah di dalam pemberantasan korupsi. 

 Artinya, dengan adanya otonomi daerah, maka pemerintah daerah dan lembaga-lembaga hukum serta pengadilan di daerah harus terpanggil untuk menjawab amanah undang-undang tersebut tanpa harus menunggu komando dari pimpinan nasional. Maksudnya, pemberantasan korupsi dalam segala ukurannya di daerah harus digalakkan untuk menghindari tudingan bahwa desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah hanyalah resentralisasi kekuasaan atau pemusatan kembali kekuasaan di daerah-daerah. Dengan demikian, desentralisasi dapat dipandang atau dituding juga sebagai desentralisasi kejahatan korupsi melalui resentralisasi kekuasaan di daerah-daerah. Seakan-akan otonomi daerah membuka peluang bagi terjadinya korupsi di daerah secara otonom bersamaan dengan proses resentralisasi kekuasaan di daerah.

 Bagaimanapun, justru otonomi daerah harus dijadikan kekuatan dan kehormatan daerah untuk dapat membangun pemerintahan dan masyarakat yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, terutama bersih dari kejahatan korupsi. Jika setiap daerah dipimpin oleh para penyelenggara pemerintahan yang bersih dan yang memimpin, mengayomi, melayani, serta mengabdi masyarakat yang bersih, maka secara desentralistik dan sekaligus secara nasional kejahatan korupsi dapat diminimalisir, kalau memang tidak yakin diberantas. 

Namun, sebaliknya, jika korupsi semakin merajalela dan tak bisa diberantas di daerah-daerah, maka secara nasional kejahatan korupsi akan semakin menjadi wabah penghancur eksistensi bangsa. Itu yang tidak kita inginkan dan karenanya semua pihak, termasuk media pun sekarang terus dalam posisi mengontrol, mengawasi dan mengawal itu semua agar berjalan pada jalurnya. 

 Kita menginginkan, penyelenggara pemerintahan dan pelaksana pembangunan di daerah harus bekerja sama dengan aparat penegak keadilan seperti jaksa, polisi, dan aparat pengadilan serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Sangat terpuji, jika kita di sini dapat menampilkan diri sebagai contoh terdepan sebagai daerah pemberantas korupsi yang efektif. Pada gilirannya akan tercipta pemerintahan yang bersih dan masyarakat madani yang didambakan.

 Sukses dalam pemberantasan KKN, khususnya korupsi, maka kejahatan lain yang punya kaitan mata rantai dengan korupsi akan ikut terseret sebagai sasaran pemberantasan secara tak langsung, baik di dalam tubuh pemerintah, maupun di masyarakat. ***

Selengkapnya..